• Source: Eko Setio Budi Wahono
  • Komisaris Polisi (Purn.) Eko Setio Budi Wahono, S.H. merupakan seorang perwira kepolisian yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Sektor Kalibaru dari tahun 2017 hingga 2018 dan Kepala Kepolisian Sektor Cilincing dari tahun 2020 hingga 2021. Ia pensiun dari kepolisian dan berkiprah dalam politik. Pada akhir tahun 2022, Eko terlibat dalam kasus kecelakaan yang menewaskan mahasiswa Universitas Indonesia.


    Karier di kepolisian


    Eko meniti karier di kepolisian selama beberapa tahun hingga ia mencapai pangkat komisaris polisi sekitar pertengahan tahun 2010an. Eko tercatat pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Satuan Patroli Jalan Raya di Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) pada rentang waktu tersebut. Beberapa saat kemudian, Eko dimutasi menjadi Kepala Unit Lalu Lintas di Kepolisian Sektor Metro Kebayoran Baru. Eko kemudian diangkat menjadi Kepala Kepolisian Sektor Kalibaru pada akhir bulan Maret 2017 dan dilantik pada tanggal 21 April 2017. Eko mengakhiri masa jabatannya sebagai Kepolisian Sektor Kalibaru pada akhir bulan Februari 2018 dan dipindahkan ke Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara untuk menjabat sebagai wakil kepala satuan lalu lintas.
    Setelah menjabat sebagai wakil kepala satuan lalu lintas, Eko diangkat menjadi Wakil Kapolsek Metro Penjaringan. Eko mengakhiri masa jabatannya sebagai wakil kapolsek pada tanggal 22 Juli 2019. Dari Jakarta Utara, Eko dipindahkan ke Jakarta Barat dan kembali memegang jabatan sebagai wakil kepala satuan lalu lintas di Jakarta Barat.
    Eko kembali memegang jabatan kapolsek pada tanggal 17 November 2020 dengan pelantikannya sebagai Kapolsek Cilincing. Beberapa saat setelah dilantik, Eko melakukan kunjungan ke sejumlah organisasi masyarakat dan institusi pemerintahan, seperti Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta, Pasukan Marinir 1, Forum Betawi Rempug, pimpinan Kelurahan Rorotan, dan tokoh agama di wilayah Cilincing.

    Sebagai Kapolsek Cilincing, Eko memimpin upaya penanganan pandemi COVID-19 di wilayahnya. Satu bulan setelah dilantik, Eko memerintahkan penyemprotan disinfektan pada markas kepolisian sektor. Di bulan yang sama, Eko juga memimpin pelaksanaan operasi pembubaran kerumunan untuk mencegah penyebaran COVID-19 di sejumlah wilayah di Cilincing. Eko mengakhiri masa jabatannya sebagai Kapolsek Cilincing pada tanggal 22 Juni 2021 dan digantikan oleh Komisaris Polisi Slamet Riyadi.
    Usai mengakhiri masa jabatannya sebagai Kapolsek, Eko diangkat menjadi Wakil Kepala Satuan Pembinaan Masyarakat di Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat. Pada akhir tahun 2021, Eko diangkat menjadi Kepala Seksi Kecelakaan di Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jakarta. Selama masa jabatannya yang singkat sebagai kepala seksi, Eko menangani sejumlah kasus kecelakaan di lingkungan Jakarta, seperti mobil anggota TNI yang terguling di Tol Semanggi pada bulan September 2021 dan kecelakaan antara dua bus TransJakarta yang saling menabrak pada bulan Oktober 2021. Eko digantikan dari jabatannya sebagai kepala seksi pada bulan Februari 2022 dan pensiun dari kepolisian dengan pangkat komisaris polisi.


    Masa pensiun




    = Karier politik

    =
    Setelah pensiun dari kepolisian, Eko bergabung dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Pada bulan Mei 2022, Eko dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dari Daerah Pemilihan Jakarta 3 yang meliputi kecamatan Cilincing, Koja, dan Kelapa Gading. Pasca terjadinya peristiwa kematian Mohammad Hasya Athallah Saputra, Gerindra membatalkan pendaftaran Eko sebagai kader partai dan calon legislatif.


    = Kasus kematian Mohammad Hasya Athallah Saputra

    =

    Pada tanggal 6 Oktober 2022, Eko terlibat dalam kecelakaan di Jalan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, yang menewaskan Mohammad Hasya Athallah Saputra, seorang mahasiswa semester pertama jurusan sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Menurut kuasa hukum Hasya, Eko melindas Hasya hingga tewas setelah Hasya tergelincir dari motornya akibat keadaan jalan yang licin. Eko menolak untuk membawa Hasya ke rumah sakit untuk diobati, sehingga Hasya kehabisan darah dan akhirnya meninggal di rumah sakit. Hasya dimakamkan sehari setelah kejadian tersebut. Satu minggu setelah kejadian, orang tua Hasya melaporkan kejadian tersebut kepada Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Meskipun laporan ini diterima oleh polisi, laporan ini diabaikan oleh polisi dan polisi membuat laporan sendiri terkait dengan kejadian tersebut.
    Polisi mulai menyelidiki kasus ini pada akhir bulan November 2022. Selama proses investigasi, keluarga Hasya mengaku memperoleh ancaman dari orang tak dikenal yang diduga dikerahkan oleh polisi. Sejumlah petinggi polisi berupaya untuk memaksa agar orangtua Hasya menghentikan proses hukum yang berlaku karena "posisi anak ibu [Hasya] yang sudah sangat lemah", namun ditolak. Satu bulan setelah proses penyelidikan dimulai, orangtua Hasya dipertemukan dengan pihak kepolisian, namun kuasa hukumnya tidak diperbolehkan untuk mendampingi orangtuanya. Pada kesempatan lainnya, ketika orangtua Hasya bertemu dengan Eko, Eko berdiri dan menjawab, “Saya yang menabrak, Saya yang melindas anak bapak. Bapak mau apa?”
    Setelah menjalani proses penyelidikan selama beberapa bulan, pada tanggal 17 Januari 2023 polisi mengirim surat ke orangtua Hasya. Surat tersebut menetapkan Hasya sebagai tersangka dalam kasus kematiannya, sedangkan Eko dtetapkan tidak bersalah dan kasus kecelakaan dikategorikan ke dalam kecelakaan tunggal. Polisi kemudian mengadakan konferensi pers pada tanggal 27 Januari dan menyatakan bahwa pihak kepolisian telah melakukan gelar perkara tiga kali dengan melibatkan pakar dan pimpinan kepolisian daerah. Menurut pihak kepolisian, mobil yang dimiliki oleh Eko melaju dengan normal, sedangkan Hasya mengendarai motornya dengan sangat cepat di tengah hujan sehingga tubuhnya terpelanting ke sisi kanan jalan. Hasya dianggap "lalai dalam berkendara" dan "membahayakan nyawa orang lain". Kasus ini kemudian ditutup oleh kepolisian karena Hasya yang sudah meninggal.
    Penetapan Hasya sebagai tersangka dalam kasus kematiannya sendiri dikritik oleh berbagai pihak. Wakil Ketua Partai Gerindra Fadli Zon mendorong keluarga Hasya untuk memperoleh keadilan, sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Habiburokhman mempertanyakan penetapan tersebut dan mengusulkan pencabutan status tersangka. Tanggapan serupa juga dilontarkan oleh lembaga pengamat kepolisian. Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso, menganggap bahwa pemberian status tersangka kepada Hasya merupakan upaya kepolisian untuk menenangkan Eko dan menuntut agar polisi transparan dalam mengusut kasus kematian Hasya. Hasil penyelidikan independen yang dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyatakan bahwa Hasya tidak memenuhi ketentuan untuk dijadikan sebagai tersangka. Dari kalangan Universitas Indonesia, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Melkisedek Huang, mengecam keputusan kepolisian dan membandingkannya dengan kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat. Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) memberikan bantuan hukum kepada keluarga Hasya dan mempersiapkan upaya praperadilan untuk menghadapi tuntutan kepolisian.


    Kehidupan pribadi


    Eko menikah dengan Telly Bahute, seorang perwira polisi yang saat ini telah pensiun dengan pangkat ajun komisaris besar polisi. Salah seorang anak mereka, Theodorus Echeal Setiyawan, merupakan perwira polisi lulusan Akademi Kepolisian. Setiyawan menikah dengan Grace Veronica Sompie, anak dari mantan Direktur Jenderal Imigrasi Ronny F. Sompie, pada tahun 2018.
    Eko merupakan penganut agama Katolik.


    Tanda jasa


    Berikut ini adalah daftar satyalancana dan bintang yang diperolehnya:


    Catatan




    Referensi

Kata Kunci Pencarian: