Hoo Eng Djie (ca 1906–1960, Pe̍h-ōe-jī: Hô Êng-ji̍t), yang dikenal sebagai Baba Tjoi, merupakan penulis, penyanyi, penulis lagu, dan artis rekaman peranakan Tiongkok di Hindia Belanda. Ia merupakan artis dengan kemampuan banyak bahasa, selain bahasa Melayu, dia menguasai Bahasa Makassar dan Bahasa Bugis. Dia mengarang ratusan lagu pada tahun 1920an s.d 1950an, lagunya terkenal dengan gaya Keroncong dan gaya lokal Makassar, dan diberikan pengakuan secara resmi oleh Presiden Soekarno pada 1953.
Kisah hidupnya telah digambarkan dalam berbagai karya seni pada beragam waktu, termasuk biografinya karyaNjoo Cheong Seng yang terbit pada 1950 dan Film Ati Raja pada 2019.
Biografi
Hoo Eng Djie lahir tahun 1906 atau 1907 di Kassi Kebo, daerah peranakan di Maros, Sulawesi dan Dependensinya, Hindia Belanda (saat ini terletak di Sulawesi Selatan, Indonesia). Ibunya bernama Liem Tien Nio yang merupakan peranakan Tiongkok, yang dipercaya merupakan keturunan dari Liem Tjien Liong Kapitan Cina di Makkasar. Kakek
Hoo yang bernama
Hoo Tjay beremigrasi dari Fujian, Tiongkok ke Maros, dimana ayahnya
Hoo menjadi pedagang kaca disana. Keluarga
Hoo bukanlah keluarga kaya.
Hoo bersekolah beberapa tahun di sekolah Melayu di Makassar, dimana ia mendapatkan materi dalam bahasa Melayu, Bugis, dan Makkasar. Ia terpaksa mengundurkan diri karena kondisi keuangan keluarganya memburuk; pada usia 13 tahun ia bekerja yang membuatnya harus belayar ke kepulauan di bagian Timur Hindia Belanda (Pulau Ambon, Pulau Buton, dll.). Ketika ia kehilangan pekerjaan, ia kembali ke Makkasar dan bekerja di toko milik ayahnya.
Sejak muda,
Hoo tertarik dengan bidang teater dan terkesima dengan penciptaan lagu dengan struktur tradisional musik Makkasar. Pada usia tujuh belas tahun ia dikenal dengan penampilan dalam puisi-puisi filosofis dan lagu-lagu yang diiringi oleh gaya tradisional kecapi atau biola. Ia mulai menciptakan banyak lagi, sering kali diadaptasi dari melodi kuno Tiongkok dengan komposisi lirik baru untuk pendengar peranakan Tiongkok.
Hoo juga tertarik degan politik pada pertengahan 1920an, dan ditahan sebentar oleh pihak belanda pada 1926 akibat keikutsertaannya pada gerakan anti kolonial. Pada 1927, ketika grup pemuda dan nasionalis Indonesia didirikan dimana-mana, ia mendirikan kelompok bernama Sien Nien Thoan (perkumpulan pemuda), dimana ia menjadi salah satu propagandis. Karena sifat komunal politik di Makassar saat itu,
Hoo acapkali dilarang oleh Belanda untuk berbicara mengenai agama di tempat umum dan sering kali ditahan dan diinterograsi karena konten pada lagu ciptaannya.
Pada 1938,
Hoo menjadi direktur dari kelompok orkestra baru bernama Sinar Sedjati (ray of truih). Grup menarik perhatian Canary Record dari Surabaya, dan antara tahuh 1938 dan 1940 kelompok ini melakukan rekaman Piringan hitam yang terjual sebanyak 10.000 keping dan membantu mempopulerkan musik dari Sulawesi di Jawa dan tempat lain. Tidak lama sebelum Invansi Jepang, ia mendirikan kelompok teater bersama Lie Seng Gie, bernama Sinar Matahari (ray of the sun). Pada waktu tersebut,
Hoo menikah dengan Soan Kie. Jelang Invansi Jepang kelompok teaternya menghentikan kegiatan dan
Hoo bersembunyi di pengunungan bersama dengan keluarganya.
Setelah Perang Dunia ke-2, ia melanjutkan karier musiknya dan medirikan grup musikan bernama Singara Kullu-Kulluwa, dimana ia memperluas instrumen dasar dari grupnya sebelum perang dengan menambahkan akordeon, kontrabas, dan gitar dan menarik penyanyi selebriti. Ia juga bekerja sebagai guru musik dan melanjutkan penciptaan lagu-lagu baru. Ia juga mulai untuk tampil secara rutin di radio baru Radio Republik Indonesia Makkasar. Pada 1947 bertemu dengan penulis dan sutradara film Njoo Cheong Seng yang terkesima dengan dirinya dan mengajaknya untuk berpartisipasi dalam beberapa film karyanya.
Pada Agustus 1953, Presiden Soekarno mengunjungi Makkasar dan mengunjungi secara resmi
Hoo dan beberapa rekan musisi. Topik utama diskusi mereka adalah kesenian daerah. Soekarno mengundang
Hoo dan koleganya Kang
Eng Hong untuk pergi ke Jakarta dan bertemu di istana negara. Mereka kemudian berdiskusi mengenai politik, integrasi peranakan Tiongkok, dan puisi serta lagu dari Sulawesi, yang dilanjutkan dengan penampilan beberapa lagu yang diciptakan
Hoo. Soekarno memberikan gelar resmi sebagai Doktor bahasa Bugis-Makkasar. Ia juga memenangkan penghargaan dari Radio Nasional Indonesia untuk lagu ciptaannya.
Jelang kembalinya ke Makassar, ia kembali mendirikan grup orkestra sebagai Sawerigading (nama pahlawan dalam kisah Bugis) dan meneruskan penciptaan lagu dan puisi secara produktif sampai kematiannya. Sampai kematiaannya,
Hoo diperkirakan menciptakan lagu kurang lebih sebanyak 3.000 lagu, sebagian besar dalam gaya kelong Makassar.
Hoo Eng Djie wafat pada 7 Maret 1960 atau 1962 di Makassar (sejarawan berbeda pendapat mengenai tahun kematiannya).
Warisan
Dikarenakan produktifnya
Hoo menciptakan lagu, beberapa karyanya masih dimainkan hingga sekarang, terutama oleh grup musik tradisional dan Kroncong di Makassar. Karya terkenalnya seperti Ati Raja yang diajarkan di sekolah pada awal era kemerdekaan dan diadaptasi baru-baru ini menjadi karya untuk piano solo yang lebih panjang dan virtuosik oleh pianis dan komponis Ananda Sukarlan (Rapsodia Nusantara no. 40).
Njoo Cheong Seng, yang bertemu dengan
Hoo selama waktunya di Makassar pada akhir 1940an dan memberikan peran kepadanya untuk beberapa film, menulis biografi
Hoo pada 1950 dengan judul Manusia Sampurna jang tidak Sampurna (perfect people who aren't perfect). Pada 2019 sebuah Film biografi diproduksi, yang disutradarai oleh Shaifuddin Bahrum, berjudul Ati Raja.
Njoo Cheong Seng, who met
Hoo during his time in Makassar in the late 1940s and cast him in a few films, wrote a biography of him in 1950 titled Manusia Sampurna jang tidak Sampurna (perfect people who aren't perfect). There was also a 2019 biopic about him, directed by Shaifuddin Bahrum, titled Ati Raja.
Referensi