- Source: Majalah Hindu Raditya
Majalah Hindu Raditya merupakan sebuah majalah Hindu pertama di Indonesia. Majalah ini bukan corong lembaga dan tidak menyuarakan kepentingan yang sempit. Majalah ini juga bukan milik suatu aliran tertentu dalam Hindu (sekte, sampradaya, dan sebagainya) dan betul-betul mengabdi untuk kepentingan Hindu yang seluas-luasnya dengan pijakan utamanya Kitab Suci Weda.
Etimologi dan Lambang
Raditya berarti Matahari. Nama ini digunakan agar diharapkan majalah Hindu ini memberikan sinar pencerahan kepada umat Hindu di manapun berada, khususnya di Nusantara, tanpa membedakan suku, etnis, budaya, adat, clan, wangsa, dan apa pun sekat-sekat lainnya yang ada.
Majalah Hindu Raditya memakai lambang Omkara dalam standar penulisan internasional, dikelilingi oleh symbol sinar matahari yang dibuat dengan artistik. Lambang yang mudah diingat dan meng-internasional.
Sejarah
Pada awal berdirinya, Oktober 1995, penerbitan ini bernama Pustaka Hindu Raditya. Hal ini untuk menyiasati karena saat itu dibutuhkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang sangat sulit diperoleh oleh Raditya karena begitu banyaknya persyaratan. Dengan memakai nama Pustaka Hindu Raditya, penerbitan ini digolongkan sebagai buku.
Setelah SIUPP dihapuskan seiring dengan kebijaksanaan baru pemerintah dalam membina media massa, pada tahun 1999 namanya diganti menjadi Majalah Hindu Raditya. Ini bisa disebutkan sebagai majalah Hindu pertama di Indonesia, karena pada saat itu Warta Hindu Dharma merupakan penerbitan milik lembaga PHDI Pusat.
Majalah ini didirikan oleh Putu Setia, seorang jurnalis yang perhatiannya sangat besar bagi kemajuan Hindu. Ia didukung oleh tokoh-tokoh dan para cendekiawan Hindu seperti Dr. I Made Titib, Drs. Ketut Wiana, Agus S. Mantik dan belakangan banyak sekali intelektual dan pemikir Hindu bergabung. Boleh disebutkan, hanya di Raditya ini ditemukan para pakar-pakar Hindu yang menuangkan pikiran dan pendapatnya.
Penerbitan
Ketika Raditya resmi sebagai majalah yang bernapaskan Hindu dan masuk dalam jajaran pers nasional yang memiliki missi keagamaan, jumlah yang dicetak sebesar 2.500 eksemplar. Ternyata, setiap tahun peminatnya semakin banyak, dan kini (data terakhir edisi Mei 2005), jumlah yang dicetak sebanyak 9.500 eksemplar dan tingkat laku bervariasi, umumnya di atas 9.000 eksemplar. Majalah dicetak di 2 tempat – Denpasar dan Jakarta – dengan film yang sama, tanpa ada perbedaan. Mencetak di dua tempat ini adalah untuk mengatasi problem pemasaran. Yang dicetak di Denpasar untuk diedarkan di wilayah waktu Indonesia Timur dan Tengah plus Jawa Timur, sedangkan yang dicetak di Jakarta untuk pemasaran di wilayah waktu Indonesia Bagian Barat minus Jawa Timur. Dengan demikian majalah serentak beredar di seluruh Indonesia pada awal bulan.
Secara persentase, pembaca di Bali dan Jabotabek hampir seimbang, yakni Bali 35 %, Jabotabek 27 %. Jawa Barat (luar Jabotabek) 5 %, Jateng dan DI Yogyakarta 7 %, Jawa Timur 8 %, NTB 6,5 %, Lampung 4 %, Sulawesi 3,6 %, daerah lainnya 3, 9 %
Majalah Hindu Raditya adalah media Hindu yang paling besar oplahnya dan paling tersebar di seluruh Nusantara.
Pendidikan Pembaca adalah lulusan SMA ke atas dengan status sosial mahasiswa, karyawan swasta, pegawai negeri, professional, eksekutif, guru-guru agama Hindu, dan pengamat budaya. Raditya juga dibaca oleh umat non-Hindu khususnya mereka yang belajar perbandingan agama. Lebih dari 30 perpustakaan, termasuk perpustakaan yang dikordinasikan oleh Kedubes AS dan Australia, berlangganan Raditya.
Karyawan BUMN seperti Telkom, Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI berlangganan Raditya melalui kantor pusatnya di Jakarta, sedangkan beberapa instansi lain, baik swasta maupun pemerintah, ada yang berlangganan secara kolektif melalui kantornya di daerah-daerah, seperti PLN, Dinas PU DKI Jakarta, dan lain-lainnya.
Pranala luar
Profil Majalah Hindu Raditya
Kata Kunci Pencarian:
- Majalah Hindu Raditya
- I Nyoman Landra
- Tirto Adhi Soerjo
- Indonesia
- Sejarah Jawa Barat pada era kerajaan Hindu-Buddha
- Diponegoro
- Sumpah Pemuda
- Kerajaan Singasari
- Mahalini Raharja
- Garis waktu sejarah Indonesia
- Muchdi Purwopranjono