Kelir di dalam istilah pedalangan lebih merujuk kepada layar tempat memainkan boneka wayang. Sedangkan istilah lain juga berarti warna, misalnya saya memakai baju dengan
Kelir merah, berarti memakai bau berwarna merah.
Kelir dalam kaitannya dengan pergelaran wayang adalah sebuah layar berwarna putih berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 2 hingga 12 meter dan lebar 1,5 hingga 2,5 meter. Seperti dikataka oleh Redi Suta seorang dalang Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta bahwa panjang
Kelir yang dipergunakan oleh Keraton Surakarta antara 3,75 meter sampai 4 meter.
Kelir ukuran 3,75 meter untuk pementasan wayang Kyai Para, yang dalam pergelaranya boleh dilihat oleh penonon umum dan peralatan ini juga disewakan kepada masyarakat luas yang membutuhkannya. Sedangkan
Kelir panjang 4 meter untuk wayang Kyai Jimat, Kyai Kadung dan Kyai Kanyut. Ketiga jenis wayang ini hanya dipergelarkan khusus untuk keluarga Raja saja. Di daerah Surakarta panjang
Kelir antara 2 meter , 3,75 meter, 4 dan 6 meter. Hal tersebut karena masyarakat pedalangan di Surakarta meniru atau berkiblat kepada ukuran
Kelir yang ada di Keraton Kasunanan Surakarta.
Kelir yang terpendek biasanya hanya digunakan untuk kebutuhan belajar bagi para calon Dalang, tanpa menggunakan simpingan.
Menurut K.P.A Kusumadilaga, bagian
Kelir baik panjang dan lebarnya dibagi menjadi tiga bagaian, pertama bagian tengah diukur dari tengah-tengah
Kelir dimana terdapat Blencong atau lampu untuk menerangi pergelaran. Kedua, bagian samping kanan jaraknya satu lengan dari tangan kanan Dalang, diperuntukan sebagai tempat simpingan wayang kanan. Ketiga, bagian kiri, jaraknya satu lengan lebih satu jengkal dari tangan Dalang, sebagai tempat simpingan wayang kiri. Mengapa bagian kiri
Kelir yang untuk memainkan wayang lebih panjang satu jengkal dibagian kanan Dalang? hal ini untuk mengantisipasi adegan kerajaan, karena kiri tempat pungawa raja menghadap, yang jumlahnya pasti lebih banyak dibandingkan sebelah kanan yang untuk menancapkan Raja dan dayang-dayang saja. Sedalngkan lebar
Kelir Menurut Kusumadilaga dibagi tiga baian juga. Pertama, bagian atas yang disebut dengan langitan, bagian tengah jagatan dan bagian bawah palemahan (Kamajaya, Sudibya Z.Hadi Sucipto 1981:51-52).
Kelir ini terbuat dari bahan kain sejenis katun bukan nilon atau orang jawa sering menyebutnya mekao. Bahan ini dipilih karena tidak terlalu licin sehingga jika wayang ditempelkan ke
Kelir tidak akan mudah goyang ke kanan dan ke kiri, dalang bisa mengendalikan gerak wayang dengan mudah.Di semua sisi pinggirnya
Kelir di balut dengan kain warna hitam, dengan lekukan tertentu. Sisi atas disebut sebagai pelangitan sedangkan sisi bawah disebut palemahan. Disebut pelangitan karena letaknya di atas dan difungsikan sebagai langitnya wayang. Bila suatu tokoh boneka wayang dalam posisi terbang, maka akan sampai menyentuh
Kelir bagian atas ini. Sedangkan palemahan berasal dari kata "lemah" yang berarti tanah sehingga dalam pakeliran lebih difungsikan sebagai tempat berpijaknya wayang. Jika tancepan wayang di atas garis palemahan, wayang tersebut akan terlihat mengambang.
Sisi kanan kiri
Kelir dijahit berlubang untuk tempat meletakkan sligi, yakni semacam tiang kecil yang terbuat dari bambu atau kayu untuk membentangkan
Kelir di bagaian kanan dan kiri yang ditancapkan pada batang pisang di bagian bawahnya sedangkan bagian atas dihubungkan dengan gawangan
Kelir. Disi atas dan bawah
Kelir juga di jahitkan besi benbentuk bulatan atau segitiga kecil yang berfungsi untuk mengencangkan
Kelir dengan tali di bagian atas yang bernama pluntur dan dengan placak atau placek di bagian bawah.
Informasi tentang pertunjukan wayang menggunakan
Kelir sudah ada sejak abad XII, seperti yang termuat dalam kitab Wrettasancaya yang dilukiskan dengan kata-kata "Lwir mawayang tahen gati nikang wukir kineliran himarang anipis". Tulisan tersebut diterjemahkan oleh Kern "Semua pepohonan seperti wayang dengan mega-mega yang mengawang menutupi seperti
Kelir atau layar. (Hazeu 1978:42). Berita lain adanya
Kelir juga termuat dalam Kitab Tantu Panggelaran, bahwa pertunjukan wayang sudah menggunakan keli. Hal itu diceritakan turunnya para dewa ke mayapada yakni, Batara Iswara (Siwa), Batara Brahma dan Batara Wisnu mendalang dengan menggunakan peralatan pangung dan
Kelir atau layar. (1979: 42-44).
Pada perkembangannya bentuk
Kelir ini tidak hanya berbentuk empat persegi panjang, tetapi untuk kebutuhan tertentu
Kelir ada yang dibuat dengan bentuk setengah lingkaran sebagaimana separoh bola dunia dengan bergambarkan pulau-pulau di sisi bagian atas.
Kelir sangat berkaitan erat dengan gawangan
Kelir, gedebog, tapakdoro, kotak wayang, keprak, dan samir/semyok.
Referensi
Hazeu, G.A.J, dan RM.Mangkoedimedjo 1979 Kawruh Asalipun Ringgit Sarta magepokanipun Kaliyan Agami Ing Jaman Kino. Trans. Sumarsana, Transk. Harjana HP. Jakarta : Proyek Penerbitan Buku Bacaan dab Sastra Indonesia dan daerah.
Kamajaya dan Sudibyo Z. Hadi Sucipto 1981 Sastramiruda. Jakrata: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan daerah.