- Source: Landschap Poso
Landschap Poso, adalah sebuah daerah swapraja di Onderafdeling Poso, Afdeling Poso, Karesidenan Manado. Daerah ini dipimpin oleh seorang kontrolir atau gezaghebber dari Departemen Pemerintahan Dalam Negeri Hindia Belanda atau dari Angkatan Darat KNIL. Ibu kotanya berada di Poso.
Poso adalah daerah berpemerintahan sendiri, yang dibentuk pada tahun 1916 dengan menggabungkan Landschap Lage, Onda'e dan Pebato. Untuk mendapatkan daerah pemerintahan mandiri yang lebih kuat secara ekonomi, maka landschap ini dibentuk. Kepala Distrik Lage Papa i Owo, menjabat sebagai Kepala Landschap Poso yang pertama.
Landschap Poso, bersama dengan wilayah lain seperti Landschap Lore, Tojo, dan Una-Una, pada umumnya memiliki anggaran pendapatan dan biaya umum yang serupa. Pendapatan tersebut terdiri dari pembayaran pajak pemerintah untuk pajak yang diwariskan sebagai berikut: pajak penghasilan, retribusi krisis, pajak perorangan, pajak kendaraan bermotor, pajak pemotongan, pengumpulan hasil hutan, pelunasan layanan pinjaman, lisensi penebangan kayu—terutama kayu eboni), sewa tanah, bengkel teknis dan pasokan air di Poso, kapal pesiar dan sarana transportasi (perahu dengan mesin trailer), biaya telepon, pos dan radio.
Sejarah
Ketika pertama kali bertemu penguasa Tana Poso yaitu Kerajaan Tojo, pemerintah koloni Hindia Belanda selalu beralasan yang punya Tana Poso adalah "Pangeran Bone", tetapi Kerajaan Tojo menanggapi pihak Belanda dengan sangat tenang karena Kerajaan Tojo memiliki Tombak Arajang pemberian dari Kerajaan Bone dari Sulawesi Selatan sewaktu mendirikan Kerajaan Tojo tahun 1770 oleh Raja Tojo Pilewiti yang merupakan sepupu Raja Bone.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah "pengkaburan sejarah tana poso", mengenai siapakah pemilik tana poso, Karena tidak mungkin satu wilayah memiliki dua suku dan tidak mungkin juga satu wilayah dimiliki dua kerajaan yang berbeda yaitu Suku Bare'e di pihak Kerajaan Tojo dan Toraja (pamona) kristen di pihak Kerajaan Luwu, dan Kerajaan Luwu tidak memiliki bukti kepemilikan Tana Poso seperti Arajang Kerajaan Tojo.
Dan Sekitar tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda menduduki Buyumboyo, dan setelah itu terjadi gerakan Misionaris besar-besaran di wilayah Tana Poso bermodalkan Taktik Politik pecah belah wilayah Suku Bare'e yang para Misionaris Belanda tersebut dipimpin oleh Albertus Christiaan Kruyt, Nicolaas Adriani, dan Philip Heinrich Christoph Hofman yang semuanya berwarga negara Belanda.
Temuan Albertus Christiaan Kruyt bahwa adanya Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang mengakui dirinya adalah orang Toraja (Toradja) bukan orang Bare'e, dan setelah dilakukan penelitian melalui penyebaran batu menhir Watu Mpogaa ternyata asalnya berasal dari Legenda desa Pamona yang semua penduduk Toraja yang didapatkan Belanda dari wilayah Poso-Tojo tersebut berasal dari Wotu, Luwu Timur.
= Legenda dan Tradisi Bare'e
=Di Poso tahun 1907, pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan taktik Politik pecah belah wilayah Suku Bare'e yang sebelumnya hanya 4 wilayah yaitu : ToRato Bongka, ToLalaeyo, ToTora'u, dan ToLage, dipecah menjadi beberapa daerah baru seperti To Puumboto, To Onda'e, To Pebato, To Bancea, dll, dan setiap wilayah baru diangkat seorang pemimpin Landschap (wilayah bentukkan Hindia Belanda) yang berpangkat dalam Bahasa Bare'e: Mokole Bangke, dan dalam hal taktik Politik pecah belah, pemerintah Hindia Belanda bekerjasama dengan Misionaris Kristen dari Belanda.
Taktik Politik pecah belah oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut yaitu dengan melakukan beberapa tradisi dari umat Kristen di Tana Poso untuk menyebarkan adat istiadat dan budaya Suku Bare'e yang mempengaruhi suku-suku di luar Suku Bare'e yaitu tradisi mengatakan bahwa "orang Sausu dan Parigi berasal dari daerah aliran sungai Poso setelah terjadi peristiwa Watu Mpogaa. Konon mereka membawa tanaman sinagoeri dari Danau Poso. Ceritanya, semak ini menjadi pohon. Pohon dari Danau Poso ini sekarang digunakan di Parigi sebagai tiang utama rumah kepala lanskap. Namun patut diduga bahwa Orang Parigi aslinya berasal dari Teluk Palu, begitu pula dengan masyarakat Ampibabo yang tinggal di sebelah utara mereka, yang bahkan lebih murni memiliki ciri-ciri kelompok Parigi-Kaili".
Begitu halnya dengan wilayah To Kulawi dengan mengatakan bahwa "To Kulawi memiliki Tadulako yang berasal dari Roh Anitu (roh perang) seperti halnya Suku Bare'e di Grup Poso-Tojo", padahal yang sebenarnya hanya Suku Bare'e lah yang percaya dan memiliki Roh Anitu,dan Roh Anitu berasal dari Bahasa Bare'e, sementara To Kulawi yang memiliki adat istiadat dan budaya Suku Bare'e adalah To Kulawi bentukkan pemerintah Hindia Belanda yang seperti halnya orang-orang parigi yang dibawa pemerintah Hindia Belanda dari pulau Jawa dan beragama Kristen. Jadi seperti halnya tradisi "Tanaman sinagoeri dari danau poso" yang mempengaruhi orang Parigi supaya percaya bahwa orang parigi berasal dari Danau Poso (Suku Bare'e) bukan dari Teluk Palu yaitu tempatnya Suku Kaili berasal, seperti itulah Misionaris Kristen Belanda mempengaruhi dan mengajak suku-suku di Sulawesi Tengah untuk mengenal agama Kristen, dan konon tradisi dan budaya dari Suku Bare'e ini jangkauan wilayahnya sampai ke wilayah Suku Mongondow di Sulawesi Utara terutama dalam hal Tari Moraego, Tari Mokayori, Baju Kulit Kayu (Inodo, Fuya), dll, hal tersebut bisa dibuktikan dengan peninggalan dokumen-dokumen di zaman Hindia Belanda.
Tradisi dari umat Kristen di Tana Poso mengenai sausu dan parigi dipraktekkan oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu mula-mula dengan membawa orang-orang dari pulau Jawa yang telah beragama Kristen ke wilayah Poso-Tojo di Sulawesi, setelah itu memaksakan suatu cerita Legenda atau tradisi dari Suku Bare'e kepada suku selain Suku Bare'e, dan tahap akhir dari Misionaris Belanda di Sulawesi Tengah yaitu membawa orang-orang yang telah beragama Kristen yang telah terpengaruh tadi dari daerah asalnya ke wilayah Wotu, Luwu Timur, dengan mengikuti Legenda Desa Pamona Watu Mpogaa.
= To Lamusa
=Dengan memperhatikan wilayah dari Suku Bare'e yang tahun 1770 membentuk Kerajaan Tojo di wilayah yang mereka huni, kini muncullah suatu skema To Lamusa dari Kerajaan Luwu, tetapi sayangnya skema To Lamusa dari Kerajaan Luwu itu tidak terbukti yaitu dari pernyataan Walter Kaudern yang menyatakan "...adapun kalau ditempati, tanah tersebut sudah ditinggalkan dalam waktu yang lama sekali, karena tanahnya seperti jurang yang sangat sulit untuk dibuatkan semacam rumah tempat tinggal", karena berupa "jurang" sehingga pastilah orang akan beranggapan tanah yang dulunya merupakan hunian pemukiman penduduk setelah itu tempat hunian tersebut menjadi jurang, pastilah orang beranggapan bahwa hal tersebut bisa terjadi karena faktor bencana alam dan salah satunya adalah Gempa bumi, dan di zaman moderen pernyataan tersebut dibuktikan dengan tidak adanya garis patahan gempa yang melewati wilayah tempat yang dulu dinamakan Lamusa di TandongKasa (Tando Ngkasa), desa Lamoesa, dan Pantjawoe Enoe.
Referensi
= Sumber
=Kata Kunci Pencarian:
- Kabupaten Poso
- Landschap Poso
- Poso (kota)
- Onderafdeling Poso
- Afdeling Poso
- Sejarah Poso
- Landschap Banggai
- Papa i Owo
- Sulawesi Tengah
- Kerajaan Banggai
- Poso