- Source: Jangsu dari Goguryeo
Jangsu dari Goguryeo (394–491) (bertakhta 413–491) merupakan raja kedua puluh Kerajaan Goguryeo, salah satu dari Tiga Kerajaan Korea dibagian utara. Ia dilahirkan pada tahun 394, putra tertua Raja Gwanggaeto yang Agung. Ia menjadi putra mahkota pada tahun 408, setelah kematian ayahandanya pada tahun 413 dan menjadi raja pada usianya yang kesembilan belas tahun.
Ia memerintah di atas puncak kekuasaan Goguryeo, membangun di atas perluasan wilayah ayahandanya. Ia juga dicatat di atas Prasasti Raja Gwanggaeto. Nama anumertanya berarti "panjang umur."
Awal Pemerintahan
Mula-mula, Jangsu mendedikasikan upayanya untuk menstabilisasi kerajaan yang mengalami perkembangan yang besar dan mendadak, hasil langsung dari perjuangan ayahandanya. Jangsu membangun sebuah makam yang megah untuk ayahandanya, dan bersama dengan itu mendirikan prasasti setinggi 4 meter yang berukir prestasi ayahandanya (sekarang dikenal sebagai Prasasti Raja Gwanggaeto). Bagi prasasti sedemikian besar ukurannya, dibutuhkan 330 orang untuk merawat tempat tersebut setiap waktu. Jangsu memanggil 330 orang dari berbagai wilayah dan suku untuk menjaga dan membersihkan makam itu, mendemonstrasikan konsolidasi efektif dari kerajaan Goguryeo dan kekuasaan ningrat pada saat pemerintahan Jangsu.
Kampanye Barat Laut
Pada saat Tiongkok diserang oleh suku asing lima dan dibagi ke dalam Enam Belas Kerajaan. Dinasti Yan kemudian, yang sekarang Semenanjung Liaoning, dikalahkan telak oleh pasukan Gwanggaeto yang Agung dan akhirnya berakhir pada tahun 408. Setelah jatuhnya kekuasaan Yan, Suku Han mengusir Wangsa Murong ke utara Xianbei dan mendirikan Kerajaan Yan Utara di wilayah tersebut. Namun Yan Utara bukan tandingan Xianbei, Dinasti Wei Utara menyatukan hampir seluruh Tiongkok utara. Kemudian Yan Utara berniat untuk bersekutu dengan Goguryeo, yang memiliki kekuasaan lebih hebat dan yang juga dapat berperang seimbang melawan Wei Utara. Pada tahun 436 pasukan berkuda Goguryeo tiba di Yan Utara dan akhirnya mengusir Xianbei keluar.
Perluasan ke Selatan
Pada tahun 472, Raja Gaero dari Baekje mengirimkan sepucuk surat kepada kaisar Wei Utara. Ia menyatakan bahwa ia memiliki kesulitan berinteraksi dengan Wei karena Goguryeo kerap ikut campur sehingga menyerukan aksi militer terhadap Goguryeo. Namun Baekje gagal mendapatkan utusannya kembali dan menerima dukungan militer Wei. Akibatnya, Raja Jangsu diam-diam merencanakan untuk menyerang Baekje yang meskipun menderita kerugian dari serangan Gwanggaeto dari Goguryeo yang masih kekuasaannya berdominasi besar di semenanjung. Untuk melucuti Baekje, ia mengirim seorang biksu Buddha yang bernama Dorim. Dorim pergi ke istana Raja Gaero dengan misi rahasia untuk merusak negara itu sebelum serangan Goguryeo. Raja Gaero mulai menyukai Dorim dan sering mengajaknya bermain Baduk (catur Korea) setiap hari. Dorim mampu mengakali Gaero untuk menghabiskan sejumah besar uang untuk proyek-proyek konstruksi yang melemahkan kas negara.
Pada tahun 475 Raja Jangsu menyerang dengan skala penuh baik dari darat dan laut ke Kerajaan Baekje yang politiknya melemah. Dorim berhasil mendapatkan informasi tentang Baekje dan akibatnya Raja Gaero tidak siap dengan serangan Goguryeo dan Raja Jangsu. Dengan momentum yang menguntungkan, Jangsu kemudian melanjutkan menuju ibu kota dan dengan mudah menguasai kota Wiryesong dan membunuh Raja Gaero. Tak lama kemudian, Raja Jangsu membakar hangus ibu kota, bersama dengan beberapa kota yang dikuasainya dari Baekje. Selanjutnya Baekje tidak punya pilihan selain memindahkan ibu kotanya ke Ungjin (yang sekarang Gongju), delapan puluh mil ke selatan untuk menemukan perlindungan alami untuk sebuah kerajaan yang hancur. Perang itu memberikan Goguryeo kurang lebih kendali di lembah Sungai Han, wilayah ini penting untuk kekuatan komersial dan militer di Semenanjung Korea. Baekje mampu menjadi bangsa yang unggul di semenanjung karena memiliki kekuasaan di wilayah tersebut selama hampir 500 tahun, tetapi karena penguasa wilayah berubah, perlahan-lahan kekuasaan menjadi semakin berkurang di semenanjung.
Setelah berhasil menyimpulkan kampanyenya di Baekje, Jangsu lalu mengalihkan perhatiannya ke arah kerajaan semenanjung kedua Silla dan sebagai tambahannya, ia mendirikan sebuah prasasti yang sekarang berada di Chungju, yang memuji prestasi ayahandanya dan dirinya sendiri. Monumen ini menandai perbatasan di antara kerajaan selatan dan Goguryeo dan tetap berada di situs yang sama, memegang sejarah yang penting sebagai monumen era Goguryeo satu-satunya yang masih ada di Semenanjung Korea. Di dalam kasus kerajaan timur selatan Silla tetap menjadi negara bawahan Goguryeo setelah mendapat serangan besar-besaran pasukan gabungan Baekje dan Wa di masa pemerintahan Gwanggaeto. Untuk mengamankan protektorat de-facto, Goguryeo menuntut adik Raja Nulji dari Silla berkunjung ke istana dan menjadi tawanannya untuk beberapa saat. Di bawah pemerintahan Jangsu, serangkaian pertempuran sesekali pecah.
Hubungan dengan Tiongkok dan Rouran
Pada tahun 479, Jangsu mengirim sebuah delegasi ke Rouran untuk membina hubungan persahabatan. Sebagai gantinya, Rouran Khagan menyerahkan wilayah besarnya yang tersebar sekarang di Mongolia. Setelah berdamai dengan Rouran, Jangsu menyerang Khitan, kemudian bersamaan dengan itu sebuah cabang konfederasi Xianbei.
Kematian & Peninggalan
Raja Jangsu meninggal pada tahun 491, pada usianya yang kesembilan puluh tujuh. Nama kuilnya berarti 'panjang umur' di dalam Hanja. Selama masa pemerintahannya, Goguryeo berada pada era keemasan yang tersebar dari Mongolia ke Chungju.
Sama dengan ayahandanya Raja Gwanggaeto yang Agung, ia terkadang disebut juga Raja Jangsu yang Agung.
Lihat Pula
Sejarah Korea
Tiga Kerajaan Korea
Daftar Penguasa Korea
Kata Kunci Pencarian:
- Goguryeo
- Jangsu dari Goguryeo
- Munjamyeong dari Goguryeo
- Gaero dari Baekje
- Gwanggaeto yang Agung
- Kastil Pyongyang
- Prasasti Raja Gwanggaeto
- Baekje
- Makam Jenderal
- Sejarah Korea