PT Komunikasi Selular Indonesia (disingkat
Komselindo) merupakan sebuah perusahaan operator seluler yang pernah beroperasi di Indonesia. Menggunakan teknologi AMPS (berfrekuensi 835-845 dan 880-890 MHz dengan bandwith 20 MHz) dan cdmaOne (berfrekuensi 800 MHz), perusahaan yang didirikan pada tahun 1995 ini awalnya dimiliki secara patungan oleh PT Telekomunikasi Indonesia dan PT Elektrindo Nusantara.
Komselindo memiliki visi memberikan nilai lebih pada arus informasi di masyarakat, dengan menjadi operator seluler utama yang memberikan beragam layanan dan fasilitas berteknologi terbaru dalam bentuk jaringan yang baik dan pelayanan yang prima, baik untuk kalangan individu maupun korporasi lokal dan internasional.
Adapun operasionalnya secara independen berakhir di tahun 2003, setelah diakuisisi oleh PT Mobile-8 Telecom (kini Smartfren) yang menjadikannya anak usaha yang mengelola jaringannya dengan sistem baru CDMA2000. Pada tahun 2007,
Komselindo meleburkan diri dengan induknya Mobile-8, yang mengakhiri operasionalnya setelah berdiri selama 12 tahun.
Sejarah
= Pendirian
=
Komselindo didirikan pada 25 Januari 1995, sebagai perusahaan patungan yang dimiliki oleh PT Elektrindo Nusantara (anak perusahaan Bimantara Citra yang dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo) sebesar 65% dan Telkom sebesar 35%. Mulai beroperasi sejak 1 Juni 1995, perusahaan ini memiliki izin sebagai operator seluler dengan sistem AMPS. Adapun pengguna layanan perdananya adalah eks-pengguna jaringan Elektrindo (sekitar 49.000) yang dialihkan ke
Komselindo sejak Maret 1995.
Akar bisnisnya dapat ditarik ketika di tanggal 26 November 1988, PT Elektrindo (yang merupakan sebuah perusahaan telekomunikasi) diberi izin oleh Deparpostel (sekarang Kemenparekraf) untuk membangun jaringan AMPS bagi telepon mobil (istilah resminya STKB-N, Sistem Sambungan Telepon Kendaraan Bermotor Nasional) di sejumlah kota-kota besar, seperti Semarang, Medan, dan Jakarta menggunakan skema bagi hasil bersama Telkom. Pembangunannya dimulai sejak September 1990, awalnya di Jakarta dan Bandung (dengan kapasitas untuk 25.000 pengguna) yang memakan biaya US$ 30 juta, dan mulai beroperasi pada November 1991. Selanjutnya, ekspansi dilakukan ke Medan dan Ujungpandang. Adapun frekuensi yang digunakan memiliki bandwith 10 MHz, sedangkan untuk infrastrukturnya disuplai oleh Motorola. Selama 4 tahun beroperasi, PT Elektrindo sudah memiliki 27.000 pengguna AMPS, yang akan bertambah seiring rencana pembangunan jaringan berkapasitas 13.000 dengan modal Rp 40 miliar. Belakangan, pada bulan Agustus 1994, antara Telkom dan Elektrindo tercapai kesepakatan untuk mentransformasikan kerjasama bagi hasil ini menjadi perusahaan patungan, dan selanjutnya divisi Elektrindo yang menjalankan jasa operator AMPS digabungkan ke
Komselindo.
Sebagai bagian dari skema pemerintah saat itu,
Komselindo diberikan hak untuk beroperasi di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jabodetabek, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dengan menggunakan frekuensi 825-835 MHz. Namun, demi memenuhi kepuasan penggunanya, layanan AMPS
Komselindo juga dapat menerima dan melakukan panggilan ke 18 kota di 12 provinsi di Indonesia (termasuk yang bukan wilayah operasionalnya) seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Ujungpandang, Yogyakarta, Surabaya dan Banjarmasin. Hal ini bisa terjadi berkat kerjasama roaming dengan dua operator AMPS lainnya di dalam negeri, Metrosel dan Telesera.
= Pengembangan teknologi dan operasional
=
Dalam tahun pertama beroperasinya,
Komselindo mematok target 95.000 pelanggan dan menyiapkan modal senilai US$ 40 juta (dari pinjaman bank asing), ditambah kerjasama dengan sejumlah pabrikan ponsel seperti Motorola, Ericsson dan Nokia serta roaming internasional dengan perusahaan telekomunikasi asing seperti Telstra dari Australia. Pada tahun 1997,
Komselindo tercatat sudah memiliki 152 BTS di berbagai wilayah, sehingga operasinya meluas ke hampir seluruh Indonesia dan memiliki 166.500 pengguna (naik dari 120.000 pada 1995-1996). Karena itulah, saat itu
Komselindo dianggap sebagai perusahaan telekomunikasi bersistem AMPS terbesar di Indonesia.
Komselindo juga dikenal sebagai operator yang cukup inovatif, misalnya pada 1997 menandatangani kesepakatan dengan MBf Mastercard untuk membentuk kerjasama kartu kredit serta mempunyai sistem proteksi sejak Oktober 1995.
Komselindo juga berusaha mengembangkan teknologinya menjadi sistem digital, yaitu D-AMPS, yang selanjutnya akan ditingkatkan lagi menjadi CDMA (spesifiknya, IS-95 atau cdmaOne) yang direncanakan dimulai sejak Agustus 1997. Ujicoba dengan sistem CDMA ini pertama kali dilakukan pada September 1995 di Bandung, bekerjasama dengan AT&T. Selanjutnya, demi memajukan proyek tersebut,
Komselindo menggandeng Lucent Technologies (sebuah perusahaan telekomunikasi AS) dan New T&T (dari Hong Kong) untuk membangun sistemnya. Rencananya pihak
Komselindo akan membangun jaringan berkapasitas 750.000 pelanggan dan 300 BTS, demi melayani target awal 65.000 pelanggan yang tersebar di Jakarta, Bandung, serta sebagian Sulawesi dan Sumatra. Proyek ini memakan biaya US$ 105 juta, yang berusaha didanai dengan melakukan sindikasi kredit dengan sejumlah bank asing dan lokal. Pendanaan juga berusaha didapat dengan menggandeng investor strategis menjelang akhir 1997, dengan saat itu sudah ada Singapore Telecom (Singtel) yang terpilih dari beberapa pesaing seperti Hutchison Whampoa dan First Pacific (perusahaan Grup Salim). Diperkirakan, Singtel akan membeli 25% saham
Komselindo seharga US$ 225-400 juta.
Tercatat di tahun 1997, sudah ada beberapa tempat yang berhasil dipasang jaringan cdmaOne
Komselindo, dan sebagai bentuk percobaan, ada sekitar 170 pelanggan yang menggunakan jaringan ini secara terbatas di tahun tersebut. Angka ini meningkat menjadi 240 pada 1998 dan 400 di tahun 1999, meskipun masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan pengguna AMPS-nya. Jika berhasil diluncurkan (sesuai rencana) pada Oktober 1999, maka
Komselindo dapat menjadi operator berbasis CDMA pertama di Indonesia. Adapun teknologi tersebut dinilai memiliki banyak kelebihan dibanding AMPS yang digunakan selama ini, seperti anti-penggandaan (cloning), hemat energi, suara yang lebih jernih, tidak ada drop call dan suara robot, serta memberikan fitur baru seperti SMS, voice mail, dan call forward. Selain itu, adaptasi teknologi CDMA juga dianggap sebagai langkah baik demi menghadapi perkembangan teknologi broadband.
= Penurunan kinerja
=
Sayangnya, perjalanan proyek tersebut kemudian harus terhambat oleh pengaruh krisis ekonomi 1997-1998 yang membuat
Komselindo terjerat hutang, yang diperkirakan mencapai US$ 100-140 juta. Hal ini belum ditambah sulitnya mengimpor infrastruktur dan perangkat CDMA akibat tingginya nilai dolar saat itu. Tetap berfokus pada sistem AMPS (ditambah efek krisis) membuat pelanggan
Komselindo menurun drastis, dimana dari bulan Juni 1997 sebesar 108.750 pengguna menjadi 51.500 pada Juni 1998, yang kemudian sempat naik ke 77.000 pada Juni 1999 sebelum menurun lagi menjadi 74.848 pengguna di akhir 2000. Hal ini seiring dengan pangsa pasar AMPS yang menurun tajam, dari 48,4% pada 1995 menjadi 4,4% pada 1999 yang disebabkan kalah dengan GSM yang masif. Angka penurunan yang bisa mencapai 55% ini membuat perusahaan merugi sebesar Rp 34,7 miliar pada 1998 dan Rp 39,41 miliar pada 1999.
Untuk mengatasi masalah ini,
Komselindo sempat menjalin kerjasama dengan perusahaan lain yang juga bergerak di AMPS, yaitu Metrosel yang beroperasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam bentuk kerjasama jaringan sehingga biaya pengoperasian jaringan keduanya bisa ditekan hingga 40%. Kedua perusahaan pada awal 2001 bahkan sudah merencanakan untuk merger, yang kemudian pada pertengahan 2001 berusaha mengikutsertakan Telesera, walaupun gagal. Selain itu, pada 1999-2002,
Komselindo juga meluncurkan berbagai produk, seperti produk prabayar Gesit (yang diklaim paling murah dibanding operator GSM), kartu Swara, produk Spirit, paket pascabayar Nasional, Spada (Selular Paling Beda), Menari dan promosi panggilan Prorata yang bertarif murah. Ada juga upaya menawarkan 50% sahamnya seharga US$ 150 juta kepada calon investor strategis setelah gagal menarik Singtel, namun tampaknya masih sulit di tengah penurunan pasar.
Meskipun menghadapi tantangan,
Komselindo tetap berminat untuk mengoperasikan cdmaOne dengan menyiapkan anggaran US$ 100-150 juta demi melanjutkan pembangunannya bersama perusahaan Kanada. Jaringan tersebut akhirnya diluncurkan pada Maret 2000 dengan nama layanan V-CDMA, yang menjangkau Jabodetabek dan Bandung dengan 220 BTS serta dilengkapi fitur WAP. Untuk mempromosikannya,
Komselindo meluncurkan kampanye "Coba Sendiri V-CDMA" di sejumlah mal di Jakarta, dan pada Agustus 2000, tercatat sudah ada 1.100 pengguna yang menikmati jaringan tersebut dari target sebesar 10.000. Namun, sayangnya karena cdmaOne memiliki banyak kelemahan dibanding GSM dan masalah keuangan perusahaan (sehingga sulit melakukan pengembangan dan promosi), maka pengoperasiannya dalam perkembangannya kurang sukses.
Walaupun demikian, proyek konversi ke CDMA tersebut tetap berusaha dilanjutkan (direncanakan bersama investor strategis) oleh manajemennya, karena dianggap sesuai dengan kepentingan pemiliknya, Bimantara Citra. Ditargetkan, jangkauan jaringan CDMA
Komselindo akan diperluas ke sepanjang Sumatra di waktu mendatang dalam dua tahap, yang disusul selanjutnya ke Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Ada juga rencana pembangunan transmisi ring dari Jakarta-Bandung dan sekitaran Jabotabek demi menjamin kehandalan jaringan
Komselindo selama 24 jam. Tercatat, dalam periode ini
Komselindo memiliki 400 pemancar ditambah gedungnya, 10 sentral (baik untuk AMPS maupun cdmaOne), sejumlah kantor cabang di beberapa kota layanannya, dan beberapa fasilitas lainnya.
Masalah lain yang membelit
Komselindo adalah efek krisis ekonomi sehingga membuat perusahaan ini terjerat hutang, sebesar Rp 126 miliar, US$ 143 juta dan Sin$ 13.356. Di situasi sulit tersebut, PT Telkom yang merupakan pemegang 35% saham di
Komselindo justru ingin menjual kepemilikannya karena ingin fokus pada bisnis utamanya. Dalam menangani masalahnya, pemegang saham utama
Komselindo, Bimantara Citra melakukan restrukturisasi hutang
Komselindo pada Juli 2002 yang mencapai US$ 172 juta, mengajukan perdamaian (PKPU) kepada 41 kreditor dan meminta pengalihan hutang menjadi saham. Selanjutnya pada 8 Agustus 2003, perusahaan yang terafiliasi dengan Bimantara, PT Centralindo Pancasakti Cellular dan Telkom sepakat melakukan pertukaran saham dalam transaksi bernilai Rp 364,8 miliar: Telkom menjual seluruh sahamnya (yang sudah menurun menjadi 14,20%) di
Komselindo kepada PT Centralindo (ditambah 20,17% saham Metrosel dan 100% saham Telesera) dengan biaya Rp 185,10 miliar, dan sebagai gantinya, PT Centralindo menyerahkan 35% saham PT Indonusa Telemedia (penyelenggara televisi berlangganan TelkomVision) dan memberi hak untuk membeli 16,85% sahamnya di Pasifik Satelit Nusantara pada Telkom.
= Akuisisi oleh Mobile-8 dan merger
=
Namun, pada akhirnya rencana untuk mengembangkan
Komselindo tidak dilanjutkan oleh manajemen Bimantara, yang lebih memilih mendirikan perusahaan baru meskipun tetap melanjutkan rencana ekspansi jaringan CDMA-nya. Perusahaan baru itu dikenal dengan nama PT Mobile-8 Telecom yang didirikan akhir 2002, dan sebagai persiapan beroperasinya, Bimantara (maupun induknya, Bhakti Investama) menjadikan dua perusahaan telekomunikasi yang telah diakusisinya, yaitu Metrosel dan Telesera serta
Komselindo menjadi anak perusahaan Mobile-8. Pada akhirnya, sebagai "penerus"
Komselindo adalah Fren yang diluncurkan pada 8 Desember 2003 menggunakan teknologi berbasis CDMA2000, dengan modal awal penggunanya salah satunya berasal dari bekas pelanggan AMPS/cdmaOne
Komselindo (saat itu sudah menurun drastis menjadi sekitar 23.485).
Sejak saat itu,
Komselindo hanya menjadi anak perusahaan Mobile-8 yang tidak terlalu aktif, namun tetap kadang-kadang digunakan misalnya untuk mengikuti tender jaringan 3G pada 2006. Selain itu,
Komselindo, Metrosel dan Telesera juga menjadi pemegang izin jaringan CDMA yang dioperasikan oleh Mobile-8. Pada akhirnya, PT Komunikasi Selular Indonesia dimerger dengan induknya, Mobile-8 pada 11 Juni 2007. Merger ini mengakibatkan izin frekuensi Mobile-8, yang sebelumnya salah satunya atas nama
Komselindo, kini beralih ke Mobile-8.
Produk dan layanan
Mulanya layanan
Komselindo hanya bisa dinikmati secara pascabayar, dengan biaya berlangganan terdiri dari biaya abonemen Rp 65.000 (kemudian menjadi Rp 30.000) ditambah biaya penggunaan berkomunikasi. Untuk memulai penggunaannya pengguna harus membayar biaya Rp 125.000, yang registrasinya dapat dilakukan di agen (bernama Aktivis - Agen Aktivasi
Komselindo), distributor atau penjual yang ditunjuk
Komselindo. Kelak layanan pascabayar ini diberi nama Spirit, singkatan dari Selular Paling Irit, atau Selular Pilihan, Ringan, dan Terjangkau.
Belakangan, demi menghadapi penurunan daya beli masyarakat akibat krisis, diperkenalkan varian produk Spirit dengan tarif yang lebih terjangkau, yang awalnya dinamakan "Pro-Kontra" (Program Kontrol Pulsa) sebelum menjadi produk tetap. Adapun varian-variannya meliputi:
Dakota (Dalam Kota Saja), dengan jangkauan layanan terbatas di Jakarta dan sekitarnya.
Menari (Menjangkau Betawi dan Parahyangan), dengan jangkauan layanan terbatas di Jakarta dan Jawa Barat.
Terasa (Terima Saja), yang menawarkan tarif murah bagi pemakaian 3 bulan dan 6 bulan.
Selain itu, mengikuti operator seluler lainnya yang meluncurkan layanan prabayar,
Komselindo ikut mengeluarkan produk prabayar bernama Gesit, singkatan dari Guna Efisien Dari Spirit pada akhir 1999. Adapun produk ini diciptakan demi pelanggan yang ingin penggunaannya "irit dan terkendali". Di bulan Maret 2001, penggunanya mencapai 22.500, dan pada tahun selanjutnya, sudah bisa dinikmati di Jakarta, Bandung, Medan, Manado, Makassar dan daerah penyangga kota-kota besar tersebut. Sempat juga diluncurkan kartu prabayar Swara yang memiliki fasilitas bisa digunakan baik di ponsel pengguna maupun telepon umum. Selain produk untuk konsumer, tersedia Spin Voice, yang merupakan layanan komunikasi bagi kebutuhan korporat dengan cakupan di Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Adapun fitur spesial yang ditawarkan dalam setiap produk
Komselindo, seperti K-Prosel, call waiting, no answer transfer, busy mail, roaming internasional dan voice mail.
Manajemen
Pada 2002:
Komisaris Utama: Nurhadijono
Komisaris: Aziz Mochdar
Komisaris: Kiskendar Suriahardja
Direktur Utama: Zen Smith
Direktur Keuangan dan Adminstrasi: Hanny Batuna
Direktur Teknis: Bambang Soesijanto
Lihat pula
Fren
Metrosel
Telesera
Satelindo, perusahaan operator seluler lainnya yang dimiliki Bimantara
Referensi