Prof. Dr. H.
Muchtar Jahja (EYD: Mukhtar Yahya, 3 Maret 1907 – 31 Maret 1996) adalah ulama dan akademisi Islam Indonesia. Ia adalah putera dari pasangan suami isteri bapak H. Yahya Majo Kayo dengan ibu Hamidah. Bapak H. Yahya dikaruniai oleh Allah SWT tiga orang anak, yang tertua bapak Mukhtar, kedua Nurma Yahya dan yang terakhir adalah bapak Rusydi Yahya (pensiunan Depag). Ketiga orang bersaudara ini sekarang sudah berpulang ke Rahmatullah. Bapak H.Yahya Majo Kayo adalah seorang saudagar kain yang berhasil di negerinya. Meskipun ia hanya mengalami pendidikan di rumah tangga, karena pendidikan formal di desa Balingka belum lazim di waktu itu, namun ia dapat mendidik ketiga putranya dengan baik melalui jenjang pendidikan formal.
Riwayat Hidup
Nama lengkap: Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya (
Muchtar Jahja)
Tanggal/tempat lahir: 3 Maret 1907. Balingka, Bukittinggi (Sumbar)
Nama isteri: Saminar Luthan
Tanggal menikah: 6 Mei 1943
Pekerjaan isteri: Mengurus rumahtangga
Agama: Islam
Alamat: Jln. Cemarajajar (Monginsidi) 11A, Yogyakarta
Nama orang tua
Ayah: Yahya gelar Majo Kayo
Ibu: Midah (Hamidah)
Pendidikan
Khusus tentang bapak Mukhtar Yahya, setelah ia menyelesaikan sekolahnya di Gubernemen Kelas II Koto Tuo (semacam SD sekarang), dari tahun 1913 – 1918, lalu melanjutkan pelajarannya ke Madrasah Diniyah (Diniah School) di Padang Panjang (semacam Madrasah Tsanawiyah sekarang) dan merangkap pula di Sumatra Thawalib (semacam Madrasah ‘Aliyah sekarang) yang juga berada di Padang Panjang.
Sekitar tahun 1924 dan 1925 para pelajar Sekolah-sekolah Agama (Madrasah) di Minangkabau banyak yang ingin meneruskan pelajarannya ke luar negeri. Diantaranya ke British Indie dan Mesir. Apalagi pada tahun 1925 itu sampailah ke Indonesia berita tentang lulusnya dengan baik seorang putera Minangkabau dalam ujian merebut ijazah ”Al ’Alimiyah” di Universitas Al Azhar, Mesir, yaitu Al Marhum Al Ustadz Djanan Thaib. Ialah putra Indonesia yang pertama kali mendapat ijazah tinggi itu di Mesir. Berita ini amat besar pengaruhnya kepada para pelajar sekolah-sekolah agama di Indonesia, khususnya Minangkabau. Pemuda Mukhtar sendiri setelah membaca berita ini, amat inginlah hendak meneruskan pelajaran ke Mesir. Akan tetapi keinginan ini rasa-rasanya tidak akan terpenuhi mengingat ketiadaan biaya. Akan tetapi pada saat-saat tsb ia didatangi oleh seorang pamannya dan menanyakan kesediaan ia dikirim ke Mesir untuk belajar di sana, sebab paman-paman dan orang tua ia bersedia membiayai studi di Mesir. Tentu saja dengan gembira pemuda Mukhtar menjawab: ”Bersedia !”. Waktu itu ia berusia 18 tahun. Akhirnya berangkatlah ia dari Bukittinggi di bulan Mei 1925, lewat Medan, Penang, Madras, Bombay, Suez, dan sampailah di Kairo, Mesir.
Pemuda Mukhtar Yahya ketika itu memilih memasuki Abdul Azis lil Muallimin di Cairo Mesir dan itu terjadi pada tahun 1925. Sekolah-sekolah Mu’alimin ini berada di bawah Kementrian Pendidikan dan Pengajaran Mesir. Ialah pemuda Indonesia yang pertama kali memasuki Sekolah Mu’alimin di Mesir. Sesudah ia diterima di Sekolah Abdil ‘Aziz lil Mu’alimin ini, barulah ada 13 orang pemuda Indonesia yang telah lebih dulu berada di Mesir, juga diterima di sekolah-sekolah Mu’alimin tersebut. Diantaranya adalah Prof. Abdul Kahar Mudzakkir, Ustadz Nasruddin Thaha dan Ustadz Muhammad Nur Marwan. Pemuda Mukhtar tamat dari Abdul Azis lil Muallimin pada tahun 1928, dengan memperoleh sertifikat.
Sesudah tamat dari Abdul Azis lil Muallimin, ia masuk ke jenjang perguruan tinggi, yaitu pada Perguruan Tinggi Darul Ulum, yang kemudian menjadi Fakultas Darul Ulum dari Cairo University. Perguruan ini merupakan suatu perguruan tinggi yang mengajarkan bidang agama Islam dan bidang bahasa Arab. Mata pelajaran di perguruan ini cukup padat dan sukar. Mahasiswa-mahasiswa Mesir sendiri agak enggan belajar di Perguruan Tinggi Darul Ulum ini. Akan tetapi pemuda Mukhtar memilih melanjutkan pelajarannya di sini. Teman-teman sejawat ia lainnya selama berada di Mesir adalah Prof. K.H. Farid Ma’ruf, Prof. K.H.A. Kahar Mudzakir (mantan Rektor UII), Prof. H. Mahmud Yunus (mantan Rektor IAIN Imam Bonjol Padang), Prof. H.M. Thaher Abdul Mu’in (mantan Guru Besar Ilmu Kalam di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dan lain-lain.
Selama menuntut ilmu di negeri Mesir, ia sangat cenderung untuk menekuni Ulumut Tarbiyah, termasuk di dalamnya Sejarah Pendidikan, Teori Pendidikan dan Perbandingan Pendidikan di samping Ilmu Jiwa, yang meliputi Ilmu Jiwa Umum, Ilmu Jiwa Perkembangan dan Ilmu Jiwa Pendidikan. Di samping itu juga tekun belajar untuk memperoleh keahlian dalam bidang Bahasa Arab, yang selain Qowaid sebagai sasaran utamanya, juga Sastra Arab dan Fiqhul Lughah. Tidak ketinggalan pula pemuda Mukhar Yahya menekuni Dasar-Dasar Ilmu Agama Islam, seperti Ushul Fiqh, Tarikh Tasyri’ dan Perbandingan Mazhab. Dari dasar-dasar utama ini akhirnya ia juga menekuni bidang Tafsir, terutama yang berhubungan dengan bahasanya yang kemudian dikenal dengan nama At Tafsirul Lughawy.
Sewaktu masih belajar di Mesir, pemuda Mukhtar Yahya juga giat dalam bidang jurnalistik, antara lain dengan menulis dalam harian dan majalah, seperti Majalah Peninjauan yang terbit di Jakarta di bawah pimpinan redaksi P. F. Dahler dan Majalah Pilihan Timur yang terbit di Cairo di bawah pimpinan redaksi Ilyas Ya'kub dan
Muchtar Lutfi. Oleh karena pada saat itu orang-orang Mesir belum mengenal nama Indonesia, yang dikenal adalah Jawa, maka dalam rangka mengenalkan nama Indonesia kepada mereka, putera-putera Indonesia di Mesir termasuk Mukhtar Yahya menuliskan namanya dengan tambahan Indonesi di belakang nama aslinya. Maka jadilah Mukhtar Yahya menjadi Mukhtar Yahya Al Indonesia.
Selain kegiatan-kegiatan di atas, pemuda. Mukhtar Yahya sewaktu masih di Mesir juga berlatih dalam bidang kepemimpinan, yaitu dengan ikut memasuki organisasi pelajar-pelajar Indonesia – Semenanjung Melayu yang bernama “Jami’yah Khairiyyah”. Di dalam organisasi itulah ia pernah mengadakan ceramah-ceramah antara lain di depan para anggotanya, terutama mengenai Ilmu Pendidikan dengan judul “Dalton Plan”, yang kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Toko Buku Siti Syamsiyah di Surakarta. Bahkan ia juga pernah berbicara di depan corong Radio Mesir dengan pidato tentang Indonesia. Dengan kegiatan-kegiatan belajar ilmu dan organisasi selama di Cairo Mesir tersebut, maka pada diri pemuda. Mukhtar Yahya terdapat kesan dan pengalaman yang cukup dikenang oleh siapapun bangsa Indonesia, yaitu bahwa otak bangsa Indonesia ternyata tidak kalah jika dibandingkan dengan otak bangsa-bangsa lain di dunia.
Berbicara tentang belajar di Mesir, pada umumnya pelajar yang sukses dalam studi ialah mereka yang biayanya pas-pasan atau bahkan kurang. Tidak sedikit mahasiswa Indonesia di Mesir yang kekurangan biaya, akan tetapi justru merekalah yang biasanya tekun belajar. Mereka dapat menyelesaikan studinya tepat pada waktunya. Sedang yang kelebihan biaya malah banyak yang berfoya-foya dan tidak dapat menyelesaikan pelajaran tepat pada waktunya atau bahkan ada yang putus sekolah. Mahasiswa-mahasiswa Mesir biasanya dapat merampungkan studinya di sini selama 6-7 tahun, jarang yang dapat selesai selama 5 tahun. Karena itu kalau pemuda Mukhtar dapat menyelesaikan studinya selama 5 tahun, tentu hal ini merupakan suatu prestasi yang baik dan ia tentu termasuk mahasiswa yang cerdas. Yang mendorong kesuksesan ia adalah niat dan keyakinannya bahwa kedatangan ia ke Mesir adalah untuk mencari Ilmu Pengetahuan yang kelak akan disumbangkan kepada Agama, Nusa dan Bangsa.
Setelah belajar selama lima tahun dari tahun 1929 sampai tahun 1934, ia lulus dengan memperoleh “Ijazah At Tadris” tepatnya pada tanggal 9 Agustus 1934 dan segera kembali ke Tanah Air yang masih menjadi jajahan kolonial Belanda dengan sebutan Hindia Belanda.
Pendidikan dan Birokrasi di Sumatra
Pada bulan Mei 1935 ketika diadakan Kongres Pendidikan Nasional di Solo, ia dikirim sebagai utusan dari Islamic College agar lebih memahami cita-cita pendidikan nasional dan pergerakan nasional itu sendiri. Di Jakarta ia sempat berkenalan dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh pendidikan nasional, di antaranya Mr. Sumanang, Sabrani dll dan tokoh-tokoh pendidikan Muhammadiyah, antara lain Ir. Djuanda yang waktu itu menjabat Direktur A.M.S. Muhammadiyah. Ia sempat pula berkenalan dengan Prof. Dr. Poerbatjaraka, dr. A. K. Gani, Mr. Sartono, Sanusi Pane, Mr. Moh. Yamin, dll. Adapun ketika berada di Yogyakarta, ia berkenalan dengan Ki Hadjar Dewantara dan mendengar penjelasan-penjelasan tentang pendidikan di Taman Siswa, juga sempat berkenalan dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, dan mengadakan ceramah-ceramah di hadapan tokoh-tokoh dan para pelajar Muhammadiyah. Dari kunjungan ke Jawa dan perkenalan, diskusi dan wawancara dengan pemimpin-peminpin Indonesia, ia banyak mendapat wawasan dan pengalaman tentang perkembangan pendidikan dan pergerakan nasional di tanah air yang sudah ia tinggalkan dalam masa sepuluh tahun lamanya. Akhirnya, setelah kembali ke Padang, diadakan pertemuan yang dihadiri oleh masyarakat Padang, di dalamnya ia memaparkan kesan-kesan kunjungan ke Jawa.
Pada zaman Hindia Belanda, ia diangkat oleh Pengurus Islamic College Padang, menjadi guru pada perguruan tersebut, kemudian menjadi direkturnya. Selama mengajar dan memimpin Islamic College, ia aktif mengadakan moderenisasi sekolah-sekolah agama. Bersama-sama dengan ustadz Mahmud Yunus dan kawan-kawan yang lain, ia menyusun rancangan pelajaran buat sekolah-sekolah agama, sejak dari tingkat Awwaliyah sampai tingkat Sekolah Tinggi Islam, yang kemudian pada tahun 1936, rancangan pelajaran ini dapat disetujui dalam muktamar yang diadakan di Padang Panjang untuk dijalankan pada madrasah-madrasah di Minangkabau dan dibentuklah suatu organisasi dengan nama “Ishlahul Madaris Al Islamiyah (I.M.I)”.
Tahun 1940 ustadz Mukhtar Yahya pindah ke Normal Islam Padang, suatu sekolah yang setingkat dengan Islamic College, didirikan oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) untuk membantu mendirikan Sekolah-sekolah Islam Tinggi oleh PGAI tersebut, sampai berdiri, dan ia diangkat sebagai Wakil Rektor; sementara Rektornya adalah ustadz H. Mahmud Yunus. Perguruan tinggi ini merupakan perguruan tinggi yang pertama di Minangkabau dan bahkan di seluruh Indonesia di zaman kolonial Belanda. Sekolah Islam Tinggi ini dibuka resmi pada tanggal 9 Desember 1940, terdiri atas dua fakultas, yaitu:
Fakultas Syari’ah (Agama), dan
Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab.
Untuk menyusun kurikulumnya dibentuk satu panitia yang terdiri dari:
Dt. Perpatih Beringek, sekretaris Minangkabau-raad, ketua.
Mahmud Yunus, sekretaris.
Syekh Ibrahim Musa, anggota.
Mr. Abu Bakar Jaar, anggota.
Mukhtar Yahya, Direktur Islamic College, anggota.
Abdul Muluk, Kepala H.I.S. Pemerintah, anggota.
Hasim Yahya, anggota.
Staf dosen-dosennya adalah:
Mahmud Yunus, pemimpin.
Syekh Ibrahim Musa, dosen Ilmu-ilmu Agama.
Mukhtar Yahya, dosen Ilmu-ilmu Pendidikan.
Husein Yahya, dosen Bahasa Arab.
Mr. Abu Bakar Jaar, dosen Ilmu Kemasyarakatan.
Saleh Ja’far (M.A. India) dosen Tarikh, Bahasa Inggris.
S.M. Latif, dosen Bahasa Indonesia dan Bahasa Belanda.
Akan tetapi setelah Jepang masuk ke Indonesia pada bulan Maret 1942, pada zaman pendudukan Jepang tersebut pada mulanya banyak sekolah-sekolah yang di tutup, termasuk Sekolah Tinggi Islam tersebut. Maka ketika itu ia hanya banyak berdakwah (bertabligh) dengan materi dakwah yang dititikberatkan pada ajaran tauhid. Kemudian setelah Islamic College dibuka kembali, iapun kembali ke Islamic College dan diangkat sebagai direkturnya kembali. Karena itu Ustadz Mukhtar Yahya melanjutkan kariernya sebagai direktur Islamic College sampai dengan tahun 1946.
Setelah Indonesia merdeka, maka sejak tahun 1946 sampai tahun 1951, pak Mukhtar Yahya meninggalkan kariernya sebagai Guru, Ustadz dan Pemimpin Sekolah. Ia diangkat oleh Gubernur Sumatra sebagai Kepala Jawatan Agama Provinsi Sumatra. Meski ia telah bertahun-tahun menjadi ustadz (guru), dan dalam pikirannya pun berkeinginan terus-menerus menjadi ustadz, tetapi oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat menjadi Kepala Jawatan Agama (sekarang Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama) Provinsi Sumatra (waktu itu Sumatra hanya merupakan satu provinsi). Ustadz Mukhtar Yahya terpaksa mengubah haluan. Karena itu ustadz Mukhtar Yahya pindah ke ibu kota provinsi, Medan. Pada waktu Perang Agresi I pada tanggal 21 Juli 1947, NICA menyerbu Indonesia dalam rangka merebut Indonesia dan melanggar Perjanjian Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947. Karena itu ibu kota provinsi dipindahkan ke Pematang Siantar, dan ustadz pun pindah kesana. Pematang Siantar pun diserbu oleh Belanda, ibu kota pun pindah ke Bukittinggi, dan ustadz pun pindah ke Bukittinggi.. Pada tahun 1947 itu pula ustadz Mukhtar Yahya diangkat sebagai anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).
Provinsi Sumatra kemudian dibagi menjadi tiga provinsi, dan setiap provinsi mempunyai Jawatan Agama (Kantor Wilayah Agama). Ustadz Mukhtar Yahya diangkat menjadi koordinator Jawatan Agama seluruh Sumatra. Jabatan koordinator kemudian dihapus pada tahun 1950, dan ustadz dipindahkan ke Yogyakarta dengan pangkat administratur. Akan tetapi pada akhir tahun itu pula ia diinstruksikan pergi ke Medan untuk membentuk Negara Kesatuan di Sumatra Timur. Dalam hal ini ia bertindak sebagai pejabat Jawatan Agama Sumatra Timur dan lalu sebagai Penghubung Kementerian Agama. Demikianlah karier ia di Sumatra selama lebih kurang lima belas tahun (1936-1950). Masa ini dibagi pula menjadi dua periode. Pertama, sebagai pendidik dari tahun 1935-1946 dan kedua sebagai pegawai Kementerian Agama RI dari tahun 1947-1950.
Karier di bidang pendidikan tinggi Agama Islam
Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II pada bulan Agustus 1945, dan sebelum Belanda sempat menginjakkan kakinya kembali di Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Karena proklamasi itu tidak diakui oleh Belanda serta sekutunya (Amerika Serikat dan Inggris), maka terjadilah revolusi fisik melawan Belanda beserta sekutu-sekutunya itu. Jakarta dengan mudah dapat diduduki. Karena itu pusat pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta sampai tahun 1949. Baru setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia, minus Irian Barat (Irian Jaya). Maka sebagai penghormatan atas jasa-jasanya itu, kota Yogyakarta ini dijadikan sebagai kota pendidikan/universitas. Karena itu didirikanlah Universitas Negeri Gadjah Mada yang diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1950.
Adapun untuk golongan umat Islam diberi pula sebuah Pendidikan Tinggi Agama Islam. Cikal bakal perguruan tinggi ini berasal dari Universitas Islam Indonesia yang mulanya bernama Sekolah Tinggi Islam (STI).
Fakultas Agama tersebut di ataslah yang kemudian dinegerikan menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Penegerian itu diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950. Tujuan didirikannya PTAIN seperti yang dikatakan Mr. Wasil Aziz adalah: “Untuk memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang Agama Islam. Untuk tujuan tersebut diletakkan azaz untuk membentuk manusia susila dan cakap serta mempunyai keinsyafan ber-tanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat Indonesia dan dunia umumnya atas dasar Pancasila, kebudayaan, kebangsaan dan kenyataan”. Sebagai Ketua Fakulteit (Dekan Fakultas) PTAIN kemudian diusulkan K.H. Muhammad Adnan, disamping sebagai dosen. Ia diusulkan sebagai dekan, sebab ialah satu-satunya orang Islam yang tinggi jabatannya, yaitu sebagai Ketua Mahkamah Islam Tinggi yang berkedudukan di Solo. Mr. Sunaryo sebagai sekretaris mahkamah itu, karena itu ia diangkat menjadi sekretaris PTAIN.
Seperti dikatakan di muka, ustadz Mukhtar Yahya ikut membidani kelahiran PTAIN di Yogyakarta, yaitu dengan keluarnya Peraturan Pemerintah no.34/1950 pada tanggal 14 Agustus 1950. Selain dari itu, ia pun ikut aktif menjadi tenaga pengajar di PTAIN yang baru lahir itu. Dalam rentang waktu yang cukup lama, ada beberapa hal yang menonjol yang dicapainya dalam bidang ilmu pengetahuan dan karier. Pada tahun 1955 ia diangkat menjadi Sekretaris Fakultas PTAIN menggantikan Mr. Sunaryo yang diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri.
Pada tahun 1956 ia diangkat menjadi Guru Besar bidang Ilmu Tafsir. Ia adalah Guru Besar Ilmu Tafsir yang pertama di seluruh Indonesia. Bahkan ia merupakan Guru Besar pertama di bidang Agama Islam secara umum. Guru Besar Ilmu Tafsir lain, baru pada tahun 1980-an ada di IAIN Sunan Ampel Surabaya, yaitu yang diraih Prof. Dr. Abdul Djalal Sebelumnya ia telah dipromosikan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk memperoleh gelar Doktor di bidang Ilmu Tafsir dengan promotor Prof. H. Mukhtar Yahya. Gelar yang sama di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baru ada pada tahun 1990-an yaitu diwakili oleh Prof. Dr. Quraish Shihab, dan pada tahun 1994 yang lalu ditambah satu lagi yaitu Prof. Dr. Salman Harun. Kemudian pada umur PTAIN sewindu, tepatnya tanggal 6 September 1959, Prof. Mukhtar Yahya diangkat menjadi Dekan Fakultas PTAIN menggantikan Prof. KH. Moh. Adnan yang telah pensiun, dan sebagai sekretarisnya adalah Mr. Wasil Aziz.
Periode ini merupakan suatu kemajuan pesat bagi perkembangan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta. yang bersama dengan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta (berdiri tahun 1957), digabungkan menjadi satu dengan nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan berpusat di Yogyakarta. Demikianlah IAIN Al-Djami’ah ini lahir pada tanggal 2 Rabi’ulawwal 1380 H bertepatan dengan tanggal 24 Agustus 1960 M.
Pada tanggal 7 Januari 1961, Prof. Mukhtar Yahya mendapat kehormatan menjadi promotor dari IAIN Al-Djami’ah untuk memberikan gelar Doctor Honouris Causa kepada Yang Mulia Dr. Al-Ustadz Al-Azhar Syeikh Mahmoud Syaltout, Rector Magnificus Universitas Al-Azhar.
Pada tahun 1960 setelah IAIN diresmikan, maka jabatan Dekan Fakultas Ushuluddin dipercayakan pada Prof. H. Mukhtar Yahya. Karena IAIN menambah dua fakultas lagi yaitu: Fakultas Tarbiyah (tahun ajaran 1960-1961) dan Fakultas Adab (tahun ajaran 1961-1962), maka dekan Fakultas Adab dijabat untuk sementara oleh Prof. Mukhtar Yahya, sedangkan Fakultas Tarbiyah dijabat sementara oleh Prof. R.H.A. Soenarjo. Pada tanggal 16 April 1962 jabatan Dekan Fakultas Tarbiyah definitif diserahterimakan kepada Prof. Mukhtar Yahya, sedangkan jabatan Dekan Fakultas Ushuluddin definitif diserahterimakan kepada K.H. Anwar Musaddad dan jabatan Dekan Fakultas Adab definitif diserahterimakan kepada H. Husein Yahya. Jabatan Dekan Fakultas Tarbiyah ini dipegang oleh Prof. Mukhtar Yahya sampai dengan tanggal 15 Juli 1972. Selain dari jabatan Dekan seperti tersebut di atas, ia juga diangkat sebagai anggota Pengurus Senat dan Anggota Senat IAIN Sunan Kalijaga dan Pembantu Rektor Bidang Akademis Urusan Ilmu Pengetahuan Agama. Selain dari itu, ia memberi kuliah pula di Fakultas Tarbiyah dan Syari’ah UII serta Fakultas Sastra dan Fakultas Filsafat UGM.
Dengan adanya pergantian total pimpinan teras institut pada tahun 1972, maka berakhirlah semua jabatan yang disandang oleh Prof. H. Mukhtar Yahya, kecuali sebagai tenaga pengajar honoraium di semua fakultas di lingkungan IAIN dan perguruan tinggi lainnya, sebab pada tahun yang sama ia menjalani masa pensiun. Sungguhpun begitu, sebagai anggota Penterjemah dan Penafsir Al Qur’an ia tetap diperlukan.
Anggota Penterjemah dan Penafsir Al-Qur’an dan Lain-lain
Lembaga ini beranggotakan sebanyak tiga belas orang, diketuai oleh Prof. Mr. R.H.A. Soenarjo dan diwakili oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy merangkap anggota. Sedangkan anggota-anggota yang lain adalah:
Prof. H. Mukhtar Yahya, sebagai anggota,
K.H. Anwar Musaddad, sebagai anggota,
K.H. Ali Maksum, sebagai anggota,
Dr. A. Mukti Ali, sebagai anggota,
Prof. H. Toha
Jahja Omar, sebagai anggota,
Prof. Bustami A. Gani, sebagai anggota,
H. Mas’uddin, sebagai anggota,
Ghazali Tahib, sebagai anggota,
Drs. Kamal
Muchtar, Sekretaris merangkap anggota,
Drs. Busyairi Madjidi, Wakil Sekretaris merangkap anggota,
S. Siswo Pranoto, Bendaharawan merangkap anggota,
Prof. Muhammad Zulfikar, sebagai anggota,
H. Aryadi Mahmud Darmono, sebagai anggota.
Pada pertengahan tahun 1971, Departemen Agama RI mengadakan proyek untuk meningkatkan mutu para dosen IAIN di seluruh Indonesia. Nama proyek ini ialah Post Graduate Course (PGC) yang berlangsung selama tiga bulan, dan hanya diadakan sebanyak tiga kali. Pada setiap angkatan disajikan mata pelajaran yang berbeda. Pada angkatan II, umpamanya, diadakan peningkatan dalam bidang pelajaran Ilmu Tafsir. Bidang ini diserahkan tanggungjawabnya kepada Prof. H. Mukhtar Yahya, dan berlangsung dari 20 November 1972 sampai dengan 17 Februari 1973. Angkatan III berakhir pada 17 Februari 1974.
Masih dalam rangka peningkatan mutu dosen-dosen, maka setelah PGC rampung, dilanjutkan lagi dengan program yang masih non-degree tetapi lebih intensif, yaitu program Studi Purna Sarjana (SPS). Program ini berlangsung selama 9 bulan dengan muatan pelajaran yang cukup sarat sebanyak 21 mata pelajaran pokok. Angkatan I dimulai pada tahun ajaran 1974-1975, dan berakhir pada Angkatan-IX yang diadakan pada tahun ajaran 1982-1983. Pada semua angkatan, Prof. H. Mukhtar Yahya ikut memberi kuliah mata pelajaran Agama dan Sejarah Islam.
Di kala mengajar di SPS Angkatan-II (1975-1976), Prof. H. Mukhtar Yahya dianugerahi derajat Doctor Honouris Causa dalam bidang Ilmu Tarbiyah. Pemberian gelar Doktor itu berlangsung pada tanggal 29 Oktober 1975, yaitu dalam rangka peringatan Dies Natalis XXIV IAIN Sunan Kalijaga. Prof. H. Bustami A. Gani bertindak sebagai Promotor.
Setelah SPS Angkatan-IX berakhir, dilanjutkan dengan program berikutnya yang dibuka pada Tahun Ajaran 1983-1984. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya ikut mengajar di Fakultas Pasca Sarjana ini. Ia memegang mata pelajaran Bahasa Arab. Karena merasa telah begitu lemah fisiknya, ia terpaksa mengundurkan diri atas permintaan sendiri pada akhir tahun ajaran 1986-1987. Hal ini sangat mungkin sebab umur ia waktu itu telah mencapai 80 tahun.
Karya
= Buku
=
Bahasa Arab
Qawaidul Imlail Arabi.
Al Muhadatsatul Arabiyah, berdua dengan Prof. Dr. H. Mahmud Yunus.
Fannut Tarbiyah, berdua dengan Ustadz Nasruddin Thaha.
Al Mohfuzhatul Mukhtaroh.
Mabadi At Tadbiratish Shihhiyah.
Bahasa Indonesia
Miftakhul Asrar.
Dalton Plan.
Revolusi Amerika.
Revolusi Prancis.
Pokok-pokok Filsafat Yunani.
Islam dan Negara.
Pokok-pokok Isi Al-Qur’an al Karim.
Butir-butir Hikmah Isra’ dan Mi’raj.
Kedudukan Wanita dalam Hukum Islam.
Pertumbuhan Akal dan Memanfaatkan Naluri Kanak-kanak.
Masyarakat Islam (alih bahasa).
Sejarah dan Kebudayaan Islam I (alih bahasa).
Sejarah dan Kebudayaan Islam II, berdua dengan Drs. M. Sanusi Latief (alih bahasa).
Negara dan Pemerintahan dalam Islam (alih bahasa).
Sejarah Pembinaan Hukum Islam, sebagai peneliti (alih bahasa).
Sejarah Pendidikan Islam, berdua dengan Drs. M. Sanusi Latief (alih bahasa).
Ikhtisar Ihyak Ulumiddin, sebagai peneliti (alih bahasa).
‘Aqidah Tauhid dalam Agama Bangsa-bangsa Purbakala dan Filsafat Lama.
Tafsir Surat al-Fatikah. 25). Sejarah Ringkas Al Qur’an Al Karim.
Sejarah Bangsa Arab Sebelum Islam. 27). Lampiran Tafsir.
Kekuasaan-kekuasaan di Timur Tengah Sebelum Datang Agama Islam.
Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, berdua dengan Drs. Fatchur-rachman.
Al Qur’an dan Terjemahannya, sebagai anggota penterjemah.
Al Qur’an dan Tafsirnya, sebagai anggota pentafsir.
Butir-butir Berharga dalam Sejarah Pendidikan Islam, dan Memanfaatkannya dalam Pembangunan Nasional
= Artikel-artikel di majalah / surat kabar
=
Referensi
MUKHTAR YAHYA: GURU BESAR TAFSIR DI INDONESIA
Sekilas UIN Sunan Kalijaga Diarsipkan 2011-12-21 di Wayback Machine.