Baekje adalah salah satu negara di Periode Tiga Kerajaan Korea.
Baekje menguasai wilayah sebelah barat daya Semenanjung Korea pada 16 SM hingga 660 M.
Kerajaan
Baekje didirikan oleh Raja Onjo, putra ke-3 Jumong, raja pendiri Goguryeo.
Baekje beribukotakan di Wiryeseong, Seoul saat ini. Puncak keemasan
Baekje terjadi pada abad ke-4 Masehi ketika kekuasaannya meliputi wilayah semenanjung Korea sebelah barat daya sejauh kota Pyongyang.
Baekje runtuh tahun 660 setelah dikalahkan oleh aliansi Silla dan Dinasti Tang, setelah itu digabungkan ke dalam wilayah kekuasaan Silla Bersatu.
Sejarah
= Pendirian
=
Berdasarkan babad Korea Samguk Sagi,
Baekje didirikan tahun 18 SM oleh Raja Onjo yang memimpin sebagian kecil warga Goguryeo menuju selatan Semenanjung Korea, tepatnya di wilayah provinsi Jeolla saat ini. Berdasarkan catatan sejarah Tiongkok, San Guo Zhi, pada masa Samhan, salah satu wilayah Konfederasi Mahan ada yang bernama
Baekje.
Samguk sagi memberikan penjelasan detail mengenai pendirian
Baekje. Jumong meninggalkan putranya Yuri di Buyo ketika ia meninggalkan kerajaan tersebut untuk mendirikan Goguryeo . Jumong bergelar Dongmyeongseong setelah diangkat jadi raja di Goguryeo. Ia mempunyai 2 putra lagi dari istri ke-2 nya di Goguryeo, yaitu Onjo dan Biryu. Ketika Yuri datang ke Goguryeo, Jumong langsung menggelarinya sebagai putra mahkota. Mengetahui bahwa Yuri akan dijadikan raja selanjutnya, Onjo dan Biryu memutuskan untuk hijrah ke selatan bersama 10 orang pengikut.
Onjo menetap di Wiryeseong (sekarang wilayah kota Seoul) dan mendirikan kerajaan yang disebut Sipje ("Sepuluh Pengikut"), sementara Biryu menetap di Michuhol (sekarang Incheon). Sipje hidup dengan makmur, sedangkan Biryu harus bertahan susah payah karena Michuhol berair asin dan tanahnya berawa-rawa. Biryu lalu pergi menuju Wiryeseong untuk meminta Onjo menyerahkan tampuk kepemimpinan padanya, tetapi Onjo menolak dan membuat Biryu mendeklarasikan perang. Biryu kalah dalam perang tersebut dan bunuh diri karena malu. Para pengikut Biryu pindah ke Wiryeseong dan diterima senang hati oleh Onjo. Onjo lalu mengganti nama kerajaanya dengan:"
Baekje" atau "Seratus Pengikut".
Karena adanya tekanan dari negara bagian lain dari Konfederasi Mahan (
Baekje pada awalnya merupakan negara bagian dari Konfederasi Mahan), Raja Onjo memindahkan ibu kota dari selatan ke sebelah utara sungai Han, lalu pindah lagi ke selatan. Raja Gaeru memindahkan ibu kotanya ke Gunung Buk (Bukhan) tahun 132 M di wilayah yang diperkirakan dekat dengan kota Kwangju saat ini.
Baekje perlahan-lahan menjadi kuat dan mulai mengendalikan banyak negara bagian Mahan. Masa ini disebut zaman Proto Tiga Kerajaan.
= Ekspansi
=
Dalam masa pemerintahan Raja Goi tahun 234-286,
Baekje menjadi kerajaan seutuhnya. Babad Jepang, Nihon Shoki menyebutkan ekspansi
Baekje mencapai wilayah Konfederasi Gaya di lembah Sungai Nakdong di sebelah tenggara semenanjung Korea. Rekaman sejarah Tiongkok pertama menyebutkan
Baekje sebagai sebuah kerajaan adalah pada tahun 345. Misi diplomatik pertama dari
Baekje yang mencapai Jepang berdasarkan Nihon Shoki terjadi pada tahun 367.
Raja Geunchogo (berkuasa dari 346-375) menyatukan berbagai negara bagian Konfederasi Mahan serta memperluas teritorinya ke utara melawan Goguryeo. Dalam masa pemerintahannya wilayah
Baekje meliputi wilayah Korea sebelah barat, dan pada tahun 371 pernah mengalahkan Goguryeo dalam perang di Pyongyang.
Baekje juga tercatat pernah menjalin hubungan dagang dengan Goguryeo, mengadopsi kebudayaan dan teknologi Tiongkok, serta mendeklarasikan Buddhisme sebagai agama negara pada tahun 384.
Baekje yang mempunyai armada laut yang kuat, menjalin hubungan baik dengan pemimpin Jepang pada zaman Yamato.
Baekje memperkenalkan hanja, agama Buddha, kemampuan membuat tembikar, upacara penguburan dan berbagai bentuk kebudayaan lain kepada Jepang melalui bangsawan, seniman, ahli, dan pendeta Buddhanya. .
= Periode Ungjin
=
Ibu kota
Baekje pindah ke Ungjin (sekarang Gongju) dari tahun 475-538. Hal ini disebabkan jatuhnya Wiryeseong ke tangan Goguryeo.
Nihon Shoki menyebutkan bahwa Ungjin diberikan oleh kaisar Jepang kepada Raja Munju, yang menunjukkan bahwa wilayah ini dikuasai oleh Jepang (terletak di Korea). Ungjin terletak di dalam wilayah pegunungan, sehingga terisolasi dari dunia luar. Pada periode ini
Baekje membentuk aliansi bersama Silla untuk melawan Goguryeo.
= Periode Sabi
=
Periode Sabi berlangsung dari tahun 538-660, saat tahun 538 Raja Seong memindahkan lagi ibu kota ke Sabi (saat ini kabupaten Buyo). Masa ini
Baekje berkembang pesat, dan secara resmi nama lainnya adalah Nambuyo (Buyo Selatan), yang diambil dari Kerajaan Buyo, asal muasal dari
Baekje.
Raja Seong mempererat hubungan dengan Tiongkok dalam bidang perdagangan dan diplomasi selama abad ke-6 dan ke-7. Sementara itu, hubungan dengan Silla semakin merenggang.
= Kejatuhan dan kebangkitan
=
Pada than 660, tentara aliansi Silla dan Dinasti Tang menyerang
Baekje. Kota Sabi jatuh ke tangan Silla, sementara Raja Uija dan putranya diasingkan ke Tiongkok. Beberapa anggota kerajaan lain melarikan diri ke Jepang. Sisa-sisa warga
Baekje berupaya mengadakan pergerakan kebangkitan di dalam kekuasaan aliansi Silla dan Tang yang memiliki tentara mencapai 130.000 orang. Jenderal Boksin menunjuk pangeran Buyo Pung (putra Raja Uija yang selamat) sebagai raja baru
Baekje.
Baekje meminta pertolongan pada Pangeran Naka no Ōe (yang nanti menjadi Kaisar Tenji) dari Jepang. Pangeran Naka no Ōe mengirimkan Abe no Hirafu, seorang gubernur provinsi Koshi ke
Baekje.
Pada tahun 663, sisa-sisa tentara
Baekje bergabung dengan tentara Jepang dalam pertempuran di atas air melawan Silla dalam Perang Baekgang. Tang juga mengirimkan 7000 tentara dan 170 kapal perang.
Baekje menderita kekalahan setelah terjadi 5 kali pertempuran di sungai Geum selama bulan Agustus tahun 663.
Struktur sosial dan politik
Raja Goi pertama kali menerapkan sistem patrilineal yang melestarikan suksesi kerajaan.
Pada awal periode
Baekje, Hae dan Jin adalah dua klan yang berpengaruh, sebagian besar ratu berasal dari kedua klan ini dan suksesi ini berlangsung dalam waktu yang lama. Kemungkinan besar klan Hae adalah klan yang menguasai tampuk kerajaan sebelum digantikan oleh klan Buyo. Kedua klan ini kemungkinan juga berasal dari Kerajaan Buyo di utara. Klan Hae dan Buyo bersama 7 klan yaitu Sa, Yeon, Hyeop, Jin, Guk, Mok, dan Baek adalah klan-klan kuat pada masa Sabi.
Pegawai kantor kerajaan dibagi ke dalam 16 ranking, 6 orang anggota pertama dari ranking membentuk sebuah kabinet, dengan pemimpin dipilih setiap 6 tahun sekali. Dalam ranking Sol, pegawai pertama (Jwapyeong) sampai ke-6 (Naesol) bertanggung jawab dalam urusan politik, adminstrasi, dan militer. Dalam tingkat Deok, pegawai ke-7 (Jangdeok) sampai ke-11 (Daedeok) mungkin ditugaskan dalam banyak bidang, sedangkan tingkatan Mundok, Mudok, Jwagun, Jinmu dan Geuku bertanggung jawab sebagai administrator kemiliteran.
Bahasa dan kebudayaan
Baekje didirikan oleh imigran dari Goguryeo yang berbicara bahasa Buyo, yang masih berhubungan dengan bahasa kerajaan Gojoseon dan Kerajaan Buyeo. Sedangkan rakyat Samhan (yang pernah menguasai
Baekje) kemungkinan berbicara dalam bahasa yang sama namun mempunyai dialek atau variasi bahasa berbeda dengan bahasa Buyo, karena nenek moyangnya berasal dari tempat yang sama, tetapi orang Samhan sudah datang ke selatan terlebih dahulu.
Seniman
Baekje mengadopsi budaya Tionghoa dan menyesuaikannya menjadi tradisi yang unik. Hasil karya seni
Baekje sangat dipengaruhi oleh agama Buddha. Keindahan seni
Baekje terlukis dalam Senyum
Baekje yang terdapat pada banyak karya seni dan patung Buddha. Pada masa Sabi pada tahun 541, banyak seniman dari Tiongkok (Dinasti Liang) dikirim ke
Baekje, sehingga semakin memperluas pengaruh Tiongkok pada kebudayaan Korea. Namun, pengaruh asli
Baekje tidak hilang begitu saja. Makam raja Muryeong (berkuasa 501-523) walaupun dimodelkan dari Tiongkok namun tidak menghilangkan tradisi asli
Baekje. Dalam makam tersebut ditemukan ornamen khas
Baekje seperti mahkota, ikat pinggang emas, dan giwang emas. Karya seni khas
Baekje yang lain adalah desain genting batu bebentuk lotus, pola batu bata yang menjalin, lekukan dalam gaya keramik, bentuk epitaph yang elegan, ukiran-ukiran Buddha, pagoda, pembakar dupa dan sebagainya.
Sedikit yang diketahui mengenai musik
Baekje, tetapi, musisi-musisinya pernah dikirim ke Tiongkok pada abad ke-7 untuk belajar.
= Hubungan dengan Tiongkok
=
Pada tahun 372, Raja Geunchogo membayar upeti kepada Dinasti Jin di Tiongkok yang terletak di lembah sungai Yangtze. Setelah kejatuhan Jin dan berdirinya Dinasti Song pada tahun 420,
Baekje kembali mengirimkan utusan untuk berdagang barang-barang kultural dan teknologi Tiongkok.
Baekje mengirimkan utusan ke Wei Utara pada tahun 472 untuk pertama kalinya, dan Raja Gaero meminta bantuan militer guna melawan Goguryeo. Raja Muryeong dan putranya, Raja Seong juga mengirimkan utusan-utusannya ke Dinasti Liang beberapa kali guna menerima gelar kehormatan.
Dalam pengaruh budaya, makam Raja Muryeong dibuat berdasarkan gaya makam Liang.
Peran
Baekje di daratan Tiongkok
Walau kontroversial, beberapa teks kuno Tiongkok dan Korea menunjukkan bahwa wilayah teritori
Baekje juga mencakup bagian-bagian dari daratan Tiongkok.
Menurut teks Tiongkok, Kitab Song,“Goguryeo menduduki Liaodong dan
Baekje menduduki wilayah Liaoxi (kini Tangshan, Hebei); daerah yang dikuasai
Baekje bernama Ditrik Jinping, Provinsi Jinping.” Menurut Kitab Jin mengenai Murong Huang, menyebutkan bahwa aliansi Goguryeo,
Baekje dan Xianbei melakukan peperangan. Babad Goryeo Samguk Sagi menyebutkan bahwa peperangan ini terjadi pada masa Raja Micheon dari Goguryeo (309-331).
Menurut Kitab Liang, “Pada masa Dinasti Jin (265-420), Goguryeo menduduki Liaodong, dan
Baekje menduduki Liaoxi dan Jinping, mendirikan provinsi-provinsi
Baekje.”
Kitab Zizhi Tongjian, yang ditulis Sima Guang (1019-1086) dari Dinasti Song (960-1279), menyebutkan bahwa tahun 346,
Baekje menyerang negeri Buyeo, yang berada di Lushan, dan menyebabkan penduduk negeri itu mengungsi ke sebelah barat negeri Yan. Tahun itu merupakan masa pemerintahan Raja Geunchogo (346-375).
Penjelasan yang sama dari Kitab Qi dan Zizhi Tongjian, menyebutkan bahwa Dinasti Wei Utara (386-534) menyerang
Baekje dengan 100 ribu orang tentara pada tahun 488, tetapi dapat dipatahkan oleh
Baekje. Catatan ini juga dijelaskan di Samguk-sagi, yaitu terjadi pada masa Raja Dongseong (tahun 488). Karena tidak mungkinnya pasukan Wei melakukan serangan ke
Baekje tanpa melewati wilayah Goguryeo (semasa Raja Jangsu) di semenanjung Korea bagian utara, kemungkinan perang tersebut terjadi di wilayah
Baekje di daratan Tiongkok (Liaoxi).
Kitab Qi juga menyebutkan pada tahun 495, pemimpin
Baekje, Raja Dongseong meminta gelar kehormatan untuk para jenderal yang berjasa menumpas serangan Wei kepada Dinasti Qi Selatan. Qi Selatan memberi gelar sesuai dengan daerah-daerah di provinsi
Baekje, seperti Guangling, Qinghe, Chengyang, dan lainnya.
Bagian Teritori dari teks Mǎnzhōu Yuánliú Kǎo (满洲源流考, "Pertimbangan Asal Manchu") juga menyebutkan tentang wilayah teritori
Baekje, dengan jelas menuliskan bagian dari Liaoxi:
Perbatasan dari
Baekje dimulai dari Guangning dan Jiyi (kini) di wilayah barat laut dan melintasi laut di arah timur sampai wilayah Joseon yakni Hwanghae, Chungcheong, Jeolla dan sebagainya. Dari timur ke barat, teritori
Baekje sempit, panjang dari utara ke selatan. Lalu jika seseorang melihat dari wilayah
Baekje, dari Liucheng dan Beiping, Silla terletak di sebelah tenggara
Baekje, tetapi jika seseorang melihat dari Gyeongsang dan Ungjin di
Baekje, Silla terletak di timur lautnya. Wilayah
Baekje juga berbatasan dengan wilayah Mohe di utara. Ibu kotanya memiliki 2 kastil di 2 wilayah berbeda di barat dan timur. Kedua kastil disebut “Goma.” Kitab Song menyebutkab bahwa wilayah
Baekje di Tiongkok dinamakan distrik Jinping dari Provinsi Jinping. Tong-gao menyebutkan bahwa provinsi Jinping terletak di antara Liucheng dan Beiping pada masa Dinasti Tang.
Maka, salah satu ibu kota
Baekje terletak di Liaoxi dan satunya berada di semenanjung Korea. Barulah pada masa Kaisar Wu dari Liang,
Baekje memindahkan ibu kotanya ke semenanjung Korea.
Baik Kitab Sejarah Lama dan Baru Dinasti Tang menyebutkan bahwa wilayah kekuasaan
Baekje lama telah diserap oleh Silla dan Balhae. Jika wilayah
Baekje hanya terbatas pada barat laut semenanjung Korea saja, maka tidak mungkin bagi Balhae untuk menyerap wilayah-wilayah
Baekje.
Ilmuwan ternama Silla Choi Chi-won (857-?) menuliskan bahwa “Goguryeo dan
Baekje pada masa keemasannya memiliki militer yang sangat kuat yang mencapai satu juta orang, dan menginvasi negeri Wu dan Yue di selatan dan negeri You, Yan, Qi, dan Lu di sebelah utara daratan Tiongkok, membuat gangguan besar bagi dinasti-dinasti Negeri Tengah (Tiongkok).”
Berdasarkan catatan-catatan sejarah ini,
Baekje kemungkinan memiliki wilayah Liaoxi lebih dari 100 tahun lamanya.
= Hubungan dengan Jepang
=
Bantuan militer
Karena berkonflik dengan Goguryeo dan Silla,
Baekje (diterjemahkan Kudara dalam bahasa Jepang) menjalin hubungan yang dekat dengan Jepang. Menurut babad Korea Samguk Sagi,
Baekje dan Silla mengirimkan pangeran mereka ke Wa (Jepang) sebagai sandera. Sebagai balasannya, Jepang memberi bantuan militer.
Samguk Sagi dan Samguk Yusa menjelaskan bahwa beberapa keturunan keluarga kerajaan dan bangsawan
Baekje sangat dihormati istana kekaisaran Jepang. Yamato mendapat pengaruh kuat dari
Baekje dan menjalin hubungan baik dengan daratan Korea, seperti pada masa Kaisar Yomei, ketika didirikannya kuil Buddha Horyuji, sehingga Buddhisme dari Korea perlahan mengalir ke Jepang. Diketahui juga bahwa Raja Muryeong dari
Baekje, raja ke-25, ternyata dilahirkan di Jepang.
Teks sejarah Tiongkok Kitab Sui dari Dinasti Sui menyebutkan bahwa
Baekje mendapat bantuan militer dari Jepang pada perjanjian sungai Baekchon.
Babad Nihon Shoki yang kontroversial menyebutkan bahwa Maharani Jingu menerima upeti dan membangun aliansi dengan raja-raja
Baekje, Silla, dan Goguryeo. Lebih jauh, Nihon Shoki juga menuliskan bahwa Konfederasi Gaya adalah permukiman Yamato. Tidak satupun catatan sejarah Korea atau Tiongkok yang pernah menyebutkan bahwa Yamato pernah menduduki Korea.
Nihon Shoki memberi detail tentang tanggal invasi Silla ke
Baekje pada akhir abad ke-4. Namun, pada waktu ini Jepang adalah negeri konfederasi dari penguasa-penguasa lokal, sementara itu Tiga Kerajaan Korea sudah secara penuh berdiri. Rasanya sangat tidak mungkin bahwa negeri yang baru berkembang seperti Yamato dapat menerima upeti dan memiliki kekuasaan di atas
Baekje, yang diketahui sangat memengaruhi mereka, apalagi Goguryeo, kekuatan terbesar saat itu. Nihon Shoki dianggap sebagai sumber informasi yang tidak dapat dipercaya karena penuh dengan pernyataan dugaan dan cerita legenda.
Beberapa sejarawan Jepang menerjemahkan Prasasti Gwanggaeto yang bertarikh tahun 414 Masehi yang didirikan Raja Jangsu dari Goguryeo, sebagai penjelasan dari invasi Jepang pada bagian selatan semenanjung Korea. Yang lain mengklaim bahwa prasasti itu telah dimodifikasi dan bahwa tulisan mengenai kehadiran Jepang di daratan Asia telah ditambahkan oleh tentara Jepang yang menemukan prasasti kuno itu pada tahun 1910, bersamaan dengan dimulainya penjajahan Korea oleh Jepang. Beberapa sejarawan RRT dan Jepang yang mempelajarinya, tidak dapat percaya informasi yang tertulis di prasasti, akibat kerusakan yang disengajakan.
Kejatuhan dan pengungsian ke Jepang
Beberapa anggota kerajaan dan bangsawan
Baekje sudah tinggal di Jepang bahkan sebelum kerajaan tersebut mengalami kejatuhan tahun 660. Anggota keluarga kerajaan terdahulu pada awalnya dianggap sebagai“tamu asing” (蕃客) dan tidak diizinkan memasuki sistem politik kekaisaran selama beberapa waktu.
Atas respon dari permintaan
Baekje, pada tahun 663, Jepang mengirimkan jenderal Abe no Hirafu bersama pangeran Buyeo Pung (Jepang: Hōshō), seorang putra Raja Uija yang tinggal di Jepang dan 20 ribu orang pasukan dan seribu buah kapal untuk membantu memulihkan
Baekje.
Usaha ini gagal dalam Pertempuran Baekgang, dan pangeran Buyeo Pung melarikan diri ke Goguryeo. Berdasarkan Nihon Shoki, 400 buah kapal Jepang hancur dan hanya setengah dari pasukan yang kembali ke Jepang.
Kembalinya para pasukan Jepang diikuti banyak pengungsi dari
Baekje. Adik laki-laki Buyeo Pung, Sun-gwang (Jepang; Zenkō) menggunakan nama keluarga Kudara no Konikishi ("Raja
Baekje";百濟王) yang diberikan oleh Kaisar Kammu. Keturunan kerajaan
Baekje di Jepang disebut keluarga/klan Kudara. Menurut kitab Shoku Nihongi, ibunda dari Kaisar Kammu, Takano no Niigasa (高野新笠, ?–790), adalah keturunan langsung Raja Muryeong dari
Baekje. Kaisar Kammu menganggap klan Kudara no Konikishi sebagai “kerabat dari pernikahan.”
Banyak klan di Jepang yang merupakan keturunan dari keluarga kerajaan
Baekje seperti klan Ouchi, klan Sue, dan sebagainya.
Warisan
Baekje bangkit lagi pada periode Tiga Kerajaan Korea Zaman Akhir, saat Silla Bersatu jatuh. Pada tahun 892, jenderal Gyeon Hwon mendirikan Hubaekje (“
Baekje Selanjutnya”), Wansan (dekat Jeonju). Hubaekje digulingkan pada tahun 936 oleh Taejo dari Goryeo.
Pada masa sekarang, warisan
Baekje dapat ditemukan di daerah barat laut semenanjung Korea, khususnya meliputi provinsi Chungcheong Selatan dan Jeolla. Berbagai karya budaya
Baekje yang berharga sampai sekarang masih dipelihara antara lain pembakar dupa, kuil-kuil Buddha, patung dan ukiran Buddha, mahkota, perhiasan dan sebagainya. Beberapa harta nasional Jepang yang ditemukan di kuil-kuil Buddha dan museum-museum Jepang adalah warisan karya seni dari
Baekje.
Lihat pula
Daftar penguasa Korea
Sejarah Korea
Mahkota
Baekje
Referensi
Pranala luar
(Inggris)
Baekje History Museum Diarsipkan 2007-09-01 di Wayback Machine. maintained by South Chungcheong Province of South Korea
(Inggris) Buyeo National Museum
(Inggris) Gongju National Museum
(Inggris)
Baekje Research Institute Diarsipkan 2011-05-15 di Wayback Machine. eatablished in Chungnam National University
(Inggris) East Asian History Diarsipkan 2005-12-29 di Wayback Machine. by Wontack Hong, Professor Emeritus, Seoul National University