Kesultanan Kadriyah
Pontianak adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Aburrahman Bin Husein Bin Ahmad Alkadri di daerah muara simpang tiga Sungai Kapuas kecil dan sungai landak yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah, Utin Chandramidi, dan kedua pada tahun 1768 dengan Ratu Syahranum (Ratoe Sarib Anom) dari
Kesultanan Banjar (putri atau saudara dari Sultan Saat/Sulaiman Saidullah 01), sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran Nur Alam. Setelah Habib Husein, ayah Syarif Abdurrahman, wafat di Mempawah pada tahun 1771, mereka memutuskan mencari wilayah baru dan mendapatkan tempat di
Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan
Pontianak pada tahun 1778.
Sejarah
= Pendirian
=
Kesultanan Pontianak didirikan pada tanggal 23 Oktober 1771. Pendirinya adalah seorang putra ulama keturunan Arab dari Kerajaan Mempawah yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadrie. Pendirian
Kesultanan Pontianak ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan
Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami
Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan
Pontianak Timur, Kota
Pontianak, Kalimantan Barat.
= Masa Kolonial
=
Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki
Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpalm. Sultan memberikan izin kepada Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana
Kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal. Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779-1784) dengan kedudukan di
Pontianak. Semula, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.
Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van
Pontianak (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten
Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van
Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van
Pontianak.
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang,
Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan
Pontianak menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim,
Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudian Kerajaan Inggris sejak tahun 1811.
Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Alkadrie (1819-1855) naik tahta sebagai Sultan
Pontianak. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada 1860.
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), kemudian dinobatkan sebagai Sultan
Pontianak pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik tahta setelah beberapa bulan ayahandanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam.
Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan
Pontianak pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama
Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah
Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di
Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di
Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat
Kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
= Masa Pendudukan Jepang
=
Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala tentara Kekaisaran Jepang ke
Pontianak pada tahun 1942. Pada 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan
Kesultanan Pontianak dan beberapa
Kesultanan-
Kesultanan Melayu di Kalimantan Barat.
Pihak Jepang sebenarnya sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat terdapat komplotan-komplotan yang terdiri atas kaum cendekiawan, para bangsawan, raja, sultan, tokoh masyarakat, orang-orang Tionghoa, dan para pejabat. Sehingga mereka berinisiatif untuk menghancurkan mereka dengan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi antara September 1943 dan awal 1944. Tak hanya melakukan penangkapan-penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan penduduk
Pontianak dan sekitarnya. Pada 28 Juni 1944, Jepang menghabisi Sultan Syarif Muhammad beserta beberapa anggota keluarga dan kerabat
Kesultanan, pemuka adat, para cendekiawan, dan tokoh masyarakat
Pontianak. Nasib sama juga menimpa para raja dan sultan lain serta masyarakat di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-mena Jepang inilah yang menjadi salah satu faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.
Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada di
Pontianak. Saat itu ia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas pada 1945.
= Setelah Proklamasi Kemerdekaan
=
Syarif Hamid kembali ke
Pontianak dan dinobatkan menjadi Sultan
Pontianak (1945-1978) pada 29 Oktober 1945 dengan gelar Sultan Syarif Hamid II, atau lebih dikenal dengan nama Sultan Hamid II.
Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, atas prakarsa Sultan Hamid II inilah,
Kesultanan Pontianak dan
Kesultanan-
Kesultanan Melayu di Kalimantan Barat bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Pada masa itu Sultan Hamid II menjabat sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada 1947-1950. Sultan Hamid II adalah perancang Lambang Negara Indonesia. Selain sebagai Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg / BFO) pada tahun 1949, ia juga menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat.
Pada 28 Oktober 1946, Pemerintah Sipil Hindia Belanda sebagai Dewan Borneo Barat membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa pada 12 Mei 1947. Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi monarki-monarki (swapraja) di Kalimantan Barat, termasuk
Kesultanan Pontianak. Saat itu Sultan Hamid II ditujuk sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Sebelum 5 April 1950, Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Republik Indonesia (RIS). Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan. Setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat pada 17 Agustus 1950, wilayah
Kesultanan Pontianak menjadi bagian Provinsi Kalimantan Barat.
Setelah Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978, terjadi kekosongan jabatan sultan di keluarga
Kesultanan Pontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung selama 25 tahun. Namun pada 15 Januari 2004, pihak bangsawan Istana Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan
Pontianak ke VIII. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 29 Januari 2001 seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie binti Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriyah
Kesultanan Pontianak. Kekerabatan ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya Melayu
Pontianak, termasuk menghidupkan dan melestarikannya.
Berikut adalah daftar para sultan yang pernah bertakhta dan memerintah
Kesultanan Pontianak, sejak dilantiknya Syarif Abdurrahman Alkadrie sebagai sultan pada tahun 1778, masa VOC, masa Hindia Belanda, masa Pendudukan Jepang, hingga bergabungnya
Kesultanan dengan negara Indonesia.
Nasab
Lihat Pula
Kerajaan Mempawah
Kabupaten Mempawah
Kota
Pontianak
Referensi
Pranala luar
http://www.princehamzah.jo/English/The_Hashemite_Lineage.html Diarsipkan 2005-12-30 di Wayback Machine.
(Inggris) Silsilah Sultan
Pontianak
(Inggris)
Kesultanan Pontianak di University of Queensland
(Inggris)Bendera
Kesultanan Pontianak
(Indonesia) weblog Syarif Ibrahim
(Melayu)
Pontianak Diarsipkan 2008-05-24 di Wayback Machine.
(Indonesia) Penobatan Sultan Syarif Abubakar Alkadrie
(Indonesia) Sejarah Istana Kadriah Tempat Wisata di Kota
Pontianak Diarsipkan 2018-11-04 di Wayback Machine.