- Source: Getah sundi
Getah sundi, payena atau getah sontek (Payena leerii) adalah tumbuhan industri yang masih berkerabat dengan getah perca (Palaquium sp.) dan masuk famili Sapotaceae, yang berarti ia juga masih berkerabat dengan sawo manila.
Di Indonesia, getah sundi dikenal dengan nama-nama seperti sundik, suntik (M.); mayang sondèk (Sumut); balam bunga tanjung, b. pipis, nyatoh bunga běring, ny. b. sundai/suntai (tenggara Kalimantan); balam kějal, b. tanjung, b. tanduk, b. cabé (Palembang); balam kaliangung (Lampung); kulan (Bangka); kulan, puting (Kalbar) dan; běringing (Kalsel dan Kaltara).
Deskripsi
Getah sundi merupakan sejenis pohon yang tingginya 20-38 m dan garis tengahnya batangnya 45-70 cm. Daunnya bundar telur lebar, yang muda berbulu halus. Tersusun dengan berselang-seling, dan berjumlah majemuk. Malainya kecil, putih, menyendiri atau berkelompok, muncul di ranting, kadang-kadang di ketiak batang. Tangkai bunga (pedicel) 1-1,5 cm. Bunganya sendiri berkelamin dan berukuran hanya sekitar 0,5 cm. Daun kelopak (sepal) dan daun mahkota (petal) juga kecil. Daun mahkota panjangnya 2 mm, dengan tabung yang pendek, gundul, dan berwarna putih-kekuningan. Benang sari berjumlah 16, yang disertai pula dengan 1 putik yang panjangnya 6–8 mm. Buahnya tergolong buah buni (buah berry), kuning, bulat telur, dapat dimakan seperti sawo. Bentuknya kerucut, dengan dasar buah agak lebar. Ukurannya 2,5–5 cm × 1-2,5 cm, dan hanya berbiji tunggal. Bijinya hitam, mengandung 3,5-4,5% minyak dan kayunya snediri berwarna coklat muda.
Persebaran & habitat
Payena leerii berasal dari Burma dan Malaysia barat. Di Jawa Barat, tumbuhan ini dibudidayakan dengan Palaquium gutta di Cipetir, Sukabumi pada ketinggain 600 mdpl sebagai penghasil getah perca. Tempat tumbuhnya berkisar dari pantai hingga pegunungan. Terdapat pula di Sumatra, Semenanjung Malaya, Riau, Bangka Belitung, Kalimantan, dan Filipina. Terdapat pula di Amerika Selatan dan jarang ditemui di Afrika. Kemungkinan juga tumbuh di Maluku.
Kegunaan & manfaat
= Buah, daun, & getah
=Buah getah sundi dapat dimakan, dan berbau seperti sawo manila. Bijinya yang berminyak itu, diketahui mengandung saponin yang beracun. Adapun, minyak dari biji buah getah sundi ini belumlah jelas. Kayunya berwarna coklat muda, agak keras dan berat. Menurut Karel Heyne, dia mendapat kabar dari Sumatra bahwa kayu ini lumayan berkualitas bagus. Kayu ini juga dipakai untuk membangun rumah. Buahnya yang berwarna cerah, mungkin dapat menjadi daya tarik apabila diperdagangkan.
Mengenai kemampuan getah sundi sebagai tumbuhan penghasil getah perca, getah yang diambil dari daunnya sangat keras jika didinginkan dan menjadi lembek apabila dipanaskan. Kemampuan ini tidak akan hilang walau sering dipanas-dinginkan. Getah yang dihasilkan tumbuhan ini, kata Heyne, dan kemungkinan tidak terkontaminasi oleh kulit kayu. Barulah setelah diperdagangkan, getah sundi mengalami perubahan warna; yakni, berwarna sedikit lebih terang. Getah yang dihasilkan lumayan baik dan banyak mengandung resin, namun kualitasnya ini bukan disebabkan oleh lokasi tumbuhan ini bertumbuh, tapi memang kualitas getah sundi masih dibawah kualitas dari getah tumbuhan Palaquium.
Penggunaan getah sundi baru mendapat perhatian setelah permintaan kebutuhan terhadap getah perca meningkat, yaitu setelah getah ini dipergunakan untuk membungkus kabel telegram yang melewati dasar laut. Pada tahun 1896, kabel telegram yang melintasi Atlantik Utara membutuhkan 5.400 ton getah perca sebagai pembungkusnya. Untuk menanggulanginya, selain memakai P. gutta sebagai sumber getah perca itu sendiri, dipergunakanlah getah sundi. Getah sundi dipergunakan mengingat P. gutta yang perkembangannya lambat dan menghasilkan sedikit biji. Selain dipakai untuk membungkus kabel, getah sundi dipakai untuk pembuatan alat beda, alat kimia, tutup botol, bola golf, dan penambal gigi. Getah sundi diapakai karena punya sifat mirip getah perca. Tumbuhan ini berkembangbiak memakai biji, cangkok, dan setek. Dengan pemangkasan, akan timbul banyak cabang.
Daun getah sundi dipergunakan masyarakat Cagar Alam Gunung Picis dan Gunung Sigogor untuk mengobati diare. Caranya, daun dikeringkan dan ditumbuk, dan diseduh dengan air panas dan diminum.
= Sejarah perdagangan
=Getah sundi diperdagnagkan dengan nama gětah suntik (Bjm.) dan gĕtah bĕringin (Plb.) dan sering juga dicampur dengan getah perca (Palaquium gutta), yang dikenal pada masa penjajahan Hindia Belanda sebagai balam mérah. Tumbuhan ini bersifat lentur getahnya, dan bisa retak apabila mengeras dan bergesekan. Intensitas warna akan berkurang bila dicampur dengan getah perca yang kualitasnya lebih rendah. Sering dipalsukan apabila dicampur dengan getah perca dari sejumlah spesies Palaquium. Apabila dicampur dengan getah perca dari spesies-spesies tersebut, akan ketahuan kepalsuannya bila dilihat dari kerapuhan, warna, dan kelenturan getah perca tersebut. Di zaman Hindia Belanda, Palembang dan Banjarmasin adalah pelabuhan ekspor utama dari getah sundi; sebagai bukti, pada September 1911 sepikul getah sundi saja dihargai 225 franc.
Di luar negeri, seperti Filipina, Payena leerii dijual dengan nama dagang Pahang white soondi No. 1 dari Pahang dan di Meksiko, rupanya getah sundi dibayar memakai uang, walauapun kadang-kadang dibarter dengan beras, baju, roti, kabel, dan lain-lain. getah ini diperjualbelikan dengan harga 10 Dolar Amerika Serikat setiap 1 pikul. Dahulu, getah perca baik dari -P. gutta maupun dari getah sundi sendiri- diperjualbelikan di Singapura yang kabarnya didatangkan dari Sarawak.