Kota Ternate adalah sebuah
Kota yang terletak di Provinsi Maluku Utara, Indonesia.
Kota Ternate berada di bawah kaki gunung api Gamalama di Pulau
Ternate.
Kota Ternate pernah menjadi ibu
Kota sementara Provinsi Maluku Utara secara de facto dari tahun 1999 hingga 2010. Pada tanggal 4 Agustus 2010, Sofifi diresmikan menjadi ibu
Kota Provinsi Maluku Utara pengganti
Kota Ternate, yang merupakan sebuah kelurahan di wilayah
Kota Tidore Kepulauan yang berada di Pulau Halmahera.
Sejarah
Sejarah
Kota ini bermula dengan adanya Kesultanan
Ternate yang berdiri sekitar abad ke-13 di Pulau
Ternate, yang menjadikan kawasan
Kota ini sebagai pusat pemerintahannya. Kornelis Matelief de Jonge pada tahun 1607 membangun sebuah benteng pada kawasan
Kota ini, yang dinamakan Fort Oranje dan sebelumnya bernama Malayu.
Berikut ini adalah pembagian masa atau periode sebelum Kolonialisme sampai pada Kemerdekaan.
= Periode Sebelum Kolonialisme
=
Sejarah awal mula kerajaan atau kesultanan
Ternate sebagian besarnya bersumber dari legenda dan hikayat. Salah satu hikayat yang terkenal luas dan banyak dijadikan rujukan ialah Sejarah
Ternate yang ditulis oleh Naidah, yang diterjemahkan oleh P Van der Crab, Residen
Ternate 1863-1864 dan diterbitkan pada tahun 1878. Sumber lainnya ialah catatan-catatan yang ditulis oleh Rijali, seorang ulama Maluku asal Hitu yang dihimpun oleh Francois Valentijn dalam bukunya Ound en Neeuw Oost Indie.
Asal usul komunitas atau penduduk
Ternate disebutkan oleh sumber-sumber tersebut, berasal dari Pulau Halmahera yang melakukan eksodus atau migrasi besar-besaran ke beberapa pulau kecil di bagian barat Pulau Halmahera termasuk ke
Ternate, disebabkan terjadinya pergolakan dan konflik politik di Jailolo (Gilolo), di Pulau Halmahera pada tahun 1250.
Para migran pertama yang mendarat dan bermukim di
Ternate tahun 1250 adalah komunitas Tobona yang dipimpin oleh Momole Guna. Momole adalah sebutan kepada pemimpin atau kepala marga, klan atau komunitas.
Pada tahun 1254 migran kedua tiba dan bermukim di Foramadiyahi yang dipimpin oleh Mole Matiti. Menyusul kemudian migran ketiga yang bermukim di Sampala yang dipimpin oleh Momole Ciko/Siko, kedua permukiman komunitas terakhir ini dibangun tidak jauh dari pantai. Sampala bahkan terletak di tepi pantai.
Dalam sumber sejarah lain menyebutkan terdapat 4 (empat) komunitas atau klan awal di
Ternate, yakni masing-masing: Komunitas atau Klan Tobona, yang mendiami kawasan lereng Gamalama bagian Selatan (kini Kelurahan Foramadiyahi): Tubo yang mendiami kawasan lereng Gamalama bagian Utara; Tabanga, yang mendiami kawasan pesisir Utara Pulau
Ternate, dan Komunitas atau Klan Toboleu, yang mendiami kawasan pesisir Timur Pulau
Ternate.
Komunitas atau klan awal inilah yang pertama-tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari beberapa belahan dunia untuk mencari cengke dan rempah lainnya.
Seiring waktu, penduduk pun kian bertambah dan semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Cina, Jawa, dan Melayu. aktivitas perdagangan kian ramai. Ancaman pun sering datang dari para perompak. Pada tahun 1257, Momole Guna, pemimpin Klan Tobona memprakarsai musyawarah untuk membentuk komunitas yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin sebagai Kolano atau Raja. Hasil musyawarah menetapkan Momole Ciko, pimpinana Klan Sampala sebagai Kolano
Ternate pertama dengan gelar Baab Mansyur Malamo (1257-1272). Pusat Kerajaan ditetapkan di Sampala. Kawasan ibu
Kota terletak di pantai Barat Pulau
Ternate. Peristiwa ini disebut sebagai Tara No Ate yang artinya Turun dan Merangkul. Tara No Ate adalah cikal bakal penyebutan nama
Ternate. Sementara ibu
Kota kerajaan di Sampala kemudian disebut Gam Lamo yang artinya kampung atau perkampungan besar. Gam Lamo adalah cikal bakal penyebutan nama Gamalama.
Sejak era itu, Kerajaan
Ternate berperan penting di kawasan Maluku Utara sampai abad ke-17. Dalam catatan sejarah Kesultanan
Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi, adalah salah satu kerajaan tertua dan sangat berpengaruh di nusantara.
Setelah Mansyur Malamo (1257-1272), Kolano
Ternate dijabat oleh Kaiicil Jamin (1272-1284). Kaiicil adalah sebutan untuk seorang Pangeran, atau putra Kolano. Setelah Kaiicil Jamin, Kolano
Ternate dijabat oleh Kaiicil Siale (1284-1298). Pada masa Kaiicil Siale, ibu
Kota kerajaan dipindahkan dari Sampala ke Foramadiyahi. Setelah itu, Siale digantikan secara berturut-turut oleh Kaiicil Kamalu (298-1304) dan Kaiicil Ngara Malamo (1304-1317).
Di bawah kepemimpinan Kaiicil Ngara Malamo,
Ternate memulai ekspansi teritorialnya. Kaiicil Ngara Malamo adalah peletak dasar politik ekspansi Kerajaan
Ternate. Politik ekspansi inilah yang mengantarkan
Ternate menjadi Kerajaan paling besar, paling kuat dan paling berpengaruh dalam jajaran kerajaan-kerajaan Maluku pada masa-masa selanjutnya, terutama dari akhir abad ke-14 hingga awal abad ke-16. Namun, memasuki akhir abad ke-16 (pasca Sultan Babullah w. 1583 M), pamor
Ternate sebagai kerajaan paling tangguh mulai merosot.
Kaiicil Ngara Malamo diganti oleh Patsyaranga Malamo (1317-1322), kemudian Sida Arif Malamo (1322-1331). Di masa Kolano Sida Arif Malamo,
Ternate telah ramai didatangi oleh pedagang mancanegara seperti pedagang dari Cina, Arab dan Gujarat, juga pedagang dari nusantara seperti Jawa, Malaka, dan Makassar.
Ternate di bawah Kolano Sida Arif Malamo berkembang menjadi bandar perdagangan terbesar dan utama di Maluku. Aktivitas perdagangan antar bangsa kala itu berpusat di Pelabuhan Talangame atau sekarang dikenal dengan nama Pelabuhan Bastiong.
Ternate pun telah memiliki pasar dengan fasilitas yang memadai, tempat bertemunya pedagang lokal, pedagang mancanegara dan pedagang nusantara.
Armada-armada perdagangan antar bangsa datang ke pelabuhan ini terutama mencari rempah, komoditas penting dalam perdagangan pasar Internasional saat itu yang menempatkan gugusan kepulauan ini menjadi ajang lalu lintas niaga yang sibuk. Pesatnya perdagangan rempah-rempah para Raja Maluku pun saling bersaing memantapkan posisinya masing-masing sehingga tidak jarang menimbulkan konflik di antara mereka. Kolano Sida Arif Malamo pun mengambil prakarsa mengadakan pertemuan raja-raja se-Maluku untuk membentuk persekutuan bersama yang dikenal dengan Persekutuan Moti (Motir Verbond), atau juga dikenal sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Kerajaan Maluku).
Musyawarah persekutuan itu melahirkan keputusan antara lain penyeragaman bentuk-bentuk kelembagaan kerajaan-kerajaan di Maluku dan penentuan peringkat kerajaan peserta musyawarah. Jailolo ditetapkan sebagai kerajaan yang menempati peringkat pertama dalam senioritas, menyusul
Ternate, Tidore dan bacan. disepakati pula pembagian peran masing-masing kerajaan. Raja
Ternate berperan sebagai Alam Makolano, penjaga dan penjamin stabilitas perdagangan dan urusan keduniaan. Raja Bacan berperan sebagai Dehe Makolano, penjaga perbatasan. Raja Tidore berperan sebagai Kie Makolano, penjaga dan penjamin keamanan dalam negeri. Raja Jailolo berperan sebagai Jiko Makolano, penjaga serangan dan ancaman dari luar.
Manfaat persekutuan ini adalah sejak 1322 Maluku mengalami masa aman dan damai. Berhasil meredam sementara waktu ambisi, permusuhan dan ekspansi para anggota persekutuan. Rakyat Maluku menikmati suasana aman dan damai selama kurang lebih 20 tahun. Tetapi perdamaian yang ditegakkan dengan susah payah itu sirna ketika Kolano Tulu Lamo naik tahta sebagai Kolano
Ternate (1334-1347). Ia secara sepihak membatalkan hasil persekutuan Moti dan menyatakan hasil persekutuan tersebut tidak lagi mengikat bagi
Ternate. Tulu Lamo menempatkan
Ternate pada peringkat teratas sebagai yang tertua. Keputusan itu mendapat reaksi keras dari ketiga kerajaan lainnya. Ia juga menyerang makian, bandar niaga rempah terbesar kedua di Maluku setelah
Ternate.
Ternate setelah kepemimpinan Kolano Tulu Lamo terus menyerah beberapa daerah sekitarnya. Sula diserbu oleh Kolano Ngolo Macahaya (1350-1375), menyusul Jailolo diserang oleh Kolano Marhum (1465-1486). Kemudian berbagai penaklukan dilakukan
Ternate atas Maluku Tengah, Seram Barat dan Buru.
Naiknya Kolano Zainal Abidin (1468-1500) menandai berakhirnya era kerajaan dan berganti ke era kesultanan. Gelar Kolano atau Raja berubah menjadi Sultan. Sultan Zainal Abidin memproklamirkan Islam sebagai agama resmi Kesultanan
Ternate, dan pembentukan lembaga Jolebe, lembaga baru dalam struktur kesultanan yang membantu sultan dalam urusan-urusan keagamaan Islam. Struktur baru Kesultanan
Ternate ini memengaruhi kerajaan-kerajaan lain di Maluku. Struktur tersebut segera diadopsi oleh Tidore, Bacan dan Jailolo.
Sultan Zainal Abidin diganti oleh Sultan Bayan Sirrullah (1500-1522), kemudian diganti oleh Sultan Hidayat alias Deyalo. Pengangkatan Sultan Hidayat yang usianya belum akil baligh, sehingga ibunya Boki Rainha Nukila diangkat sebagai Mangkubumi dan Taruwese diangkat sebagai wakil Sultan (1529-1530). Kemudian berturut-turut digantikan oleh Sultan Abuhayat alias Boheyat (1530-1532), Sultan Tabariji (1532-1535), Sultan Khairun Jamil (1535-1570), kemudian Sultan Baabullah Datu Syah (1570-1583).
Ternate di masa Sultan Baabullah mencapai penaklukan yang spektakuler. Wilayah Kesultanan
Ternate membentang dari Mindanao di Utara sampai Bima di Selatan dan dari Makassar di Barat sampai Banda di Timur. Karena itu, Baabullah, Sultan
Ternate terbesar ini dikenal sebagai penguasa atas 72 pulau yang seluruhnya berpenghuni.
Di masa pemerintahan Sultan Baabullah,
Ternate tampil sebagai kesultanan paling berpengaruh dalam politik maupun militer di kawasan Timur Nusantara. Baabullah menurut sebuah sumber, mampu mengerahkan 90.700 tentara bila diperlukan. Kontributor terbesar - di atas 10.000 - pasukan ini adalah dari Veranullah dan Ambon (15.000 tentara), Teluk Tomini (12.000 tentara), Batu Cina dan sekitarnya termasuk Halmahera Utara (10.000 tentara), Gorontalo dan Limboto (10.000 tentara) serta Yafera (10.000 tentara). Penyumbang pasukan tersedikit adalah dari Moti dan Hiri, masing-masing 300 tentara.
Keberhasilan Sultan Baabullah tidak terlepas dari kecakapan sejumlah panglima dan komandan tentara, seperti Kapita Laut Kapalaya dan Rubohongi. Kapalaya adalah penakluk pantai timur Sulawesi, khususnya Buton, dan Rubohongi adalah penakluk Maluku Tengah. Enam tahun setelah bertahta, Baabullah telah menguasai pulau-pulau di Ambon, Hoamoal di Pulau Seram, Buru, Manipa, Ambalau, Kelang dan Buano. Empat tahun setelah itu, ia juga menguasai desa-desa sepanjang pantai timur Sulawesi, Banggai, Tobongku, Buton, Tiboro, dan Pangasani. Setelah itu giliran Makassar dan Selayar datang ke
Ternate. Tahun kedatangannya merupakan awal dari monopoli rempah-rempah Kompeni di
Ternate.
= Periode Kolonialisme Bangsa Eropa
=
Orang Portugis pertama yang tiba di
Ternate pada awal 1512 adalah Fransico Serrao beserta awak kapalnya sebagai bagian dari ekspedisi d'Alburquerque menaklukkan Malaka pada 1511. Sultan Bayan Sirullah alias Bayanullah (1500-1522) mengirim utusan dengan sembilan juanga yang dipimpin oleh saudaranya sendiri, Kaicil Vaidua, menjemput Serrao dan awak kapalnya dari Nusa Tellu di Hitu Barat ke
Ternate. Sultan Bayanullah ingin membuka akses perdagangan cengkih ke Eropa dan Serrao diyakini oleh Bayanullah dapat mendukung keinginan tersebut.
Di awal kehadirannya, Portugis diperlakukan dengan balk dan mendapat banyak kemudahan. Sultan menjadikan Serrao orang kepercayaan dan penasehat utamanya. Belum dua tahun sejak Serrao tiba, Sultan memberi hak monopoli niaga cengkih kepada Portugis. Sultan lalu berpesan bila nanti Serrao kembali ke Portugis, ia harus meyakinkan Raja Don Manuel agar segera mendirikan benteng Portugis di
Ternate.
Beberapa eskader Portugis pun susul menyusul ke
Ternate, masing-masing dipimpin oleh antara lain, Antonio Miranda de Azevedo (1513), Don Tristao de Menezes (1520), dan De Brito (Januari 1521). Saat de Brito tiba di
Ternate Sultan Bayanullah dan Serrao telah wafat. De Brito diterima dengan baik di istana, sebagai bukti bahwa persahabatan antara
Ternate dengan Portugis tetap ada. Beberapa kesepakatan pun dicapai. Portugis boleh mendirikan benteng di Gam Lamo, yang diberi nama Benteng Nuestra Seiiora del Rosario, juga diizinkan berdagang dan membangun gudang penyimpanan barang dagangannya.
Sultan Bayanullah yang wafat meninggalkan Boki Nukila - boki adalah sebutan untuk istri sultan atau permaisuri — dan dua puteranya Hidayat (Deyalo) dan Abu Hayat (Bohiyat). Deyalo diangkat sebagai sultan, menggantikan mendiang ayahandanya dalam usianya yang belum akil baligh, sehingga ibunya, Boki Nukila diangkat sebagai Mangkubumi dan Taruwese, adik Bayanullah, dipercayakan menjadi wakil sultan. Mereka berdua untuk sementara waktu mengendalikan kesultanan.
Boki Nukila adalah puteri Al Mansur, Sultan Tidore, yang dibenci de Brito karena bermitra dengan Spanyol, rival Protugis. De Brito tidak mempercayai juga meremehkan Boki Nukila, sebaliknya lebih mempercayai dan memberi peran kepada Taruwese.
Dalam kurun ini banyak intrik dilakukan oleh de Brito yang tidak setuju Deyalo diangkat menjadi sultan dan lebih mendukung Taruwese. Terjadi pula beberapa kali penyerangan de Brito yang dibantu oleh Taruwese terhadap Tidore dan beberapa kawasan Maluku. Klimaksnya ialah penahanan pangeran Deyalo dan Bohiyat. Demikian, selama kepemimpinan 19 Gubernur Protugis di
Ternate, sebagian besar melaksanakan pemerintahannya melalui "durch blut and eisen" atau melalui besi dan darah.
Posisi Nukila rentan di antara bangsawan istana yang diwakili oleh Taruwese. la didesak segera menyelesaikan benteng Portugis yang pastinya membuat murka Al Mansyur, ayahandanya sebagai seteru Portugis. Dua putranya dan beberapa pengikut ditahan oleh Portugis di dalam benteng yang terbengkalai. Jorge de Menezes, Gubernur Portugis yang dikenal sangat kejam, menghukum pancung Kaicil Darwis yang menentangnya. Pada 1530, Boki Nukila menunjukkan para menteri dan rakyat. Sepanjang 1522 sampai 1535 adalah fase-fase pelik bagi Kesultanan
Ternate akibat intrik dan adu domba Portugis. Deyalo yang naik tahta dan memerintah kerajaan beberapa tahun, wafat karena diracun. Hal yang sama pun selalu berusaha dilakukan Portugis kepada Boheyat. Taruwese yang berkosnpirasi dan mendukung Portugis derni ambisinya menjadi sultan akhirnya dikhianati juga oleh Portugis. Lalu Tabariji, saudara sepupu Deyalo dan Boheyat diangkat menjadi sultan, Tabariji menunjukkan ketidaksukaannya pada Portugis hingga bersama Boki Nukila dan Pati Sarangi, ditahan dan diasingkan ke Goa, India pada 1535.
Sultan Khairun Jamil pengganti Sultan Tabariji, juga tidak menyukai tindak tanduk Portugis yang sewenang-wenang terhadap dirinya dan rakyat. la mengobarkan perlawanan yang didukung oleh rakyatnya.
Pada 1568 Lopez de Mesquita diangkat menjadi Gubernur Portugis ke-18 di
Ternate (1566-1571), menggantikan Alvaro de Mendoza (1564-1566). Mesquita berusaha mematahkan perlawanan Sultan Khairun. Pada 27 Februari 1570, Portugis mengundang Sultan Khairun melakukan perundingan damai antara kedua pihak — dimana masing masing pihak bersumpah menurut keyakinan agama dan memegang kitab suci agamanya masing-masing — bahwa mereka akan memelihara kerja sama dalam perdamaian. Tetapi ternyata Portugis berlaku curang karena keesokan harinya saat pesta perjamuan untuk menghormati perjanjian itu, saat Sultan Khairun memasuki gerbang benteng Gam Lamo, ia ditikam oleh Antonio Pimental hingga wafat.
Baabullah putra Khairun naik tahta menjadi Sultan. la lalu memobilisasi kekuatan menggempur Portugis di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia. Setelah berperang selama lima tahun, pada 1575, Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis dari
Ternate dan dari wilayah Maluku. Dalam sejarah Indonesia, ini merupakan kemenangan pertama bangsa-bangsa Nusantara melawan penjajah Eropa.
Setelah Portugis meninggalkan
Ternate dan wilayah Maluku, Bangsa Spanyol yang sebelumnya pernah bekerjasama dengan Kesultanan Tidore sejak 1521 dan kemudian harus meninggalkan Tidore pasta perjanjian Saragosa 1528. kembali mengerahkan kekuatan untuk menaklukkan
Ternate.
Pada 1 April 1606, Don Pedro da Cunha, Gubernur Jenderal Spanyol di Filipina dengan 33 kapal berbagai jenis dan ukuran. 3.095 prajunt menyerang sejumlah kubu pertahanan kesultanan
Ternate dan menjelang siang benteng dan seluruh ibu
Kota Kesultanan
Ternate, Gam Lamo berhasil direbut dan diduduki oleh pasukan Spanyol.
Sultan Saidi berhasil meloloskan diri bersama istri, putra-putrinya dan beberapa bobato, lalu berlayar dengan kora-kora ke Jailolo, kemudian ke Sahu. Beberapa waktu kemudian, Gubernur da Cunha setuju mengirim surat kepada Sultan Saidi, bahwa Sultan akan mendapatkan perhndungan bila menyerah. Pablo de Lima dan beberapa kaiicil berangkat ke Sahu membawa surat da Cunha kepada Sultan Saidi. Pada 28 Maret 1606, Sultan Saidi dan pengiringnya kembali ke
Ternate.
Sumber lain menyebutkan, Spanyol berhasil menaklukkan Gam Lamo dan menangkap Sultan Saidi berserta keluarganya, kemenakannya Kaiicil Hamzah, sejumlah pejabat tinggi kesultanan, termasuk Sangaji Makian, Sahu dan Gamkonora, diasingkan ke Manila, Filipina. Sedangkan Jogogu Hidayat dan Kaiicil Ali — ketika itu berusia 21 tahun — berhasil meloloskan diri.
Spanyol dengan cerdik mengubah kepulangan Sultan Saidi, itu menjadi penstiwa kenegaraan dengan penghormatan kerajaan kepada sang Sultan. Da Cunha menasehati Sultan agar menenma nasib buruknya dan mengajukan petisi kepada Raja Spanyol agar mendapat pengampunan. Sultan ditempatkan dalam rumah terindah dengan pengawalan ketat.
Spanyol kemudian menginm ekspedisi ke seluruh kawasan, membujuk atau memaksa kepala-kepala desa agar mengikuti perintah mereka. Penduduk desa diharuskan sujud di depan bendera Spanyol, menyerahkan semua senjata musket dan meriam. Spanyol lalu memperbaiki benteng Gam Lamo dan beberapa benteng lainya untuk memperkuat kedudukannya di
Ternate. Pada 10 April, di Benteng Gam Lamo, Spanyol dan
Ternate menandatangani perjanjian perdamaian resmi dan keluarga Sultan memberi sumpah setia kepada Raja Philip Ill, dan bahwa rakyat
Ternate tidak boleh mengadakan hubungan dengan orang Belanda atau Inggris, tidak memusuhi misi-misi Kristen, serta mentaati persyaratan berkenan dengan monopoli rempah oleh Spanyol.
Pada 10 April 1606 Spanyol mememancangkan benderanya di berbagai kawasan
Ternate "atas nama yang Maha Mulia Raja Spanyol". Dengan jatuhnya
Ternate ke tangan Bangsa Spanyol mulailah proses pengambilan aset-aset penting kerajaan dan reposisi dominasi Spanyol atas
Ternate. Spanyol berada di
Ternate dan wilayah Maluku antara 1521 sampai 1663. Pada 2 Mei 1663, Gubernur terakhir Spanyol di
Ternate, Francisco Ibanez serta seluruh pasukannya meninggalkan
Ternate menuju ke Manila, Filipina. Sejak itu berakhirlah pendudukan Spanyol atas
Ternate dan seluruh Maluku.
Orang-orang Belanda pertama yang tiba di
Ternate, menurut catatan de Clerq, adalah Wijbrand van Warwijck dengan dua Kapal yang dipimpinnya, Amsterdam dan Utregt, yang rnerapat di pelabuhan Talangame,
Ternate, 2 Juni 1599.
Sementara terdapat dua sumber lain yang menyebutkan tentang orang-orang Belanda yang pertama kali mencapai
Ternate. Sumber pertama menyebutkan, van Warwijck bersama 560 orang dengan dua kapal, Amsterdam dan Utrecht, tiba di
Ternate pada 22 Mei 1599, dan sumber kedua menyebutkan pada 1598 ekspedisi Belanda dengan 22 kapal yang dibiayai oleh 5 (lima) perusahaan Belanda, di bawah pimpinan Jacob Chr. van Neck dan Wybrechr van Warwyck, berlayar menuju Maluku. Armada yang dipimpin oleh van Neck yang pertama tiba di Maluku pada Maret 1598 dan kembali ke Belanda pada 1599, membawa cukup banyak rempah dengan keuntungan sebesar 400 persen. Keuntungan berlimpah ini memicu sejumlah perusahaan berbeda membiayai ekspedisi ke Maluku, saling bersaing satu sama lainnya, sehingga harga rempah-rempah menjadi tinggi. Semakin banyak rempah masuk ke Belanda, namun semakin sedikit keuntungan yang didapat. Pada 1598 Staten Generaal - parlemen Belanda — mengajukan usul supaya semua perusahaan yang saling bersaing menggabungkan diri demi kepentingan bersama. Pada 20 Maret 1562 didirikan Vereenigde Oost-Indesche Compagnie (VOC), yang dipimpin sebuah badan yang berkedudukan di Amsterdam yang terdiri atas 17 orang, mewakili 6 wilayah di Belanda, atau yang dikenal dengan Heeren Zeventien.
Tetapi kehadiran kekuasaan bangsa Belanda secara politis dan militer di
Ternate. adalah karena diminta oleh kesultanan
Ternate sendiri. Saat ibu
Kota Gam Lamo jatuh ke tangan Spanyol dan Sultan Saidi mengamankan diri ke Jailolo lalu ke Sahu — merujuk sumber pertama — atau ditangkap dan diasingkan ke Manila — merujuk sumber kedua — kekuasaan kesultanan dikendalikan sementara waktu oleh Jogugu Hidayat. Jogugu Hidayat mengutus Kapita Lau Kaicil All dan Kimalaha Aja ke Banten untuk meminta pertolongan Belanda agar bersedia membantu
Ternate mengusir Spanyol dari Gam Lamo.
Setelah Kaicil All dan Kimalaha Aja bertemu dengan Matelief de Jonge dan menyampaikan maksud kedatangannya, berikut setuju dengan syarat-syarat yang diajukan oleh de Jonge sebagai kompensasi atas bantuan yang akan diberikan oleh Belanda, pada 29 Maret 1607 de Jonge dan sejumlah prajurit bersama Kaicil Ali dan Kimalaha Aja bertolak dari Banten dan tiba di
Ternate pada 13 Mei 1607.
Setelah melakukan observasi seperlunya terhadap kekuatan Spanyol, de Jong akhirnya setuju membantu
Ternate. Perjanjian antara de Jonge dan pihak kesultanan ditandangani pada 26 Juni 1607. Isinya antara lain, Belanda bersedia membantu
Ternate mengusir orang-orang Spanyol dan melindungi kawula
Ternate di seluruh wilayah kekuasaannya, Belanda diberikan hak monopoli perdagangan rempah dan diizinkan membangun benteng, yang kemudian dinamakan Fort Oranje (Benteng Oranye).
Sejak saat itu, Pulau
Ternate sekaligus menjadi pusat tiga kekuatan. yaitu Spanyol di Gam Lamo, sedangkan
Ternate dan Belanda di bagian timur pulau, di benteng VOC atau Fort Oranje, dan sekitarnya. Tidak mudah bagi
Ternate untuk melepaskan diri dari campur tangan kekuasaan asing Eropa. Ketika Portugis bercokol di kesultanan ini, selain memperoleh hak monopoli dalam tata niaga rempah-rempah dan izin mendirikan benteng di Gam Lamo, Portugis juga ingin mencampuri urusan pemerintahan
Ternate. Bahkan sejak 1532, Portugis mulai bersiasat memengaruhi proses pengangkatan sultan-sultan
Ternate. Keadaan ini baru berakhir setelah Portugis terusir. Tetapi, setelah Kompeni Belanda datang, campur tangan dalam pengangkatan sultan
Ternate juga menjadi salah satu kebijakannya. Mulai dari Sultan Mandarsyah, setiap pergantian sultan
Ternate harus dengan persetujuan Kompeni.
Sultan Mandarsyah ditekan secara halus untuk menandatangani perjanjian dengan Gubernur Jenderal VOC, Reiner, di Batavia. Perjanjian itu menentukan bahwa Kesultanan
Ternate tidak boleh lagi mengangkat Salahakan Baru untuk wilayah seberang lautnya di Maluku Tengah, yakni di Hoamoal dan daerah ini langsung berada di bawah pemerintahan Kompeni di Ambon.
Ternate juga harus melaksanakan hongi (penebangan pohon-pohon cengkih) di daerah tersebut. Ini akibat ketidaksenangan Kompeni terhadap pejabat yang ditugaskan oleh Kesultanan
Ternate di sana.
Kaicil Majira yang diangkat Sultan Hamzah pada 1641 sebagai Salahakan di Hoamoal atas desakan Kompeni Ambon untuk menggantikan Salahakan Luhu yang tidak disenangi, karena pada 1651 ia melakukan pemberontakan bersenjata. Kompeni menilai Sultan Mandarsyah tidak mengambil tindakan tegas terhadap Majira untuk mengakhiri pemberontakannya. Selain itu, sejak 1652, Kerajaan Buton mulai memusingkan Mandarsyah karena tentara Kerajaan Makassar melakukan infiltrasi dan menduduki beberapa pulau di sekitar Buton, yang diperburuk lagi oleh pengkhianatan sejumlah besar bobato Buton yang memihak Kerajaan Makassar. Kapita Laut Kaicil Ali dan pasukannya yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Sanana dan Alifuru Jailolo, dengan susah payah mempertahankan pulau-pulau itu dari serangan Makassar. Walaupun permaisuri Sultan Mandarsyah adalah seorang puteri Buton, tetapi pengaruhnya telah merosot jauh di mata rakyat Buton.
Gempuran pasukan Makassar semakin gencar dan posisi Buton semakin lemah. Dengan susah payah Kaicil Ali coba menghalau serangan itu, dan dalam suatu pertempuran mempertahankan ibu
Kota Buton, Kaicil Ali gugur. Gugurnya Kaicil Ali mengakibatkan semakin kecil peluang Mandarsyah mempertahankan Buton. Mandarsyah lalu mengutus Kapita Laut Saidi untuk membangun kembali pertahanan Buton, dan dalam keadaan putus asa ia menghubungi Kompeni untuk meminta bantun. Mandarsyah berhasil meyakinkan de Vlaming. Gubernur Kompeni Ambon, untuk memabantu menyelamatkan Buton.
Pada September 1654, dengan menumpang t ang kapal Zas van Gent, de Vlaming dan Mandarsyah menuju Buton, tetapi yang mereka temukan di sana adalah Raja Buton telah menjalin persekutuan dengan Makassar, dan rakyat maupun para bobato andalan Mandarsyah sebagian besarnya tidak lagi setia kepada
Ternate. De Vlaming, setelah melihat kenyataan tersebut, meneruskan pelayarannya ke Makassar dan meninggalkan Mandarsyah di Buton. Walaupun Raja Buton telah berkhianat, Mandarsyah coba mempertahankan Buton dengan mengumpulkan sisa-sisa Bobato — antara lain Hukum Lau dan Kaicil Lasinuru — dan rakyatnya yang masih setia dalam suatu pertemuan. la meminta mereka mendobrak kepungan tentara Makassar dan mengusirnya keluar dari wilayah Buton. Tetapi, upaya terakhir Mandarsyah tidak rnembuahkan hasil. Dengan masygul, Mandarsyah kembali ke
Ternate dan tidak pernah lagi mengunjungi Buton hingga akhir hayatnya. Kapita Laut Saidi pun tidak mampu lagi menahan lajunya serbuan Makassar dan jatuhlah Buton ke tangan Raja Makassar pada 1655, sekaligus berakhir pula kekuasaan
Ternate atas Buton selama hampir satu abad (1580-1655). Kapita Laut Saidi dan pasukannya yang tersisa mundur ke Tobungku, dan dari kejauhan ia menatap pulau yang ditinggalkannya itu dengan sedih.
Pada 1675, Sultan Mandarsyah mangkat dan digantikan putranya Sibori Amsterdam. Sebagaimana ayahnya, Sibori pun tidak dapat mempertahankan identitas
Ternate secara lebih baik. Selain karena perangainya yang buruk, ia juga tidak mampu melepaskan diri dan tekanan-tekanan Kompeni. Setelah penobatannya, Sibori mengutus pejabat kepercayaannya ke Batavia untuk berunding dengan Gubernur jenderal Jaan Maatsuyker. Perjanjian yang ditandatangani pada 12 Oktober 1672 itu, secara praktis dan politis sangat merugikan
Ternate, karena menetapkan antara lain: Pertarna. wilayah seberang laut Kesultanan
Ternate di Kepulauan Ambon akan digabungkan ke dalam provinsi. Kedua, akan diangkat penguasa-penguasa khusus di pulau Buru, Ambalau, Buano dan Kelang.
Setelah meratifikasi perjanjian ini, Sibori memperoleh tanda jasa berupa bintang penghargaan dari Kompeni. Namun, bermula dari Seram,
Ternate pun berangsur kehilangan kontrolnya atas seluruh wilayah seberang lautnya di Maluku Tengah. Demikian pula, lepasnya Buton dan kekuasaan
Ternate berimplikasi negatif bagi daerah-daerah kekuasaan
Ternate lainnya di Sulawesi Utara, dan semenanjung pantai timur Sulawesi. Kepulauan Sangir Talaud, Gorontalo, Limboto, Buol, Tolitoli, Inobonto, Moutong, Teluk Tomini, Parigi dan lainnya mulai memudar loyalitasnya kepada
Ternate.
Sibori menyadari kenyataan ini dan berupaya memulihkan kesetiaan wilayah-wilayah tersebut. Ia pun mendekati Gubernur Maluku, Padtbrugge untuk meminta bantuan. Sebagai argumen, Sibori merujuk perjanpan 1652 dan 1676, yang memuat penyerahan daerah seberang laut Kesultanan
Ternate di Maluku Tengah kepada kekuasaan Kompeni di Amban. Padtbrugge menerima argumentasi tersebut dan berjanji akan membantu Sibori sebagai balas budi atas penyerahan wilayah tersebut.
Dengan bantuan Kompeni,
Ternate menyerang Gorontalo dan daerah pesisir timur Sulawesi untuk memulihkan loyalitas mereka kepada
Ternate. Bahkan untuk memulihkan loyalitas Sangir Talaud, dilakukan sendiri oleh Sibori tanpa bantuan Kompeni. Untuk sementara waktu.
Ternate lega karena berhasil memulihkan loyalitas daerah-daerah tersebut, tetapi loyalitas yang ada tentu tidak sekuat di masa kekuasaan Sultan Baabullah.
Abad ke-17 merupakan masa paling suram bagi kesultanan
Ternate berkaitan dengan daerah-daerah taklukannya. Satu demi satu daerah tersebut melepaskan diri, dan dipenghujung abad ke-17 sampai abad ke-18, daerah seberang taut Kesultanan
Ternate yang tersisa hanyalah kepulauan Sanana dan Tobungku-Banggai.
Kompeni Belanda juga dapat dihitung sebagai salah satu kontributor, penyebab terpuruknya Kesultanan
Ternate. Dengan berbagai perjanjian bilateral yang dibuatnya dengan
Ternate, para Sultan
Ternate yang tidak berdaya itu secara halus maupun secara kasar ditekan untuk menyetujui konsep-konsep yang disatu pihak memperkokoh kekuasaan Kompeni tetapi di lain pihak menempatkan
Ternate dalam posisi dilematis serta hampir tidak ada advokasi.
Selama abad ke-18, kondisi
Ternate tidak banyak mengalami perubahan berarti. Sebagai mitra,
Ternate dipandang cukup balk sekaligus sahabat yang dapat diandalkan oleh Kompeni, dibandingkan dengan kesultanan-kesultanan tetangga lainnya, yakni Tidore, dan Bacan.
Ternate punya prestasi bagus dalam menjalankan hongi tochten untuk kepentingan Belanda. Ini dapat dilihat pada acte van investiture yang dikeluarkan di Batavia pada 17 Juli 1780, dan ditandatangani di Benteng Oranje, Tenate, dimana di dalamnya Belanda mengeritik dan membenahi sikap kurang bersahabat dari Tidore dan Bacan, sementara
Ternate mendapat pujian atas kerjasamanya dengan Kompeni.
Pada penghujung abad ke-18, Kompeni membalas jasa orang-orang
Ternate dengan menganugerahi penghargaan kepada Jogugu Sabtu dan Marsaoli Patuseranga. (Masih dalam proses penyuntingan ya)
= Periode Pendudukan Jepang
=
Pada masa perang Asia Pasifik, tentara Jepang menyerbu wilayah pendudukan bangsa Eropa di Asia bagian Timur dan Tenggara, termasuk pula wilayah pendudukan Belanda di Nusantara. Bangsa Jepang pertama kali memasuki wilayah Nusantara melalui Tarakan, Kalimantan Utara kemudian ke Sulawesi dan Maluku pada 10 Januari 1942. Setelah Jepang menduduki Nusantara, Jepang mengubah susunan pemerintahan yang telah ada pada saat itu. Berdasarkan Osamu Seirei No 27 tahun 1942 ditetapkan Shu (provinsi) sebagai wilayah tertinggi. Di bawah Shu ada Ken (kabupaten) dan Si (Kotapraja), Gun (kewedanan), Son (kecamatan), dan Ku (desa). Kemudian pada 1944 Jepang memperkenalkan Tonaugumi (rukun tetangga) kelompok masyarakat yang terdiri dari 10 hingga 20 kepala keluarga dan seorang pemimpinnya.
Pada masa pendudukan Jepang,
Kota Ternate dipimpin oleh seorang Minseibu di bawah kekuasaan Angkatan Laut (Kaigun) Armada Selatan Kedua bersama dengan wilayah Kalimantan, Sulawesi dan Maluku yang berpusat di Makassar. Rakyat Nusantara menyambut dengan gembira pada saat tentara Jepang datang ke wilayah Nusantara, dengan harapan Jepang dapat membawa perbaikan sesuai dengan propaganda yang di gadang oleh Jepang, yaitu rakyat dapat mengadakan rapat umum di lapangan terbuka dengan mengibarkan bendera Merah Putih. Namun kenyataannya sikap Jepang sangat keras dan kejam. Seluruh organisasi pergerakan rakyat ditekan, mereka dilarang mengadakan kegiatan, dan bahkan dibubarkan, rakyat dihukum tanpa melalui proses peradilan, dan harta benda rakyat diambil secara paksa untuk kepentingan perang. Kegiatan masyarakat yang dijinkan untuk melakukan aktivitasnya yaitu badan atau organisasi yang telah didirikan oleh Jepang, sepeti Seinendan untuk para pemuda dan fujinkai untuk kaum wanita. Hal ini menyebabkan kehidupan rakyat yang sudah menderita menjadi semakin berat. Dibentuknya Giyugun maupun Pembela Tanah Air (Peta) semata-mata hanyalah untuk membantu Jepang dalam perang rnenguasai Asia Timur Raya. Keadaan ini berlangsung sampai Jepang menyerah secara tidak bersyarat kepada tentara Sekutu pada bulan Agustus 1945.
= Periode Kemerdekaan Republik Indonesia
=
Pada saat Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia yang berarti telah melepaskan diri dari penjajahan, maka Wilayah Maluku memasuki babak baru dalam kehidupan pemerintahan. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
Ternate berada dalam wilayah Maluku dan yang menjabat sebagai Gubernur pada saat itu adalah Mr. J. Latuharhary. Namun, sebelum pemerintah melakukan penataan struktur maupun organisasi pemerintahan, khususnya Maluku, usaha Belanda untuk menguasai Indonesia kembali terjadi. Kedatangan tentara sekutu ke Indonesia ternyata diboncengi oleh tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pemerintah kolonial Belanda mengukuhkan kekuasaannya pada bulan Januari 1946, dengan membentuk negara-negara yang bersifat kedaerahan yang akan menjadi negara bagian dari Negara Indonesia Serikat.
Pada saat itu,
Kota Ternate berstatus Keresidenan
Ternate dengan wilayahnya mencakup Pulau
Ternate, Pulau Hiri, dan Pulau-pulau Batang Dua. Saat itu Distrik
Ternate diperintahkan oleh 3 (tiga) Residen secara bergiliran, yaitu:
1. Residen Iskandar Muhammad Djabir Syah (Sultan
Ternate) 1945-1951
2. Residen Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) 1951-1957
3. Residen Dede Muchsin Usman Syah (Sultan Bacan) 1957-1958
Berdasarkan Gouvernement Besluit Nomor 3.S. 1946 No. 27 Tanggal 9 April 1946, Residen
Ternate membentuk Kotapraja (Stadsgeemente)
Ternate pada tanggal 10 Desember 1946 dengan Dewan Kotapraja (Gementeraact) yang beranggotakan 10 (sepuluh) orang. Kotapraja
Ternate dipimpin oleh seorang Wali
Kota dan untuk pertama kalinya dijabat oleh M.A.M. Soleman yang merangkap sebagai Ketua Dewan
Kota. Kemudian dijabat oleh Dano Umar Saifuddin, Hien Diao, Jan Abubakar Wasplat. Mayoritas keanggotaan Dewan
Kota dipegang oleh pribumi ditambah 2 orang keturunan Cina dan 1 orang keturunan Belanda. Dewan
Kota bertindak sebagai penasehat.
Kemudian berturut-turut pada tahun 1957 terbentuk DPRD Gotong Royong (DPRD GR) Maluku Utara dan pada tahun 1958 Kotapraja
Ternate dibubarkan dan statusnya diturunkan menjadi Kecamatan yang dipimpin oleh Jasin Bopeng. Namun status Kotapraja masih dipertahankan hingga terbit Keputusan Gubernur Maluku tanggal 30 Maret 1965 mengubah status
Kota Temate menjadi Kecamatan. Dilanjutkan dengan hasil survei oleh Departemen Dalam Negeri dan usulan dari Bupati Maluku Utara tentang pengangkatan status
Kota Ternate menjadi
Kota Administratif, maka pada tanggal 11 Maret 1961
Ternate resmi menjadi
Kota Administratif. Jabatan Wali
Kota Administratif sampai tahun 1999 yaitu:
1. Drs. H. Thaib Armayin periode 1962-1985 dan 1987-1991
2 Drs. H. Muhammad Hasan periode 1991-1995
3. Drs. H. Syamsir Andili, periode 1995-1999
Pada saat peningkatan status
Kota Administratif
Ternate menjadi
Kota Madya Tingkat II
Ternate yang diterbitkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1999, maka pada tanggal 27 April 1999, diresmikan Kotamadya Daerah Tingkat II
Ternate dan mengangkat Drs Syamsir Andili sebagai Wali
Kota Ternate yang pertama pada era otonomi daerah. Wali
Kota dan Wakil Wali
Kota yang dilantik berdasarkan hasil pemilihan umum hingga tahun 2021.
1. Drs. Syamsir Andili dan Drs. Iskandar M. Djae (masa bhakti 2000-2005)
2. Drs. H. Syamsir Andili dan Drs. H. Amas Dinsie (masa bhakti 2005-2010)
3. Dr. H. Burhan Abdurahman, SH, MM dan Ir. Arifin Djafar, MM (masa bhakti 2010-2015)
4.Drs. Idrus Assagaf Pejabat Wali
Kota (masa bhakti 2015-2016)
Melalui Peraturan Daerah
Kota Ternate Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pemekaran Kelurahan dan Peraturan Daerah
Kota Ternate Nomor 6 dan 7 Tahun 2007 tentang pembentukan Kecamatan, maka pada tanggal 8 November 2007, diresmikan 2 (dua) Kecamatan baru, yaitu Kecamatan Pulau Batang Dua dan Kecamatan
Ternate Tengah, serta 11 Kelurahan Pemekaran, yaitu Kelurahan Tanah Tinggi Barat Salahuddin, Bastiong Karance, Mangga Dua Utara, Jati Perumnas, Tobona, Ngade, Sangaji Utara, Akehuda, Tuba dan Dorpedu.
Hingga saat ini Perangkat Daerah
Kota Ternate terdiri dari 17 Dinas, 9 Badan, 4 Kantor, 8 Bagian pada Sekretariat Daerah, serta Inspektorat dan Sekretariat DPRD.
Kota Ternate mempunyai 7 (tujuh) wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan
Ternate Utara,
Ternate Ternate Selatan, Pulau
Ternate, Hiri, Moti, dan Kecamatan Pulau Batang dua, dan mempunyai 77 kelurahan yang siap melaksanakan tugas dan fungsi di bidang Pemerintahan, Pembangunan dan Pelayanan Kemasyarakatan.
Geografi
Kota Ternate terletak antara 3° Lintang Utara dan 3° Lintang Selatan serta 124-129° Bujur Timur. Wilayah
Kota Ternate di sebelah utara, selatan dan barat berbatasan dengan Laut Maluku, dan di sebelah timur berbatasan dengan Selat Halmahera.
Sebagai
Kota kepulauan,
Kota Ternate terdiri atas 8 (delapan) pulau, yakni: Pulau
Ternate sebagai pulau yang utama, Pulau Hiri, Pulau Moti, Pulau Mayau, dan Pulau Tifure merupakan lima pulau yang berpenduduk, sedangkan terdapat tiga pulau lain seperti Pulau Maka, Pulau Mano dan Pulau Gurida merupakan pulau berukuran kecil yang tidak berpenghuni.
Luas wilayah
Kota Ternate 5.795, 4 km², terdiri dari luas perairan 5.544,55 km² dan luas daratan 250,85 km². Secara Administrasi Pemerintahan
Kota Ternate terbagi atas 7 (tujuh) kecamatan dan 77 (tujuh puluh tujuh) kelurahan, masing-masing:
Ternate Utara membawahi 14 kelurahan
Ternate Tengah membawahi 15 kelurahan
Ternate Selatan membawahi 17 kelurahan
Pulau
Ternate membawahi 13 kelurahan
Pulau Moti membawahi 6 kelurahan
Pulau Hiri membawahi 6 kelurahan
Pulau Batang Dua membawahi 6 kelurahan
Kondisi topografi
Kota Ternate dengan sebagian besar daerah bergunung dan berbukit, terdiri atas pulau vulkanis dan pulau karang dengan kondisi jenis tanah Rogusal ( Pulau
Ternate, Pulau Hiri, dan Pulau Moti) dan Rensika (Pulau Mayau, Pulau Tifure, Pulau Maka, Pulau Mano dan Pulau Gurida). Gunung Gamalama merupakan gunung api yang masih aktif yang terletak di tengah Pulau
Ternate. Pemukiman masyarakat secara intensif berkembang di sepanjang garis pantai pulau. Memiliki kelerengan fisik terbesar di atas 40% yang mengerucut ke arah puncak gunung Gamalama. Di daerah pesisir rata-rata kemiringan 2% sampai 8%. Kondisi topografi
Kota Ternate juga ditandai dengan keberagaman ketinggian dan permukaan laut dari rendah: berkisar antara 0-499 mdpl, sedang: berkisar antara 500-699 mdpl, sampai tinggi: berkisar lebih dari 700 mdpl.
Kedalaman lautnya bervariasi. Pada beberapa lokasi di sekitar Pulau
Ternate terdapat tingkat kedalaman yang tidak terlalu dalam, sekitar 10 meter sampai pada jarak sekitar 100 meter dari garis pantai, tetapi pada bagian lain tingkat kedalamannya cukup besar dan berjarak tidak jauh dari garis pantai.
Wilayah
Kota Ternate didominasi oleh laut, maka kondisi iklimnya sangat dipengaruhi oleh iklim laut dan siklus dua musim yakni musim Utara-Barat dan musim Timur-Selatan yang sering kali diselingi dengan dua kali masa pancaroba di setiap tahunnya.
Pemerintahan
= Daftar Wali Kota
=
Berikut adalah daftar Wali Kota Ternate secara definitif sejak tahun 2000 di bawah Pemerintah Republik Indonesia.
Wali Kota administratif
Sebelum menjadi sebuah Kota, Ternate merupakan Kota administratif dan merupakan bagian dari Kabupaten Maluku Utara.
Wali Kota madya
Pengganti sementara
Dalam tumpuk pemerintahan, seorang kepala daerah yang mengajukan diri untuk cuti atau berhenti sementara dari jabatannya kepada pemerintah pusat, maka Menteri Dalam Negeri menyiapkan penggantinya yang merupakan birokrat di pemerintah daerah atau bahkan wakil wali Kota, termasuk ketika posisi wali Kota berada dalam masa transisi.
Lihat Pula
Daftar Wakil Wali Kota Ternate
Kota Ternate
Referensi
= Dewan Perwakilan
=
Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD Kota Ternate dalam dua periode terakhir.
= Daftar Kecamatan
=
Kota Ternate terdiri atas 7 kecamatan dan 77 kelurahan dengan luas wilayah 111,39 km² dan jumlah penduduk 215.524 jiwa (2017). Kode Wilayah Kota Ternate adalah 82.71.
Demografi
Kesehatan
Pariwisata
Beberapa tempat wisata alam yang menarik, antara lain
Benteng Tolukko
Benteng Oranje
Benteng Kalamata
Benteng Kastela
Benteng Kota Naka
Benteng Gam Lamo
Benteng Santo Pedro
Benteng Talagame
Benteng Willyam Star
Pantai Sulamadaha
Hol Sulamadaha
Pantai Jikumalamo
Danau Laguna
Danau Tolire
Pantai Bobane Ici
Batu Angus
Puncak Gunung Gamalama
Keraton Kesultanan Ternate
Masjid Al Munawwar Ternate
Ternate Landmark
= Kuliner Khas
=
Maluku Utara memiliki berbagai makanan khas daerah antara lain papeda (sagu), ketam kenari, halua kenari, bagea serta hasil olahan ikan seperti ikan asap (ikan Fufu), gohu ikan, Ikan garu rica dan lain-lain. Pusat tempat makanan di Kota ini terletak di Swering, tepat berada di belakang Jatiland Mall, namun hanya beraktivitas selepas sore hingga tengah malam.
Perhiasan dari daerah ini adalah mutiara laut dan batu bacan.
Transportasi
= Transportasi Udara
=
Bandar Udara Sultan Babullah merupakan sarana transportasi udara di Kota Ternate. Beberapa maskapai penerbangan yang melayani jalur ini antara lain Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air, Lion Air Group (Lion Air, Wings Air, Batik Air), Super Air Jet, Express Air dan Trigana Air. Penerbangan dari luar provinsi dapat dilakukan melalui Kota Jakarta, Surabaya, Makassar, Manado, dan tersedia juga penerbangan antar Kota dalam provinsi yang dapat dipesan langsung pada maskapai terkait.
= Transportasi Laut
=
Kota ini juga memiliki Pelabuhan Laut Ahmad Yani dengan jalur pelayaran yang dilalui kapal Pelni dua kali perminggu. Dua perusahaan ekspedisi kapal angkutan adalah Mentari dan Tanto. Untuk menyeberang ke pulau-pulau sekitar seperti Halmahera, Tidore, Hiri, Moti, Meitara, dapat menggunakan perahu kecil dari fiberglass yang umum di sebut Speed dengan tarif yang disesuaikan pada tahun 2022 lalu.
= Transportasi Darat
=
Transportasi darat di Kota ini menggunakan angkutan penumpang dengan mobil Suzuki Carry. Sejak akhir tahun 2005 telah mulai beroperasi armada taksi milik swasta dengan jumlah armada sekitar 50 unit. Selain itu, juga tersedia transportasi lain berupa Ojek konvensional (luring) maupun daring (Gojek, Grab).
Media
= Stasiun televisi
=
Ternate mempunyai stasiun televisi lokal, yaitu Gamalama TV. Sedangkan TVRI di Ternate tidak mempunyai stasiun lokal sendiri sementara TVRI Maluku Utara belum didirikan, maka yang disiarkan di Ternate berasal dari TVRI Maluku.
Referensi
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Ternate
Pranala luar
(Indonesia) Situs web resmi Kota Ternate