PT
Himalaya Energi Perkasa Tbk adalah sebuah perusahaan publik di Indonesia (IDX: HADE) yang bergerak sebagai perusahaan investasi, terutama di anak usahanya yang bergerak di perdagangan dan distribusi elpiji. Berkantor pusat di Jl. RM Soebagjono Tjondrokoesoemo, Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah, perusahaan ini telah beberapa kali mengganti nama dan bidang usaha yang digelutinya.
Manajemen
Komisaris Utama: Ismayati Solihat
Komisaris: Basa Sidabutar
Direktur Utama: Piter Rasiman
Direktur: Sigit Suprih Hartono
Kepemilikan
PT Maxima Financindo (Heru Hidayat): 43,264%
Dana Pensiun Karyawan Panin Bank: 9,566%
Reksadana Pan Arcadia Ekuitas Progresif 2: 5,944%
Publik: 41,226%
Anak usaha
PT Optima Daya Kapital (55%)
PT Optima didirikan pada 15 Agustus 2007 yang bergerak dalam bidang perdagangan dan distribusi gas alam, saat ini dalam bentuk penyelenggaraan Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bahan Bakar Elpiji (SPPBE) berkerjasama dengan Pertamina. Kontrak bersama Pertamina berlangsung dari 2013-2023. PT Optima berlokasi di Gunungpati, Semarang.
Sejarah
= Perusahaan efek
=
PT
Himalaya Energi Perkasa Tbk berdiri pada tanggal 10 Februari 1989 dengan nama PT Harumdana Sekuritas, yang pada tanggal 11 Februari 2004 berganti nama menjadi PT Hortus Danavest. Usaha utamanya sejak 14 Juni 1989 adalah menjadi perusahaan efek yang melayani jasa-jasa seperti perantara pedagang efek (sejak 1992), penjamin emisi efek (sejak 1995) dan manajer investasi/penasehat investasi serta pembiayaan margin. Perusahaan ini juga tercatat memiliki saham di sejumlah perusahaan lainnya sebagai bentuk investasi.
Pada tanggal 12 April 2004, Hortus Danavest menjadi perusahaan publik dengan melepas 125 juta lembar (47,17%) sahamnya di Bursa Efek Jakarta sebagai emiten ke-388 di BEJ. Perusahaan berkode emiten HADE ini (diambil dari singkatan namanya saat itu) menawarkan sahamnya di harga Rp 210/lembar, dan dana hasil IPO akan digunakan bagi investasi, modal kerja, teknologi dan lainnya. Perusahaan ini kemungkinan juga terkait dengan Sanex Group, karena memiliki kepemilikan signifikan di beberapa usaha Sanex seperti PT Sanex Telekomunikasi Indonesia (26,5%, distributor telepon seluler CDMA), dan di PT Sanex Internasional (19,84%, memiliki 99% saham di PT Sanex Qianjiang Motor International).
Mulai 3 Agustus 2007, nama PT Hortus Danavest Tbk diganti kembali menjadi PT HD Capital Tbk. Pada periode ini, HD Capital banyak melakukan ekspansi, seperti membentuk perusahaan patungan PT Hortus Centrovest yang bergerak di modal ventura, serta kerjasama dengan K&N Kenanga Holdings Bhd., Malaysia dan Emperor Capital Group, Hong Kong dalam bisnis efek. Perusahaan juga meraih penghargaan sebagai perusahaan sekuritas terbaik beraset di atas Rp 1 T dari majalah Investor pada tahun 2008. Tahun selanjutnya, HD Capital meluncurkan sistem perdagangan daring (online) bernama Investment Store On Line (ISO). Kemudian juga muncul anak usaha lainnya yaitu PT HD Art Vision yang dimiliki sahamnya sebanyak 50%. Pada tahun 2010, HD Capital yang memiliki 45 karyawan ini memiliki tiga divisi utama dalam menunjang usaha sekuritasnya: Divisi Perantara Pedagang Efek Saham (Equity and Derivative Division), Divisi Perantara Pedagang Efek Berpendapatan Tetap (Debt and Derivative Division) dan Divisi Corporate Finance.
= Perusahaan Energi
=
Pada tahun 2014, anak usaha utamanya, PT Hortus Centrovest dijual kepada pihak lain, namun kemudian dibekukan bisnisnya oleh OJK pada 27 Mei 2015 akibat tidak memenuhi aturan yang ada. Di tanggal 10 Maret 2015, HD Capital membentuk anak usaha baru bernama PT Hasta Dana Sekuritas Indonesia, dimana seluruh bisnis, usaha dan operasional HD Capital sebagai perusahaan efek, dialihkan ke perusahaan ini mulai 30 Oktober 2015, sehingga usaha utama PT HD Capital Tbk saat itu adalah menjadi perusahaan induk. PT Hasta Dana kemudian dijual kepada perusahaan keuangan asal Hong Kong, KGI Capital Asia Ltd. pada 31 Agustus 2016, yang selanjutnya berganti nama menjadi PT KGI Sekuritas Indonesia. Penjualan itu diklaim karena bisnis efek perusahaan menghadapi tantangan dan persaingan yang ketat. Pasca-pelepasan, izin perusahaan efek dari HD Capital kemudian dicabut oleh OJK pada 11 November 2016. Memang pada saat penjualan dan perubahan usaha itu, tepatnya di September 2016, perusahaan ini merugi Rp 2 miliar yang naik dari Rp 620,8 juta pada 2015. Awalnya, HD Capital sempat berniat terjun ke bisnis properti, dengan merger bersama PT Sugih Bara dan PT Tuah Guenong Halimon yang kesepakatannya sudah disepakati pada 20 Mei 2016.
Namun, rencana itu tidak terwujud, sehingga akibat tidak memiliki usaha, harga saham HD Capital sempat menyentuh Rp 50 sejak Maret 2017. Kepemilikan saat itu dikuasai oleh PT Maxima Financindo sebesar 33,83%, PT Maxima Investindo Utama 9,43%, Dana Pensiun Karyawan Bank Panin 9,56%, dan publik 47,17%. Sebenarnya, Maxima bukan pemegang saham baru, karena di tahun 2009 pun, mereka sudah memiliki kepemilikan 33,83% di perusahaan ini. Baru pada September 2017, HD Capital memutuskan untuk terjun ke bisnis pembangkit listrik terbarukan mikro hidro lewat akuisisi PT Panca Sinergi
Perkasa senilai Rp 382,32 miliar. Pada saat itu, PT Panca yang sudah berdiri sejak 2015, mengoperasikan pembangkit listrik berkapasitas 75 MW di Pulau Jawa, Sumatra, dan Sulawesi yang berkerjasama dengan PLN. Kemudian, juga diakuisisi PT Optima Daya Kapital yang sejak 2013 telah beroperasi sebagai perusahaan pengalengan elpiji dan distributor gas untuk Pertamina di Semarang, Jawa Tengah.
Belakangan, hanya PT Optima yang bisa dijadikan anak usaha dengan 55% kepemilikan. Seiring perubahan fokus usaha ini, mulai 14 November 2017, PT HD Capital Tbk berganti nama menjadi PT
Himalaya Energi Perkasa Tbk, dengan fokus usaha di bidang ketenagalistrikan, industri dan perdagangan. Meskipun kemudian mengklaim bahwa PT Panca Sinergi akan bisa diakuisisi karena menjanjikan pada 2017 dan 2018, namun hingga 2021 akuisisi itu tidak kunjung terlaksana. Malahan, perusahaan kembali mencatatkan rugi pada akhir 2017 sebesar Rp 28 miliar. Untuk menunjang usaha anak usahanya, PT Optima, pada tahun 2019, perusahaan merencanakan akan membeli 10 truk baru senilai Rp 20 miliar.
Nasib sial kemudian menimpa PT
Himalaya Energi Perkasa Tbk karena kepemilikan sahamnya yang dikuasai oleh Heru Hidayat (lewat PT Maxima Financindo yang memegang 43,26% pada 2018) membuatnya terjerat dalam megaskandal Jiwasraya yang melibatkan Heru. Pada tanggal 10 Oktober 2020, direktur utama perusahaan ini, Piter Rasiman, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut karena dianggap bersekongkol dengan Joko Hartono Tirto dan Heru Hidayat untuk "merampok" asuransi BUMN tersebut. Piter dianggap berperan mengatur transaksi di pasar modal untuk memainkan harga saham
Himalaya Energi Perkasa dan mengatur portofolio investasi, pialang dan manajer investasi untuk asuransi Jiwasraya yang buruk secara sengaja sehingga merugikan negara. Tindakan Piter ini akhirnya membuahkan hukuman penjara 20 tahun padanya di tanggal 12 Agustus 2021. Sedangkan Heru Hidayat sebagai pengendali utama perusahaan ini kemudian divonis seumur hidup dan diminta membayar kerugian negara Rp 12,64 triliun.
Meskipun demikian, menurut perusahaan, tidak ada pengaruh penangkapan Pieter pada bisnis
Himalaya Energi Perkasa.
Himalaya juga sempat mempermasalahkan penyitaan truk yang diklaim bukan milik Piter, melainkan anak usahanya PT Optima Daya Kapital. Pada 11 Februari 2022,
Himalaya (lewat PT Optima Daya Kapital) juga telah mendapatkan izin usaha penyimpanan minyak dan gas bumi yang berlaku selama 5 tahun. Pada tahun 2021, aset perusahaan mencapai Rp 15,46 miliar dan pendapatan usaha mencapai Rp 3,817 miliar, namun mengalami kerugian komperhensif Rp 285 juta. Pada tahun yang sama,
Himalaya memiliki 4 karyawan.
Rujukan
Pranala luar
Situs resmi