- Source: Muslim Bali
Muslim Bali (Bali: Nyama Selam) adalah sub-etnis Bali yang secara keseluruhan beragama Islam; kelompok ini berbeda dengan umat Islam di Bali pada umumnya yang kebanyakan merupakan orang Jawa dan etnis mayoritas Islam lainnya. Nyama Selam adalah sebutan bagi orang-orang penganut agama Islam yang menjalankan tradisi Bali dalam kehidupan sehari-hari. Secara bahasa, kata Nyama berarti 'saudara' dan Selam berarti 'Islam'. Keberadaan Nyama Selam ini terlihat kontras dengan demografi masyarakat Bali secara keseluruhan yang mayoritasnya beragama Hindu. Sebagai gambaran, data yang dirilis Badan Pusat Statistik Provinsi Bali menunjukkan bahwa dari data hasil sensus penduduk 2010, diketahui terdapat 3.247.283 penduduk Bali yang beragama Hindu, sementara yang beragama Islam hanya 520.244 jiwa (tidak semuanya Nyama Selam; kebanyakan merupakan orang Jawa dan etnis Muslim lainnya).
Meski menjadi minoritas dalam hal keagamaan, Muslim Bali tetap hidup rukun dengan mayoritas masyarakat Bali yang beragama Hindu. Keharmonisan ini terjalin melalui tradisi ngejot, yakni tradisi saling membantu dan berbagi makanan saat hari raya keagamaan tiba. Ngejot dilakukan oleh umat Islam pada hari raya Idul Fitri, sementara umat Hindu melakukannya dalam perayaan Galungan, Nyepi, dan Kuningan. Tradisi ini diyakini sudah ada sejak ratusan tahun silam dan masih dipertahankan hingga saat ini.
Sejarah
Keberadaan komunitas Nyama Selam tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan wilayah Pegayaman yang saat ini di Kabupaten Buleleng. Di desa ini, telah ditinggali suatu komunitas Muslim sejak ratusan tahun yang lalu. Kebudayaan yang dimiliki komunitas Muslim merupakan hasil akulturasi antara budaya Bali, Jawa, dan Bugis. Meski demikian, dalam komunikasi sehari-hari mereka tetap menggunakan bahasa Bali.
Keberadaan komunitas Nyama Selam memiliki kaitan erat dengan hubungan yang terjalin antara kerajaan-kerajaan di Bali dengan masyarakat dari luar Bali; terutama masyarakat Bugis. Raja Buleleng, Anglurah Ki Barak Panji Sakti pernah mendapat undangan dari Sultan Mataram sebagai sahabat. Ki Barak Panji Sakti kemudian pulang ke Bali dengan membawa hadiah berupa seekor gajah dan dikawal oleh delapan orang prajurit yang beragama Islam. Kedelapan prajurit itulah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya komunitas Nyama Selam di desa Pegayaman. Adapun para leluhurnya juga disebut sebagai sitindih yang berarti "orang-orang pembela kerajaan".
Selain prajurit dari Kesultanan Mataram, imigran Bugis juga turut berperan dalam membentuk komunitas Muslim di Bali. Pada tahun 1850, terdapat sekelompok imigran Bugis yang berlayar menuju Jawa dan Madura tetapi kemudian terdampar di daerah pesisir Buleleng. Orang-orang Bugis tersebut kemudian bertemu Ki Barak Panji Sakti yang memberi mereka izin untuk tinggal di daerahnya. Sebagian memilih tinggal di pesisir Buleleng, namun sebagian lainnya menetap di Pegayaman untuk berkumpul dengan sesama penganut agama Islam.
Dalam pandangan Ki Barak Panji Sakti, orang-orang yang berbeda agama seperti Islam tidak dipandang sebagai musuh yang harus dilawan, melainkan sahabat yang bisa turut membantu memperkuat kerajaan. Ia pun bersedia memberikan wilayah yang kini bernama desa Pegayaman untuk menjadi tempat tinggal bagi masyarakat Muslim Bali tersebut. Dari Buleleng inilah kemudian Nyama Selam menyebar ke berbagai daerah lainnya di Bali. Sumber lain menyebut Pegayaman sebagai sebuah wilayah "hutan gayam" yang dihadiahkan kepada tujuh prajurit dari Blambangan atas kontribusinya dalam mengalahkan raja di Bali bagian selatan.
Budaya
Sebagai kelompok masyarakat yang telah terbentuk dan hidup di Bali selama ratusan tahun, Nyama Selam banyak mengadopsi unsur-unsur budaya lokal Bali. Hal ini dapat ditemui di desa Pegayaman, dimana kehidupan sehari-hari umat Islam di sana tampak tidak banyak berbeda dengan umat Hindu, perbedaannya hanya terletak pada rumah ibadahnya saja. Masyarakat Nyama Selam juga biasa menggunakan nama lokal seperti Made, Ketut, Wayan, dan Nyoman yang dipadukan dengan nama bernuansa Islami.
Di kampung Kecicang Islam, Kabupaten Karangasem, akulturasi budaya tampak pada berbagai aspek kesenian. Terdapat sebuah tarian yang bernama tari rudat yang mengombinasikan nuansa Bali dengan budaya Islam. Dengan tabuhan alat musik rebana, tari rudah ikut meramaikan malam Idul Fitri di Karangasem.
Tradisi ngejot yang dilakukan di Bali biasanya disusul dengan megibung yang merupakan tradisi khas Bali lainnya. Megibung adalah kegiatan makan bergaya banjar di mana orang-orang menikmati makanan dari satu wadah secara bersama-sama. Di Sejumlah desa Muslim, megibung biasa dilakukan di masjid.
Selain digelar dalam perayaan hari raya keagamaan megibung juga menjadi bagian dari acara buka puasa bersama, contohnya seperti yang ada di kampung Kepaon, Denpasar, yang menggelarnya selama tiga kali setiap 10 hari puasa di mana warga asli, pendatang, dan umat Hindu ikut serta untuk makan bersama.
Lihat juga
Suku Bali
Nak Nusé
Islam di Indonesia
Referensi
Kata Kunci Pencarian:
- Bali
- Muslim Bali
- Bom Bali 2002
- Hinduisme Bali
- Imam Samudera
- Kerajaan Bali
- Islam di Bali
- Tradisi Male
- Bambang Santoso
- Hak LGBT di Indonesia
- 2002 Bali bombings
- Bali Kingdom
- 2005 Bali bombings
- Balinese Hinduism
- East Java
- Hinduism in Indonesia
- Malkoçoğlu Bali Bey
- Abu Bakar Ba'asyir
- Animal sacrifice in Hinduism
- All-India Muslim League