Hasil Pencarian:
- Dono
- Ari Dono Sukmanto
- Eko Dono Indarto
- Dono Indarto
- Dono Pradana
- Daftar film Warkop
- Sekawan Limo
- Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Heri Dono
- Dono (disambiguasi)
- Suntana
- Warkop
- Dono Herbowo
- Badan Reserse Kriminal
- Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia
- CHIPS (film Warkop)
- Kasino (pelawak)
- Sukodono, Sidoarjo
- Tito Karnavian
- Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Artikel: Dono
Kehidupan awal
Dono dilahirkan dengan nama lengkap Wahjoe Sardono di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Ia merupakan anak dari pasangan Tjitro Soedijono, seorang polisi, dan istrinya, Soenarmi. Ia merupakan anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara. Dono menyatakan bahwa rincian arti dari namanya adalah sebagai berikut: "Wahyu" artinya rahmat Tuhan, "Sar" bermakna lahir di bulan Besar dalam kalender Jawa (bertepatan dengan bulan Zulhijah dalam kalender Islam), sementara "Dono" berarti pemberian. Jadi, secara harfiah, makna dari namanya adalah "rahmat Tuhan sebagai pemberian yang paling besar". Dono bersekolah di SD Negeri 1 Kebon Dalem dan melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 2 Klaten. Saat masih kecil, Dono mengaku bahwa ia sering terlibat perkelahian karena diajak "bergaya-gayaan" oleh teman-temannya. Namun, dalam setiap perkelahian ia justru lebih banyak menahan dan menangkis pukulan dari lawannya. Ia juga pernah terbawa hanyut di sebuah sungai saat akan pulang ke rumah setelah menonton acara wayang kulit semalam suntuk. Memasuki masa SMA, Dono bersekolah di SMA Negeri 3 Surakarta. Setiap hari selama waktu tersebut, ia harus pulang-pergi naik sepeda sejauh puluhan kilometer dari Klaten ke Surakarta untuk bisa bersekolah. Pada saat itulah, bakat kepemimpinan Dono mulai terlihat saat ia dipercaya menjadi ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Pada awalnya, Dono sempat bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun, karena kurang berusaha keras, ia terpaksa memilih jurusan IPS saat pemilihan jurusan. Setelah penjurusan tersebut, Dono kemudian mengubah cita-citanya menjadi seorang wartawan. Pada saat itu, ia juga sudah mulai rajin menggambar kartun dan karikatur, serta menulis puisi untuk dicoba dimuat di beberapa surat kabar.Karier
= Karier awal
= Pada tahun 1971, setelah lulus dari SMA, Dono memilih untuk merantau ke Jakarta dan melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia dengan mengambil jurusan sosiologi. Adik Dono yang kemudian menjadi staf pengajar di Fakultas Ekonomi UI, Rani Toersilaningsih, menuturkan bahwa kakaknya memilih jurusan sosiologi karena memang suka mengamati orang, lingkungan, dan sebagainya yang kemudian Dono tuangkan dalam bentuk tulisan ataupun gambar karikatur. Ayah Dono sebenarnya lebih ingin melihatnya masuk ke jurusan ilmu politik, tetapi Dono menolak. Meski demikian, sang ayah akhirnya tetap mendukung pilihan anaknya tersebut dengan syarat harus konsisten dan berprestasi. Dono kemudian berteman dekat dengan Paulus Wirutomo, meskipun mereka berbeda satu angkatan. Mereka selanjutnya berkompetisi dengan mendirikan majalah mahasiswa independen yang tidak terikat dengan birokrasi kampus. Dana untuk majalah tersebut berasal dari dompet pribadi masing-masing, tetapi keduanya tidak bergabung dalam satu majalah yang sama. Dono selanjutnya aktif bekerja di beberapa surat kabar, antara lain di Tribun dan Salemba, terutama sebagai kolomnis dan karikaturis. Kedua media cetak itu berhenti terbit pada tahun 1974. Pada tahun 1975, Dono diajak bergabung untuk mengisi sebuah program acara radio dengan nama Obrolan Santai di Warung Kopi Prambors bersama Kasino, Nanu Moeljono, dan Rudy Badil. Pada tahun 1976, setelah Indro bergabung, barulah mereka menetapkan nama kelompok pengisi acara tersebut sebagai "Warkop Prambors". Program acara tersebut mengudara setiap Kamis malam dari pukul 20.30 sampai 21.15 WIB dengan membahas beragam topik yang sedang tren pada saat itu, terutama politik dan sosial kemasyarakatan. Di sela-sela kegiatan kuliahnya, Dono juga bergabung menjadi anggota Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) bersama Kasino dan Nanu. Oleh karena itu, beberapa film Warkop memunculkan adegan yang memperlihatkan aktivitas mereka sebagai pecinta alam.= Menjadi asisten Selo Soemardjan
= Memasuki tahun kelima sebagai mahasiswa, Dono diangkat sebagai asisten dosen oleh Selo Soemardjan, seorang guru besar ilmu sosiologi di UI. Ia kembali berduet dengan Paulus Wirutomo, yang telah lebih dulu diangkat sebagai asisten. Mereka berdua berbagi tugas mengajar sejumlah kuliah umum dan kuliah kelompok. Kuliah umum biasanya ditujukan untuk mahasiswa baru dan berisi konsep-konsep dasar sosiologi yang langsung disampaikan oleh Selo. Sementara untuk kuliah kelompok, tugasnya akan diemban oleh asisten dosen. Ketika Selo tidak dapat hadir dalam kuliah umum, maka asisten akan menggantikannya. Ditunjuknya Dono dan Paulus sebagai asisten menandakan bahwa mereka cerdas dan tekun, sebab Selo tidak sembarangan memberikan kesempatan mengajar kepada mahasiswanya. Semasa menjadi dosen, Dono dikenal sebagai sosok yang tegas dan disiplin. Salah satu anggota Warkop, yaitu Nanu Moeljono, pernah menjadi mahasiswa yang diajar oleh Dono. Secara kebetulan, Nanu tidak lulus dalam kelas yang diajarkan oleh Dono.= Kegiatan aktivisme
= Dalam pergerakan mahasiswa, Dono termasuk salah satu individu yang sangat kritis. Pada bulan Januari 1974, ia pernah turun ke jalan dalam aksi unjuk rasa yang kemudian dikenal dengan istilah Peristiwa Malari. Dalam aksi demonstrasi tersebut, Dono beserta mahasiswa lain turun ke jalan untuk menolak dominasi ekonomi Jepang di Indonesia. Aksi tersebut berakhir dengan ditangkapnya sejumlah mahasiswa UI oleh pihak keamanan, salah satunya Hariman Siregar, yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Dewan Mahasiswa (Dema) UI. Selain itu, akibat keberanian Dono menggambar beberapa karikatur yang kemudian dinilai sensitif karena menyinggung era pemerintahan Orde Baru, rumah orang tuanya di Delanggu sempat didatangi tim intel dan kepolisian. Dengan santai, ayah Dono menjelaskan bahwa apa yang coba dikatakan Dono adalah sebuah kebenaran tanpa ada maksud untuk melakukan makar kepada pemerintah. Pada tahun 1998, Dono kembali turun dalam unjuk rasa bersama para mahasiswa. Kali ini, ia dengan berani menghadang aparat keamanan yang mencoba masuk ke Universitas Atma Jaya Jakarta. Saat itu, Dono tak gentar berhadapan dengan para tentara hanya dengan menggunakan selang hidran demi menyelamatkan ribuan mahasiswa yang lari tunggang langgang masuk ke dalam kampus. Menurut mantan wartawan Kompas, Budiarto Shambazy, Dono memiliki peran yang patut dikenang dalam demonstrasi Mei 1998 yang berujung pada mundurnya Presiden Soeharto. Dono diketahui ikut menyiapkan kerangka acuan untuk orasi, mengatur kunjungan ke DPR, hingga menyiasati aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa.= Puncak kesuksesan bersama Warkop
= Aktivitas Dono yang padat sempat membuat skripsinya terbengkalai. Ia membuat skripsi tentang sejauh mana pemerataan pendidikan terwujud di kampung halamannya di Delanggu. Skripsi berjudul Hubungan Status Sosial Ekonomi Keluarga dengan Prestasi Murid di Sekolah: Studi Kasus SMP Negeri Desa Delanggu berhasil ia pertahankan pada sidang penelitian yang dilakukan pada tahun 1978. Tidak lama setelah lulus sebagai sarjana sosiologi, ia mulai meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen untuk fokus di dunia hiburan bersama kelompok lawak Warkop. Pada saat itu, Warkop mulai memberanikan diri untuk muncul di luar siaran radio melalui acara Terminal Musikal yang diproduseri oleh Mus Mualim dan ditayangkan oleh TVRI. Mereka juga mendapatkan banyak tawaran untuk tampil di luar kota. Pada tahun 1980, film pertama Warkop yang berjudul Mana Tahaaan... dirilis. Film tersebut mendapatkan kesuksesan yang besar saat masa penayangannya di bioskop. Selama kurun waktu tahun 1980 sampai dengan tahun 1995, kelompok lawak Warkop Prambors, yang kemudian berganti nama menjadi Warkop DKI, sudah membintangi 34 film komedi dan satu film dokudrama. Selama periode tersebut, Warkop biasanya hanya merilis dua film yang disesuaikan dengan masa liburan Idul Fitri atau liburan Natal dan Tahun Baru. Namun, film-film Warkop tidak dapat dipasarkan secara internasional karena masalah pelanggaran hak cipta, terutama dalam penggunaan lagu instrumental The Pink Panther karya Henry Mancini tanpa izin. Warkop juga telah mengeluarkan 12 album kompilasi lawak dan lagu, dengan dua diantaranya berkolaborasi bersama kelompok Pancaran Sinar Petromak dan kelompok Srimulat. Di balik kesuksesannya sebagai pelawak, Dono sempat mendapat tawaran beasiswa pascasarjana ke Amerika Serikat, tetapi ia menolak karena tidak ingin membuat formasi kelompok Warkop terganggu karena ketiadaannya yang harus kuliah di luar negeri. Di belakang layar, Dono sempat bermusuhan dengan Kasino selama tiga tahun dari 1988 sampai 1990. Akar masalahnya berasal dari perbedaan pandangan soal tujuan kelompok Warkop kedepannya. Meski demikian, keduanya tetap menjaga profesionalitas saat bekerja dengan Indro yang berperan sebagai penengah diantara mereka. Di luar dunia hiburan, Dono sering menyempatkan diri untuk menjadi penulis lepas di beberapa media cetak dan juga menjadi dosen tamu dalam beberapa kuliah umum yang diselenggarakan oleh universitas. Ia juga melanjutkan hobinya sebagai pembuat karikatur dengan menggunakan nama pena "Titi Kusumawardhani" (nama sang istri). Selain itu, Dono juga menulis novel pertamanya yang berjudul Balada Paijo, yang terbit pada tahun 1987. Dalam novel tersebut, ia mengangkat tema mengenai kehidupan seorang pemuda desa yang sok kritis saat pertama kali datang ke kota. Sampai akhir hayatnya pada tahun 2001, Dono telah menulis sebanyak lima novel. Novel terakhirnya, yang berjudul Senggol Kiri Senggol Kanan, baru diterbitkan pada tahun 2009. Dalam novel tersebut, Dono meninggalkan tema kehidupan pemuda dan menggantinya dengan tema mengenai permasalahan rumah tangga seorang karyawan. Dono juga sempat turun sebagai produser dan penulis skenario untuk film Peluk Daku dan Lepaskan yang dirilis pada tahun 1991. Dalam film tersebut, Dono menggunakan nama pena "Ario Damar" (nama yang diambil dari anak pertamanya, yaitu Andika Aria Sena yang biasa dipanggil Ario, dan anak keduanya yang bernama Damar Canggih Wicaksono). Selepas film Pencet Sana Pencet Sini yang dirilis pada tahun 1995, Dono bersama Kasino dan Indro sepakat untuk tidak lagi bermain film sebagai tanda solidaritas untuk industri perfilman Indonesia. Pada saat itu, bisnis perfilman nasional sedang lesu akibat banyaknya film bertema dewasa dan serbuan film-film impor dari luar negeri, terutama dari Hollywood, Bollywood, dan Hong Kong. Kelompok Warkop kemudian beralih ke media televisi melalui serial Warkop DKI (yang kemudian berganti judul menjadi Warkop Millenium setelah Kasino meninggal dunia pada bulan November 1997). Dono berperan dalam serial tersebut sampai akhir hayatnya pada tahun 2001.Gaya
= Sebagai karakter peran
= Pada awalnya, Dono memerankan karakter Slamet yang merupakan penggambaran seorang lelaki Jawa yang lugu dan sederhana. Karakter Slamet ini ia perankan selama bersiaran di Radio Prambors. Saat pertama menjadi aktor film, Dono tetap memerankan karakter tersebut dalam tiga film awal yaitu Mana Tahaaan..., Gengsi Dong, dan Gede Rasa. Dalam Gengsi Dong diketahui bahwa nama panjang dari Slamet adalah Raden Mas Ngabei Slamet Condrowirawatikto Edi Pranoto Joyosentiko Mangundirjo Kusumo yang berasal dari keluarga petani kaya di desanya. Sementara dalam film Gede Rasa menceritakan bahwa Slamet sudah terkena pemutusan studi dari kampusnya dan mengalami kesulitan hidup di Jakarta. Saat produksi film Warkop diambil alih oleh Parkit Film dan kemudian oleh Soraya Intercine Films, barulah Dono memerankan karakter "Dono" yang digambarkan selalu mengalami nasib sial dalam kehidupan sehari-hari, tetapi selalu beruntung dalam hal menarik pesona wanita cantik. Dono sempat berujar dalam sebuah wawancara pada tahun 1995 bahwa "jika dalam film ia selalu mengalami sial yang berlebihan, mungkin tidak akan ada yang menonton filmnya, karena itulah ia selalu dipasangkan dengan aktris-aktris cantik". Pada awal-awal karier filmnya, Dono mendapat julukan "Si Bemo" karena penampilan wajahnya yang sekilas mirip dengan bemo. Nawi Ismail, sutradara film Mana Tahaaan..., adalah orang yang memberi julukan "bemo" kepada Dono. Awalnya, Dono merasa tersinggung dengan julukan tersebut, tetapi seiring waktu, ia mulai menerima julukan tersebut, menganggapnya sebagai bagian dari risiko profesi sebagai seorang pelawak. Terkait karakter Slamet atau "Dono", Indro menuturkan bahwa Dono sendirilah yang menciptakan sekaligus merancang karakter-karakter tersebut. Menurutnya, Dono dengan sengaja membentuk karakter-karakter itu, terinspirasi oleh latar belakangnya sebagai seorang intelektual. Indro juga menegaskan bahwa Dono adalah sosok perfeksionis dalam memerankan perannya. Sebelum tampil di atas panggung atau saat menulis naskah skenario untuk film, Dono selalu melakukan riset dengan sungguh-sungguh. Ia bahkan sering menolak untuk tampil melawak secara spontan jika diminta. Dengan alasan tersebut, Warkop pernah melakukan eksperimen dengan mengajak dua sutradara film yang berfokus pada tema yang lebih serius, yaitu Chaerul Umam dan Ami Prijono. Chaerul menyutradarai film Sama Juga Bohong, sedangkan Ami menyutradarai Jodoh Boleh Diatur. Meskipun alur kedua film tersebut dianggap baik, eksperimen yang dilakukan oleh Warkop gagal karena jumlah penonton kedua film tersebut jauh dari ekspektasi yang diharapkan. Hal ini kemudian diakui oleh Kasino bahwa pasar film Warkop tampaknya terjebak dalam pola penggunaan wanita sebagai unsur pemanis. Menurut tokoh perfilman nasional, Garin Nugroho, karakter Dono memberikan warna tersendiri dalam setiap film Warkop. Ia berasumsi bahwa meskipun alur cerita film-film Warkop cenderung stagnan dan tidak berubah dari waktu ke waktu, penonton tetap menikmati film-film tersebut karena kehadiran Dono yang sering kali digambarkan sebagai "korban" dari kejahilan Kasino dan Indro. Penulis novel, Wiwid Prasetiyo, dalam bukunya yang berjudul The Masterbook of Self Confidence, menyatakan bahwa karakter Dono yang khas adalah sosok yang tak terpisahkan dari film-film Warkop. Hal ini menciptakan anggapan bahwa Warkop seolah lebih kehilangan Dono ketimbang Kasino setelah keduanya meninggal dunia. Penulis Darminto M. Sudarmo dalam bukunya yang berjudul Anatomi Lelucon di Indonesia, menyatakan sisi kejenakaan Dono lebih terlihat saat ia tampil melawak di depan umum melalui humor-humor politik yang indah, yang tentunya berbeda daripada yang Dono bawakan dalam film-filmnya. Pada tahun 2005, majalah Tempo sempat membandingkan gaya pembawaan lawak antara Dono, Benyamin Sueb, dan Charlie Chaplin, dengan Benyamin yang dinilai lebih unggul dalam penggunaan bahasa lisan saat melawak.= Sebagai penulis
= Dono menggunakan media massa sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial. Berbeda dengan gambarannya yang lugu dalam film, Dono muncul dengan gagasan yang segar dan cerdas dalam menulis artikel. Ia menyadari bahwa seringkali humor hanya dianggap sebagai alat untuk menghibur semata, baik oleh masyarakat kelas bawah maupun kelas menengah ke atas. Seharusnya, humor juga dapat menjadi sarana untuk menyampaikan kritik sosial. Dono juga mengakui bahwa minat membaca di Indonesia masih rendah. Ia tidak setuju dengan keharusan bagi seorang pelawak untuk menyampaikan materi lawaknya dengan menggunakan naskah yang seringkali merupakan hasil salinan dari naskah lain, dan bukan dari pemikiran asli penulisnya. Dono memulai karier sebagai penulis novel pada akhir dekade 1980-an. Pada masa tersebut, buku-buku cerita dengan tema humor sedang populer. Karena itu, novel-novel yang ditulis oleh Dono selalu mengandung unsur humor. Meskipun begitu, ia tetap mempertahankan pendekatan kritisnya terhadap media sebagai alat untuk menyampaikan pesan sosial. Sastrawan Putu Wijaya, dalam ulasannya untuk majalah Tempo, menyebut Dono mampu merangkai alur cerita dengan baik dalam novel-novelnya. Ia juga memuji gaya bahasa Dono yang mengalir dan penuh spontanitas. Namun, Putu juga mengkritik kecenderungan Dono untuk menampilkan karakter utama yang terlalu kuat dan sering menempatkan karakter perempuan sebagai pelengkap cerita. Ayuni Rianty dan Etmi Hardi, dalam jurnal kronologi yang berjudul Pengaruh Jiwa Zaman dan Latar Belakang Penulis Dalam Dua Karya Novel: Laut Bercerita dan Dua Batang Ilalang, menyoroti gaya penulisan Dono yang mereka anggap netral. Meskipun Dono seringkali menyindir rezim Orde Baru, ia berusaha untuk tetap netral dan tidak berpihak dalam menyusun alur cerita pertemuan antara mahasiswa dan pemerintah dalam novel Dua Batang Ilalang yang diterbitkan pada tahun 1988. Sastrawan Udo Z. Karzi menyatakan bahwa ia kesulitan mengikuti alur film-film Warkop yang menurutnya kurang lucu, tetapi ia justru mampu mengikuti alur cerita yang disampaikan melalui novel-novel Dono. Penulis Saddam Cahyo, dalam ulasannya untuk novel Senggol Kiri Senggol Kanan, mencatat bahwa Dono secara tidak langsung mewujudkan slogan "tertawalah sebelum tertawa itu dilarang" dalam karya-karyanya, dengan menyindir rezim pemerintah pada masa itu.Kehidupan pribadi
= Keluarga
= Dono bertemu dengan calon istrinya, Titi Kusumawardhani, saat masa perploncoan di Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UI. Jauh sebelum Dono duduk di bangku SMP, keluarganya pernah bermain jailangkung dan menanyakan siapa jodoh Dono. Permainan boneka mistis tersebut menyebutkan nama jodoh Dono, yaitu Titi Kusumawardhani yang berasal dari Madiun. Secara kebetulan, saat dewasa, ia menemukan kekasih hatinya persis seperti yang disebutkan oleh jailangkung tersebut. Dono dan Titi kemudian menikah pada tahun 1977 dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu Andika Aria Sena, Damar Canggih Wicaksono, dan Satrio Sarwo Trengginas. Titi meninggal dunia pada tahun 1999 karena penyakit kanker payudara.= Akhir hayat
= Kesehatan Dono mulai menunjukkan penurunan pada tahun 2000. Awalnya, ia didiagnosis menderita penyakit paru-paru basah yang mengharuskannya bolak-balik masuk rumah sakit. Selain itu, Dono juga diketahui memiliki tumor di bagian bokong. Ia menjalani operasi pengangkatan tumor tersebut di Rumah Sakit Kramat yang berada di Jakarta Pusat pada bulan September 2000. Memasuki tahun 2001, diketahui tumor yang diderita oleh Dono sudah merambat ke arah paru-paru dan liver, dan membuatnya terkena vonis kanker paru-paru. Sejak bulan November 2001, Dono semakin sering menjalani pemeriksaan untuk penyakit kanker paru-parunya yang sudah memasuki tahap stadium akhir. Pada tanggal 29 Desember 2001, ia dilarikan ke Rumah Sakit Saint Carolus dalam kondisi serius. Setelah mengalami tiga kali masa kritis, Dono akhirnya meninggal dunia pada hari Minggu dinihari tanggal 30 Desember. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir keesokan harinya. Sebelumnya, pihak keluarga sempat berencana untuk memakamkan Dono di Surakarta, tetapi rencana tersebut dibatalkan setelah melihat ketiga anak Dono yang semuanya tinggal di Jakarta.Peninggalan dan warisan
Sampai saat ini, masyarakat masih sering menyebut film-film Warkop sebagai "film Dono". Pihak Warkop yang diwakili Indro sempat mencoba menyelidiki fenomena tersebut dengan mendatangi psikolog. Indro akhirnya mendapat kesimpulan bahwa kata "Dono" mudah diingat karena terdiri dari dua suku kata dan juga ditempatkan di bagian awal dalam singkatan "DKI" yang melekat pada Warkop DKI. Beberapa media juga memberikan perbandingan antara Dono dengan pelawak Inggris Rowan Atkinson, dengan keduanya yang dianggap memiliki persamaan karena sama-sama berpendidikan tinggi dan sering kali memerankan karakter lugu dan bodoh baik dalam film maupun serial televisi. Salah satu anggota kelompok lawak Bagito, yaitu Dedi Gumelar alias Mi'ing, mengenang Dono sebagai sosok yang sederhana, praktis, dan memiliki spontanitas tinggi. Sementara Deddy Mizwar menyebut Dono sebagai pelawak yang tidak akan bisa tergantikan oleh siapapun dan mengakui kontribusinya sebagai sosok yang memiliki peranan penting dalam perkembangan dunia lawak di Indonesia. Taufik Savalas menganggap Dono dan dua rekan Warkop lainnya, yaitu Kasino dan Indro, sebagai guru saat ia memulai karier sebagai pelawak. Eva Arnaz menyebut Dono sebagai seorang pria cerdas dan rendah hati, sementara Nurul Arifin menganggap Dono sebagai orang yang paling sensitif terkait lingkungan sosial. Dalam peringatan ulang tahun ke-70 Dono pada tahun 2021, pelawak tunggal Ernest Prakasa mengenang sosok Dono sebagai seorang pelawak yang tidak hanya menghibur, tetapi juga berupaya untuk menyuarakan kebenaran, terutama dalam mengkritik pemerintah. Sosok Dono dimunculkan kembali dalam seri film Warkop DKI Reborn yang diproduksi oleh Falcon Pictures. Dalam film pertama dan kedua, Dono diperankan oleh Abimana Aryasatya. Abimana mengungkapkan bahwa ia merasakan "sesuatu yang luar biasa" ketika memerankan tokoh Dono. Keluarga Dono juga memberikan pujian kepada Abimana yang dianggap "sangat mirip dengan Dono". Dalam film ketiga dan keempat, Aliando Syarief tampil menggantikan Abimana sebagai pemeran Dono. Dalam menghayati perannya, Aliando rela menurunkan berat badannya dan juga mengubah tampilan wajahnya seperti mencukur alis dan bulu mata. Pada tahun 2021, publik sempat dihebohkan dengan kemunculan kelompok lawak bernama Warkopi yang dianggap meniru Warkop DKI. Salah satu anggotanya adalah Sepriadi Chaniago yang dianggap memiliki kemiripan dengan Dono. Kelompok tersebut kemudian bubar setelah mendapatkan somasi dari Lembaga Warkop DKI sebagai pemegang hak komersial kelompok lawak Warkop. Dalam kampanye pemilihan umum Presiden Indonesia 2024, salah satu calon presiden, yaitu Ganjar Pranowo, mengenang sosok Dono melalui kaus yang bertuliskan Join Us We Fight For A Clean Government. Kaus tersebut dahulu pernah dikenakan oleh Dono saat mengikuti demonstrasi Malari pada tahun 1974.Bibliografi
Diskografi
Filmografi
= Film
= Sebagai pemeran Sebagai pembuat film= Serial televisi
=Catatan kaki
Referensi
Daftar pustaka
Pranala luar
Dono di IMDb (dalam bahasa Inggris) Dono di Warkop DKI Fandomdono
No More Posts Available.
No more pages to load.