Sejarah Poso (bahasa Inggris: History of
Poso) dimulai sejak zaman batu hingga zaman megalitikum. Wilayah ini telah mengalami berbagai peristiwa penting pada awal abad ke-20, sebelum bergabung ke dalam wilayah Indonesia, sebagai salah satu daerah administratif, Kabupaten
Poso.
Sejak zaman batu hingga zaman megalitikum. Pada saat itu, masyarakat adat Pekurehua di Watutau telah hidup dan menetap secara turun temurun di wilayah Watutau. Hal tersebut ditandai dengan adanya bukti peninggalan purba, di antaranya guci yang terbuat dari tanah yang dijadikan peti mati yang dalam Bahasa Bada disebut dengan Kori Bengki. Di wilayah lembah Lore, terdapat sekitar 400 patung granit megalitik, yang menurut berbagai penelitian arkeologi diperkirakan berasal dari 3000 SM hingga tahun 1300. Patung-patung ini memiliki ukuran yang bervariasi, mulai dari beberapa sentimeter hingga sekitar 45 meter (148 ft). Tujuan dibuatnya patung-patung ini masih belum dapat dijelaskan. Sekitar 30 patung megalitik berbentuk seperti manusia, sedangkan yang lainnya dalam bentuk pot besar (Kalamba) dan piring batu (Tutu'na).
= Periode Raba
=
Di Lembah Napu, beredar legenda tentang lembah dan pemukiman di sana ribuan tahun sebelumnya. Selama era yang disebut-sebut sebagai Periode Raba, sebagian wilayah Lembah Napu dulunya merupakan danau yang disebut Rano Raba (Danau Raba). Pada saat itu, perbukitan di sekitar danau merupakan daerah permukiman dari berbagai suku, yang hanya dipertemukan dalam konteks upacara adat. Dua kelompok suku terbesar di wilayah tersebut adalah To Winoa yang mendiami perbukitan di atas Tamadue dan To Huku di bagian barat yang menghuni perbukitan di atas Wuasa. Selain itu, kelompok suku kecil lainnya juga mendiami wilayah ini. Meski demikian, mereka mampu berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa yang saat ini dikenal dengan bahasa Napu. Suku-suku ini dipimpin seseorang yang bergelar Tuana. Semakin banyaknya penduduk yang mendiami wilayah ini, membuat para penduduk desa memutuskan untuk mengeringkan Rano Raba. Danau ini dikeringkan dengan upacara adat melalui perantara seseorang yang dijuluki Tawalia (dukun) dengan mengalihkan aliran danau ke sebelah selatan desa Torire saat ini, yang akhirnya menjadi Sungai Lariang melewati Lore Selatan dan bermuara di Mamuju, Sulawesi Barat. Proses pengeringan ini disebut memakan waktu sekitar seratus tahun. Rano Raba menyisakan jejak dalam bentuk danau-danau kecil yang disebut Rano Wanga (Danau Wanga) dan Rano Ngkio (Danau Ngkio), sedangkan wilayah bekas danau utama menjadi padang rumput dan ilalang. Dataran baru ini kemudian dijadikan padang penggembalaan, tanah pertanian, dan wilayah permukiman masyarakat yang baru. Salah satu kelompok suku yang mendiami daratan baru ini adalah To Pekurehua, yang di kemudian hari akan menjadi kelompok terbesar di wilayah ini.
Sama seperti wilayah lainnya di Sulawesi, lembah Napu juga mengenal kisah To Manuru, seseorang yang dalam legenda berasal dari langit. Ia disebut diturunkan dari langit di lembah Napu pada abad ke-10, menikahi wanita lokal keturunan bangsawan dari suku Kalide dan dikaruniai tujuh anak. Setelah semuanya beranjak dewasa, To Manuru pergi dan melanjutkan perjalanan. Seorang putranya yang bernama Tindarura memilih bertahan di desa, sedangkan saudara-saudaranya pergi meninggalkan lembah. Pertumbuhan penduduk yang pesat membuat populasi desa meningkat tajam, membuat sebagian penduduk memutuskan pindah untuk mendirikan permukiman baru bernama Gaa. Seiring waktu, desa-desa seperti Habingka, Gaa, Lengaro, dan Watutau bersekutu untuk membentuk Prinsipalitas dan masing-masing desa dipimpin oleh bangsawan. Tindarura ditunjuk oleh para bangsawan ini untuk menjadi Tadulako (panglima perang) bagi mereka, dan ia mulai dikenal dengan nama Gumang Koana. Ia memproduksi alat-alat pertanian dan senjata, dan membangun sebuah baruga adat di desa Lamba yang dijadikan sebagai tempat pertemuan majelis adat dan bangsawan. Gumang Koana mewariskan tugasnya sebagai Tadulako kepada putranya, nTakeuba. Pada akhir abad ke-12, wilayah lembah Napu diserang oleh suku To Mene yang berasal dari Mandar. Semua penduduk yang tinggal di utara tewas.
= Abad pertengahan
=
Peta klasik Pluvier untuk abad ke-15, dengan jelas memberi tanda (noktah khusus) untuk beberapa wilayah penting di Sulawesi saat itu, termasuk
Poso. Pada tahun 1667, pasca Perjanjian Bongaya yang membahas tentang klaim pengaruh Ternate atas wilayah Sulawesi bagian Utara, khususnya yang berada di kawasan Teluk Tomini (termasuk
Poso, Tojo, Togean, Banggai, Luwuk, dan Moutong), secara politik diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda.
Sejak abad ke-18, penduduk yang mendiami daerah
Poso berada di bawah kekuasaan pemerintah raja-raja yang terdiri dari Raja
Poso, Raja Napu, Raja Mori, Raja Tojo, Raja Una-Una, dan Raja Bungku yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Seluruh wilayah kerajaan tersebut di bawah pengaruh beberapa kerajaan, di bagian utara tunduk dibawah pengaruh Raja Sigi yang berkedudukan di Sigi. Di bagian Timur, yakni daerah Bungku tunduk kepada Sultan Ternate. Dalam catatan Kruyt, ada 4 Kerajaan yang berbatasan langsung dengan wilayah
Poso; yaitu Kerajaan Luwu, Kerajaan Sigi, Kerajaan Tojo dan Kerajaan Mori. Kekuasaan yang paling berpengaruh dan paling luas adalah kerajaan Luwu yang berkedudukan di Palopo. Rajanya memakai gelar Datu.
= Protektorat kerajaan
=
Pada awal abad ke-17, Kerajaan Luwu di selatan mulai mencapai puncak kejayaannya. Pengaruh Luwu yang kuat di selatan mulai tersebar ke utara dan memasuki wilayah
Poso. Pada akhir abad ke-18, Datu Pamona dikalahkan oleh pasukan Luwu. Datu Pamona kemudian ditawan oleh pasukan Luwu dan dibawa ke Palopo. Pemerintahan Kerajaan Luwu di
Poso dikendalikan melalui Wotu dan Ampu Lemba. Ampu Lemba dalam pemerintahannya selalu berkoordinasi dengan Karadja Lamusa yang bermukim di Tando Ngkasa. Perintah maupun permintaan dari Datu Luwu disampaikan kepada Ampu Lemba. Perintah ini dapat berupa bantuan pasukan, apabila pasukan kerajaan Luwu melakukan ekspansi, atau sedang memberikan hukuman di wilayah lain.
Di bawah kekuasaan Kerajaan Luwu di wilayah
Poso, kediaman Suku Pamona tetap patuh yang secara tradisi atau turun temurun tunduk kepada Wotu yang dikepalai oleh Macoa Bawa Lipu. Namun dalam catatan Kruyt, wilayah Onda'e tidak tunduk kepada Datu Luwu. Pasukan Datu Luwu kemudian menyerang wilayah Onda'e, dan peristiwa ini dikenal dengan Monangu Buaja. Peristiwa Monangu Buaja disebutkan dalam buku Kruyt yang berjudul De Crocodiel in Possoer. Dalam buku itu, dinyatakan bahwa Pasukan Datu Luwu bersama dengan Lamusa datang menghancurkan Onda'e. Dalam suasana keterpurukkan, para tetua Onda'e yang tersisa kemudian bermusyawarah dan mengambil kesepakatan untuk menghadap langsung kepada Datu Luwu. To Onda’e kemudian dijadikan anak emas oleh Kerajaan Luwu.
Tekanan dari Bone dan Luwu membuat wilayah jajahan mereka seperti Parigi dan Sigi, mulai menyebarkan pengaruh mereka kepada suku pedalaman. Di bagian barat, pengaruh Kerajaan Sigi mulai dirasa kental. Kruyt menyebutkan bahwa Sigi berhasil menguasai sejumlah daerah suku-suku di
Poso dengan politik pecah-belah. To Napu, yang merupakan salah satu wilayah yang terkena pengaruh Kerajaan Sigi, sering melakukan penjarahan di Pebato. Sehingga orang-orang di Pebato harus mengakui dua tuan, yakni Luwu dan Sigi. To Napu memiliki naluri perang yang tinggi dan sering ditemukan merajalela di bagian wilayah lain yang pada waktu itu dikategorikan sebagai pelanggaran keras. Mereka merajalela di di wilayah Pebato, Lage, Onda'e dan Wingke mPoso. Diduga agresi yang dilakukan To Napu merupakan tekanan dari Raja Sigi yang berambisi menguasai seluruh wilayah Sulawesi bagian tengah untuk melepaskan diri dari pengaruh Kerajaan Luwu dan mendirikan imperium baru. Namun rencana ini gagal karena tidak semua rakyat Lore mendukung, sebab ada pertalian kekerabatan dengan To
Poso.
Dalam situasi tarik-menarik dua kekuatan besar ini, To Onda'e memiliki peranan yang penting, demikian juga To Napu. Situasi ini sering memicu ketegangan antara Onda'e dan Pebato yang memberikan kebebasan To Napu berkeliaran di wilayahnya. Sehingga To Onda'e mengajak To Lage untuk menekan To Pebato. Dua suku ini kemudian menjadi "anak emas" dari dua kerajaan yang memiliki kepentingan politik, yaitu Kerajaan Luwu dengan To Onda'e-nya dan Sigi dengan To Napu-nya. Sedangkan To Pebato dan To Lage berada di tengah sebagai penengah di antara keduanya.
Dalam tiga dekade awal tahun 1800-an, migrasi Suku Mandar dari Sulawesi bagian barat terus berlanjut ke utara dan timur laut, hingga mencapai wilayah pesisir Teluk Tomini. Mereka mulai menetap di pesisir pantai dan menyebar dari wilayah Ampibabo di Parigi hingga ke Lage di
Poso. Adriani dan Kruyt dalam buku mereka—De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes—yang juga dikutip oleh Kaudern, menyatakan peristiwa migrasi suku Mandar ke wilayah Sulawesi bagian tengah tidak dapat diketahui tanggal pastinya. Di wilayah Kadombuku, Lage—suku bawahan Mandar yang sangat berpengaruh—mulai membujuk penduduk lokal To Kadombuku untuk memeluk Islam. Mereka yang tidak setuju dengan ajakan tersebut, memberontak dan menentang Mandar dalam serangkaian perang suku yang terjadi sekitar ca 1832. Rangkaian perang suku ini dimenangkan oleh suku Mandar, dan peristiwa ini dikenal sebagai Perang Mandar–Kadombuku.
Pada bulan September 1865, Johannes Cornelis Wilhelmus Didericus Adrianus van der Wyck—seorang pejabat pemerintahan Hindia Belanda dari Sulawesi Utara—melakukan perjalanan ke dataran tinggi di selatan Teluk Tomini dengan tujuan memastikan kabar bahwa wilayah tersebut merupakan daerah kaya batu bara, bijih besi, dan emas. Ia justru menemukan Danau
Poso, membuatnya menjadi orang Eropa pertama yang diketahui mengunjungi danau tersebut. Willem Jan Maria Michielsen mengikuti jejak ini pada tahun 1869, empat tahun setelah kedatangan van der Wyck.
= Kekuasaan kolonial
=
Belanda, yang sejak abad ke-17 menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik mereka di pulau Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi Tengah karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Bagaimanapun, keadaan ini hanya berlangsung selama dua abad. Perluasan wilayah Kerajaan Bone di seputaran Teluk Tomini menarik perhatian pemerintah kolonial. Naiknya aktivitas perdagangan kopra dan hasil hutan oleh pedagang Tionghoa dan Muslim, serta meningkatnya intensitas perdagangan ilegal dan pembajakan adalah faktor lain yang memicu keterlibatan Belanda. Meski pada awalnya pemerintah kolonial mengabaikan laporan-laporan tentang wilayah ini, peristiwa khusus yang lain terjadi, memaksa pemerintah kolonial untuk ikut campur lebih dalam dengan suku-suku di pedalaman Sulawesi Tengah. Pada tahun 1890, sebuah kapal uap Singapura berbendera Inggris muncul di Teluk Tomini, tanpa meminta izin di Gorontalo yang merupakan pusat Asisten Residen Belanda. Kapal bernama Glangy ini berlayar menuju ke
Poso dan mengirimkan dua orang penyelidik Australia, yang berhasil menembus pedalaman hingga di daerah pertemuan Sungai
Poso dengan Tomasa untuk melakukan riset tentang keberadaan emas. Rumor yang beredar saat itu menyebutkan bahwa Inggris telah menjalin hubungan persekutuan dengan kerajaan-kerajaan lokal agar dapat bebas dari kontrol Belanda. Untuk mengantisipasi langkah Inggris, pemerintah kolonial menawarkan kontrak politik dengan empat kepala suku dari Pamona: Garoeda, Oele, Boenga Sawa dan Bengka. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak mengerti apa-apa tentang kontrak ini, tetapi para penafsir membujuk mereka dengan berbagai alasan untuk menyetujui kontrak tersebut.
Pemerintah Hindia Belanda memahami bahwa kontrak tersebut tidak berarti apa-apa dan memutuskan untuk menempatkan seorang kontrolir di
Poso untuk mempermudah kontak dengan suku-suku pedalaman
Poso dan dengan warga lainnya di sepanjang wilayah pesisir Teluk Tomini. Pada bulan September 1894, Belanda mengangkat kontrolir pertama di
Poso, Eduard van Duyvenbode Varkevisser. Keberadaan pemerintahan Belanda di mulut sungai
Poso ini masih belum diketahui di wilayah pedalaman
Poso pada saat itu. Belanda, yang juga khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis, melihat Suku Pamona yang menganut animisme di Sulawesi Tengah sebagai target yang potensial untuk di-Kristen-kan. Ketertarikan Belanda atas wilayah Sulawesi Tengah baru diwujudkan menjelang akhir abad ke-19 untuk mengamati potensi wilayah yang ada di Sulawesi Tengah, terutama
Poso. Setelah berdiskusi dengan Raja Sigi, Belanda memutuskan untuk mendaratkan seorang misionaris muda bernama Albertus Christiaan Kruyt di Mapane pada tahun 1892.
Hingga awal tahun 1905, Kruyt dan Adriani terus menerus melakukan ekspedisi pemetaan wilayah
Poso, terutama kekuatan potensial pasukannya, sebagai data awal yang kemudian digunakan pihak Belanda untuk menundukkan
Poso. Pada bulan September 1905, Kontrolir
Poso Arie Jacob Nicolaas Engelenberg melakukan inisiatif untuk mengadakan pertemuan dengan mengundang seluruh Kabose dari dataran tinggi Napu dan Pebato untuk menjelaskan tentang rezim pemerintahan yang baru. Tindakan para Kabose dari Napu dan Pebato—yang menolak untuk hadir—memaksa pasukan Belanda menyerbu Napu dan menimbulkan korban 60 orang Napu yang tewas dalam pertempuran. Peristiwa ini disebut Perang Peore.
= Pemerintahan Hindia Belanda
=
Pada tahun 1918, seluruh wilayah Sulawesi Tengah dalam lingkungan Kabupaten
Poso yang sekarang telah dikuasai oleh Hindia Belanda dan mulailah disusun pemerintah sipil. Kemudian oleh Pemerintah Belanda, wilayah
Poso dalam tahun 1905-1918 terbagi dalam dua kekuasaan pemerintah, sebagian masuk wilayah Karesidenan Manado, yakni Onderafdeeling (kawedanan) Kolonodale dan Bungku Tengah, Morowali, sedangkan kedudukan raja-raja dan wilayah kekuasaanya tetap dipertahankan dengan sebutan Self Bestuure-Gabieden (wilayah kerajaan) berpegang pada peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda yang disebut Self Bestuure atau Peraturan Adat Kerajaan (hukum adat).
Pada tahun 1919, seluruh wilayah
Poso digabungkan dan dialihkan dalam wilayah Keresidenan Manado dan Sulawesi Tengah terbagi dalam dua wilayah yang disebut Afdeeling, yaitu: Afdeeling Donggala dengan ibu kotanya Donggala dan Afdeeling
Poso dengan ibu kotanya kota
Poso yang dipimpin oleh masing-masing Asisten Residen.
Pada tahun 1924, Belanda mengeluarkan Staatsblad Nomor 366 tentang pembagian pemerintahan Karesidenan Manado. Afdeling
Poso dibentuk, dan Landschap Banggai dipecah menjadi dua Onderafdeling.
= Pendudukan Jepang dan perang dunia
=
Pada bulan-bulan awal tahun 1942, Jepang melakukan serangkaian pendaratan pasukan di berbagai wilayah di Indonesia. Pada tanggal 11 Januari 1942, Kota Manado jatuh ke tangan Jepang, membuat pasukan Belanda mundur ke wilayah Sulawesi Tengah yang saat itu belum dimasuki Jepang. Pemerintah Belanda kemudian menjadikan ibu kota kabupaten
Poso sebagai salah satu tempat pemusatan pasukan Belanda, selain Kota Palu. Pada akhir Januari 1942, Troepen commandant (TPC) Mayor B.F.A. Schilmöller yang bermarkas di
Poso mengirimkan sebuah radiogram rahasia kepada Letnan W.H.J.E. van Daalen bersama Kapten J.H.L.A.C. de Swert. Dalam radiogram tersebut, Schilmöller memerintahkan agar pasukan Batalyon Inheemsche Militie di Manado untuk segera bersiap dan segera berangkat dengan KM Togian sesuai rencana. Setelah menerima radiogram, de Swert segera memerintahkan agar seluruh pasukan bersiap-siap untuk menuju ke
Poso. Pada malam hari tanggal 25 Februari 1942, rombongan mereka tiba di Pelabuhan
Poso. Beberapa hari kemudian, pada tanggal 2 Maret 1942, Nani Wartabone mengutus Ahmad Otto Papeo bersama rombongannya dari Gorontalo untuk berangkat ke
Poso dengan menggunakan kapal motor SS Urania. Perjalanan ini dilakukan untuk melakukan aksi pelucutan senjata terhadap tentara Belanda yang berada di
Poso.
Sasaran utama militer Jepang di Sulawesi Tengah adalah pemerintahan dan militer Hindia Belanda, yang mereka anggap sebagai sekutu Amerika Serikat, lawan utama mereka pada Perang Dunia II. Pasukan Belanda yang bertahan di ibu kota
Poso mencapai sekitar 60 orang, yang dipimpin oleh van Daalen dan Asisten Residen Afdeling
Poso L.C.J. Rijsdijk. Di sisi lain, Residen Manado Frederik Charles Hendrik Hirschmann menuju ke Lembah Bada di pedalaman Lore untuk menghindari kejaran tentara Jepang. Letak Bada yang berada di pedalaman, kondisi jalan penghubung yang rusak dan sulit dijangkau pada saat itu membuat pelarian Hirschmann sukses. Kesuksesan Jepang mengambil alih Kota Donggala, membuat pengendali kekuatan pasukan militer Belanda dialihkan kepada van Daalen yang berada di
Poso. Untuk merebut Palu dan
Poso, Jepang melancarkan serangan dua arah —rencana yang terbukti efektif karena kedua kota ini kemudian jatuh ke tangan Jepang— secara langsung. van Daalen dan sisa pasukan mundur dari
Poso dan menuju ke kota Kolonodale untuk bergabung dengan Letnan J.A. de Jong yang memang ditempatkan di sana. Kolonodale adalah pusat konsolidasi terakhir pasukan Belanda, sebelum mereka menuju ke Australia. Pelarian mereka membuat Kolonodale menjadi sasaran pesawat pengebom Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Rijsdijk berhasil meloloskan diri, sedangkan van Daalen dan de Jong ditangkap dan dipenjarakan di Manado, dan mereka berdua tewas setelah dieksekusi pada tanggal 25 Agustus 1942.
Keadaan pemerintahan yang dikendalikan oleh para Raja setempat berlangsung sampai bulan Juni 1942. Sebelumnya, pada tanggal 7 Maret 1942, Jepang mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 yang berisi mengenai ketentuan ketatanegaraan yang tidak bertentangan dengan pemerintahan pendudukan militer Jepang. Berlakunya Undang-Undang ini, membuat petugas-petugas pemerintahan sipil Jepang yang berdatangan dari Makassar dan Manado, ditempatkan di kota Donggala, Palu, dan
Poso.
Pada tanggal 21 Agustus 1945, Jepang menyerahkan kendali pemerintahan di Sulawesi Tengah terhadap raja-raja setempat. Di
Poso, kekuasaan diberikan kepada Raja Muda Wongko Lemba Talasa. Kemerdekaan negara yang masih sangat rapuh, diantisipasi oleh W.L. Talasa dengan membentuk barisan sukarela yang dipimpin Jacob Lamadjuda. Baru sekitar dua bulan mengendalikan pemerintahan, pasukan sekutu dengan menumpang kapal perang Australia tiba di Pelabuhan
Poso pada tanggal 1 November 1945. Kapal ini membawa mantan Asisten Residen
Poso Rijsdijk dengan dikawal satu regu pasukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Kedatangan mereka menandai kembalinya kekuasaan Belanda, disertai dengan penyusunan pemerintahan daerah dengan struktur yang sama dengan masa Hindia Belanda. Jacob Lamadjuda dan pasukannya berniat untuk melawan, tetapi dilarang oleh Raja Tua
Poso Talasa.
= Pasca kemerdekaan
=
Pada 2 Desember 1948, Daerah Otonom Sulawesi Tengah terbentuk yang meliputi Afdeeling Donggala dan Afdeeling
Poso dengan ibu kotanya
Poso yang terdiri dari beberapa wilayah Onder Afdeeling Chef atau lazimnya disebut pada waktu itu Kontroleur atau Hoofd Van Poltseliijk Bestuure (HPB). Ketiga Onder Afdeeling ini meliputi beberapa Landschap dan terbagi dengan beberapa distrik, yakni:
Pada tahun 1949, setelah realisasi pembentukan Daerah Otonom Sulawesi Tengah yang disusul dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi Tengah, pembentukan Daerah Otonom Sulawesi Tengah dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil Muktamar Raja-raja se-Sulawesi Tengah pada tanggal 13 hingga 14 Oktober 1948 di Parigi yang mencetuskan suara rakyat se-Sulawesi Tengah agar dalam lingkungan Pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT), Sulawesi Tengah dapat berdiri sendiri. Kemudian ditetapkan bahwa Rajawali Pusadan, Ketua Dewan Raja-Raja, sebagai Kepala Daerah Otonom Sulawesi Tengah.
= Daerah otonom
=
Pada tanggal 4 April 1952, Presiden Soekarno melakukan kunjungan ke
Poso. Soekarno menggunakan pesawat amfibi PBY Catalina yang mendarat di Teluk
Poso. Ia kemudian dijemput di Pelabuhan
Poso oleh para tokoh adat dan masyarakat. Penyambutan secara adat —yang disebut Pekasiwia— dilakukan. Hampir semua perwakilan dari suku-suku yang ada di
Poso datang untuk melakukan penyambutan Soekarno. Setelah disambut secara adat, presiden berangkat ke alun-alun kota saat itu di Lapangan Kasintuwu untuk melaksanakan pidato politiknya. Ribuan masyarakat
Poso datang untuk bertemu dan mendengar pidatonya. Setelah melakukan pidato, presiden juga meresmikan Tugu Kemerdekaan di Bonesompe.
Pada tanggal 12 Agustus 1952, pemerintah melalui Menteri Kehakiman Lukman Wiriadinata mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1952 yang mengatur tentang pembubaran Daerah Otonom Sulawesi Tengah dan membagi wilayahnya menjadi daerah-daerah swatantra, yang terdiri dari Daerah Otonom
Poso dan Daerah Otonom Donggala.
Pemilihan umum 1955 di
Poso dimenangkan oleh Partai Masyumi, dan disusul secara berturut-turut oleh Parkindo, PSII, PNI, Nahdlatul Ulama, PKI dan Partai Katolik. Pada tahun 1959, berdasarkan Undang-Undang No. 29 Tahun 1959, Daerah Otonom
Poso dipecah menjadi dua daerah kabupaten, yakni Kabupaten
Poso dengan ibu kota
Poso dan Kabupaten Banggai dengan ibu kota Luwuk.
Peristiwa tahun 2016–2017
2016
29 April – Ratusan perawat dan pekerja RSUD
Poso menggelar aksi demo sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap pengelolaan anggaran rumah sakit yang dinilai tidak transparan.
3 Mei – Petugas gabungan Satpol PP Kabupaten
Poso didukung TNI-Polri melakukan penggusuran penertiban Pasar Sentral
Poso.
14 September – Bupati berkunjung ke Jakarta untuk melakukan pertemuan dengan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Eko Sandjojo dan Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri.
9 Oktober – Bupati Darmin terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum DPD Partai Golkar Kabupaten
Poso.
2017
13 Januari – Bupati
Poso Darmin Sigilipu melantik 58 anggota Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) tingkat kabupaten.
31 Maret – Sebuah ledakan keras diduga bom terjadi di tugu bundaran Jalan Pulau Sumatra atau tepatnya di depan lokasi bekas Pasar Sentral
Poso. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.
22 Mei – Ibu kota
Poso menjadi kota pertama di Sulawesi Tengah yang menjalankan program Smart City (kota cerdas).
26 Mei – Bupati melakukan peletakkan batu pertama pembangunan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang terletak di jalan lingkar Kelurahan Moengko, Kecamatan
Poso Kota.
31 Mei – Pasca gempa dua hari sebelumnya, warga menemukan ratusan titik yang mengeluarkan air dari dalam tanah di Desa Wuasa.
9 Juli – Sepanjang hari, terjadi dua teror yang terjadi di depan Mapolres
Poso dan di depan sekolah yang berjarak sekitar 50 meter dari pos lalu lintas di bundaran SMA GKST, Kelurahan Kasintuwu, Kecamatan
Poso Kota Utara. Polres
Poso menyebut ada pihak yang ingin mengacaukan keamanan yang terjaga di
Poso.
9 Juli – Warga Kelurahan Lembomawo, Kecamatan
Poso Kota Selatan, dihebohkan dengan penemuan enam kuburan warga yang berada dalam kondisi terbongkar.
19 Juli – Satuan Reserse Kriminal Polres
Poso menghentikan aktivitas ilegal galian C yang dilakukan PT Multi Graha Istika Makmur (MGIM) di Desa Betalemba, Kecamatan
Poso Pesisir Selatan.
2 Agustus – Tim Pengawasan dan Evaluasi Markas Besar TNI yang dipimpin oleh Brigjen. TNI Harianto meninjau langsung Rumah Tinggal Layak Huni (RTLH) di Kecamatan
Poso Pesisir bersaudara dalam rangka Operasi Teritorial TNI Sintuwu Maroso tahun 2017.
7 Agustus – Seorang warga
Poso bernama Taufik Umar Attamimi meminta maaf setelah menghina Muhammad Rizieq Shihab melalui media sosial Facebook. Sebelumnya, ia menuliskan status pada tanggal 22 Juli 2017 yang dianggap menghina Rizieq.
11 Agustus – Pangdam XIII/Merdeka Mayjen. TNI Ganip Warsito secara resmi menutup pelaksanaan Operasi Teritorial TNI Sintuwu Maroso tahun 2017 di Lapangan Yonif 714/Sintuwu Maroso.
21 Agustus –
Poso kembali diguncang gempa berskala 4,7 SR. Pusat gempa berada di pegunungan antara Kecamatan Lore Utara dan
Poso Pesisir Utara. Gempa ini tidak menimbulkan kerusakan yang berarti.
22 Agustus – Ratusan pengelola kayu hitam (eboni), menuntut agar surat izin pengelolaan kayu ini diperpanjang masa penggunaannya.
26 Agustus – Kejaksaan Negeri
Poso menerjunkan Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan, dan Pembangunan Daerah (TP4D) untuk mengawasi penggunaan dana desa.
28 Agustus – Dua orang polisi dari Polres
Poso dipecat setelah melanggar kode etik profesi Polri.
29 Agustus – DPRD
Poso memeriksa penggunaan dana desa untuk Desa Kuku, Kecamatan Pamona Utara.
31 Agustus – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Daerah (Amanda) Pamona menggelar Musyawarah Daerah (Musda) ke-2 di Desa Taripa, Kecamatan Pamona Timur, yang dibuka secara resmi oleh Bupati.
1 September – Seorang dosen Universitas Tadulako (UNTAD) dari Kota Palu bernama Natsir Karim, tewas setelah terlibat kecelakaan lalu lintas di Desa Sepe, Kecamatan Lage.
4 September – Tujuh rumah warga Kelurahan Kayamanya, Kecamatan
Poso Kota, terbakar pada Senin dinihari. Kebakaran diduga terjadi karena ledakan tabung gas.
14 September – Tiga orang penambang emas ilegal di Desa Bakekau, Kecamatan Lore Selatan, tertimbun longsor dan menyebabkan seorang di antaranya tewas.
20 September – Bupati meninjau pembangunan gedung sekolah bantuan di Alitupu, Kecamatan Lore Utara, yang rusak berat akibat gempa
Poso bulan Mei.
26 September – Satuan Lalu Lintas Polres
Poso menggelar kejuaraan bulu tangkis bertajuk "Madago Raya Tournament Badminton" dalam rangka merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Lalu Lintas ke-62 di GOR Kasintuwu.
11 Oktober – Pihak Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang
Poso, mengunjungi Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 3
Poso Kota Utara untuk mengklarifikasi kembali data siswa penerima Program Indonesia Pintar (PIP) di sekolah tersebut.
14 Oktober – Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten
Poso memulai penimbunan ruas jalan Desa Pandajaya menuju Desa Mayajaya.
14 Oktober – Desa Tagolu terpilih untuk mewakili Kabupaten
Poso dalam lomba "halaman indah, tertib dan nyaman" (HATINYA) PKK tingkat provinsi tahun 2017.
14 Oktober – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Poso berhasil memenuhi target PAD 100% tiga bulan lebih cepat sebelum tahun berjalan berakhir.
14 Oktober – Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Poso telah mencapai target penerimaan pajak tercepat dari 341 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) se-Indonesia untuk tahun 2017.
16 Oktober – Ratusan mahasiswa Universitas Sintuwu Maroso menggelar aksi demo menuntut kejelasan sejumlah dana perkuliahan.
25 Oktober – Jajaran Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) dan Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) Bekasi melakukan kunjungan kerja di
Poso, dalam rangka mempelajari penanganan konflik yang pernah terjadi di
Poso.
8 November – Grup musik Slank dinobatkan oleh Bupati menjadi duta perdamaian
Poso dalam acara Festival Danau
Poso (FDP).
8 November – Seorang pelajar kelas IX SMP, meninggal dunia setelah mengikuti lomba lari maraton 10 kilometer kelas pelajar dalam rangkaian FDP.
15 November – Polres
Poso meringkus tiga perampok lintas kabupaten di sebuah rumah di Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai.
Catatan
Referensi
= Catatan kaki
=
= Daftar pustaka
=
= Sumber
=
Buku
Jurnal
Laporan