PT Net Satu
Indonesia (sebelumnya bernama PT Mobile Selular
Indonesia, PT Mandara Selular
Indonesia, dan PT Sampoerna Telekomunikasi
Indonesia) merupakan penyedia jasa telekomunikasi seluler di
Indonesia. Hingga akhir 2021, perusahaan ini mengoperasikan layanannya dengan nama
Net1 Indonesia.
Net1 Indonesia adalah bagian dari Sampoerna Strategic Group, dan sepanjang beroperasinya merupakan satu-satunya operator telekomunikasi di
Indonesia yang beroperasi pada frekuensi 450 MHz dengan lisensi seluler nasional.
Produknya beragam, mulai dari layanan telepon hingga broadband nirkabel dengan merek
Net1 Indonesia, dan pelanggan didukung penuh oleh kantor-kantor cabang
Net1 Indonesia dan jaringan distribusi di seluruh wilayah layanan.
Sejarah
= Kemunculan dan awal beroperasi
=
PT Net Satu
Indonesia awalnya didirikan dengan nama PT Mobile Selular
Indonesia, atau disingkat Mobisel. Perusahaan ini resmi berdiri pada 30 November 1995, dan pada saat itu dimiliki secara patungan oleh PT Rajasa Hazanah Perkasa (milik Hutomo Mandala Putra, Sigit Harjojudanto, International Wireless Communications Holdings Inc. dan Bell Atlantic) sebesar 70%, PT Telekomunikasi
Indonesia 25% dan Yayasan Dana Pensiun Pegawai Telkom 5%. Mobisel didirikan untuk mengoperasikan layanan seluler berbasis NMT-450, dan sebagai modal awal dari perusahaan ini adalah pengguna jasa NMT-450 PT Rajasa yang dialihkan menjadi pelanggan Mobisel. Kantor pusatnya saat itu ada di Graha Mobisel, Jl. Mampang Prapatan Raya 139, Jakarta.
Cikal bakal bisnis NMT Mobisel bermula ketika PT Rajasa (yang didirikan pada 17 Desember 1984 dan berbasis di Pasar Minggu, Jakarta Selatan) mendapatkan hak pengelolaan jaringan untuk telepon mobil (istilah resminya STKB-C, Sistem Sambungan Telepon Kendaraan Bermotor Cellular) pada akhir 1985. Dalam proyek bernilai Rp 44,8 miliar tersebut, PT Rajasa menargetkan akan membangun jaringan berkapasitas 10.000 sambungan untuk wilayah Jakarta-Bandung dengan menggunakan teknologi Ericsson mulai awal 1986. Perusahaan Swedia tersebut dipilih karena dianggap memiliki pengalaman mengelola sistem sejenis di Eropa Barat. Adapun keterlibatan PT Rajasa merupakan penunjukan langsung dari pemerintah (tidak ditenderkan), dikarenakan perusahaan ini telah memiliki rekanan perwakilan Ericsson di
Indonesia bernama PT Erindo Utama, dan diharapkan bisa memberikan layanan yang lebih baik di tengah keterbatasan Perumtel.
Layanan STKB-C PT Rajasa kemudian diluncurkan pada Mei 1986, bekerjasama dengan Perumtel selama 6 tahun dengan investasi mencapai Rp 60-100 miliar. PT Rajasa akan mengoperasikan jaringan dan menjual pesawat telepon NMT, sedangkan Perumtel berfokus pada administrasi penggunanya. Adapun pengoperasian jaringan seluler kerjasama keduanya merupakan yang pertama di
Indonesia, sehingga bisa dianggap sebagai salah satu pionir komunikasi seluler di Tanah Air. Meskipun sempat menjual 3.500 unit telepon mobil di tahun peluncurannya, kenaikan harga perangkat membuat kinerja PT Rajasa mulai terhambat. Di tahun 1988, total penjualan pesawat telepon (yang menjadi pendapatan utamanya) hanya sebesar 5.000, jauh dari target 10.000 dalam waktu tiga tahun. Masalah tersebut membuat PT Rajasa melobi pemerintah agar Perumtel membagi hasil pengelolaan jaringan NMT-nya, yang akan digunakan untuk mensubsidi harga perangkat. Lewat keputusan Menparpostel, akhirnya ditetapkan bahwa 56% pendapatan pemakaian telepon oleh pelanggan akan diberikan kepada PT Rajasa, sedangkan 44% sisanya untuk Perumtel.
Kinerja PT Rajasa mulai menggeliat pasca keputusan tersebut, dengan berusaha memasarkan produknya dibawah merek Era Mobitel. Kelebihan yang ditawarkan, seperti adanya teknologi canggih automatic tuned duplex filter, workshop khusus layanan purna jual, maupun tenaga yang ahli. Dari awalnya untuk telepon mobil, belakangan juga dipasarkan untuk telepon seluler, dan merek-merek yang dijualnya bertambah, meliputi Ericsson, Dancall dan Philips. Di tahun 1990, Rajasa berhasil meraih 10.000 pengguna, yang artinya sudah memenuhi kapasitas jaringan. Ekspansi kemudian mulai dilakukan, seperti membangun jaringan baru berkapasitas 15.000-30.000 sambungan yang ditargetkan akan menjadi 60.000 dalam 3 tahap, serta memperluas cakupan jaringan ke Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam periode yang sama, perusahaan yang awalnya dimiliki oleh keluarga Achmad Tahir ini dilepas kepada PT Panutan Duta dan PT Bina Reksa Perdana, perusahaan milik Sigit dan Tommy Soeharto. Memasuki tahun 1994, tercatat pengguna layanan Era Mobitel mencapai 30.000 yang dilayani oleh 28 pemancar. Tidak lama kemudian, pada akhir 1995, kerjasama bagi hasil PT Rajasa-PT Telkom (d/h Perumtel) resmi berakhir, sehingga pelanggan Era Mobitel selanjutnya dialihkan ke Mobisel yang baru dibentuk. Pembentukan Mobisel sudah direncanakan sejak September 1994, tetapi baru mendapat izin pada 1995.
Setelah Mobisel didirikan, manajemennya tetap berusaha meningkatkan kinerjanya, seperti hendak meningkatkan sistemnya menjadi NMT-450i dan NMT-470i dan berminat menarik investor strategis dari perusahaan Eropa pada Agustus 1997. Tercatat, pada 1997 pengguna Mobisel mencapai 29.000, yang sayangnya kemudian menurun drastis akibat krisis ekonomi 1997-1998 dan persaingan yang hebat dari operator GSM. Seiring dengan masalah tersebut, kebetulan Mobisel juga mengalami perubahan kepemilikan, dimana pada 2001 perusahaan ini diakuisisi oleh Inquam Ltd., sebuah perusahaan yang dimiliki oleh Qualcomm. Rencananya, Mobisel akan mengonversi sistem jaringannya menjadi CDMA, namun tetap menggunakan frekuensi 450 MHz. Kemudian Mobisel mengalami perubahan pemilik kembali seiring dengan konversi hutang menjadi saham pada Juli 2003 dan Januari 2004, sehingga menjadi dimiliki oleh beberapa pihak, yang terdiri dari pemilik lama (Telkom, YDPP, PT Rajasa dan Inquam) ditambah Brighton Corp Inc., Sojitz Corp., Deltona Satya Dinamika, Pilar Datatel Mediatama, Jan Darmadi Investindo dan Property Java.
= Perubahan nama dan akuisisi Sampoerna
=
Pada 22 Desember 2003, Mobisel mengganti namanya menjadi PT Mandara Selular
Indonesia (MSI). Dengan perubahan nama tersebut, Mandara kemudian memantapkan niatnya untuk berpindah ke CDMA 450 dengan mulai menghentikan jaringan NMT-450nya dan meluncurkan produk baru bernama Neo_n yang menggunakan teknologi CDMA2000. Walaupun demikian, tetap ada sisa pelanggan NMT Mandara yang masih belum dikonversi, berjumlah 3.000 pengguna pada 2006 (yang baru dipindahkan pasca pergantian nama menjadi Ceria).
Dalam perkembangannya, di tahun 2005 pemilik saham Mandara memutuskan menjual 82% sahamnya kepada Twinwood Venture Ltd. (yang berbasis di Seychelles, sebesar 58%) dan Polaris Mobile (yang berbasis di Singapura sebesar 24,7%) dengan harga Rp 545 miliar. Walaupun awalnya tidak jelas siapa pemilik kedua perusahaan tersebut, tetapi terungkap kemudian bahwa saham kedua perusahaan itu dimiliki oleh Putera Sampoerna, yang baru saja mendapatkan keuntungan dari penjualan perusahaan rokok HM Sampoerna dan berusaha menginvestasikan uangnya itu dalam berbagai bidang, salah satunya telekomunikasi. Kemudian, seiring waktu pemegang saham lain yang tersisa pada perusahaan ini melepaskan sahamnya kepada pihak Sampoerna, misalnya Telkom pada 13 Januari 2006. Selanjutnya, pada 26 Januari 2006, nama PT Mandara Selular
Indonesia diganti menjadi PT Sampoerna Telekomunikasi
Indonesia (Sampoerna Telekom atau STI). Seiring dengan pergantian nama perusahaan, merek Neo_n juga digantikan oleh Ceria.
= Perkembangan setelah akuisisi
=
Kinerja awal
Dalam mengembangkan bisnisnya, Sampoerna Telekom melakukan sejumlah upaya seperti melanjutkan ekspansi cakupan layanan Ceria yang direncanakan oleh manajemen sebelumnya, dan berencana mengikuti tender jaringan 3G (walaupun kemudian mengundurkan diri). Sayangnya, tidak mudah langkah Sampoerna untuk masuk dalam bisnis telekomunikasi karena Ceria kalah pamor dan kurang promosi dibandingkan operator CDMA lain. Karena itulah, operasional perusahaan ini selanjutnya lebih difokuskan bagi kebutuhan komunikasi bisnis dan daerah pedesaan.
Pada tahun 2012, Sampoerna Telekom sempat menarik perhatian media karena perusahaan ini mengumumkan kerjasama dengan Bakrie Telecom. Dalam rencana kerjasama keduanya lewat penandatanganan perjanjian jual beli pada 13 Maret 2012, Bakrie Telecom akan mengakuisisi 35% saham Sampoerna Telekom dari Sampoerna Strategic Group dan Polaris. Direncanakan dalam tiga tahun ke depan, persentase tersebut akan dinaikkan menjadi 100%, dan sebagai imbalannya, Sampoerna Strategic akan menjadi pemegang 6% saham Bakrie Telecom. Awalnya, rencana ini akan dilaksanakan dengan skema rights issue saham Bakrie Telecom di bursa efek yang akan diikuti oleh Sampoerna Telekom. Bahkan, direncanakan keduanya juga akan bekerjasama dalam pengelolaan frekuensi dan sistem CDMA, serta merek Ceria dan Esia akan dilebur menjadi merek baru. Namun, seiring kesulitan keuangan yang terus dialami Bakrie Telecom, maka hal tersebut dibatalkan. Kondisi internal perusahaan sejak saat itu kurang banyak diketahui, tetapi kemungkinan terdampak oleh turunnya pengguna CDMA dibanding GSM.
Transisi ke 4G LTE
Seiring waktu, pada 2014, pihak STI dikabarkan hendak melakukan ujicoba di sistem 4G LTE dan berencana bermain di ranah baru ini. Untuk membangun sistem ini, Sampoerna sebelumnya sudah bekerjasama dengan perusahaan asing bernama AINMT (Access Industries Nordic Mobile Telecom) International Holdings pada Januari 2016 dalam bentuk investasi di STI. Namun, baru pada Februari 2017 izin untuk menggelar jaringan 4G LTE didapatkan oleh STI, dengan frekuensi yang tetap di 450 MHz, wilayah operasi tetap secara nasional dan target pasar tetap pedesaan. Awalnya, pihak STI berminat untuk meremajakan merek Ceria dalam memasarkan teknologi baru ini dan sistem ini rencananya akan diluncurkan pada April 2017 setelah persiapan dalam berbagai hal seperti infrastruktur, pemasaran dan jaringan. Namun, kemudian STI membatalkan rencananya menggunakan merek Ceria kembali. Pada akhirnya, STI resmi "menanggalkan" sistem CDMA-nya dan meluncurkan sistem 4G LTE bersama merek baru yaitu
Net1 Indonesia pada 27 Juli 2017. Biaya yang dianggarkan oleh STI dalam proses konversi ini adalah senilai US$ 130 juta. Untuk membantu proses ini, STI menggaet Industri Telekomunikasi
Indonesia (INTI) bagi membantu penyediaan alatnya.
Net1 diklaim lebih terjangkau dan sinyalnya jauh lebih luas dibanding pesaingnya, terutama di desa. Seiring dengan perubahan nama tersebut, STI melakukan perluasan jaringan ke seluruh wilayah
Indonesia, seperti Sulawesi, Kalimantan dan
Indonesia Timur. Menurut pihak STI, upaya ini berdampak positif pada kinerja perusahaan, misalnya pada 2019 pendapatan mereka tumbuh 44% dibanding sebelumnya.
Sejak 26 Januari 2021, perusahaan ini dipimpin oleh Serge Arbogast, menggantikan Andria Pranata (2020-2021) dan sebelumnya Larry Ridwan. Basis pengguna utamanya adalah business-to-business, yang mencapai 70% dari total pendapatan perusahaan. Walaupun demikian,
Net1 Indonesia juga berusaha memperluas bisnisnya ke sektor konsumer, misalnya dengan mengembangkan program "MitraNet1".
Pencabutan izin dan penghentian operasional
Pada Juni 2021, perusahaan ini sempat dikabarkan hampir tutup karena ancaman dari Kemenkominfo akibat hutang BHP Izin Penggunaan Frekuensi Radio dari 2019-2020 sebesar Rp 442 miliar, yang tak terbayar akibat masalah keuangan di STI. Pemerintah sudah memberikan beberapa kali surat teguran, yang jika mencapai tiga kali dan tidak kunjung dilunasi pada 31 Juli maka operasionalnya akan dihentikan. Lalu, pada 22 Juni 2021,
Net1 Indonesia juga sempat mengumumkan penghentian sementara jaringan karena masalah teknis, yang diikuti anjuran pengembalian dana (refund) untuk pelanggan. Namun, tampaknya kedua pihak kemudian mencapai kesepakatan dengan STI mencabut gugatannya ke Kemenkominfo dan Kemenkominfo memberikan peluang bagi perusahaan ini untuk diberi keringanan dalam pembayaran hutangnya. Walaupun demikian, tunggakan ke Kominfo itu bukan satu-satunya masalah yang harus dihadapi STI; pada 13 Agustus 2021, sebuah perusahaan bernama PT Prasetia Juvisk Sinergi juga sempat mengajukan gugatan PKPU ke perusahaan ini, meskipun dua minggu kemudian dicabut.
Di tengah gonjang-ganjing tersebut, STI kemudian mengganti namanya untuk yang keempat kalinya: PT Net Satu
Indonesia, yang mulai digunakan sejak Juli 2021. Pergantian nama tersebut dikatakan karena kepemilikan saham mayoritas sudah dimiliki oleh
Net1 International Holdings Swedia. Meskipun awalnya masalah
Net1 Indonesia masih bisa diatasi untuk sementara, pada akhirnya terungkap bahwa
Net1 Indonesia tidak kunjung membayar tunggakan BHP-nya ke Kominfo. Pada 30 November 2021, akhirnya Kemenkominfo resmi mencabut izin frekuensi 450 MHz PT
Net1 Indonesia yang memaksa perusahaan ini menghentikan operasionalnya. Pemerintah mewajibkan
Net1 Indonesia untuk menyelesaikan kewajiban mereka ke berbagai pihak dan mengganti rugi ke pelanggan (yang terakhir berjumlah 85.000). Pihak perusahaan merespon bahwa mereka masih mengkaji dan berkoordinasi bersama beberapa pihak terkait penghentian operasional ini.
Layanan dan produk perusahaan
=
Awalnya, pihak STI berminat untuk meremajakan merek Ceria dalam memasarkan teknologi yang baru diadopsinya, yaitu 4G LTE. Namun, rencana tersebut batal dan STI memilih mengibarkan merek baru bernama
Net1 Indonesia yang diperkenalkan pada Mei 2017. Merek
Net1 Indonesia kemudian diluncurkan secara resmi pada 27 Juli 2017, dengan awalnya beroperasi di Sulawesi Selatan, Maluku, Lombok, Aceh dan Serang. Perlu diketahui bahwa merek
Net1 bukanlah merek lokal, melainkan berasal dari Swedia. Merek ini dapat digunakan oleh STI setelah mereka menjalin kerjasama berupa investasi strategis dengan pemilik asli merek ini, AINMT (kemudian menjadi
Net1 International Holdings) pada 2016.
Net1 Indonesia merupakan satu-satunya operator yang menyediakan layanan telekomunikasi seluler menggunakan teknologi 4G LTE berfrekuensi 450 MHz (band 31), yang sampai saat ini lisensi pada frekuensi tersebut hanya dimiliki oleh STI. Dengan teknologi ini,
Net1 bisa memberikan layanan yang lebih luas, sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat baik di pelosok pedesaan hingga perkotaan dengan biaya yang lebih terjangkau.
Net1 menargetkan pengembangan Internet of Things (IoT) di desa, mengutamakan sistem business to business dan berusaha memaksimalkan layanannya selama ini sebelum akhirnya merambah daerah perkotaan. Seiring dengan perubahan nama, STI melakukan perluasan jaringan ke seluruh wilayah
Indonesia, seperti Sulawesi, Kalimantan dan
Indonesia Timur. Pada 2018,
Net1 sudah menjangkau 261 kabupaten/kota dan 26.124 desa di seluruh
Indonesia, dan di tahun selanjutnya, mencatatkan 200.000 pengguna.
Dalam rangka peningkatan kinerja,
Net1 terus berusaha melakukan penetrasi internet di wilayah terpencil, termasuk di sejumlah tempat wisata, dan menjalin kemitraan dengan sejumlah perusahaan besar seperti BRI, ASDP dan Astra International. Selain itu, kerjasama juga dijalin dengan MNC Vision (dalam penyediaan paket super bundle) yang menggabungkan layanan TV satelit dan internet pada 2018, dan dengan Kemenkominfo dalam skema Kewajiban Pelayanan Universal berupa pembangunan jaringan di 5.000 daerah 3T (terluar, tertinggal, terdepan). Sedangkan CSR dilakukan dalam bentuk bantuan penyediaan layanan internet pada berbagai kesempatan, seperti Multilateral Naval Exercise Komodo pada 2018 maupun pada pandemi COVID-19 di
Indonesia dengan memberikan layanan internet gratis pada ratusan rumah sakit dan desa-desa di berbagai daerah (yang totalnya mencapai Rp 30 miliar).
Seiring pencabutan izin perusahaan ini pada November 2021, maka otomatis operasionalnya dihentikan oleh pemerintah, efektif sejak 1 Desember 2021. Pelanggan dapat mengajukan pengembalian dana mereka pasca penghentian operasional ini.
Produk
Net1
Pribadi
Net1 Mobile Wi-Fi
Net1 Unlimited 20
Net1 Unlimited Xtra
Bisnis
4G Fixed Wi-Fi Router
Net1 Business Light
Net1 Business Pro
Net1 Business Custom
= Sebelumnya
=
Ceria
Ceria diluncurkan pada 1 Maret 2006 sebagai pengganti merek Neo_n di Lampung, dengan visi memberikan layanan dan produk telekomunikasi berkualitas dan terjangkau bagi semua kalangan. Sama seperti Neo_n, Ceria tetap menggunakan sistem CDMA2000 450 MHz (spesifiknya 450-457,5 dan 460-467,5). Dalam mengembangkan Ceria, Sampoerna Telekom melakukan sejumlah upaya, seperti melanjutkan ekspansi ke Bali dan Lombok yang direncanakan oleh manajemen sebelumnya dan membantu penyediaan internet di Lampung. Pada Maret 2006, tercatat pelanggan Ceria mencapai 9.979.
Saat awal kehadirannya, ditargetkan di tahun 2007 produk Ceria sudah bisa dipasarkan di seluruh
Indonesia. Untuk mewujudkannya, pada Oktober 2006 jaringan Sampoerna Telekom akan diperluas hingga ke Sumatera Selatan, Riau, Jambi, disusul Jawa Timur dan Jawa Tengah, dengan target meraih 750.000 pelanggan (namun rencana ini baru terealisasi pada 2007). Selain itu, manajemen juga bekerjasama dengan Assextel Inc. untuk membangun infrastrukturnya, berusaha mengajukan izin fixed wireless access (FWA), dan menggandeng Dewi Persik sebagai bintang iklan. Pada saat itu, Ceria menawarkan harga Rp 150.000 untuk 1 GB internet dan Rp 299.000 untuk telepon rumah nirkabel, yang diklaim terjangkau. Sempat juga diluncurkan modem USB yang melayani internet dengan tarif murah. Adapun promosi lain yang ditawarkan, seperti biaya sewa perangkat yang murah dan instalasinya gratis, kesempatan uji coba produk selama sebulan, dan komitmen penguatan sinyal yang lemah. Produk Ceria juga disebut memiliki fitur lengkap, seperti SMS, call conference, voice mail, caller line identification, call hold, dan faksimile.
Dalam perkembangannya, kinerja Ceria terhitung kurang baik karena kurang populer dan promosi jika dibandingkan dengan operator CDMA lain, seperti Flexi dan Esia. Selain itu, jaringannya juga masih terbatas, dimana pada April 2008 baru tersedia di 9 provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Lombok. Sebenarnya di tahun tersebut, Sampoerna Telekom sudah merencanakan untuk memperluas jaringannya ke Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Madura, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Barat dan pulau Sumbawa. Nampak Ceria terlambat untuk membangun jaringan di wilayah yang memiliki pasar besar, yaitu Jakarta dan Jabar, walaupun sebenarnya hal ini bisa dimaklumi mengingat target pasarnya lebih berfokus ke daerah-daerah. Pada 2007 pun, Ceria baru berhasil menggaet 130.000 pengguna, jauh jika dibanding dengan Flexi yang mencapai 6 juta dan dibawah target manajemen sebelumnya sebesar 750.000.
Pada 2010, Ceria tercatat memiliki 636.868 pelanggan, dan memiliki ratusan BTS serta kantor cabang maupun dealer (yang bernama walk-in center) di berbagai daerah (Sumatra, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara). Mungkin karena sulitnya bersaing, manajemen Sampoerna Telekom kemudian memutuskan untuk lebih memfokuskan pemasaran produknya bagi kebutuhan komunikasi bisnis, terutama UMKM dengan harga terjangkau sejak Maret 2011, meskipun tetap menggunakan merek Ceria. Ceria juga difokuskan untuk beroperasi di daerah pedesaan. Fokus pasar pedesaan diterapkan mengingat cakupan frekuensi 450 MHz yang lebih luas (sehingga bisa menembus pelosok), namun dikhawatirkan akan mengganggu jika digunakan di perkotaan, karena rentang frekuensi ini juga digunakan untuk keperluan militer/kepolisian. Selain itu, persaingannya juga masih sedikit (atau bahkan tidak ada) dibanding jika menargetkan kota-kota besar. Adapun pada 2014, total penggunanya mencapai 1,5 juta.
Setelah lama tidak terdengar, Ceria dikabarkan hendak melakukan ujicoba pengoperasian 4G LTE di tahun 2014. Seiring dengan berhasilnya Sampoerna Telekom mendapatkan izin 4G LTE, merek Ceria sempat akan digunakan kembali. Namun, kemudian rencana ini dibatalkan dan Ceria digantikan oleh
Net1 Indonesia yang diperkenalkan pada Mei 2017. Pelanggan Ceria akan ditawari penukaran perangkat dengan router dan Mi-Fi seiring upaya memigrasikan mereka ke sistem 4G LTE.
= Produk Ceria
=
Kartu Perdana Ceria
Ceria Internet
Ceria Business Solution
Neo_n
Neon (ditulis Neo_n) beroperasi dengan sistem CDMA2000 (namun tetap menggunakan frekuensi Mobisel sebelumnya di 450 MHz) secara nasional sejak Mei 2004, dan diluncurkan seiring pergantian nama perusahaan menjadi PT Mandara Selular
Indonesia (walaupun demikian, masih ada sisa daerah yang memakai NMT). Produk Neo_n diluncurkan pada 22 April 2004 di Hotel Sheraton, Bandar Lampung dengan wilayah layanan awal Provinsi Lampung yang dibantu 11 BTS. Direncanakan, setelah pilot project di Lampung sukses, jaringan CDMA2000 Neo_n akan diperluas ke seluruh pulau Sumatra. Dengan menargetkan pasar masyarakat umum dan korporasi, di tahun tersebut, manajemen Mandara mengklaim sudah meraih 10.000 pelanggan. Belakangan, rencana ekspansi juga diperluas hingga ke pedesaan Bali dan Lombok, dan berhasil meningkatkan pelanggannya menjadi 50.000 pengguna. Adapun investasi yang ditanamkan dalam layanan Neo_n bernilai US$ 2 juta, dan infrastrukturnya dibangun oleh Huawei. Seiring dengan pergantian nama perusahaan, pada 1 Maret 2006 merek Neo_n resmi digantikan oleh Ceria.
Terdapat dua jenis produk Neo_n, yaitu layanan prabayar dan pascabayar.
Layanan prabayar dapat digunakan dengan membeli kartu perdana senilai Rp 50.000. Kartu prabayar Neo_n menawarkan fitur caller line identification, SMS, kotak suara, call waiting, akses internet berkecepatan tinggi, dapat menelepon ke mana saja (lokal, interlokal maupun internasional), dan lainnya.
Layanan pascabayar, dengan penawaran berupa adanya batasan kredit dan penggunaan bulanan, berbagai skema tarif, hot billing, dll.
Mobisel
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pada awalnya bisnis dari PT Net Satu
Indonesia (dahulu bernama PT Mobile Selular
Indonesia) adalah mengelola jaringan NMT (Nordic Mobile Telephone, Telepon Bergerak Nordik) dengan wilayah layanan Jakarta, Tangerang, Bekasi, Cikampek, Indramayu, Cilegon, Bandar Lampung dan Kalianda. Adapun varian yang digunakan adalah NMT-450; meskipun demikian, frekuensinya secara spesifik menggunakan 470 MHz (bukannya 450 MHz), agar menjangkau wilayah yang lebih luas dengan biaya ekonomis. Pasca pendirian Mobisel, direncanakan sistem tersebut akan ditingkatkan menjadi NMT-450i dan NMT-470i yang lebih canggih, ditambah upaya memperluas jaringannya ke seluruh
Indonesia. Demi membangun proyek tersebut, pada Mei 1996 Mobisel menandatangani kontrak senilai US$ 30 juta dengan Nokia. Selain itu, Mobisel juga meluncurkan produk dengan nama Orbit, yang diklaim lebih canggih (dengan teknologi seperti voice mail, call waiting dan lain-lain) dibanding operator lainnya, dan berusaha membangun jaringan di sepanjang pulau Sumatra.
Di tahun 1997, pengguna Mobisel tercatat berjumlah 29.000 (mayoritas di Jakarta), yang ditargetkan akan naik menjadi 80.000. Sayangnya, krisis moneter dan persaingan ketat dari operator GSM membuat pengguna Mobisel terus menurun, dimana pada 1998 menjadi 16.000, yang menurun lagi ke angka 12.801 di tahun 1999. Bahkan, pada Januari 2001 pengguna Mobisel hanya bertambah 1.236, dan pada Oktober 2003 pemakainya turun tajam menjadi hanya 5.070. Seiring akuisisi Mobisel oleh Inquam Ltd., pada April 2001 direncanakan teknologinya akan diubah menjadi CDMA, namun tetap menggunakan frekuensi 450 MHz. Dengan investasi sebesar US$ 2 juta, diperkirakan akan dibangun jaringan berkapasitas 20.000 pengguna yang produknya akan diluncurkan dengan nama "CDMA Mobisel". Namun, akhirnya rencana tersebut baru terwujud ketika nama perusahaan diubah dari PT Mobile Selular
Indonesia menjadi PT Mandara Selular
Indonesia, dan peluncuran merek Neo_n pada awal 2004.
Lihat pula
Daftar produk telekomunikasi di
Indonesia
Nordic Mobile Telephone
CDMA
Referensi
Pranala luar
www.
Net1.co.id di Wayback Machine (diarsipkan tanggal 27 Agustus 2019)
www.ceriaku.com di Wayback Machine (diarsipkan tanggal 2 September 2011)
www.neon.co.id di Wayback Machine (diarsipkan tanggal 25 November 2005)
www.mobisel.co.id di Wayback Machine (diarsipkan tanggal 22 April 2001)
www.mobisel.com di Wayback Machine (diarsipkan tanggal 9 April 1997)
Net1 Indonesia di Facebook
Net1 Indonesia di Twitter