Ganti Sirap adalah upacara adat yang ada di Cirebon, tepatnya di daerah desa Trusmi, Kecamatan Plered. Selain
Ganti Sirap, upacara ini juga memiliki nama lain buka
Sirap. Sesuai namanya, acara utama dari upacara
Ganti Sirap adalah penggantian
Sirap (atap kayu) dari bangunan yang ada di dalam Kompleks Kabuyutan Trusmi. Upacara ini awalnya dihelat setiap delapan tahun sekali, namun kini telah diubah menjadi empat tahun sekali. Di desa Trusmi,
Ganti Sirap hanyalah salah satu dari beberapa aktivitas budaya yang dilakukan secara turun-temurun di karena di daerah tersebut dikenal beberapa beberapa tradisi lain yang rutin dilakukan oleh masyarakat. Selain
Ganti Sirap, upacara lain yang dikenal di desa Trusmi di antaranya muludan, ruwahan, syawalan, saparan, dan suroan.
Upacara
Ganti Sirap merupakan bagian dari tradisi memayu. Dalam memayu, selain
Ganti Sirap ada pula upacara lain yaitu
Ganti welit yang mana keduanya tidak berbeda jauh dalam hal praktik. Keduanya sama-sama menyuguhan prosesi penggantian atap bangunan di Kompleks Kabuyutan Trusmi. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada objek atap yang diganti. Jika
Ganti Sirap adalah mengganti atap bangunan Kompleks Kabuyutan Trusmi dengan material yang terbuat dari kayu jati,
Ganti welit adalah mengganti atap bangunan yang terbuat dari alang-alang daun rumbia. Kedua upacara tersebut juga diiringi dengan acara lain seperti karnaval atau kirab budaya dan tahlilan. Perayaan karnaval ini biasanya digelar sehari sebelum pelaksanaan acara memayu yang bertujuan untuk mengekspresikan rasa bahagia masyarakat desa Trusmi khususnya sehubungan akan datangnya musim hujan. Diyakini, partisipasi masyarakat dalam karnaval tersebut dapat membawa rezeki bagi usaha atau bisnisnya.
Kompleks Kabuyutan Trusmi tempat upacara ini digelar adalah sebuah situs perziarahan dengan masjid dan area makam yang di dalamnya termasuk makam Ki Buyut Trusmi serta ruang kuncen dan penyimpanan pusaka. Kemudian ada pula watu pendadaran, kompleks bangunan witana alias bangunan yang diyakini dibangun oleh Walangsungsang, juga tempat berwudhu yang disebut pekulana. Kompleks ini menyandang nilai sakral yang terkandung dalam punden Ki Buyut Trusmi yang sekaligus menjadi cikal-bakal Desa Trusmi. Di Kompleks Kabuyutan Trusmi, bangunan-bangunan yang ada memang sebagian memiliki atap
Sirap dan sebagian lainnya dinaungi atap welit. Bangunan yang beratap
Sirap adalah witana, masjid, penyekaran, pesujudan, dan paseban. Sementara itu, atap welit ada pada bangunan pewadonan, pekuncen, dan dua jinem.
Beberapa bangunan juga ditujukan sebagai bagian dari fasilitas untuk peziarah yang datang berkunjung, contohnya tempat persitirahatan peziarah yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Tempat istirahat peziarah laki-laki disebut jinen, sedangkan untuk peziarah perempuan adalah pawadonan. Untuk keperluan pelayanan dari kuncen untuk peziarah, beberapa tempat khusus pun tersedia seperti pendopo, bale besar atau paseban, bale sepuh, dan bale kuncen.
Untuk pengelolaan, Kompleks Kabuyutan Trusmi diurus oleh 17 orang. Dari 17 orang tersebut, 9 orang memegang posisi kuncen, yaitu 1 kepala kuncen, 4 kyai sepuh, dan 4 kyai muda. Kemudian 8 orang sisanya adalah 4 kaum dan 4 kemit. Setiap pihak memiliki tugas masing-masing seperti kaum yang bertugas mengurus masjid dan kemit yang tugasnya adalah memelihata makam. Pembagian pengurus dalam jumlah yang dtetapkan pun memiliki makna di baliknya, 17 orang melambangkan jumlah rakaat dalam ibadah salat selama sehari, sementara itu 9 kuncen menyimbolkan wali songo.
Fungsi dan tujuan
Seperti diketahui sebelumnya,
Ganti Sirap dilakukan dengan mengganti atap bangunan-bangunan di desa Trusmi. Hal ini dilakukan sebagai pengingat akan kontribusi Ki Buyut Trusmi dari masa lampau. Tujuan lain dari
Ganti Sirap adalah mempersiapkan diri menjelang datangnya musim penghujan dengan melakukan sedekah bumi sebelum memasuki masa tanam. Dengan upacara ini, masyarakat memiliki harapan agar hasil panen yang akan didapat bisa melimpah jumlahnya. Singkatnya,
Ganti Sirap adalah bagian dari perwujudan dari rasa syukur terhadap nikmat tuhan yang disalurkan melalui memayu. Terlebih, masyarakat Cirebon memang memiliki tradisi untuk menyambut musim hujan dengan suka-cita.
Penjelasan mengenai apa fungsi dan tujuan dari
Ganti Sirap yang lebih detil diuraikan oleh Neneng Lestari dalam tulisan berjudul Tradisi Upacara Memayu dan Ider-deran Trusmi Kabupaten Cirebon Jawa Barat yang diterbitan oleh Jurnal Thaqafiyyat. Tulisan ini memberi penjelasan mengenai tradisi memayu selaku acara besar di mana
Ganti Sirap menjadi bagian di dalamnya. Dijelaskan bahwa memayu, termasuk
Ganti Sirap dan
Ganti welit, merupakan wujud penghormatan terhadap jasa leluhur yang telah memperkenalkan Agama Islam ke masyarakat serta kemampuan membatik dan bercocok tanam yang bermanfaat.
Tradisi memayu, termasuk
Ganti Sirap di dalamnya, dianggap sebagai pengukuh solidaritas, kebersamaan, kerja sama, kekompakan, dan semangat gotong royong. Dengan demikian, masyarakat diikat oleh sebuah budaya lokal. Secara fungsi, menurut Neneng Lestari, dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fungsi keagamaan, sosial-budaya, dan ekonomi. Fungsi keagamaan tercermin dari adanya praktik-praktik ritual bernuansa religius seperti pembacaan doa-doa, serta dzikir. Kemudian fungsi sosial-budaya terlihat dari bagaimana intergrasi masyarakat ke dalam kesatuan bisa semakin kuat berhubung segala kegiatan, termasuk penggantian
Sirap, dilakukan secara bersama-sama. Sementara itu secara ekonomi, adanya upacara seperti
Ganti Sirap dapat menjadi ajang promosi hasil produksi setempat sekaligus menggerakan perekonomian masyarakat.
Asal-usul
Asal-usul upacara
Ganti Sirap dapat ditarik kembali ke masa berabad-abad silam bersama dengan mulai munculnya tradisi memayu. Dalam sejarah disebutkan bahwa memayu sudah dilakukan sejak tahun 1615, bahkan ada pula yang menyebut tradisi tersebut sudah ada sejak abad kesembilan. Sumber lain menyebut bahwa memayu sudah ada pada sekitar tahun 1800-an di mana
Ganti Sirap adalah salah satu upacara di dalamnya. Saat itu,
Ganti Sirap dilakukan di area situs makan Ki Buyut Trusmi.
Asal-usul upacara ini memang berkaitan erat dengan kiprah sosok Ki Buyut Trusmi dan perkembangan desa Trusmi sejak masa lampau. Ki Buyut Trusmi adalah orang yang berperan dalam penyebaran agama Islam di desa Trusmi bersama dengan Sunan Gunung Jati. Di samping menyebaran agama, Ki Buyut Trusmi juga mengajarkan keterampilan membuat batik kepada penduduk lokal. Berkat ilmu membatik yang didapat masyarakat dari Ki Buyut Trusmi, desa itu akhirnya terus tumbuh sebagai sentra batik Cirebon.
Memasuki era 1900-an saat kriya batik menjamu di Desa Trusmi,
Ganti Sirap beserta perayaan memayu secara keseluruhan terus dilakukan dengan disertai arak-arakan atau biasa disebut juga ider-ideran. Kala itu arka-arakan digunakan sebagai penyemarak acara sehari sebelum
Ganti Sirap dilakukan.
Terdapat keyakinan yang dipegang masyarakat bahwa Ki Buyut Trusmi memiliki pesan kepada para anak-cucunya agar bisa terus berkumpul dan saling bersilaturahmi satu sama lain. Upacara
Ganti Sirap inilah yang kemudian menjadi sarana berkumpul masyarakat guna memenuhi wasiat Ki Buyut Trusmi.
Prosesi upacara
Persiapan untuk upacara
Ganti Sirap sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Sejak tahun sebelumnya, masyarakat menentukan tanggal pasti pelaksanaan
Ganti Sirap melalui rembugan yang juga dihadiri tokoh-tokoh masyarakat setempat di witana. Satu malam sebelum
Sirap lama dibuka, diadakan acara tahlilan disertai kesenian shalawat brai yang menggunakan alat musik gembyang, kendang dan kecrek.
Bagaimana rangkaian prosesi
Ganti Sirap pernah tercatat dengan baik dalam Prosiding Seminar Nasional Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara yang dihelat di Bali pada tahun 2013. Prosiding itu menguraikan tahapan prosesi
Ganti Sirap yang digelar pada 26 Juli hingga 2 Agustus 2010. Pada hari pertama, enam orang kyai sepuh berpakaian putih-putih melakukan pengangkatan terhadap memolo atap bangunan sebelum dipasang dengan yang baru. Tahap ini dilakukan mulai sejak pagi hingga selesai pada siang harinya. Selama proses penurunan atap, para pengobeng (pekerja batik) telah menunggu untuk menerima atap tersebut. Oleh sebagian pengunjung upacara,
Sirap lama yang diturunkan menjadi perhatian karena dianggap memiliki tuah hingga menjadi rebutan. Selama penggantian
Sirap berlangsung, masyarakat setempat akan mengalirkan sumbangan dalam berbagai bentuk baik itu tenaga, makanan, maupun uang.
Butuh waktu cukup lama untuk menyediakan
Sirap yang siap dipakai dalam upacara
Ganti Sirap, dimulai dari melakukan pemilihan kayu hingga pengolahannya. Pembuatan
Sirap secara swadaya oleh masyarakat bisa membutuhkan waktu hingga empat tahun. Lamanya pembuatan
Sirap ini dikarenakan prosesnya yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan dana yang tersedia. Di sisi lain, jumlah tenaga pekerja yang dibutuhkan adalah sekitar 20 hingga 50 orang yang sifatnya sukarela.
Menurut laporan media massa, biaya untuk penyediaan
Sirap yang digunakan dalam upacara
Ganti Sirap pada tahun 2018 mencapai Rp 2,4 miliar. Untuk memenuhi kebutuhan dana untuk keperluan penyediaan
Sirap itu, diandalkan uang dari hasil urunan warga yang besarnya antara Rp 10 hingga 20 ribu setiap pekan.
Pembongkaran
Sirap lama berlanjut hingga hari kedua. Selama hari-hari berikutnya, barulah atap
Sirap yang baru dipasang. Jika upacara sudah memasuki hari terakhir, dilakukan penurunan memolo kembali untuk menutup nok atau bubungannya. Penutupan nok ini sekaligus menandai selesainya proses pergantian
Sirap. Proses penggantian
Sirap diawali diakhiri di tempat yang sama, yaitu makam. Pentingnya makam bagi Kompleks Kabuyutan Trusmi juga tersimbolkan dalam prosesi penggantian atap
Sirap. Prosesi ini diawali dan diakhiri di makam. Ini bermakna bahwa makam adalah tempat keramat yang penting dan diyakini memiliki kekuatan supranatural tertentu. Karena posisi penting ini pula pihak yang boleh naik ke atas atap makam hanyalah para kuncen. Selesai mengganti
Sirap juga tidak berarti prosesi upacara juga berakhir karena masih ada acara lagi yang perlu digelar, yaitu selametan.
Referensi