Lukman
Njoto atau Nyoto (17 Januari 1927 – 13 Desember 1965) adalah seorang Menteri Negara pada masa pemerintahan Soekarno. Nyoto juga merupakan wakil Ketua CC PKI dan sangat dekat dengan D.N. Aidit yang merupakan tokoh utama pengkhianatan G30S/PKI. Nyoto menikah dengan salah satu keluarga ningrat Mangkunegaran Solo yang bernama Soetarni. Wanita priyayi ini tidak memiliki kegiatan politik apa pun dikarenakan dia adalah sosok yang begitu mementingkan anak-anaknya sampai tragedi 1965 meletus. Nyoto adalah Menteri Negara dan Wakil Ketua CC PKI sampai dia dihabisi, istri dan tujuh anaknya dijebloskan ke dalam tahanan di Kodim Jl. Setiabudi, Jakarta.
Pada tanggal 11 Maret 1966 sepulangnya dari sidang kabinet Nyoto diculik oleh sekelompok orang yang tidak diketahui identitasnya dalam perjalanan pulang menuju rumahnya di Jl. Tirtayasa. Ada beberapa tapol yang pernah melihatnya di Rutan Salemba tetapi setelah itu mereka tidak melihat lagi karena kemudian terhembus kabar burung bahwa Nyoto sudah dieksekusi di salah satu kepulauan Seribu di Teluk Jakarta.
Biografi
= Kehidupan awal
=
Njoto lahir pada 17 Januari 1927 di rumah kakeknya, Marjono, di Ledokombo, Jember. Orang tua
Njoto adalah Raden Sosro Hartono, keturunan keluarga kerajaan Surakarta, dan Masalmah. Ia memiliki dua adik perempuan, Sri Windarti dan Iramani. Ia dan Windarti bersekolah di Hollands Inlandsche School (HIS) di Jember dan tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu di Kampung Tempean, Jember. Ayah mereka ingin mereka mendaftar di sana karena sekolah Belanda lebih terorganisir daripada sekolah pribumi. Setelah sekolah reguler,
Njoto mengadakan les privat di malam hari dengan Meneer Darmo.
Setelah lulus dari sekolah,
Njoto mendaftar di sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Jember. Akhirnya selama pendudukan Jepang, sekolah tersebut dibubarkan. Ayah
Njoto mengirimnya ke MULO lain di Solo. Di kelas dua MULO, menurut teman sekelasnya Sabar Anantaguna,
Njoto mengatakan bahwa dia harus pulang ke Jember, tetapi sebenarnya dia akan pergi ke Surabaya, di mana dia terlibat dalam pelucutan senjata tentara kekaisaran Jepang. Selama ini,
Njoto bertemu pemimpin masa depan PKI D.N. Aidit dan M.H. Lukman.
Njoto juga terlibat dalam Pertempuran Surabaya melawan Inggris.
= Menjadi Petinggi PKI
=
Selama Revolusi Nasional Indonesia, sebagai wakil dari PKI cabang Banyuwangi,
Njoto menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebuah badan yang ditunjuk untuk membantu presiden Indonesia yang baru merdeka. Saat itu
Njoto tinggal di Hotel Merdeka, Malioboro, Yogyakarta. Pada bulan Maret 1947, setelah KNIP mengadakan rapat di Malang, Aidit terpilih sebagai ketua fraksi PKI, sedangkan
Njoto terpilih sebagai ketua Badan Pekerja KNIP. Pada awal 1948,
Njoto, Aidit, dan Lukman diperintahkan partai untuk menerjemahkan Manifesto Komunis. Pada bulan Agustus 1948, Komite Pusat PKI terdiri dari Aidit dalam urusan pertanahan, Lukman dalam agitasi dan propaganda, dan
Njoto dalam hubungannya dengan organisasi lain. Sekitar waktu itu, pertengahan tahun 1948,
Njoto juga menjadi anggota Politbiro. Pada tanggal 17 Agustus 1950,
Njoto bersama Aidit, MS Ashar, dan A.S. Dharta mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah gerakan sastra dan sosial, sedangkan menurut Tempo Zulkifli dan Hidayat, keempatnya mendirikan Lekra pada tahun 1951.
Pada tanggal 7 Januari 1951,
Njoto, bersama Aidit, Sudisman, Alimin, dan Lukman dipilih menjadi anggota Politbiro oleh Komite Sentral. Juga pada Januari 1951,
Njoto, Pardede, Lukman, dan Aidit diangkat menjadi staf redaksi Bintang Merah (Bintang Merah), sebuah makalah yang diterbitkan pertama kali pada 15 Agustus 1950. Pada bulan Juli 1951, PKI menunjuk
Njoto untuk mengawasi isi surat kabar PKI Harian Rakjat (Harian Rakyat). Pada bulan Agustus 1951, pemerintah melakukan penggeledahan dan menangkap para pemimpin PKI karena khawatir akan terulangnya Peristiwa Madiun tahun 1948. Namun,
Njoto, Lukman, dan Aidit berhasil menghindari penangkapan dan bersembunyi, tidak muncul di depan umum selama beberapa bulan. Setelah pertemuan Komite Sentral pada Oktober 1953, ketiganya menjadi pemimpin partai: Aidit sebagai sekretaris jenderal, dengan Lukman dan
Njoto masing-masing sebagai wakil pertama dan kedua Aidit.
Njoto bertanggung jawab atas agitasi dan propaganda. Pada tahun 1953,
Njoto mengambil alih kepemimpinan Harian Rakjat, menggantikan sang pendiri Siauw Giok Tjhan. Dalam Harian Rakjat dia menulis dengan nama pena Iramani, dan menggunakan lebih lembut dan lebih puitis daripada tulisannya yang lebih tajam di Bintang Merah.
Njoto juga diangkat menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Sementara pada tahun 1954, menggantikan ayah Aidit yang mengundurkan diri Abdullah Aidit.
Pada tanggal 1 Agustus 1956,
Njoto berbicara kepada anggota Komite Sentral, mengatakan kepada mereka bahwa partai harus mendidik kadernya tentang ideologinya karena peningkatan keanggotaan partai sangat signifikan. Dalam Oktober 1958,
Njoto mengklaim bahwa yang terpenting adalah persatuan antara borjuis dan proletar, tetapi Oloan Hutapea dalam sebuah artikel pada Agustus 1959 menolak pandangan bahwa aliansi ini penting bagi partai. Setelah kritik keras PKI terhadap kinerja pemerintah pada Juli 1960,
Njoto dan Aidit diperiksa oleh Kolonel Achmad Sukendro dari intelijen Angkatan Darat. Pada Agustus 1960, bersama Aidit,
Njoto ditunjuk sebagai wakil PKI di Front Nasional.
Pada bulan Maret 1962,
Njoto dan Aidit diangkat menjadi menteri tanpa tanggung jawab khusus, hanya peran koordinasi atau penasehat. Menurut PKI laporan terbitan 14 April 1964,
Njoto menghadiri rapat akbar petani di Klaten. Ia menyatakan bahwa hukum land reform hanya dapat dicapai dengan tindakan rakyat dan pemerintahan yang patriotik dan demokratis. Setelah Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), pada bulan September 1964,
Njoto diangkat sebagai menteri negara di Kabinet Dwikora yang bertanggung jawab untuk pengawasan reformasi tanah.
Antara tahun 1963 dan 1964,
Njoto melakukan perjalanan ke Uni Soviet beberapa kali untuk menjalin hubungan antara PKI dan Partai Komunis Uni Soviet. Ia didampingi Rita, mahasiswa sastra Indonesia di Moskow. Menurut Soetarni, istri
Njoto, Rita adalah penerjemah antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Rusia. Pada akhir tahun 1964, Soetarni tertekan dengan rumor bahwa
Njoto akan menikahi Rita. Soetarni sedang mengandung anak keenamnya ketika rumor itu muncul. Dia mengatakan akan menceraikan
Njoto jika rumor itu terbukti benar. Menurut Joesoef Isak,
Njoto pernah jatuh cinta pada Rita. Isak mengklaim bahwa Soetarni lebih cantik, tapi
Njoto mengaku Rita lebih intelektual. Menurut sumber dari Tempo, Rita adalah seorang agen KGB. Sumber tersebut mengklaim bahwa siapa pun yang mengunjungi Uni Soviet akan ditemani oleh agen KGB. Setelah perselingkuhan antara
Njoto dan Rita diketahui partai,
Njoto diberhentikan dari semua jabatan fungsional di partai. Namun,
Njoto masih menghadiri rapat partai kecuali yang diadakan oleh Politbiro.
Pada April 1964,
Njoto menggunakan istilah "Soekarnoisme" dalam pidatonya di Palembang. PKI, khususnya Aidit, menganggap
Njoto mengkhianati komunisme dengan menggunakan istilah ini.
Njoto kemudian digantikan sebagai Ketua Agitasi dan Propaganda oleh Oloan Hutapea, meskipun alasan sebenarnya adalah perselingkuhan antara
Njoto dan Rita.
Menurut sumber majalah Tempo, setelah dicopot, Soekarno ingin
Njoto membentuk sebuah partai baru yang disebut Partai Rakyat Indonesia (Partai Rakyat Indonesia) dengan prinsip Sukarnoisme, tetapi ide itu tidak pernah terwujud.
Awal Juni 1965,
Njoto dan Subandrio membahas implementasi Perjanjian Sino-Indonesia dengan Chou En Lai di Canton.
Njoto menulis pidato yang diberikan oleh Sukarno pada Perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1965, tentang korupsi dan kontra-revolusioner.
= Gerakan 30 September dan sesudahnya
=
Sekitar satu minggu sebelum 17 Agustus 1965,
Njoto berada di Amsterdam merundingkan kontrak dengan Fokker antara kedua negara. Ia kemudian pergi ke Moskow bersama Aidit untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Partai Komunis. Setelah diberitahu oleh Menteri Luar Negeri Subandrio pada tanggal 31 Juli bahwa Sukarno sedang mencarinya,
Njoto kembali ke Indonesia pada 9 Agustus. Aidit berbicara dengan dokter Tiongkok dan
Njoto tentang kesehatan Presiden pada 8 dan 10 Agustus masing-masing. Dia mengklaim Sukarno akan mati atau akan segera keluar dari tindakan.
Pada tanggal 28 September 1965,
Njoto melakukan perjalanan ke Sumatera bersama Subandrio. Ketika Gerakan 30 September dimulai, mereka masih di Medan untuk membentuk sebuah cabang Dewan Revolusi lokal. Pada tanggal 2 Oktober 1965,
Njoto setelah kembali dari Medan, meninggalkan rumahnya di Menteng bersama Soetarni dan anak-anaknya. Ia menyembunyikan keluarganya di rumah rekannya di Kebayoran. MH Lukman mengklaim bahwa pada malam 5 Oktober beberapa pemimpin PKI termasuk
Njoto dan Lukman sendiri, kecuali Aidit, mengadakan pertemuan di rumah Isak untuk berkoordinasi sebelum rapat kabinet khusus di Bogor. Wartawan Harian Rakjat Amarzan Ismail Hamid menyatakan bahwa pada pagi hari tanggal 6 Oktober,
Njoto dan Lukman membahas pertemuan sebelumnya: jika pertemuan berjalan buruk, keduanya akan pergi ke Bandung, tetapi jika rapat berjalan lancar, mereka akan tetap tinggal di Jakarta. Menurut Tempo, pada rapat khusus kabinet yang diadakan pada tanggal 6 Oktober 1965 di Istana Bogor,
Njoto ditanya oleh Sukarno tentang Gerakan 30 September.
Njoto membantah keterlibatan partai tersebut, dengan mengatakan, "PKI tidak bertanggung jawab atas acara tersebut." Itu adalah masalah internal di Angkatan Darat."
Njoto diwawancarai oleh Asahi Shimbun di Jakarta pada 2 Desember 1965 dan menyatakan bahwa dia tidak tahu tentang pembunuhan enam jenderal. Menurut kepada John Roosa, sejarawan University of British Columbia, dalam Dalih untuk Pembunuhan Massal,
Njoto tidak diundang oleh Aidit ke pertemuan Politbiro. Menurut Iskandar Subekti yang dikutip Roosa, Aidit menilai
Njoto lebih ke Sukarnois daripada komunis. Sementara itu, catatan lain menyebutkan bahwa
Njoto lebih dekat dengan Uni Soviet daripada ke China, yang merupakan pelindung Aidit.
Menurut Sarbi Moehadi, mantan ketua Lekra Pekalongan, beberapa bulan setelah gerakan,
Njoto memimpin rapat di Slawi, tetapi Amarzan menolak klaim tersebut karena Jakarta lebih aman daripada tempat lain dan
Njoto tidak pernah pindah dari Jakarta.
Ada beberapa versi penangkapan
Njoto. Menurut Amarzan,
Njoto ditangkap di Tosari, Menteng. Menurut Irina Dayasih,
Njoto ditangkap dalam perjalanan dari Kementerian Negara kantor sekitar Desember 1965. Menurut Iramani,
Njoto ditembak mati di Tanjung Priok, atau Bekasi pada 13 Desember 1965 setelah ditahan di Rutan Budi Utomo. Menurut sejarawan Bonnie Triana,
Njoto dibunuh di Jakarta dan mayatnya dibuang ke Sungai Ciliwung.
Politik dan ideologi
Selama di MULO,
Njoto membaca buku-buku komunis karya Karl Marx, Stalin, dan Lenin. Menurut Joesoef Isak,
Njoto adalah satu-satunya pemimpin PKI yang "liberal", pragmatis, dan tidak dogmatis. Karena itu, Sukarno menyukainya, bahkan memanggilnya lebih sayang dik daripada Bung yang lebih formal. Sukarno juga menyebut
Njoto sebagai "Marhaenis sejati".
Njoto menciptakan istilah "Sukarnoisme", menurut Tempo, karena sebagian besar petani di Indonesia tidak mengetahui istilah Marxisme.
Iwan Simatupang menyatakan bahwa
Njoto adalah "sombong intelektual dan filosofis." Simatupang menyatakan bahwa
Njoto memiliki pengaruh yang lebih besar daripada Lukman dan Aidit. Beberapa artis, katanya, seperti Rivai Apin, Basuki Resobowo, dan Henk Ngantunk dekat dengan komunisme karena
Njoto.
Kehidupan pribadi
Ayah
Njoto mengajari putranya bermain biola, dan dia juga bisa bermain saksofon. Menurut Windarti,
Njoto juga bisa bermain gitar dan drum dan menggubah beberapa lagu. Dia menikmati musik klasik dan jazz. Pada masa pendudukan Jepang,
Njoto, Windarti, dan tiga gadis lainnya membentuk sebuah band, Suara Putri, dengan empat wanita sebagai vokalis dan
Njoto sebagai gitaris. Mereka membawakan Wanita Asia, sebuah lagu yang memuji Jepang yang datang dan langsung mengusir Belanda. Setelah kemerdekaan, lagu tersebut dilarang. Salah satu temannya di dunia musik adalah Jack Lesmana.
Dalam sastra,
Njoto membaca karya-karya Rusia seperti Nikolai Gogol dan Dostoevsky. Bagi orang Indonesia,
Njoto menyukai karya H.B. Jassin. Ia juga memuji karya-karya Hamka.
Njoto menulis beberapa puisi yang dimuat dalam Harian Rakjat, berjudul "Tahun Baru", "Catatan Peking", Jangtoe", "Shanghai ", Merah Kesumba", "Variasi Haiku", "Variasi Cak", dan "Pertemuan di Paris". Puisi-puisi ini diterbitkan pada bulan September 2008 berjudul Gugur Merah : Sehimpunan Puisi Lekra, Harian Rakyat: 1950-1965. Menurut Asahan, dalam sastra,
Njoto lebih demokratis, lebih estetis, dan lebih universal. Dalam tudingan "Tenggelamnya Kapal van der Wijk" oleh Hamka,
Njoto menasihati Lekra untuk tidak "menghancurkannya".
Njoto juga menulis "Merah Kesumba" sebagai reaksi solidaritas terhadap Kongo setelah kematian Patrice Lumumba.
Njoto menikah dengan Soetarni pada Mei 1955. Pasangan ini memiliki tujuh anak. Anak keenam, bernama Fidelia Dayatun, lahir sebelum Gerakan 30 September. Anak ketujuh, bernama Butet, lahir saat Soetarni bersembunyi. Anak ketujuh diadopsi oleh adik perempuan Soetarni. Anak-anak lainnya adalah Ilham Dayawan, Svetlana Dayani, Timur, Irina Dayasih, dan Risalina Dayana. Semua anak
Njoto memiliki kata daya dalam namanya, diambil dari nama panggilan
Njoto, Kusumo Digdoyo. Digdoyo berarti daya dalam bahasa Indonesia, atau "kekuatan" dalam bahasa Inggris.
Catatan
Referensi
= Kutipan
=
= Sumber
=
Crouch, Harold (2007). The Army and Politics in Indonesia (edisi ke-reprint & revised). Equinox Publishing. ISBN 9789793780504.
Fic, Victor M. (2004). Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965: The Collusion with China which Destroyed the Army Command, President Sukarno and the Communist Party of Indonesia. New Delhi: Abhinav Publications. ISBN 9788170174233.
Hindley, Donald (1966). The Communist Party of Indonesia: 1951-1963. University of California Press.
Lindsay, Jennifer; Liem, Maya H.T., ed. (2012). Heirs to World Culture: Being Indonesian, 1950-1965. Leiden: KITLV Press. ISBN 9789067183796.
Mortimer, Rex (2006). Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959-1965 (edisi ke-reprint). Jakarta: Equinox. ISBN 9789793780290.
Ricklefs, M.C. (1993). A History of Modern Indonesia since c.1300, Second Edition. Stanford University Press. ISBN 978-0804721950.
Roosa, John (2006). Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'Etat in Indonesia. University of Wisconsin Press. ISBN 9780299220334.
Zulkifli, Arif; Hidayat, Bagja, ed. (2010).
Njoto, Peniup Saksofon di Tengah Prahara. Seri Buku Tempo. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9789799109200.