Keris merupakan senjata tajam golongan belati dari suku Jawa yang memiliki ragam fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, sering kali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah.
Keris bagi orang Jawa adalah senjata pamungkas/terakhir setelah pedang, tombak, dan panah. Sejatinya
Keris bukanlah senjata utama dalam peperangan tetapi juga senjata yang disukai untuk dibawa pergi kemanapun.
Pada masa lalu
Keris berfungsi sebagai senjata dalam duel atau peperangan, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini dan penggunaan perkembangan
Keris dari waktu ke waktu orang Jawa mengubahnya menjadi benda yang memiliki filosofi pengajaran hidup bagi pemiliknya, sebagai identitas diri, pesan moral, simbol cerminan diri, ketentraman, kesabaran, harapan/impian keinginan, serta pengingat diri atau pagar nasihat bagi pemiliknya agar selalu damai tenang hatinya tidak mudah emosi, harus selalu berjiwa bersih dan bersahaja, semua itu di tuangkan ke dalam simbol simbol yang terdapat di setiap bentuk
Keris dan rupa rupa pamor
Keris.
Keris juga merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Keris telah terdaftar dan diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia yang berasal dari Indonesia sejak 2005.
Asal usul dan fungsi
Asal usul
Keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "
Keris" telah tercantum pada prasasti Taji Ponorogo dari abad ke-10 Masehi. . Ada banyak teori yang mencoba menjelaskan asal muasal
Keris di nusantara. G.B. Gardner dalam bukunya
Keris and Other Malay Weapon
Keris dianggap sebagai pengembangan dari senjata tikam prasejarah. Namun diperkirakan asal mula penyebutan kata "
Keris" merupakan singkatan bahasa Jawa dari "Mlungker-mlungker kang bisa ngiris", dugaan bentuk
Keris berkelok/mlungker adalah pengembangan desain dari bentukan
Keris yang awalnya lurus, yang diilhami dari seekor ular yang sedang melata karena bagi orang Jawa ular adalah hewan yang disakralkan mengingat orang Jawa pada saat itu mengutamakan dewa Siwa yang berkalung ular.
Sedangkan
Keris yang lurus adalah perkembangan dari bentuk kadga yaitu bentuk paling awal
Keris. dalam bahasa Jawa berarti "(kata sinengker, karana, dan aris). Sinengker atau sengkeran mempunyai arti kurungan, karana
mempunyai arti jalaran, dan aris mempunyai arti tanpa suloyo" Kajian ilmiah perkembangan bentuk
Keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi
Keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.
= Prototipe Keris
=
Satu panel relief Candi Borobudur (abad ke-9) yang memperlihatkan seseorang memegang benda serupa
Keris tetapi belum memiliki derajat kecondongan dan hulu/deder nya masih menyatu dengan bilah.
Pada catatan Prasasti Ponorogo berangka tahun 823 saka, atau 901 M menyebutkan 392 orang hadir untuk upacara penghormatan Sang Hyang Vatu Sima (Dewa Harimau Batu). Dalam upacara disembelih 6 ekor kerbau untuk para warga. Hadir pula warga dari 7 desa tetangga. Semua warga dan tamu undangan diberi hadiah berupa makanan beraneka ragam dari daging hingga ikan laut,
Keris, kain, dan emas. Dalam acara tersebut diadakan tari-tarian, makan bersama, kemudian doa pengusiran roh jahat oleh Pandita.
Keris-
Keris yang sangat banyak tersebut ditempa oleh para empu Ponorogo zaman Wengker.
Dari abad yang sama, prasasti Karangtengah di Temanggung, Jawa Tengah berangka tahun 824 Masehi menyebut istilah "
Keris" dalam suatu daftar peralatan. Prasasti Poh (904 M) menyebut "
Keris" sebagai bagian dari sesaji yang perlu dipersembahkan. Walaupun demikian, tidak diketahui apakah "
Keris" itu mengacu pada benda seperti yang dikenal sekarang.
Kajian ilmiah perkembangan bentuk
Keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi
Keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.
=
Dari abad ke-15, salah satu relief di Candi Sukuh yang merupakan tempat pemujaan dari masa akhir Majapahit, dengan gamblang menunjukkan seorang empu tengah membuat
Keris. Relief ini pada sebelah kiri menggambarkan Bhima sebagai personifikasi empu tengah menempa besi, Ganesha di tengah, dan Arjuna tengah memompa tabung peniup udara untuk tungku pembakaran. Dinding di belakang empu menampilkan berbagai benda logam hasil tempaan, termasuk
Keris.
.... Orang-orang ini [Majapahit] selalu mengenakan pu-la-t'ou (belati? atau beladau?) yang diselipkan pada ikat pinggang. [...], yang terbuat dari baja, dengan pola yang rumit dan bergaris-garis halus pada daunnya; hulunya terbuat dari emas, cula, atau gading yang diukir berbentuk manusia atau wajah raksasa dengan garapan yang sangat halus dan rajin.— Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan Fai
Catatan Ma Huan dari tahun 1416, anggota ekspedisi Cheng Ho, dalam "Ying-yai Sheng-lan" menyebutkan bahwa orang-orang Majapahit selalu mengenakan (pu-la-t'ou) yang diselipkan pada ikat pinggang.
Mengenai kata Pu-la-t'ou ini, meskipun hanya berdasarkan kemiripan bunyi, banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah "belati", dan karena
Keris adalah senjata tikam sebagaimana belati maka dianggap pu-la-t'ou menggambarkan
Keris. Tampaknya masih harus dilakukan penelitian apakah betul pada masa majapahit
Keris disebut "belati" tetapi terdapat deskripsi yang menggambarkann bahwa "belati" ini adalah
Keris dan teknik pembuatan pamor telah berkembang baik.
Bisa jadi yang dimaksud oleh Ma Huan dengan Pulat'ou adalah "Beladau". Kata "beladau" lebih menyerupai "Pu- La-T'ou" daripada "belati".
...Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut,
Keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh...— Sanghyang siksakandang karesian, Bait XVII
Keris disebutkan dalam naskah Sunda dari tahun 1440 Saka (1518 M), Sanghyang Siksa Kandang Karesian bait XVII, yang menyebutkan bahwa
Keris adalah senjata Prabu, (raja, golongan ksatriya). Naskah ini membagi senjata dalam masyarakat Kerajaan Sunda ke dalam tiga golongan; senjata untuk prabu (raja, menak, atau golongan ksatriya) adalah pedang, pecut, pamuk, golok, peso teundeut, dan
Keris; senjata untuk kaum petani adalah kujang, baliung, patik, kored, dan pisau sadap; sementara senjata kaum pendeta adalah kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, dan pakisi.
... setiap laki-laki di Jawa, tidak peduli kaya atau miskin, harus memiliki sebilah
Keris di rumahnya ... dan tidak ada satu pun laki-laki berusia antara 12 dan 80 tahun bepergian tanpa sebilah
Keris di sabuknya.
Keris diletakkan di punggung, seperti belati di Portugal...
— Tome Pires, Suma Oriental
Tome Pires, penjelajah Portugis dari abad ke-16, menyinggung tentang kebiasaan penggunaan
Keris oleh laki-laki Jawa. Deskripsinya tidak jauh berbeda dari yang disebutkan Ma Huan seabad sebelumnya.
Berita-berita Portugis dan Prancis dari abad ke-17 telah menunjukkan penggunaan meluas pamor dan pemakaian pegangan
Keris dari kayu, tanduk, atau gading di berbagai tempat di Nusantara.
= Perkembangan fungsi Keris
=
Pada masa kini,
Keris memiliki fungsi yang beragam dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk
Keris yang ada.
Keris sebagai elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh prasasti-prasasti dari milenium pertama menunjukkan
Keris sebagai bagian dari persembahan. Pada masa kini,
Keris juga masih menjadi bagian dari sesajian. Lebih jauh,
Keris juga digunakan dalam ritual/upacara mistik atau paranormal.
Keris untuk penggunaan semacam ini memiliki bentuk berbeda, dengan pesi menjadi hulu
Keris, sehingga hulu menyatu dengan bilah
Keris.
Keris semacam ini dikenal sebagai
Keris sesajian atau "
Keris majapahit" (tidak sama dengan
Keris tangguh Majapahit)!.
Pemaparan-pemaparan asing menunjukkan fungsi
Keris sebagai senjata di kalangan awam Majapahit.
Keris sebagai senjata memiliki bilah yang kokoh, keras, tetapi ringan. Berbagai legenda dari periode Demak–Mataram mengenal beberapa
Keris senjata yang terkenal, misalnya
Keris Nagasasra Sabukinten.
Tata cara penggunaan
Keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Bagi orang Jawa misalnya disebut Udhonorogo Pakerisan ( Etika berbusana dalam pemakaian
Keris),
Keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai, posisi
Keris di belakang ada banyak macam tetapi yang paling utama sebagai berikut :
1. Ngogleng
Posisi pertama kerap disebut Ngogleng, dimana
Keris akan dimasukkan ke dalam lipatan kedua dan ketiga sabuk stagen yang kerap ada dalam pakaian adat Jawa. Sementara gagangnya biasanya akan condong ke sebelah kanan.
Posisi Ngogleng kerap dikenakan oleh abdi dalem dan masyarakat umum. Mereka meletakkan
Keris di bagian belakang dengan posisi tersebut saat menghadiri acara resmi yang bersifat formal juga ketika dalam masa damai.
2. Kureban
Jika Ngogleng membuat gagang
Keris condong ke kanan, posisi Kureban justru menjadikannya menghadap ke kiri. Ketika memakai
Keris dengan posisi seperti ini, maka orang tersebut biasanya sedang menghadiri acara duka cita.
3. Satriya Keplayu
Adalah posisi
Keris di belakang tengah tegak lurus adalah ketika seseorang sedang beraktivitas yang membutuhkan banyak gerakgerak, juga ketika sedang menghadap raja.
Untuk penempatan di bagian depan yaitu Nyothe adalah posisi yang dilakukan oleh seorang ulama/ resi atau dia adalah seorang spiritualis, penempatan di depan ataupun di samping juga bisa diartikan sebagai siap siaga ketika sedang berperang atau bertarung.
Untuk orang Bali
Keris diletakkan di punggung belakang, sedangkan orang Jawa Ponorogo, Bugis dan Melayu
Keris ditempatkan di depan.
Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudhi, arit, dan
Keris sombro. Para sejarawan umumnya bersepakat,
Keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "
Keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe)
Keris. Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan
Keris Buda dan
Keris sajen.
Keris sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah
Keris.
Bahan, pembuatan, dan perawatan
Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan
Keris ada dua macam logam adalah logam besi dan logam pamor, sedangkan pesi
Keris terbuat dari baja. Untuk membuatnya ringan para Empu selalu memadukan bahan dasar ini dengan logam lain.
Keris masa kini (nèm-nèman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai logam pamor nikel.
Keris masa lalu (
Keris kuna) yang baik memiliki logam pamor dari batu meteorit yang diketahui memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 di kompleks percandian Prambanan.
Pembuatan
Keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara ringkas menurut salah satu pustaka.
Bilah besi sebagai bahan dasar diwasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya karbon serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua kodhokan seperti roti sandwich, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.
Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur
Keris yang akan dibuat. Silak waja dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk.
Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan dengan diameter pesi.
Tahap terakhir, yaitu penyepuhan, dilakukan agar logam
Keris menjadi logam besi baja. Pada
Keris Filipina tidak dilakukan proses ini. Penyepuhan ("menuakan logam") dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam, dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan). Penyepuhan juga dapat dilakukan dengan memijarkan
Keris lalu dicelupkan ke dalam cairan (air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung pengalaman Empu yang membuat). Tindakan penyepuhan harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat bilah
Keris retak.
Selain cara Penyepuhan yang lazim seperti diatas dalam penyepuhan
Keris dikenal pula Sepuh jilat yaitu pada saat logam
Keris membara diambil dan dijilati dengan lidah, Sepuh Akep yaitu pada saat logam
Keris membara diambil dan dikulum dengan bibir beberapa kali dan Sepuh Saru yaitu pada saat logam
Keris membara diambil dan dijepit dengan alat kelamin wanita (Vagina) Sepuh Saru ini yang terkenal adalah Nyi Sombro, bentuk kerisnya tidak besar tapi disesuaikan.
Pemberian warangan dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan
Keris pada umumnya. Perawatan
Keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Muharram/Sura, meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan
Keris adalah "memandikan"
Keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan karat pada bilah
Keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah kelapa, hancuran buah mengkudu, atau perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi bilah
Keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.
Morfologi
Beberapa istilah di bagian ini diambil dari tradisi Jawa, semata karena rujukan yang tersedia.
Keris atau dhuwung terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bilah (wilah atau daun
Keris), ganja ("penopang"), dan hulu
Keris (ukiran, pegangan
Keris). Bagian yang harus ada adalah bilah. Hulu
Keris dapat terpisah maupun menyatu dengan bilah. Ganja tidak selalu ada, tapi
Keris-
Keris yang baik selalu memilikinya.
Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung
Keris atau warangka.
Bilah
Keris merupakan bagian utama yang menjadi identifikasi suatu
Keris. Pengetahuan mengenai bentuk (dhapur) atau morfologi
Keris menjadi hal yang penting untuk keperluan identifikasi. Bentuk
Keris memiliki banyak simbol spiritual selain nilai estetika. Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dalam morfologi
Keris adalah kelokan (luk), ornamen (ricikan), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (dhapur)
Keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai
Keris.
Pengaruh waktu memengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan
Keris tercermin dari konsep tangguh, yang biasanya dikaitkan dengan periodisasi sejarah maupun geografis, serta empu yang membuatnya.
= Hulu atau pegangan Keris
=
Pegangan
Keris (bahasa Jawa: gaman, atau deder untuk
Keris gaya Yogyakarta dan jejeran untuk
Keris Surakarta) ini bermacam-macam motifnya, untuk
Keris Bali ada yang bentuknya menyerupai dewa, pedande (pendeta), raksasa, penari, pertapa hutan dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia dan biasanya bertatahkan batu mirah delima, dulu sebelum islam masuk, gagang
Keris Jawa berbentuk seperti patung Dewa-dewa tetapi setelah Islam masuk penggunaan patung dilarang sehingga gagang
Keris mengalami perombakan, tetapi di Bali masih dilestarikan. Walaupun begitu bentuk gagang patung berbentuk karakter masih ditemukan pada
Keris Jawa bagi mereka yang menganut kejawen.
Pegangan
Keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada
Keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau), Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu,
Keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.
Untuk pegangan
Keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ), jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan),weteng dan bungkul.
= Warangka atau sarung Keris
=
Warangka, atau sarung
Keris (bahasa Banjar: kumpang), adalah komponen
Keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Sejalan dengan perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi wrangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading.
Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis warangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian: angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong, dan gandek.
Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi, misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkawinan, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar
Keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan
Keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).
Dalam perang, yang digunakan adalah
Keris wrangka gayaman, pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.
Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah
Keris ) yang disebut gandar atau antupan,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran).
Karena fungsi gandar untuk membungkus, sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok. Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah, dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ), perak, emas. Untuk daerah di luar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis, Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas, disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.
Untuk
Keris Jawa, menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya, (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat, serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah. Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).
= Wilah atau bilah Keris
=
Wilah, wilahan, atau bilah adalah bagian utama dari sebuah
Keris. Wilah
Keris adalah logam yang ditempa sedemikian rupa sehingga menjadi senjata tajam. Wilah terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola, pinarak, jamang murub, bungkul, kebo tedan, pudak sitegal, dll.
Pada pangkal wilahan terdapat pesi, yang merupakan ujung bawah sebilah
Keris atau tangkai
Keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan
Keris (ukiran). Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.
Pada pangkal (dasar
Keris) atau bagian bawah dari sebilah
Keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled, bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut, dungkul, kelap lintah dan sebit rontal.
Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah
Keris, dan dilihat dari bentuknya
Keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu
Keris yang lurus dan
Keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah, dimulai dari pangkal
Keris ke arah ujung
Keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal (ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13).
Dalam perdagangan
Keris nama dhapur sering dipermudah sebagai berikut:
1.
Keris lurus disebut Jalak
2.
Keris Luk 3 disebut Jangkung
3.
Keris Luk 5 disebut Pendhawa
4.
Keris Luk 7 disebut Sempana atau Sumpana
5.
Keris Luk 9 disebut Jigja
6.
Keris Luk 11 disebut Sabuk inten atau Carita
7.
Keris Luk 13 disebut Sengkelat
Dhapur
Keris lurus:
1. Panji Anom 2. Jaka Tuwo 3. Bethok 4. Karna Tinandhing 5. Semar Bethak 6. Regol 7. Kebo Teki 8. Jalak Nguwuh 9. Sempani 10. Jamang Murub 11. Tumenggung 12. Tilam Upih 13. Pasopati 14. Condhong Campur 15. Jalak Dhinding 16. Jalak Ngore 17. Jalak Sangu Tumpeng 18. Mendarang 19. Mesem 20. Semar Tinandhu 21 Ron Teki 22. Sujen Ampel 23. Kelap Lintah 24. Yuyu Rumpung 25. Brojol 26. Laler Mengeng 27. Puthut 28. Jalak Sumelang Gandring 29. Mangkurat 30. Mayat Miring 31. Kalam Munyeng 32. Pinarak 33. Marak 34. Jalak Tilamsari 35.Tilamsari 36. Jalak Lola 37. Wora-wari 38. Wora-wari 39. Sinom 40. Kala Misani
Dhapur luk tiga (3)
1. Jangkung Pacar 2. Maesa Soka 3. Maesa Nempuh 4. Mayat 5. Jangkung Pacar 6. Tebu Sauyun 7. Bango Dholok 8. Manglar Munya 9. Campur Bawur 10. Segara Winotan 11. Jangkung Cinarita
Dhapur Luk Lima (5)
1. Sinarasah 2. Pudhak Sategal 3. Pulanggeni 4. Pandhawa 5. Anoman 6. Kebo Dhengen 7. Kalanadhah 8. Pandhawa lare 9. Urap-urap 10. Naga Salira 11. Kebo Dhendheng 12. Pandhawa Cinarita 11. Jangkung Cinarita
Dhapur Luk Tujuh (7)
1. Balebang 2. Murma Malela 3. Crubuk 4. Jaran Goyang 5. Naga-Kras 6. Sempana Punjul 7. Sempana Bungkem 8. Crita Casapta
Dhapur Luk Sembilan (9)
1. Kidang Mas 2. Panji Sekar 3. Sempana 4. Jaruman 5. Jarudheh 6. Paniwen 7. Panimbal 8. Kidang Soka 9. Carang Soka 10. Sabuk Tampar 11. Buto Ijo 12. Sempana Kalenthang 13. Crita Kanawa
Dhapur Luk Sebelas (11)
1. Carita Bungkem 2. Carita Prasaja 3. Carita Kaprabon 4. Carita Daleman 5. Sabuk Inten 6. Cluring Regol 7. Carita Genengan 8. Carita Gandhu 9. Sabuk Tali 10. Jaka Wuru
Dhapur Luk Tigabelas (13)
1. Caluring 2. Sangkelat 3. Johan Mangan Kala 4. Nagasasra 5. Parungsari 6. Kantar 7. Luk Gandhu 8. Sepokal 9. Karawelang 10. Naga Selumen 11. Bima Kurdha
Dhapur Luk 17, 19, 21, 25, dan 29
Luk 17 Ngamper Buta Lancingan
Luk 19 Trimurda Kala Tinantang
Luk 21 Drajit Trisirah
Luk 25 Bima Kurdha
Luk 27 Taga Wirun
Luk 29 Kalabendu
Keris-
Keris pusaka keraton hanya sampai berluk13 saja.
Keris yang berluk lebih dari 13 disebut
Keris Kalawijen atau Palawijan,
Keris kalawija, atau
Keris tidak lazim dan tidak termasuk Pusaka Keraton.
Pasikutan, tangguh Keris, dan perkembangan pada masa kini
Lihat pula artikel Tangguh
Keris.
Yang dimaksud dengan pasikutan adalah "roman" atau kesan emosi yang dibangkitkan oleh wujud suatu
Keris. Biasanya, personifikasi disematkan pada suatu
Keris, misalnya suatu
Keris tampak seperti "bungkuk", "tidak bersemangat", "riang", "tidak seimbang", dan sebagainya. Kemampuan menengarai pasikutan merupakan tahap lanjut dalam mendalami ilmu perkerisan dan membawa seseorang pada panangguhan
Keris.
Langgam/gaya pembuatan suatu
Keris dipengaruhi oleh zaman, tempat tinggal dan selera empu yang membuatnya. Dalam istilah perkerisan Jawa, langgam
Keris menurut waktu dan tempat ini diistilahkan sebagai tangguh. Tangguh dapat juga diartikan sebagai "perkiraan", maksudnya adalah perkiraan suatu
Keris mengikuti gaya suatu zaman atau tempat tertentu. "Penangguhan"
Keris pada umumnya dilakukan terhadap
Keris-
Keris pusaka, meskipun
Keris-
Keris baru dapat juga dibuat mengikuti tangguh tertentu, tergantung keinginan pemilik
Keris atau empunya.
Tangguh
Keris tidak bersifat mutlak karena deskripsi setiap tangguh pun dapat bersifat tumpang tindih. Selain itu, pustaka-pustaka lama tidak memiliki kesepakatan mengenai empu-empu yang dimasukkan ke dalam suatu tangguh. Hal ini disebabkan tradisi lisan yang sebelum abad ke-20 dipakai dalam ilmu padhuwungan.
Meskipun tangguh tidak identik dengan umur, tangguh
Keris (Jawa) yang tertua yang dapat dijumpai saat ini adalah tangguh Buda (atau
Keris Buda).
Keris pusaka tertua dianggap dan masih dugaan yaitu dari tangguh Pajajaran, yaitu dari periode ketika bagian paling barat Jawa Tengah masih di bawah pengaruh Kerajaan Galuh ini pun sebenarnya bukan
Keris melainkan senjata kadga dan tidak bisa menjadi acuan pula sebab sebelum hindu masuk, Jawa sudah memiliki senjata senjata asli pribumi sendiri, dan kadga sezaman dengan Kerajaan Mataram kuno dilihat dari arca dwarapala pada candi Sewu yang dibagian pinggang belakang membawa kadga.
Keris pusaka termuda adalah dari masa pemerintahan Pakubuwana X (berakhir 1939). Selanjutnya, kualitas pembuatan
Keris terus merosot, bahkan di Surakarta pada dekade 1940-an tidak ada satu pun pandai
Keris yang bertahan.
Kebangkitan seni kriya
Keris di Surakarta dimulai pada tahun 1970, dibidani oleh K.R.T. Hardjonagoro (Go Tik Swan) dan didukung oleh Sudiono Humardani, melalui perkumpulan Bawa Rasa Tosan Aji. Perlahan-lahan kegiatan pandai
Keris bangkit kembali dan akhirnya ilmu perkerisan juga menjadi satu program studi pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (sekarang ISI Surakarta).
Keris-
Keris yang dibuat oleh para pandai
Keris sekarang dikenal sebagai
Keris kamardikan ("
Keris kemerdekaan"). Periode ini melahirkan beberapa pandai
Keris kenamaan dari Surakarta seperti KRT. Supawijaya (Surakarta), Pauzan Pusposukadgo (Surakarta), tim pandai
Keris STSI Surakarta, Harjosuwarno (bekerja pada studio milik KRT Hardjonagoro di Surakarta), Suparman Wignyosukadgo (Surakarta).
Keris legendaris
Keris Mpu Gandring
Keris Pusaka Setan Kober
Keris Rakian Naga Batu Handak
Keris Blambangan
Keris Kyai Carubuk
Keris Kyai Condong Campur
Catatan
Referensi
Pranala luar
(Inggris) The Indonesian Kris - UNESCO: Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity - 2008