Gereja Raya (bahasa Latin: Ecclesia Magna) adalah istilah yang digunakan di dalam historiografi Kristen perdana sebagai sebutan bagi
Gereja pada kurun waktu tahun 180 sampai tahun 313, yakni jangka waktu antara agama Kristen purba sampai dengan legalisasi agama Kristen di Kekaisaran Romawi, kurang lebih sama dengan kurun waktu yang sekarang disebut zaman Ante-Nikea. "Tidak salah jika zaman itu disebut zaman
Gereja Raya, menilik angka pertumbuhan
Gereja, perkembangan konstitusionalnya, dan aktivitas teologisnya yang intens."
Gereja Raya juga didefinisikan sebagai "
Gereja yang dibela tokoh-tokoh seperti Ignasius dari Antiokhia, Ireneus dari Lyons, Siprianus dari Kartago, dan Origenes dari Aleksandria, serta disifatkan sebagai
Gereja yang menganut satu ajaran tunggal dan memelihara persatuan segenap anggotanya sekaligus menentang perpecahan sempalan-sempalan, misalnya gnostisisme, dan bidat-bidat".
Pada permulaan abad ke-4,
Gereja Raya, yang sekarang ini diistilahkan pula sebagai
Gereja katolik (semesta) atau
Gereja yang am, sudah mencakup 15% populasi Kekaisaran Romawi, dan sudah siap dari segi jumlah maupun struktur untuk menjalani peran selaku
Gereja negara, sampai akhirnya resmi menjadi
Gereja Negara Kekaisaran Romawi pada tahun 380. Meskipun demikian, kiranya keliru untuk "terlampau menonjolkan tampilan-tampilan lahiriah baru dari
Gereja sehingga menyepelekan kesinambungan historisnya".
Gereja dengan tampilan-tampilan lahiriah baru tersebut masih
Gereja yang sama dengan
Gereja Purba.
Roger F. Olson mengemukakan bahwa "menurut catatan sejarah teologi Kristen yang disusun
Gereja Katolik,
Gereja Raya yang bersifat katolik sekaligus ortodoks bertahan hidup di belahan Dunia Barat dari zaman para rasul sampai sekarang ini, dan semua uskup yang masih bersatu dengan Uskup Roma merupakan hierarkinya", atau seperti yang dikemukakan sendiri oleh
Gereja Katolik, "
Gereja ini, yang dibentuk dan ditata di dunia sebagai sebuah paguyuban, berada di dalam
Gereja Katolik, yang dipimpin pengganti Petrus bersama uskup-uskup yang bersatu dengannya, sekalipun ada banyak unsur pengudusan dan kebenaran yang dapat ditemukan di luar struktur lahiriahnya."
Kesinambungan
Gereja Raya yang tanpa jeda juga dibenarkan
Gereja Ortodoks Timur. "
Gereja Ortodoks berpandangan bahwa
Gereja Raya pada Abad Kuno (hampir sepanjang milenium pertama) terdiri atas jagat Ortodoks Timur (kebatrikan-kebatrikan Bizantin yang dikepalai Imam Besar
Gereja Konstantinopel beserta
Gereja-
Gereja Ortodoks Slavi) di satu sisi, dan
Gereja Katolik Barat yang dipimpin Imam Besar
Gereja Roma di sisi lain."
Kemunculan
Lawrence S. Cunningham maupun James Kugel dan Rowan A. Greer secara terpisah mengemukakan bahwa pernyataan Ireneus di dalam Melawan Bidat-Bidat Bab X, 1–2 (ditulis ca. tahun 180) adalah keterangan tertulis pertama tentang eksistensi suatu "
Gereja katolik" dengan seperangkat keyakinan pokok anutan bersama, bertolak belakang dengan kelompok-kelompok pembangkang yang menganut beragam ajaran. Pernyataan tersebut adalah sebagai berikut:
Gereja, sekalipun terserak ke seluruh dunia, bahkan sampai ke ujung-ujung bumi, sudah menerima iman ini dari para rasul dan murid-murid mereka, ... Seperti yang saya kemukakan sebelumnya,
Gereja, sesudah menerima pewartaan dan iman ini, sekalipun terserak ke seluruh dunia, tetapi seakan-akan masih tinggal seatap, secara saksama melestarikannya. ... Karena
Gereja-
Gereja yang sudah bertapak di Jerman tidak meyakini maupun meneruskan apa-apa yang lain,
Gereja-
Gereja di Spanyol pun tidak,
Gereja-
Gereja di Galia pun tidak,
Gereja-
Gereja di Timur pun tidak,
Gereja-
Gereja di Mesir pun tidak,
Gereja-
Gereja di Libya pun tidak,
Gereja-
Gereja yang sudah terbentuk di daerah-daerah pusat dunia pun tidak. Namun sebagaimana Sang Putra, makhluk Allah itu, adalah satu dan sama di seluruh dunia, demikianlah pewartaan kebenaran bersinar di mana-mana, dan menerangi semua orang yang rela datang kepada pengetahuan akan kebenaran.
Menurut Lawrence S. Cunningham, ada dua pokok pikiran penting dalam karya tulis Ireneus yang patut dicermati. Yang pertama adalah Ireneus membedakan "
Gereja" tunggal dari "
Gereja-
Gereja" jamak. Yang kedua sekaligus yang lebih penting adalah Ireneus berpendirian bahwa hanya di dalam
Gereja tunggal yang lebih besar sajalah orang dapat menemukan kebenaran yang diwariskan para rasul Kristus.
Pada permulaan abad ke-3,
Gereja Raya yang diwacanakan Ireneus dan Kelsos di dalam karya tulis mereka sudah menyebar ke banyak kawasan penting di dunia, dan sebagian besar anggotanya berdiam di kota-kota (baca artikel Pusat-pusat awal Kekristenan). Angka pertumbuhan
Gereja tidak seragam di seluruh dunia. Menurut Tawarikh Arbela, jumlah seluruh uskup di negara Persia pada tahun 225 Masehi adalah 20 orang, padahal sekitar masa yang sama ada 60 orang uskup di daerah-daerah sekitar kota Roma.
Gereja Raya pada abad ke-3 tidaklah monolitis, karena merupakan suatu jaringan
Gereja-
Gereja lintas zona budaya yang saling terhubung lewat jalur-jalur komunikasi yang adakalanya mencakup hubungan-hubungan komunikasi antarpribadi.
Gereja Raya bertumbuh pada abad ke-2 dan memasuki abad ke-3 di dua negara besar, yakni Kekaisaran Romawi dan Kekaisaran Persia, dengan jaringan kerja sama para uskup selaku unsur perekat lintas zona budaya. Pada tahun 313, Maklumat Milan mengakhiri persekusi terhadap umat Kristen. Pada tahun 380,
Gereja Raya sudah mengumpulkan cukup banyak pengikut sehingga layak dijadikan
Gereja Negara Kekaisaran Romawi melalui Maklumat Tesalonika.
Keterangan historis
Di dalam Contra Celsum bagian 5.59 dan 5.61, Bapa
Gereja Origenes menyinggung tentang istilah "
Gereja khalayak ramai" atau "
Gereja Raya" yang dipakai filsuf Kelsos jelang akhir abad ke-2 untuk merujuk kepada tradisi-tradisi mufakat yang muncul di kalangan umat Kristen pada masa itu, manakala Kekristenan sedang terbentuk.
Pada abad ke-4, dalam ulasan Mazmur 22 yang ditulisnya, Santo Agustinus menafsirkan bahwa "
Gereja Raya" bermakna seluruh dunia. "Apakah
Gereja Raya itu, Saudara-Saudara? Apakah sejengkal bumi itu
Gereja Raya?
Gereja Raya berarti seluruh dunia," demikian tulisnya. Santo Agustinus memaparkan lebih lanjut bahwa semua
Gereja menganggap dirinya "
Gereja Raya," tetapi seluruh dunia sajalah yang dapat dipandang sebagai
Gereja Raya.
Penguatan teologi dan perpecahan
Konsep-konsep teologis yang penting dikembangkan pada zaman
Gereja Raya. Konsep-konsep inilah yang sekarang menjadi kerangka dari berbagai keyakinan religius sebagian besar umat Kristen.
Dengan berlandaskan Kitab Suci, mistisisme yang sedang marak, dan ketakwaan yang merakyat, Ireneus membakukan sejumlah sifat Allah. Di dalam Melawan Bidat-Bidat Jilid IV Bab 19, Ireneus mengemukakan bahwa "Kebesaran-Nya tidak kekurangan apa-apa, malah menampung segala sesuatu." Di dalam Melawan Bidat-Bidat Jilid I Bab X, Ireneus mengungkit pula penggunaan rumusan lama "Bapa, Putra, dan Roh Kudus" sebagai bagian dari syahadat Kristen sebagai berikut:
Gereja ... percaya akan satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta langit, bumi, dan samudra, beserta segala isinya; dan akan satu Kristus Yesus, Putra Allah, yang menjelma menjadi manusia demi keselamatan kita; dan akan Roh Kudus.
Sekitar tahun 213, di dalam Adversus Praxeas Bab 3, Tertulianus memaparkan suatu representasi formal dari konsep Tritunggal, bahwasanya Allah wujud sebagai satu "hakikat" tetapi memiliki tiga "Pribadi", yakni Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Tertulianus juga membahas tentang bagaimana Roh Kudus keluar dari Bapa dan Putra. Unsur-unsur tersebut kemudian hari dibakukan Konsili Nikea I tahun 325 dan Konsili Konstantinopel I tahun 381.
Pada tahun 451, segenap uskup
Gereja Raya diperintahkan menghadiri Konsili Kalsedon untuk memusyawarahkan isu-isu teologis yang mengemuka ketika itu. Konsili ini malah menjadi pangkal perpecahan
Gereja Barat dan
Gereja Timur akibat perbedaan-perbedaan Kristologis yang tampaknya sepele, dan menjadi awal terbelahnya klaim kedua belah pihak atas istilah "
Gereja Raya".
Teori-teori modern mengenai pembentukan Gereja Raya
Penulis-penulis Katolik maupun penulis-penulis lain kadang-kadang mengetengahkan pandangan bahwa konsep "
Gereja Raya" sudah mengemuka di dalam surat-surat Paulus, misalnya kalimat "inilah ketetapan yang kuberikan kepada semua jemaat" (1 Korintus 7:17), dan di dalam karya-karya tulis para Bapa Apostolik, misalnya surat Ignasius dari Antiokhia. Ilmu eksegesis bahkan mendapati pemakaian frasa ecclesia magna di dalam Alkitab Vulgata sebagai terjemahan frasa kahal rab (jemaah besar) di dalam Alkitab Ibrani (Mazmur 26:12). Tafsir yang sama juga dikemukakan Paus Benediktus XVI dan Martin Luther.
Dennis Minns (2010) berpandangan bahwa konsep "
Gereja Raya" dikembangkan para heresiolog polemikus seperti Ireneus. Presentasi kesatuan dan ortodoksi umat Kristen perdana (baca artikel Kekristenan proto-ortodoks) dan kontra presentasi kelompok-kelompok seperti sempalan-sempalan yang dilabeli "Gnostis" yang dikemukakan para heresiolog terdahulu seperti Ireneus sekarang ini dipertanyakan para sejarawan.
Roger E. Olson (1999) menggunakan istilah "
Gereja Raya" sebagai sebutan bagi
Gereja zaman Konsili Kalsedon tahun 451, manakala Batrik Konstantinopel dan Uskup Roma masih menjalin persekutuan satu sama lain.
= Ditandingkan dengan "Kristen Yahudi"
=
Istilah ini ditandingkan dengan "umat Kristen Yahudi", yang kian lama kian jelas terpisah dari
Gereja Raya. Wilhelm Schneemelcher dan sarjana-sarjana lain yang menulis tentang Apokrip Perjanjian Baru membedakannya dari karya-karya tulis yang dihasilkan
Gereja Raya.
Gabriele Waste (2005) adalah salah seorang sarjana Jerman yang menggunakan sebutan-sebutan serupa. "Große Kirche" (
Gereja Raya) ia definisikan sebagai "Ecclesia ex gentibus" (
Gereja bangsa-bangsa lain) yang ditandingkan dengan "Ecclesia ex circumcisione" (
Gereja kaum bersunat).
Di kalangan sarjana penutur bahasa Inggris, Bruce J. Malina (1976) menandingkan apa yang ia sebut "Yahudi Kristen" (jamak diistilahkan sebagai "Kristen Yahudi") dengan "Kekristenan yang dipandang ortodoks secara historis, yang memperkuat ideologi
Gereja Raya yang baru tumbuh."
Di kalangan sarjana penutur bahasa Prancis, istilah "Grande Église" (bahasa Latin: Ecclesia Magna) juga sudah disamakan dengan unsur-unsur
Gereja Perdana yang "lebih teryunanisasi", bertolak belakang dengan unsur-unsur
Gereja Perdana yang "teryahudisasi", sementara Pemberontakan Bar Kokhba dipandang sebagai tahap definitif dalam perpisahan antara unsur Yahudi dan unsur Kristen "Grande Église". Sarjana-sarjana yang menitikberatkan pandangan biner mengenai Kekristenan perdana semacam ini antara lain adalah Simon Claude Mimouni dan François Blanchetière.
Baca juga
Empat Bapa Besar
Gereja
Zaman Ante-Nikea
Kristen Ortodoks-Perdana
Referensi