Letusan Krakatau 1883 terjadi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), yang bermula pada tanggal 27 Agustus
1883 (dengan gejala pada awal Mei) dan berpuncak dengan
Letusan hebat yang meruntuhkan kaldera. Pada tanggal 20 Mei
1883, dan
Letusan besar terjadi pada 27 Agustus
1883, dua pertiga bagian
Krakatau runtuh dalam sebuah
Letusan berantai, melenyapkan sebagian besar pulau di sekelilingnya. Aktivitas seismik tetap berlangsung hingga Februari 1884.
Letusan ini adalah salah satu
Letusan gunung api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah, setelah
Letusan Tambora 1815, menimbulkan setidaknya 36.417 korban jiwa akibat
Letusan dan tsunami yang dihasilkannya. Dampak
Letusan ini juga bisa dirasakan di seluruh penjuru dunia.
Letusan ini adalah salah satu peristiwa gunung berapi paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah.
Letusan ini adalah salah satu ledakan dengan suara paling keras yang pernah tercatat, dan terdengar setidaknya 3.000 mil (4.800 km) jauhnya.
Letusan ini menimbulkan megatsunami ketika menghantam perairan Selat Sunda. Ketinggian gelombang mencapai hingga 24 meter (79 kaki) di sepanjang pantai selatan Sumatra dan hingga 42 meter (138 kaki) di sepanjang pantai barat Jawa. Tsunami membawa batu karang raksasa seberat 50 ton. Seluruh hutan tumbang dan hanyut, hingga hanya menyisakan akarnya saja. Tsunami datang setelah air laut surut, dan disertai suara yang memekakkan telinga.
Peristiwa ini menyebabkan musim dingin vulkanik selama 5 tahun lamanya. Gelombang tekanan akustik mengelilingi dunia lebih dari tiga kali. Dampak tambahan yang signifikan dirasakan di seluruh dunia dalam beberapa hari dan minggu setelah
Letusan gunung berapi. Aktivitas seismik tambahan dilaporkan hingga Februari 1884, namun laporan apa pun setelah Oktober
1883 ditolak oleh penyelidikan selanjutnya oleh Rogier Verbeek terhadap
Letusan tersebut.
Sebenarnya jauh sebelum
1883,
Krakatau juga pernah meletus pada tahun 416 sebelum Masehi, diikuti beberapa
Letusan pada abad ke-3, 9, 10, 11, 12, 14, 16, dan 17 yang diikuti dengan tumbuhnya kerucut Rakata dan Danan.
Fase awal
Sebelum
Letusan 1883, aktivitas seismik di sekitar
Krakatau sangat tinggi, menyebabkan sejumlah gempa bumi yang dirasakan hingga ke Australia. Pada 20 Mei
1883, pelepasan uap mulai terjadi secara teratur di Perboewatan,. pulau paling utara di Kepulauan
Krakatau. Pelepasan abu vulkanik mencapai ketinggian hingga 6 km dan suara
Letusan terdengar hingga ke Batavia (sekarang Jakarta), yang berjarak 160 km dari
Krakatau. Aktivitas vulkanik menurun pada akhir Mei, dan tidak ada aktivitas lebih lanjut yang tercatat hingga beberapa minggu ke depan.
Letusan kembali terjadi pada 16 Juni, yang menimbulkan
Letusan keras dan menutupi pulau dengan awan hitam tebal selama lima hari. Pada 24 Juni, angin timur yang bertiup membersihkan awan tersebut, dan dua gulungan kabut asap terlihat membubung dari
Krakatau.
Letusan ini diyakini telah menyebabkan munculnya dua ventilasi baru yang terbentuk di antara Perboewatan dan Danan. Aktivitas gunung juga menyebabkan air pasang di sekitarnya menjadi sangat tinggi, dan kapal-kapal di pelabuhan harus ditambatkan dengan rantai agar tidak terseret laut. Guncangan gempa mulai terasa di Anyer, Jawa Barat, dan kapal-kapal Belanda melaporkan mengenai adanya batu apung besar yang mengambang di Samudra Hindia di sebelah barat.
Pada tanggal 11 Agustus, pakar topografi Belanda, Kapten H. J. G. Ferzenaar, mulai menyelidiki pulau. Ia menemukan tiga gulungan abu telah melingkupi pulau, dan lepasan uap dari setidaknya sebelas ventilasi lainnya, sebagian besarnya terdapat di Danan dan Rakata. Saat mendarat, Ferzenaar mencatat adanya lapisan abu setebal 0,5 m, dan musnahnya semua vegetasi pulau, hanya menyisakan tunggul-tunggul pohon. Keesokan harinya, sebuah kapal yang lewat melaporkan mengenai adanya ventilasi baru yang berjarak "hanya beberapa meter di atas permukaan laut". Aktivitas vulkanik
Krakatau terus berlanjut hingga pertengahan Agustus.
Fase klimaks
Tanggal 25 Agustus,
Letusan semakin meningkat. Sekitar pukul 13.00 tanggal 26 Agustus,
Krakatau memasuki fase paroksimal. Satu jam kemudian, para pengamat bisa melihat awan abu hitam dengan ketinggian 27 km (17 mi). Pada saat ini,
Letusan terjadi terus menerus dan ledakan terdengar setiap sepuluh menit sekali. Kapal-kapal yang berlayar dalam jarak 20 km (12 mi) dari
Krakatau telah dihujani abu tebal, dengan potongan-potongan batu apung panas berdiameter hampir 10 cm (3,9 in) mendarat di dek kapal. Tsunami kecil menghantam pesisir Pulau Jawa dan Sumatra hampir 40 km (25 mi) jauhnya pada pukul 18.00 dan 19.00.
Pada 27 Agustus, empat
Letusan besar terjadi pukul 05.30, 06.44, 10.02, dan 10:41 waktu setempat. Pada pukul 5.30,
Letusan pertama terjadi di Perboewatan, yang memicu tsunami menuju Telukbetung. Pukul 06.44,
Krakatau meletus lagi di Danan, menimbulkan tsunami di arah timur dan barat.
Letusan besar pada pukul 10.02 terjadi begitu keras dan terdengar hampir 3.110 km (1.930 mi) jauhnya ke Perth, Australia Barat, dan Rodrigues di Mauritius (4.800 km (3.000 mi) jauhnya). Penduduk di sana mengira bahwa
Letusan tersebut adalah suara tembakan meriam dari kapal terdekat. Masing-masing
Letusan disertai dengan gelombang tsunami, yang tingginya diyakini mencapai 30 m di beberapa tempat. Wilayah-wilayah di Selat Sunda dan sejumlah wilayah di pesisir Sumatra turut terkena dampak aliran piroklastik gunung berapi. Energi yang dilepaskan dari ledakan diperkirakan setara dengan 200 megaton TNT, kira-kira hampir empat kali lipat lebih kuat dari Tsar Bomba (senjata termonuklir paling kuat yang pernah diledakkan). Pada pukul 10.41, tanah longsor yang meruntuhkan setengah bagian Rakata memicu terjadinya
Letusan akhir.:22
= Letusan besar terakhir
=
Gelombang tekanan yang dihasilkan oleh
Letusan kolosal keempat dan terakhir terpancar keluar dari
Krakatau hingga ketinggian 1.086 km/h (675 mph).:248
Letusan tersebut begitu kuat sehingga memecahkan gendang telinga para pelaut yang sedang berlayar di Selat Sunda,:235 dan menyebabkan lonjakan tekanan lebih dari 2½ inci merkuri (ca 85 hPa) pada alat pengukur tekanan yang terpasang di Batavia. Gelombang tekanan terpancar dan tercatat oleh barograf di seluruh dunia, yang tetap terjadi hingga 5 hari setelah
Letusan. Rekaman barografis menunjukkan bahwa gelombang kejut dari
Letusan terakhir bergema ke seluruh dunia sebanyak 7 kali. Ketinggian kabut asap diperkirakan mencapai 80 km (50 mi).
Letusan mulai berkurang setelah itu, dan pada pagi 28 Agustus,
Krakatau terdiam.
Letusan kecil, sebagian besarnya mengeluarkan lumpur, tetap berlanjut hingga Oktober
1883.
Dampak
= Kerusakan
=
Pada tengah hari tanggal 27 Agustus
1883, hujan abu panas turun di Ketimbang (sekarang Desa Banding, Rajabasa, Lampung Selatan). Kurang lebih 1.000 orang tewas akibat hujan abu ini. Kombinasi aliran piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami juga berdampak besar terhadap wilayah di sekitar
Krakatau. Tak satupun yang selamat dari total 3.000 orang penduduk pulau Sebesi, yang jaraknya sekitar 13 km (8,1 mil) dari
Krakatau. Aliran piroklastik menewaskan kurang lebih 1.000 orang di Ketimbang dan di pesisir Sumatra yang berjarak 40 km (25 mil) di sebelah utara
Krakatau. Jumlah korban jiwa yang dicatat oleh pemerintah Hindia Belanda adalah 36.417 (dengan rincian : 165 kampung hancur total, 132 kampung hancur sebagian), namun beberapa sumber menyatakan bahwa jumlah korban jiwa melebihi 120.000.
Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan guncangan tsunami, dan mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan setelah kejadian. Kota Merak, Banten luluh lantak oleh tsunami, serta kota-kota di sepanjang pantai utara Sumatra hingga 40 km (25 mil) jauhnya ke daratan. Akibat
Letusan Krakatau, pulau-pulau di Kepulauan
Krakatau hampir seluruhnya menghilang, kecuali tiga pulau di selatan. Gunung api kerucut Rakata terpisah di sepanjang tebing vertikal, menyisakan kaldera sedalam 250-meter (820 ft). Dari dua pulau di utara, hanya pulau berbatu bernama Bootsmansrots yang tersisa; Poolsche Hoed juga menghilang sepenuhnya.
Pada tahun setelah
Letusan, rata-rata musim panas di belahan bumi utara suhu turun sebesar 04 °C (7,2 °F). Rekor curah hujan yang melanda California Selatan selama tahun air dari Juli
1883 hingga Juni 1884 – Los Angeles menerima 97.000 milimeter (3.818 in) dan San Diego 66.000 milimeter (2.597 in) – telah dikaitkan dengan
Letusan Krakatau. Tidak ada El Niño selama periode itu seperti biasa ketika hujan lebat terjadi di California Selatan, tetapi banyak ilmuwan meragukan bahwa ada hubungan sebab akibat.
Letusan itu menyuntikkan sejumlah besar gas sulfur dioksida (SO2) yang luar biasa besar ke dalam stratosfer, yang kemudian diangkut oleh angin tingkat tinggi ke seluruh planet ini. Hal ini menyebabkan peningkatan global dalam konsentrasi asam sulfat (H2SO4) di awan cirrus tingkat tinggi. Peningkatan yang dihasilkan dalam awan vulkanik (atau albedo) memantulkan lebih banyak cahaya yang masuk dari matahari dari biasanya, dan mendinginkan seluruh planet sampai belerang jatuh ke tanah bagian dari hujan asam.
Saking hebatnya, suara
Letusan ini sampai ke Kawasan Bandung. Dalam surat kepada keluarganya, Rudolph Eduard Kerkhoven (1848-1918) mengatakan bahwa suara
Krakatau ini seperti ledakan sebuah meriam yang berada di bawah jendela rumah mereka di Gambung, dekat Ciwidey.
Selain itu pula,
Letusan Krakatau pada tahun
1883 sebenarnya juga menjadi salah satu kejadian awal sebelum dimulainya perlawanan rakyat di Cilegon 5 tahun sesudahnya. Kejadian ini juga sempat tercatat dalam Syair Lampung Karam oleh Muhammad Saleh, seorang yang kemungkinan asli Lampung dan mengungsi ke Singapura. Kitab syair itu terbit pada 1888, dan menceritakan secara dramatis soal kengerian dan keadaan kacau balau ketika
Krakatau meletus. Bisa dikatakan, kitab ini menceritakan
Letusan Krakatau satu-satunya dari perspektif pribumi sendiri.
= Korban
=
Jumlah korban tewas akibat
Letusan dan tsunami dipastikan mencapai 36.417. Dampak tsunami tersebut sangat kuat untuk membunuh lebih dari 30.000 orang, dan dampaknya sedemikian rupa sehingga pemukiman manusia di wilayah Banten musnah dan tidak pernah dihuni kembali (Wilayah ini dibangun kembali dan kemudian dinyatakan sebagai Taman Nasional Ujung Kulon) Korban jiwa terbanyak berada di Banten dengan 21.565 korban jiwa, dan Lampung dengan sekitar 12.565 jiwa. Di Batavia (Jakarta) sekitar
2.350 terbunuh akibat
Letusan. Di Pulau Sebesi sekitar 3.000 orang tewas dan tidak ada satupun yang selamat di Pulau tersebut. Kebanyakan korban yang tewas akibat tsunami, abu vulkanik, dan kelaparan yang ditimbulkan pasca
Letusan.
= Dampak iklim global
=
Letusan Krakatau pada tahun
1883 menggelapkan langit di seluruh dunia selama beberapa tahun setelahnya dan menghasilkan pemandangan matahari terbenam yang spektakuler di seluruh dunia selama beberapa bulan. Seniman Inggris, William Ascroft, membuat ribuan sketsa berwarna tentang matahari terbenam merah di sekitar setengah dunia dari
Krakatau dalam beberapa tahun setelah
Letusan tersebut. Abu vulkanik tersebut menyebabkan "matahari terbenam merah yang begitu mencolok sehingga pemadam kebakaran dipanggil di New York, Poughkeepsie, dan New Haven untuk memadamkan api yang seolah-olah terjadi".
Letusan ini juga menghasilkan Cincin Uskup di sekitar matahari pada siang hari, dan cahaya ungu vulkanik pada senja dan bulan menjadi berubah warna. Pada tahun 2004, seorang ahli astronomi mengusulkan ide bahwa langit merah yang terlihat dalam lukisan "The Scream" karya Edvard Munch tahun 1893 adalah gambaran yang akurat dari langit di Norwegia setelah
Letusan tersebut.
Para pengamat cuaca pada masa itu melacak dan memetakan efeknya pada langit. Mereka memberi label fenomena ini sebagai "aliran asap ekwatorial." Ini adalah identifikasi pertama dari apa yang sekarang dikenal sebagai jet stream. Selama beberapa tahun setelah
Letusan, dilaporkan bahwa bulan terlihat berwarna biru dan terkadang hijau. Hal ini disebabkan karena beberapa awan abu berisi partikel dengan lebar sekitar 1 μm - ukuran yang tepat untuk menyebarkan cahaya merah dengan kuat sambil memungkinkan warna lainnya untuk lewat. Cahaya bulan putih yang bersinar melalui awan tersebut muncul berwarna biru dan terkadang hijau. Orang juga melihat matahari berwarna lavender dan, untuk pertama kalinya, mencatat awan noktilusen.
Budaya populer
Ledakan tersebut diteorikan menjadi sumber inspirasi lukisan The Scream karya Edvard Munch tahun 1893. Langit kemerahan di latar belakang merupakan kenangan sang seniman akan dampak
Letusan gunung berapi
Krakatau yang dahsyat, yang mewarnai langit matahari terbenam menjadi merah di beberapa bagian belahan bumi Barat selama berbulan-bulan selama tahun
1883 dan 1884, sekitar satu dekade sebelum Munch melukis The Scream.
Episode Musim 2, Episode 11 dari serial antologi Beyond Belief: Fact or Fiction, pertama kali ditayangkan pada tanggal 1 Mei 1998, menampilkan segmen berjudul "The Scoop", yang meliput kisah seorang reporter yang mendapat firasat misterius tentang
Letusan di sebuah mimpi, menuntunnya untuk menulis artikel tentang
Letusan bahkan sebelum itu terjadi.
Krakatoa: The Last Days (2006) - Film Drama-dokumenter BBC asal Britania Raya, berdasarkan peristiwa
Letusan Krakatau 1883.
Dalam animasi SpongeBob SquarePants
Krakatau direferensikan oleh karakter Squidward Tentacles. Dalam episode Mermaid Man dan Barnacle Boy V, Squidward mengadopsi kepribadian superhero bernama Captain Magma dimana slogannya adalah "Krakatoa....."
Film aksi bela diri Indonesia,
Krakatau (1977) yang dibintangi Dicky Zulkarnaen dan Advent Bangun, berlatar belakang gunung
Krakatau.
Letusan Krakatau ditampilkan sebagai bagian utama alur cerita dalam film tahun 1969, Krakatoa, East of Java (diberi judul ulang Gunung Berapi yang dirilis ulang pada tahun 1970an; terdapat kesalahan judul tersebut, karena
Krakatau berada di sebelah barat Jawa), yang menggambarkan upaya untuk menyelamatkan muatan mutiara yang tak ternilai harganya yang terletak sangat dekat dengan gunung berapi yang sedang meletus.
Krakatau dibuat pada Mata Uang Indonesia bernilai 100 rupiah, pada tahun 1976 dan lalu tidak digunakan hingga tahun 2000.
Daftar ini adalah daftar
Letusan gunung berapi yang paling terkenal pada abad ke-19 hingga saat ini dengan Indeks Daya Ledak Vulkanik (VEI) 4 atau lebih tinggi, dan
Letusan mengakibatkan kerusakan atau korban jiwa yang signifikan.
Lihat juga
Daftar gunung berapi di Indonesia
Daftar tsunami di Indonesia
Erupsi freatik
Volcanic Explosivity Index
Syair Lampung Karam
Catatan
Referensi
Bibliografi
Dickins, Rosie; "The Children's Book of Art (An introduction to famous paintings)" Usborne Publishing Ltd., Usborne House, 83–85 Saffron Hill, London ISBN 978-0-439-88981-0 (2005)
Furneaux, Rupert; Krakatoa (1965) London, Secker and Warburg.
Self, Stephen & Rampino, Michael R. (1981). "The
1883 eruption of
Krakatau". Nature. 294 (5843): 699–704. Bibcode:1981Natur.294..699S. doi:10.1038/294699a0. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
Simkin, Tom and Richard S, Fiske (editors);
Krakatau,
1883--the volcanic eruption and its effects (1983) Washington, D.C.: Smithsonian Institution Press.ISBN 0-87474-841-0
Verbeek, Rogier Diederik Marius (1884). "The Krakatoa eruption". Nature. 30 (757): 10–15. Bibcode:1884Natur..30...10V. doi:10.1038/030010a0.
Verbeek, Rogier Diederik Marius;
Krakatau. Batavia, 1885, Internet Archive link
Pranala luar
Krakatau, Indonesia (
1883) Diarsipkan 2014-12-16 di Wayback Machine. information from San Diego State University about the
1883 eruption.
Krakatoa Volcano: The Son Also Rises—Companion website to the NPR programme.
On-line images of some of Ashcroft's sunset sketches.