Ignatius Waluyo alias
Kusni Kasdut (Desember 1929 – 16 Februari 1980) adalah bekas pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang akhirnya menjadi penjahat. Namanya dikenal karena melakukan perampokan 11 permata di Museum Gajah pada 31 Mei 1961.
Riwayat Hidup
Bernama asli Waluyo, ia terlahir sebagai pemuda miskin, anak dari pasangan petani miskin bernama Wonomejo dan Mbok Cilik di Tulungagung, Jawa Timur. Ia ditinggal wafat oleh ayahnya sejak berumur 5 tahun dan kemudian tinggal bersama ibunya dengan hidup yang sangat miskin. “Di masa kecilnya ia berkeliaran di terminal bis kota Malang. Ia menjajakan rokok dan permen kepada para penumpang bis yang baru datang. Ibunya hidup menderita. Tinggal di daerah miskin Gang Jangkrik, Wetan Pasar, Malang."
Kusni tidak tahan hidup di rumah tanpa melakukan apapun selain diberi makan. "Ia merasa di rumah, dihimpit tentang asal-usul dirinya yang ia sendiri tidak tahu... Hal itu mendesaknya untuk berontak,” tulis Saiful Rahim dalam biografi tentang
Kusni: Perjalanan Hidup
Kusni Kasdut (1980)
= Masa Penjajahan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia
=
Ketika masa penjajahan Jepang di Indonesia,
Kusni muda bergabung dengan heiho (tentara pembantu).
Kusni ditempatkan di Batalion Matsamura, Kota Malang. Selain itu, Ia sempat belajar sampai kelas dua Sekolah Teknik.
Pada masa revolusi kemerdekaan, ia tergabung secara tidak resmi sebagai laskar rakyat yang bahu membahu bersama TNI. Pada 19 Agustus 1945,
Kusni bergabung dengan laskar yang tergabung di dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerah Rampal, Malang. Ia bergabung dengan Tentara Pelajar pimpinan Mas Isman. Bersama pasukan laskar tersebut, Ia bergerilya hingga Surabaya menghadapi serangan pasukan Sekutu dan Inggris. Setelah pasukan Inggris mundur, laskar rakyat membuat kelompok-kelompok sendiri. Ia memutuskan pergi ke Yogyakarta untuk bergabung dengan laskar Barisan Bambu Runcing yang rencananya akan merebut Kota Bandung. Akan tetapi, ketika sampai Madiun,
Kusni justru bergabung dengan laskar Brigade Teratai. Anggota laskar tersebut, selain terdiri dari TNI, kebanyakan berasal dari kalangan dunia hitam, seperti pencopet, perampok, germo, dan wanita panggilan. Di dalam laskar ini,
Kusni ditugaskan sebagai staf pertempuran ekonomi di mana tugasnya antara lain mengambil emas dan berlian milik warga keturunan Tionghoa yang akan digunakan untuk modal perang.
Kusni merasa bangga atas apa yang ia lakukan. Saat berada di Yogyakarta pada 19 Desember 1948,
Kusni menemukan meriam tentara Belanda. Ia dan warga mendorong meriam itu sejauh 20 kilometer untuk diserahkan kepada segerombolan prajurit untuk modal melawan Belanda.
Seluruh usahanya selama empat tahun ikut berjuang membuatnya bangga. Apalagi (menurut pengakuannya), Ia sering menyumbang harta hasil rampasan dalam operasinya untuk kepentingan perjuangan. Beberapa kali ditangkap pasukan Belanda, dipukuli, dan dijebloskan ke penjara. Ia kemudian dikenal seperti belut yang licin dan dijuluki ‘Kancil’ karena selalu berhasil meloloskan diri.
= Pasca Revolusi Kemerdekaan
=
Ia kemudian kecewa berat ketika dirinya dan laskar Brigade Teratai tidak masuk daftar sebagai pasukan TNI. Sebagai alternatif,
Kusni sempat mengaku sebagai anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) di bawah Mas Isman. Akan tetapi, Ia tetap saja ditolak masuk jadi anggota TNI. Ia ditolak juga karena cacat akibat luka tembak di kaki kirinya. Selain itu, kesatuan yang Ia ikuti (baik Brigade Teratai maupun Barisan Bambu Runcing) tidak terdaftar sebagai milisi pro republik. Pada akhirnya, Ia memutuskan kembali ke Rampal, Malang. Ada alasan lain di balik penolakannya. Ia menjadi korban kebijakan pemerintah (Kabinet Hatta) yang mengadakan rasionalisasi angkatan bersenjata dan Ia termasuk seorang di antara 500 eks TP yang harus bèrhenti.
Selama satu tahun di Rampal, ia mengurus surat pernyataan bekas pejuang. Di tempat itu juga, ia mengumpulkan uang. Uang itu dibagikan kepada keluarganya di Blitar. Sisanya digunakan
Kusni untuk biaya berangkat menuju kantor Biro Rekonstruksi Nasional di Jakarta. Biro itu tempat mengurus penempatan bekas pejuang. Kembali
Kusni kecewa karena tidak mendapat pekerjaan. Ia kecewa empat tahun ikut berjuang demi Tanah Air, tetapi dalam sekejap menjadi orang susah.
Menjadi Perampok
Kusni kembali ke Surabaya. Ia bertemu dengan beberapa rekan bekas pejuang, salah satunya Subagyo. Ia mengajak
Kusni memeras dengan modus penculikan saudagar kaya. Mereka berhasil mendapat uang Rp 600.000,00 (Jumlah yang tidak kecil pada zaman itu). Uang hasil memeras dibagikan
Kusni secara merata kepada sesama pejuang. Itulah aksi kejahatan pertamanya. Setelah itu, Ia selalu menggunakan nama
Kasdut dalam aksi kejahatan selanjutnya. Ia dijuluki ‘Robin Hood’. Hasil rampokannya sering dibagi-bagikan kepada kaum miskin. Seperti yang dilakukan jagoan Betawi, Pitung, menjelang pergantian abad ke-19 ke 20.
Aksi brutal lainnya,
Kusni bersama komplotan Bir Ali (Muhammad Ali) asal Cikini Kecil, Menteng, Jakarta Pusat, merampok warga keturunan Arab bernama Ali Badjened pada 1960. Ali Badjened dirampok sore hari ketika keluar dari rumahnya di kawasan Awab Alhajiri atau Jalan KH Wahid Hasyim, Kebon Sirih. Badjened tewas bersimbah darah diberondong peluru yang ditembak dari dalam mobil jip yang dikendarai oleh
Kusni. “Peristiwa ini sangat menggemparkan ketika itu karena masalah perampokan dengan membunuh korban belum banyak terjadi seperti sekarang,” ungkap sejarawan Betawi, Alwi Shabab, dalam tulisannya berjudul ‘Kebon Sirih dan
Kusni Kasdut’ (2008).
Perampokan Museum Nasional
Aksi nekat komplotan
Kusni Kasdut lainnya adalah merampok perhiasan koleksi Museum Nasional Indonesia atau Museum Gajah di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Ia dan kawanannya berhasil menggondol perhiasan emas dan 11 berlian senilai Rp 2,5 miliar pada 30 Mei 1963.
Kusni bersama Herman, Budi, dan Sumali merampok dengan mengenakan seragam polisi. Mereka semua menenteng senjata laras panjang jenis Vicker buatan Jerman dan Jepang. Mereka mudah masuk ke dalam museum karena penjaga menyangka mereka adalah polisi yang tengah melakukan inspeksi. Herman dan Sumali mengelabui petugas jaga dengan segudang pertanyaan. Sementara itu,
Kusni naik ke lantai atas tempat koleksi benda-benda pusaka disimpan.
Kusni bergerak cepat. Berbekal sebuah obeng besar, ia membobol lemari pajangan perhiasan kuno. Setidaknya, ada 11 perhiasan berlian yang diambilnya.
Kusni langsung kabur. Dua penjaga curiga dan berteriak. Akan tetapi, keduanya langsung ambruk ditusuk pisau belati milik Herman dan Sumali. Komplotan itu kabur dengan mobil jip. Di tengah jalan, mereka berpencar dan berkumpul kembali di sebuah rumah di kawasan Slipi, Jakarta Barat.
Ditangkap Kepolisian
Kusni berusaha menjual barang hasil curiannya secara bertahap di Surabaya. Sebagian berlian dijual dengan harga Rp 3.250.000,00 melalui perantara. Sang perantara mendapatkan bagian Rp 250.000,00.
Kusni mendapat bagian Rp 1.000.000,00. Sisanya (Rp 2.000.000,00) dikirim kepada Herman dan Sumali di Jakarta. Akan tetapi, ketika akan menjual sisa hasil curiannya,
Kusni mengalami masalah. Perantara yang biasa membantunya ternyata sudah diawasi oleh polisi. Rupanya, polisi sudah mengendus jejaknya karena Herman, Budi, dan Sumali sudah tertangkap lebih dulu.
Kusni diringkus polisi. Namun, ketika hendak dibawa ke kantor polisi setempat,
Kusni kabur menumpang mobil pikap. Polisi berhamburan mengejarnya. Saat hendak turun dari pikap, kaki
Kusni ditembak. Ia jatuh dan terguling hingga pingsan. Ia akhirnya divonis hukuman mati oleh pihak pengadilan pada 1964. Selama menunggu eksekusi,
Kusni dipenjara Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru, Malang.
Upaya Kabur dan Eksekusi Mati
Kusni tercatat beberapa kali pindah penjara, termasuk Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Ia juga tercatat sudah delapan kali kabur dari penjara. Ia melarikan diri terakhir kali pada 10 September 1979 sekitar pukul 03.00 WIB. Sebenarnya, pada saat itu Ia sudah mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Soeharto. Saat itu, Kepala Polri Letjen Awaluddin Djamin memerintahkan semua polisi di Jawa mencari
Kusni Kasdut. Satu bulan kemudian, 17 Oktober 1979,
Kusni ditangkap di tempat persembunyiannya di Surabaya. Ia sempat menerjang polisi. Di tempat itu, ditemukan senjata Vicker dengan 50 butir peluru.
Ia kemudian dijebloskan ke Lapas Kalisosok, Surabaya. Saat berada di sel penjara,
Kusni menerima kabar penolakan grasinya melalui Keputusan Presiden Nomor 32/G Tahun 1979 yang ditandatangani oleh Soeharto. Menjelang eksekusi mati,
Kusni pasrah dan bertobat.
Kusni dibaptis menjadi seorang Katolik dengan nama Ignatius Waluyo oleh Romo Theodorus Tandya Sukmana CM.
Di hari-hari senggangnya,
Kusni melukis Gereja Katedral Jakarta. Menariknya, ia melukis dengan gedebog pisang empat bulan setelah pelariannya yang terakhir.
Kusni harus menghadapi regu tembak pada 16 Februari 1980. Kini lukisannya itu dipajang di sudut lantai dua Museum Katedral Jakarta.
Budaya populer
Pada tahun 1981, Nurmiadi H, komikus berdarah Minangkabau membuat komik biografi
Kusni Kasdut setahun pasca wafatnya
Kusni Kasdut pada tahun 1980.
Kisah hidupnya menjadi inspirasi lagu God Bless berjudul "Selamat Pagi Indonesia".
Sumber