Hakka (Kèjiā 客家) adalah salah satu kelompok Tionghoa Han yang terbesar di Republik Rakyat Tiongkok.
Hakka merupakan kelompok Han terakhir yang bermigrasi ke selatan dari Tiongkok Utara secara bertahap semenjak abad ke-4 M karena bencana alam, perang, dan konflik. Migrasi
Hakka keluar dari Tiongkok juga terjadi secara besar-besaran, sehingga sekarang komunitas
Hakka tersebar di berbagai provinsi di Tiongkok dan negara-negara di dunia.
Orang Hakka merupakan salah satu kelompok terbesar Tionghoa di luar Tiongkok.
Pada awalnya, istilah "
Hakka" tidak merujuk kepada suatu kelompok tertentu. Istilah "ke" (客) atau "pendatang" pertama kali muncul di catatan registrasi penduduk pada zaman Dinasti Song untuk menyebut para pendatang yang telah pergi dari daerah mereka dan tinggal di berbagai bagian negeri.
Istilah "
Hakka" berasal dari istilah Bahasa Kanton yang pertama kali menggunakannya sebagai istilah tidak bersahabat. Karena hadir di lingkungan baru, masyarakat lokal menyebut mereka "
Hakka" atau "tamu". Istilah ini kemudian diterima oleh
Orang Hakka sebagai nama kelompok mereka.
Sejarah
Asal usul
Hakka masih menjadi perdebatan para sejarawan karena perpindahan berulang kali, sedangkan catatan sejarah tertulis tidak ditemukan. Mereka memiliki kaitan dengan subgrup Tionghoa lainnya yang berpindah ke Tiongkok selatan. Perpindahan suku Han termasuk
Hakka dari Tiongkok Utara secara besar-besaran terjadi berkali-kali karena berbagai alasan seperti peperangan atau bencana alam. Para sejarawan menyimpulkan perpindahan mereka secara bertahap. Beberapa memperkirakan migrasi
Hakka paling awal telah terjadi sejak periode Dinasti Qin, tepatnya pada masa pemerintahan Kaisar Qin Shihuang, di mana telah terjadi perpindahan penduduk dalam jumlah besar dari Zhong Yuan, daratan tengah yang disebutkan sebagai asal mula
Orang Tionghoa, yang sekarang meliputi Henan, Shaanxi, Shanxi, Hebei dan Shandong. Sementara yang lain menyetujui abad ke-4 M sebagai awal mula. Peneliti asing seperti Huntington dan Campbell merumuskan "teori perpindahan 3 gelombang" yang dimulai pada abad ke-4 M. Sementara D. Ball dan E J Eitel di akhir abad ke-19 merumuskan "teori 5 gelombang" yang akhirnya disempurnakan oleh Luo Xiang-lin menjadi teori klasik migrasi
Hakka.
= Teori Lima Gelombang
=
Gelombang Pertama (317-879), saat Tiongkok diserbu oleh suku Xiongnu dan ibukota Dinasti Jin (265-420) dipindahkan dari Luoyang ke Chang'an (311). Perpindahan ini diikuti eksodus rakyat yang meninggalkan kediaman asal menyeberangi sungai Yangtze menuju Hunan, Hubei selatan, Anhui, Zhejiang dan Lembah Sungai Gan di Jiangxi.
Gelombang Kedua (880-1120) terjadi pada akhir periode Dinasti Tang, ketika terjadi Pemberontakan Huang Chao. Penduduk Tang di Anhui, Henan dan Jiangxi berpindah ke selatan sampai Fujian dan sebelah utara Guangdong.
Gelombang Ketiga (1127-1644) terjadi selama zaman Dinasti Song, kedatangan suku Jurchen memaksa suku Han untuk pindah ke selatan sampai akhirnya, Kaisar Gaozong berhasil melewati Sungai Yangtze dan mendirikan Dinasti Song Selatan pada tahun 1127. Perpindahan lain terjadi ketika bangsa Mongol menguasai Tiongkok pada periode ini.
Gelombang Keempat terjadi pada awal zaman Dinasti Qing (1644-1911). Disebabkan populasi yang meningkat pesat, lahan pertanian berkurang serta tekanan pemerintahan Qing,
Orang Hakka yang tinggal di pesisir selatan Fujian dan Guangdong, pindah ke pedalaman menuju Guangxi, Hunan dan Sichuan, selain itu, banyak yang pindah ke Taiwan, Asia Tenggara, Afrika, Hawaii dan Kepulauan Karibia.
Gelombang Kelima (1867) terjadi setelah
Orang Hakka berperang dengan penduduk Guangdong,
Orang Punti dan setelah dipadamkannya Pemberontakan Taiping yang dipimpin
Orang Hakka, Hong Xiu-chuan. Mulai periode ini
Orang Hakka sudah keluar dari Guangdong ke Hainan, Asia Tenggara dan negara-negara di Amerika Selatan.
= Periode Dinasti Qing dan kemunculan identitas Hakka
=
Pada abad ke-17, pemerintahan Dinasti Qing memerintahkan pengosongan penduduk dari daerah pesisir Guangdong dan Fujian untuk mencegah pembajakan dan penyelundupan oleh para pendukung Zheng Chenggong, pengabdi Dinasti Ming yang telah menyeberang ke Taiwan. Setelah Taiwan ditaklukkan pada tahun 1863, pemerintah menarik perintah pengosongan, namun sedikit
Orang yang kembali menempati daerah yang telah dikosongkan. Oleh karena itu, pemerintah memberikan insentif untuk penduduk yang menempati daerah itu. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh
Orang-
Orang yang berasal dari daerah yang kelebihan penduduk atau terkena bencana alam. Kebanyakan dari mereka adalah
Orang Hakka. Kedatangan mereka ke wilayah yang telah berpenduduk membuat mereka mendapat julukan "
Hakka" oleh
Orang Punti atau "Khek" oleh
Orang Hoklo, yang keduanya bermakna "tamu" atau "pendatang". Pada periode akhir Qing, perpindahan
Hakka semakin sporadis sebagai akibat kekalahan Pemberontakan Taiping yang dipelopori
Orang Hakka terhadap pemerintah Manchu sekaligus konflik dengan penduduk asli dalam Perang
Hakka-Punti di Guangdong, menyebabkan ribuan pengungsi
Hakka bermigrasi ke Hainan, Taiwan, Asia Tenggara, Hawaii dan sebagainya.
Karakteristik
Identitas yang menunjukkan karakteristik utama
Hakka antara lain diperlihatkan dengan penggunaan bahasa
Hakka serta tradisi dan budaya
Hakka.
Hakka tidak termasuk ke dalam 56 kelompok suku bangsa di Tiongkok, dengan demikian sebutan suku, ras, atau bangsa tidak tepat. Untuk melengkapi kategorisasi yang kabur ini, sejarawan memasukkan kategori
Hakka ke dalam "garis keturunan" (minxi) dari Suku Han (Kejia Minxi).
Pada awalnya
Hakka sering kali dipandang rendah oleh kelompok Han lain bahkan dianggap kurang beradab karena sebagian besar tidak mempunyai tanah dan miskin. Namun,
Orang Hakka mempertahankan jati diri dan sejarah asal usul dari Tiongkok Utara yang merupakan pusat kebudayaan Tionghoa, sehingga menganggap mereka Tionghoa murni yang mewarisi peradaban tinggi. Keyakinan asal dari utara dipegang teguh oleh
Orang Hakka. Walaupun telah pindah dan menetap di berbagai daerah lain di Tiongkok,
Orang Hakka masih mempertahakan bahasa dan kebudayaan karena kebiasaan berpindah dalam kelompok besar dan menetap bersama di tempat baru untuk mengisolasi diri.
Di Tiongkok Selatan,
Orang Hakka merupakan pendatang terakhir di tanah
Orang lain dan sering kali harus bertahan hidup di tanah yang tidak subur. Mereka dianggap rendah dan tidak diterima sehingga membentuk sifat yang ulet, berani, gigih dan tabah. Konflik dengan penduduk asli menyebabkan mereka menjadi komunitas yang memiliki solidaritas tinggi dan saling berhubungan erat. Kaum pria memiliki tugas berat di luar rumah, sementara wanita bekerja keras mengurus rumah dan ladang. Berbeda dari wanita Tionghoa kelompok lain, wanita
Hakka menolak mengikat kaki karena tidak sesuai dengan peran dan pekerjaan. Oleh karena itu, mereka sering diejek berkaki jelek dan besar. Mereka independen dan memiliki kedudukan yang sama dengan pria. Penolakan mengikat kaki kemungkinan karena alasan kemisikinan. Wanita
Hakka yang sudah tua sering kali berperan dalam mengambil keputusan rumah tangga. Selain persepsi negatif, kelompok Tionghoa lain juga menganggap
Orang Hakka jujur, pekerja keras dan sederhana. Konflik yang terus-menerus dengan penduduk asli menyebabkan
Orang Hakka berani mengambil risiko untuk keluar dari tempat asal dan berimigirasi ke berbagai tempat di Tiongkok dan luar negeri.
Tempat asal
Daerah asal
Orang Hakka secara garis besar dapat dibagi menjadi empat daerah utama, yakni: Meizhou, Ganzhou, Tingzhou dan Huizhou. Sedangkan daerah Shibi yang berbatasan dengan Provinsi Jiangxi, di Kabupaten Ninghua, Provinsi Fujian merupakan daerah pusat pembentukan
Hakka, dan mendapat julukan sebagai "tanah leluhur
Hakka".
= Meizhou
=
Meizhou terletak di daerah timur laut Provinsi Guangdong, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Fujian, sebelah selatan berbatasan dengan Chaozhou, Jieyang dan Shanwei. Meizhou dijuluki "ibukota
Hakka".
= Ganzhou
=
Ganzhou yang memiliki nama lain "Qian" merupakan pintu masuk ke wilayah Provinsi Jiangxi dari sebelah tenggara. Daerahnya diapit Provinsi Fujian, Guangdong dan Hunan.
= Tingzhou
=
Tingzhou atau Minxi, merupakan daerah pemukiman
Hakka di bagian barat Provinsi Fujian. Tingzhou terbagi atas kabupaten Changting, Liancheng, Wuping, Shanghang, Yongding, Ninghua, Qingliu dan Mingxi.
Bahasa
Bahasa
Hakka (
Hakka-fa;客家話) merupakan salah satu dari tujuh bahasa utama di Republik Rakyat Tiongkok. Walau saling terpisah-pisah, para penutur Bahasa
Hakka yang berbeda logat dan dialek dapat berbicara satu sama lain. Kemana pun mereka pindah,
Orang Hakka masih mempertahankan kebudayaan, terutama bahasa. Bahasa
Hakka memiliki kekerabatan yang lebih dekat dengan Bahasa Mandarin daripada bahasa Tionghoa lain. Bahasa
Hakka Meixian (Moiyan
Hakka-fa;梅县客家話) yang terdiri dari 6 nada menjadi bahasa standar.
Kontak dengan berbagai kelompok tuturan berbeda-beda di tempat yang mereka tempati menghasilkan logat dan dialek yang dipengaruhi bahasa setempat. Di Jiangxi bagian selatan terdapat penutur bahasa
Hakka yang dipengaruhi Bahasa Gan, selain itu terdapat pula
Hakka-Fuxi (Fujian Barat),
Hakka-Tiochiu, Raoping, Hongkong, Guangxi, Siyen (Taiwan), Chuanxiang (Hunan-Sichuan) dan Pulau Hainan. Selain itu, varian lain muncul di Asia Tenggara yang umumnya merupakan kumpulan penutur cabang dari wilayah utama Tiongkok, antara lain, "Ngai" (kawasan teluk Tonkin, Vietnam), Malaysia (Kuala Lumpur, Sabah, Sarawak), Thailand, Aceh, Bangka-Belitung, Jawa, Kalimantan Barat dan Timor. Penutur
Hakka lain terdapat di Mauritius, India, Jamaika, Suriname, Inggris, Kanada dan sebagainya. Di Indonesia, ragam Bahasa
Hakka tercipta sebagai hasil dari pergaulan dengan etnis Nusantara.
Arsitektur
Tempat tinggal
Orang Hakka dikenal dengan sebutan Tulou (土楼, rumah tanah). Tulou terdiri dari berbagai jenis bentuk, ada yang berbentuk bulat, persegi empat, bentuk U, setengah bulat, bentuk segi delapan seperti bentuk bagua dan sebagainya.
Lihat pula
Bahasa
Hakka
Bahasa
Hakka Kalimantan Barat
Pranala luar
客家人文化精神的形成 (Pembentukan Nilai Kebudayaan
Hakka)
Referensi