Druk Air Corporation Limited (Dzongkha: འབྲུག་མཁའ་འགྲུལ་ལས་འཛིན།, Wylie: 'brug mkha' 'grul las 'dzin), beroperasi dengan nama Drukair — Royal Bhutan Airlines, adalah maskapai penerbangan nasional dari Kerajaan Bhutan. Kantor pusatnya berada di dzongkhag Barat di Paro.
Didirikan pada tahun 1981, sepuluh tahun setelah
Druk Gyalpo Jigme Dorji Wangchuck secara bertahap mulai membuka kerajaannya dari isolasi diri, dan tujuh tahun setelah menerima kunjungan warga negara asing pertamanya, maskapai memulai operasinya pada tahun 1983 drngan penerbangan dari Calcutta menuju Paro dengan menggunakan pesawat Dornier Do 228. Perpindahan pesawat ke BAe 146-100 terjadi pada bulan November 1988, dan dalam usaha untuk memenuhi peningkatan permintaan, pesawat tersebut digantikan pada tahun 2004 dengan dua Airbus A319.
Druk Air mengoperasikan jaringan penerbangan berjadwal kecil di dalam wilayah Asia Tengah dari basisnya di Bandar Udara Paro dan saat ini terdiri dari delapan destinasi di dalam lima negara.
Bhutan telah membawa Rencana Visi 2020, sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dengan sasaran beberapa sektor yang harus dikembangkan, di mana meliputi juga pengembangan jaringan penerbangan internasional pada tahun 2017 yang akan meningkatkan pendapatan dalam pariwisata dari 100% (pada tahun 2012) hingga 150% (2017) yang diiringi dengan penyelesaian Jalan Nasional kedua pada tahun 2017. Negara juga menandatangani beberapa nota kesepahaman dengan pemerintah India, tidak hanya untuk menyesuaikan fasilitas lalu lintas dan operasi penerbangan namun juga untuk membantu Bhutan pada saat situasi darurat dari banjir dan gempa bumi yang mempengaruhi Bandar Udara Paro.
Sejarah
Pada tahun 1968, Indian Border Roads Organisation membangun sebuah landasan pacu di lembah Paro, yang awalnya digunakan untuk operasi helikopter oleh Angkatan Bersenjata India untuk Pemerintah Bhutan. Setelah dipertimbangkan oleh Raja Jigme Singye Wangchuck dan Tshogdu,
Druk Air didirikan dengan Piagam Kerajaan pada 5 April 1981, sepuluh tahun setelah
Druk Gyalpo, Raja Jigme Dorji Wangchuck secara bertahap mulai membuka kerajaan dari isolasi diri, dan tujuh tahun setelah menerima kunjungan warga negara asing pertamanya.
Bandar Udara Paro berlokasi di bagian dalam lembah setinggi 2.235 meter (7.333 ft) di atas permukaan laut, dan dikelilingi oleh pegunungan hingga setinggi 4.900 meter (16.100 ft). Pada saat tersebut, landasan pacunya hanya sepanjang 1.200 meter (3.900 ft), membuat pemerintah Bhutan membutuhkan spesifikasi pesawat secara spesifik untuk memilih pesawat yang dipoerasikan. Mereka membutuhkan pesawat 18–20 tempat duduk dengan kemampuan STOL dan kapasitas operasi dengan penerbangan pada wilayah yang tinggi, kemampuan menanjak yang besar, dan kemampuan bermanuver yang besar. Kebutuhan terbesar adalah pesawat pesawat dapat terbang dengan rute Kolkata – Paro – Kolkata, sebuah perjalanan pulang pergi sejauh 1.200 kilometer (750 mi), tanpa mengisi bahan bakar, karena keterbatasan infrastruktur yang ada di Paro pada saat itu. Tiga pesawat berbeda telah dipertimbangkan saat uji penerbangan di India dan Bhutan antara tahun 1978 dan 1980; namun, tidak satupun yang dinilai tepat.
Sebuah basis operasional dan perawatan sementra dibangun di, pada pertengahan tahun 1981, Pemerintah India membentuk sebuah komite untuk mempelajari kebutuhannya akan pesawat transportasi ringan. Berdasarkan kompetisi ini, pemerintah Bhutan memesan satu Dornier 228-200 untuk dikirimkan pada januari 1983, dengan opsi untuk pesawat kedua pada akhir tahun 1983. Pesawat Dornier 228-200 18 kursi pertama mendarat di Bandar Udara Paro pada 14 Januari 1983, waktu pendaratan, jumlah penumpang, bahkan arak pesawat akan diparkir di apron bandara ditentukan oleh lama Paro Dzong.
Maskapai meresmikan penerbangan berjadwal reguler pada 11 Februari 1983, dengan Penerbangan 101 lepas landas dari Paro menuju Kolkata dan kembali pada hari berikutnya dengan nama Penerbangan 102. Pada empat minggu pertama, penerbangannya dioperasikan tiga kali seminggu, namun setelahnya dioperasikan setiap hari. Pada saat layanan dimulai, Bandar Udara Paro terdiri dari landasan pacu, sebuah bangunan dua ruangan untuk pengendali lalu lintas udara (dengan lantai dasar digunakan sebagai konter cek in) dan sebuah ruang tunggu bandara di halaman. Sebelum pendirian Departemen Penerbangan Sipil Bhutan pada Januari 1986, maskapai bertanggung jawab untuk operasi dan perawata insfrastruktur bandara. Maskapai memulai penerbangan perdana menuju Dhaka di Bangladesh pada 30 Oktober 1986.
= Era jet
=
Pada 30 Desember 1987, sebuah pesanan senilai US$25 juta diberikan kepada British Aerospace untuk pembelian sebuah jet regional. Pembelian pesawat tersebut dibiayai oleh pemerintah, yang memperolehnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah negara, dari pinjaman komersial. Pada tahun 1988, basis operasionalnya dipindahkan dari Kolkata menuju Bandar Udara Paro. Pada 21 November 1988, BAe 146 dikirimkan ke Bandar Udara Paro. Dengan penggunaan dari BAe 146,
Druk Air mampu memperluas jaringannya untuk menghubungkan Paro dengan Delhi pada 26 November 1988, Bangkok pada 28 Januari 1989 dan Kathmandu pada bulan April 1989.
Druk Air juga mempekerjakan tujuh pramugari pertamanya pada tahun 1988 yang dilatih oleh Thai Airways International. Dalam tahun operasi penuh pertamanya dengan BAe 146, maskapai mampu mencapai jumlah penumpang rata-rata sebesar 50-60% kapasitas angkutnya, lebih dari perkiran awal sebesar 40 persen, mengangkut 12,732 penumpang pada periode tahun 1989 – 1990. Pada tahun 1990, landasan pacu di Bandar Udara Paro diperpanjang dari 1.400 meter (4.600 ft) menjadi 2.000 meter (6.600 ft) dan diperkuat untuk menampung pesawat yang lebih berat. Sebuah hangar juga dibangun untuk pesawat, yang dibayai oleh Pemerintah India sebagai bagian dari Rencana Pengembangan Bandar Udara Paro.
Satu-satunya pesawat yang dimiliki maskapai diambil alih oleh
Druk Gyalpo Jigme Singye Wangchuck pada 9 November 1990, untuk memungkinkan raja dan para pejabatnya melakukan perjalanan menuju Tokyo untuk mengikuti pelantikan dari Akihito sebagai Kaisar Jepang. Dari Jepang, Raja kemudian melakukan perjalanan menuju Malé di Maladewa untuk konferensi tingkat tinggi Asosiasi Kerja Sama Regional Asia Selatan antara 21–23 November, dan kembali ke Bhutan supaya pesawat dapat kembali beroperasi pada 25 November. Karena persyaratan yang diberikan oleh pemerintah Bhutan bahwa semua wisatawan asing, dengan pengecualian warga negara India, masuk dan meninggalkan Bhutan melalui jalur udara, industri pariwisata negara sempat terhenti, yang membuat maskapai harus membayar sejumlah denda kepada operator wisata yang tidak puas. Masalah ini kemudian dapat teratasi setelah BAe 146 kedua mulai beroperasi pada tahun 1992, dan pada 11 November 1993, maskapai memperkenalkan 10 kursi kelas eksekutif di dalam pesawat. Pada 13 Mei 1991,
Druk Air diregistrasi di bawah nama Companies Act of Bhutan. Layanan menuju Yangon, ibu kota dari Myanmar, dimulai pada 6 Januari 1997.
Pada tahun 2000–2001,
Druk Air hanya dapat mengoperasikan satu pesawat tunggal selama lebih dari setahun karena korosi yang ditemukan pada tangki pesawat A5-RGD saat dilakukan pemeriksaan di Woodford. Sayap tersebut kemudian diganti. Pada tahun 2002, sebuah RJ70 disewakan secara cepat dari airBaltic untuk menutupi kekurangan karena perawatan A5-RGE.
Druk Air menjadi maskapai perdana yang ditunjuk untuk menerbangkan Avro RJX-85 pada April 2000 saat memberikan pesanan kepada BAE Systems untuk dua pesawat, dengan pengiriman yang awalnya direncanakan pada November 2001 dan Januari 2002. Penundaan pada penerbangan perdana dan sertifikasi dari RJX membuat perkiraan pengiriman kepada
Druk Air diubah hingga sesudah April 2002. BAe Systems kemudian membatalkan Program RJX pada bulan November 2002, karena hanya menerima pesanan dari dua maskapai penerbangan,
Druk Air dan British European. Dengan ancaman tuntutan hukum oleh British European karena pelanggaran kontrak oleh BAE Systems, pembuat pesawat kemudian menawarkan untuk memenuhi pesanan dari
Druk Air, meskipun akhirnya manajemen maskapai memutuskan untuk menolak membeli pesawat, karena potensi permasalahan dengan ketersediaan suku cadang pada masa depan.
Dalam usaha untuk mencari pengganti dari 2 BAe 146s, manajemen
Druk Air memutuskan menampilkan pengajuan dari Airbus, Boeing dan Embraer untuk menentukan kelayakan produk mereka terhadap persyaratan operasional yang ketat dari
Druk Air. Bombardier juga diundang oleh manajemen untuk mempertunjukkan pesawat penumpang regional CRJ900 regional jet, namun, maskapai mendapat saran dari Bombardier bahwa pesawat ersebut tidak akan sesuai bila doperasikan di Paro. Pada bulan Februari 2002, Airbus A319 menjadi pesawat terbesar yang pernah mendarat di bandar udara Paro, saat Airbus mempertunjukkan pesawatnya kepada pihak maskapai. Pada bulan Oktober, Boeing mengundurkan diri dari kompetisi karena tidak mampu menyediakan pesawat yang dapat dipertunjukkan kepada maskapai. Dengan Embraer E-190 yang masih belum terbang, diperkirakan bahwa
Druk Air akan memesan A319. Namun pemerintah memiliki kesulitan memperoleh pembiayaan terhadap pembelian, dan pada bulan Oktober keputusan akhirnya ditunda. Setelah masa jeda yang pendek, pemerintah memerintahkan manajemen untuk memulai evaluasi sekali lagi, dan sebuah Boeing 737–700 melakukan sebelas uji coba penerbangan di Bandar Udara Paro pada bulan Februari 2003, dimana pada saat itu ditunjukkan bawa pesawat memenuhi kebutuhan untuk dapat beroperasi di Paro.
Airbus menandatangani sebuah nota kesepahaman dengan
Druk Air pada bulan Juli 2003 untuk pembelian dua pesawat Airbus A319-115 114 kursi, yang ditenagai oleh dua mesin CFM56-5B, untuk pengiriman pada paruh kedua tahun 2004. Pembelian dari dua jet tersebut, yang bernilai 3,534.36 juta ngultrum Bhutan (BTN), merupakan pembelian tunggal terbesar yang pernah dilakukan oleh Bhutan, dan sangat berperan dalam peningkatan sebesar 250 persen dari defisit perdagangan yang dialami Bhutan sepanjang tahun untuk tahun fiskal 2004–2005. Pemerintah Bhutan mengeluarkan obligasi pemerintah senilai BTN 1,767.18 juta untuk membayar satu pesawat dan untuk kedua kalinya dalam sejarah Bhutan pemerintah membutuhkan pinjaman komersial untuk membeli pesawat kedua. Namun, pada bulan Oktober 2004 diumumkan bahwa pemerintah akan mencari bantuan pinjaman lunak untuk tujuan ini.
Pada 11 November 2003, saat perayaan ulang tahun
Druk Gyalpo Jigme Singye Wangchuck,
Druk Air membuka layanan menuju Gaya, India. Bodh Gaya, 10 kilometer (6 mi) dari Gaya, merupakan situs dari Kuil Mahabodhi dimana Siddhārtha Gautama, Buddha, memperoleh pencerahan, dan 30,000–40,000 warga Bhutanmelakukan ziarah setiap tahun. Para peziarah sebelumnya harus melakukan perjalanan menuju Bodh Gaya melalu perjalanan darat selama 2–3-hari dari perbatasan Bhutan di kota Phuntsholing, dan rencana manajemen dari
Druk Air akan mengalihkan 20–30% dari arus ini, meskipun maskapai masih belum memperoleh keuntungan pada rute ini pada bulan Februari 2006. Pada bulan berikutnya, sebagai bagian dari usaha Angkatan Darat Kerajaan Bhutan untuk mengusir kelompok gerilyawan separatis India dari wilayah Bhutan, umumnya United Liberation Front of Asom dan National Democratic Front of Bodoland, penerbangan menuju Dhaka dihentikan sejak 29 Desember dalam usaha untuk mencegah gerilyawan menggunakan penerbangan
Druk Air untuk melarikan diri ke tempat persembunyian di Bangladesh.
= Era Airbus
=
Airbus A319 pertama tiba di Bhutan pada 19 Oktober 2004; tanggal dipilih setelah saran dari seorang astrolog Buddha untuk memastikan pesawat tiba di Bhutan pada hari yang memberikan keberuntungan sesuai dengan Kalender Buddha. Sebelum memasuki layanan pada penerbangan komersial pada 31 Oktober 2004,
Druk Air membawa A319 mereka untuk penerbangan keliling negara untuk menghormati pengangkatan putra mahkota Jigme Khesar Namgyel Wangchuck menjadi Chhoetse Penlop. Pesawat kedua dikirimkan oleh Airbus kepada
Druk Air pada bulan Desember 2004.
Pada bulan Juli 2005, pemerintah India dan Bhutan menandatangani perjanjian lalu lintas udara yang baru dimana memungkinkan peningkatan jumlah penerbangan mingguan antara kedua negara dari 12 menjadi 49. Sebagai tambahan destinasi yang telah dilayani oleh
Druk Air, kota-kota seperti Mumbai, Chennai dan Guwahati dimasukkan ke dalam perjanjian tersebut, dengan Bhutan mendapat hak kebebasan untuk melanjutkan penerbangan dari beberapa kota India menuju destinasi lain seperti Yangon, Dhaka dan Singapura.
Layanan helikopter domestik diresmikan pada bulan November 2005, sejalan dengan sebuah resolusi yang dilakukan oleh Dewan Kementerian pada bulan April 2001 yang menyatakan bahwa layanan domestik harus diperkenalkan. Tiga puluh heliport di seluruh negara telah teridentifikasi, dan pengenalan layanan tersebut telah memperlihatkan, sebagai contoh, perjalanan sejauh 550 kilometer (340 mi) dari Thimphu menuju Trashigang yang hanya membutuhkan waktu satu jam, dibandingkan dengan perjalanan darat yang membutuhkan waktu dua hingga tiga hari. Helikopter Eurocopter Ecureuil dioperasikan oleh operator Nepal,
Air Dynasty, yang pada Januari 2006 melihat 30 jam layanan, memberikan keuntungan bagi
Druk Air senilai US$3,000.
Penerbangan menuju Dhaka, yang dihentikan sejak 29 Desember 2003, dibuka kembali pada 23 Oktober 2006, dan maskapai mendapat hak untuk terbang menuju Chittagong dan Cox's Bazar oleh otoritas Bangladesh. Maskapai mengumumkan rencana pada bulan Juli 2007 untuk memulai penerbangan berjadwal menuju Mumbai melalui Kathmandu dari bulan Maret 2008, sejalan dengan strategi manajemen dari
Druk Air untuk meningkatkan jumlah wisatawan India yang melakukan perjalanan menuju Bhutan selama musim sepi antara bulan Juni hingga Agustus dan November hingga Februari. Rencana tersebut kemudian ditunda pada bulan Maret 2008, karena Bandar Udara Paro tidak mampu menangani penerbangan malam dan maskapai hanya dapat mendapatkan waktu pendaratan di Bandar Udara Internasional Chhatrapati Shivaji Mumbai pada pukul 3 pagi. Rencana membuka layanan menuju Hong Kong, Singapura, Abu Dhabi, Dubai dan Sharjah juga ditund.
Maskapai memperoleh keuntungan pertamanya pada tahun 2007 senilai BTN 31.15 juta. Dua pesawat BAe 146 dijual kepada Star Perú pada bulan Oktober 2007 senilai US$3.3 juta, dan meninggalkan Bhutan menuju Peru pada bulan November dan Desember 2007.
Druk Gyalpo Jigme Khesar Namgyel Wangchuck pada 11 November 2007 mengeluarkan sebuah dekret kerajaan untuk mendirikan
Druk Holding and Investments Limited, sebuah perusahaan induk yang akan mengatur investasi yang sudah ada dan masa depan dari pemerintah Kerajaan Bhutan. Sebagai haslnya, tujuh badan usaha milik negara, termasuk
Druk Air, kepemilikannya dipindahkan dari Kementerian Keuangan ke perusahaan induk yang baru. Didirikan pada 13 November 2007,
Druk Holding and Investments mengumumkan pada bulan Desember 2007 bahwa industri pariwisata Bhutan sangat bergantung kepada on
Druk Air, kepala agen pemerintah yang membawahi pengembangan pariwisata di Bhutan akan menjadi jajaran pengurus dari
Druk Air, dan akan bertanggung jawab untuk meningkatkan performa dari maskapai nasional.
Meskipun pemerintah Bhutan melakukan banyak hal untuk mencegah pengaruh luar merusak kebudayaan Bhutan,
Druk Air tidak imun dari permasalahan yang berpengaruh terhadap industri penerbangan dan kounitas dunia. Pada bulan Juni 2008, dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak dan kebutuhan untuk mengurangi biaya operasional, maskapai mengurangi rekuensi penerbangan pada jaringannya dan mengumumkan peningkatan tarif untuk menyetarakan dengan peningkatan biaya operasional, dan mengambil keuntungan terhadap harga bahan bakar yang lebih murah di bandara Delhi, Kolkata dan Bangkok. Karena jaringannya yang kecil yang sangat bergantung dengan politik udara terbuka,
Druk Air secara reguler menyewakan pesawatnya dalam jangka waktu pendek kepada maskapai penerbangan lainnya, seperti Myanmar Airways International, Indian Airlines dan Bangkok Airways untuk menjaga frekuensi pemakaian pesawatnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang didapat saat kondisi normal, dan pada saat yang sama, memperoleh pendapatan tambahan.
Maskapai ini akan memulai penerbangan pada 20 April 2009 menuju Bandar Udara Bagdogra di India, namun harus menunda penerbangan perdana karena kurangnya fasilitas imigrasi dan bea cukai di dalam bandara. Penerbangan perdana menuju Bandar Udara Bagdogra meninggalkan Bandar Udara Paro pada 18 Juni 2009. Upacara peresmian dihadiri oleh S. M. Krishna, Menteri Luar Negeri India, dan Lyonpo Ugyen Tshering, Menteri Luar Negeri Bhutan, membuat
Druk Air menjadi maskapai penerbangan internasional pertama yang beroperasi di bandara. Bandara ini juga menghubungkan dengan rute baru menuju Bangkok. Jadwal penerbangan melibatkan penerbangan dari Bandar Udara Paro menuju Bangkok melalui Bagdogra pada hari Kamis dan Sabtu dan dari Bangkok menuju Bhutan pada hari Minggu dan Rabu. Dari Bagdogra penerbangan penghubung aan banyak tersedia ke banyak destinasi. Jarinagn ini diperkenalkan untuk menarik wisatawan lokal dengan biaya yang rendah.
Pengembangan kontemporer
Hingga 23 Agustus 2010
Druk Air merupakan satu-satunya maskapai penerbangan yang terbang ke Bhutan. Maskapai ini merupakan sebuah penyambung hidup bagi penduduk Bhutan, menghubungkan Bhutan dengan dunia luar dan mendukung pariwisata dan pasar eksport yang mulai bertumbuh.
Druk Air sering kali dikritik karena ketidakhandalannya — umumnya oleh industri pariwisata Bhutan yang masih sangat muda dan bergantung kepadanya sehingga menganggap hal ini merupakan ancaman.
Pada bulan Oktober 2009, pemerintah Bhutan merencanakan pengerjaan pembangunan sebuah landasan pacu di Yongphulla. Landasan pacu tersebut, yang diperkirakan akan memiliki panjang 3.900 kaki (1.200 m) dan beroperasi pada bulan Maret 2010, akan memungkinkan layanan oleh pesawat kecil dengan kapasitas 15–16 penumpang. Proyek ini dibiayai dengan anggaran sebesar Nu. 34 juta yang sebelumnya dialokasikan untuk pengembangan penerbangan helikopter domestik. Landasan pacu hanya akan beroperasi pada pagi hari karena angin kencang pada siang hari, membuata operasional menjadi berisiko.
Druk Air sedang melakukan studi kelayakan untuk membuka penerbangan menuju landasan pacu tersebut dari Paro, bersama dengan, dua landasan pacu lainnya yang sedang dibangun di Bathpalathang dann Gelephu.
Pada tahun 2006 pemerintah India yang berperan sebagai perwakilan dari pemerintah Bhutan, melakukan sebuah studi kelayakan untuk membuka sebuah bandar udara internasional di sebelah selatan dari kota Gelephu. Dalam rencana lima tahun (antara tahun 2008–2013) dana senilai BTN 2,826 juta telah disiapkan oleh pemerintah Bhutan untuk mengembangkan badar udara baru. Sebuah survei awal dilakukan oleh India pada bulan Mei 2006 dan tim survei dari Otoritas Bandar Udara India akan kembali dan menyelesaikan survei akhir pada bulan September 2006. Pada bulan Oktober 2008 proyek ersebut dihentikan, dan pemerintah Bhutan memutuskan bahwa bandara Gelephu hanya digunakan untuk penerbangan domestik. Sejak saat itu, pembangunan sebuah bandar udara di Gelephu direncanakan dan akan dimulai pada akhir tahun 2010 dengan bandara yang direncanakan akan beroperasi pada bulan Juni 2011. Departemen Penerbangan Sipil Bhutan telah mengindikasikan bahwa Gelephu akan menjadi bandar udara segala cuaca yang pada masa depan akan mampu menerima beberapa penerbangan internasional.
Di bawah Rencana Visi 2020, Pemerintah Bhutan telah mengidentifikasi kebutuhan untuk mengembangkan jaringan penerbangan pada tahun 2017, dalam usaha untuk meningkatkan pendapatan pariwisata sebesar 100% pada tahun 2012 dan 150% pada tahun 2017.
Druk Air sedang melakukan studi kelayakan untuk membuka penerbangan menuju Hong Kong atau Singapura pada bulan Maret 2011. Manajer komersial maskapai telah menyatakan bahwa studi awal menunjukkan bahwa penerbangan dari Bhutan menuju Singapura umumnya akan terdiri dari penerbangan resmi,sedangkan penerbangan menuju Hong Kong akan menjadi penerbangan komersial, dengan potensi yang bagus untuk perkembangan pariwisata.
Pada 21 April 2010, sebuah pesawat penumpang regional ATR 42 dikirimkan ke Paro dalam kontrak sewa selama sembilan bulan. Pesawat tersebut digunakan untuk penerbangan dari Paro menuju Kolkata dan Kathmandu, dan akan berada dalam kondisi siaga selama penyelenggaraan KTT South Asian Association for Regional Cooperation di Thimphu pada akhir bulan April.
Druk Air mengumumkan rencananya untuk bergabung dengan International
Air Transport Association pada tahun 2009.
Destinasi
Druk Air mengoperaiskan penerbangan berjadwal menuju destinasi sebagai berikut:
Armada
Armada
Druk Air terdiri dari pesawat sebagai berikut (pada September 2012):
Druk Air mulai mengoperasikan Airbus A319-115 sejak 23 Oktober 2004. Airbus kedua datang pada 3 Desember 2004.
ATR 42 pertama dioperasikan dalam penyewaan selama sembilan bulan dari April 2010 yang akan dievaluasi oleh maskapai untuk kemungkinan pembelian pada masa depan. Keputusan Departemen Penerbangan Sipil di mana perusahaan akan mendapat otoritas untuk mengoperasikan rute domestik di Bhutan akan mempengaruhi keputusan pesawat apa yang harus dibeli. Pada 4 Juni 2011, sebuah ATR 42 tiba di Paro.
Druk Air memnggunakan konfigurasi 48 tempat duduk dengan penggunaan pesawat pada rute menuju Bumthang dan Yonphula pada akhir tahun 2011.
Pesawat Airbus A 319-115
Druk Air menyediakan 20 kersi kelas bisnis dan 94 kursi kelas ekonomi.
Seragam
Pada bulan Maret 2008,
Druk Air memperkenalkan seragam baru bagi pramugarinya, yang terdiri dari sebuah kira dan tego. Seragam tersebut diperkenalkan untuk peringatan empat ratus tahun perajaan, dan perayaan tahun perak bagi maskapai. Seragam tersebut diperoleh dari sebuah kompetisi yang diikuti oleh lima perancang busana Bhutan, dengan pemenang memperoleh hadiah sebesar BTN 75,000. Kain yang digunakan untuk seragam baru tersebut dipilih dengan melakukan kompetisi yang secara bersama dilakukan oleh
Druk Air dan United Nations Development Programme untuk mempromosikan industri tekstil Bhutan dan budaya Bhutan.
Referensi
Pranala luar
Drukair official website
Tashi Delek inflight magazine Diarsipkan 2008-12-11 di Wayback Machine.
Druk Air di Twitter