Hati nurani adalah suatu proses kognitif yang menghasilkan perasaan dan pengaitan secara rasional berdasarkan pandangan moral atau sistem nilai seseorang.
Hati nurani berbeda dengan emosi atau pikiran yang muncul akibat persepsi indrawi atau refleks secara langsung, seperti misalnya tanggapan sistem saraf simpatis. Dalam bahasa awam,
Hati nurani sering digambarkan sebagai sesuatu yang berujung pada perasaan menyesal ketika seseorang melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai moral mereka. Nilai moral seorang individu serta ketidaksesuaiannya dengan penafsiran pemikiran moral keluarga, sosial, budaya, maupun sejarah, dipelajari dalam studi relativisme budaya dalam bidang dan praktik psikologi. Sejauh mana peran
Hati nurani dalam menggerakkan penilaian moral seseorang sebelum bertindak dan apakah penilaian moral tersebut memang atau sebaiknya didasarkan pada akal budi, telah memercik perdebatan yang sengit antara filsafat Barat melawan teori-teori romantisme dan gerakan reaksioner lainnya setelah berakhirnya Abad Pertengahan.
Pandangan keagamaan tentang
Hati nurani umumnya mengatakan bahwa
Hati nurani terkait dengan suatu moralitas yang melekat dalam diri semua manusia, melekat dengan sebuah alam semesta yang baik, atau melekat kepada pengada yang bersifat ketuhanan. Berbagai sifat agama, yaitu sifat ritualistis, mitis, doktrinal, institusional, dan material, mungkin tidak selalu sejalan dengan pertimbangan pengalaman, emosional, spiritual, atau kontemplatif mengenai asal mula dan cara kerja
Hati nurani. Pandangan sekuler atau ilmiah umumnya menyatakan bahwa
Hati nurani mungkin ditentukan secara genetis, sementara subjek-subjek
Hati nurani kemungkinan dipelajari atau merupakan hasil imprinting sebagai bagian dari budaya.
Metafora yang biasanya digunakan untuk
Hati nurani adalah "suara
Hati", sementara Sokrates bergantung kepada sesuatu yang disebut oleh orang-orang Yunani Kuno dengan nama "suara daimonik", yakni semacam suara
Hati yang menjauhkan diri (ἀποτρεπτικός, apotreptikos) dari kesalahan dan hanya terdengar saat ia akan membuat kesalahan.
Hati nurani, sebagaimana digambarkan dalam artikel di bawah ini, adalah sebuah konsep dalam hukum nasional dan internasional, semakin sering dianggap sebagai konsep yang berlaku di seluruh dunia, serta telah mendorong banyak tindakan terkenal yang dilakukan demi kebaikan bersama.
Hati nurani juga merupakan topik bahasan dalam berbagai karya sastra, musik, dan film.
Pandangan
Meskipun belum ada kesepakatan mengenai definisi
Hati nurani atau peranannya dalam pembuatan keputusan etis, ada tiga pendekatan yang mencoba menjelaskan
Hati nurani:
Pendekatan keagamaan
Pendekatan sekuler
Pendekatan filosofis
= Agama
=
Dalam tradisi kesusastraan Upanisad, Brahma Sutra dan Bhagawadgita,
Hati nurani adalah sebuah label yang diberikan untuk sikap-sikap yang mendirikan pengetahuan tentang baik dan buruk, yang diterima jiwa setelah menyelesaikan tindakan dan penumpukan karma selama berkali-kali masa hidup. Menurut Adi Shankara dalam Vivekachudamani, aksi yang benar secara moral (yang dicirikan dengan melakukan kewajiban primer, yaitu kebaikan kepada pihak lain tanpa pamrih material atau spiritual, dengan rendah
Hati dan penuh kasih sayang) dapat "menyucikan
Hati" dan memberikan ketenangan jiwa. Akan tetapi, ini saja tidak cukup untuk memberikan kita "persepsi langsung akan Realitas". Untuk mengetahui Realitas, seseorang perlu membedakan antara yang abadi dan nonabadi, dan pada akhirnya menyadari, dalam kontemplasi, bahwa diri yang nyata bersatu di dalam sebuah jagad raya kesadaran murni.
Dalam agama Zoroastrian, setelah kematian, jiwa harus mengalami pengadilan di Jembatan Pemisah; di jembatan itu, orang-orang jahat akan disiksa karena mereka menyangkal sifat yang lebih tinggi (dengan kata lain,
Hati nurani); dan "mereka akan selamanya menjadi tamu di Istana Kebohongan."
Konsep Tionghoa mengenai Ren menunjukkan bahwa
Hati nurani, begitu pun dengan etika sosial dan hubungan yang benar, dapat membantu manusia untuk mengikuti "Jalan" (Tao), yaitu mode kehidupan yang mencerminkan kapasitas implisit manusia untuk bertindak baik dan harmonis.
Hati nurani juga merupakan topik yang penting dalam Buddhisme. Misalnya, dalam naskah Pali, Buddha mengaitkan aspek positif "
Hati nurani" dengan
Hati yang suci dan pikiran yang tenang dan terarah dengan baik.
Hati nurani dianggap sebagai kekuatan spiritual dan merupakan salah satu "Penjaga Dunia". Buddha juga mengasosiasikan
Hati nurani dengan rasa kasih sayang untuk mereka yang harus mengalami keinginan dan penderitaan duniawi sampai perilaku benar muncul dalam pemikiran benar dan pengertian benar. Shantideva (685–763 M) menulis dalam Bodhicaryavatara (yang ditulis dan disampaikannya di universitas Buddhis besar di India Utara, Universitas Nalanda), tentang perlunya seseorang menyempurnakan kebajikan seperti kebaikan
Hati, kesabaran, dan melatih kesadaran agar menjadi seperti "sepotong kayu" ketika tertarik dengan keburukan-keburukan seperti rasa besar
Hati dan nafsu, agar seseorang dapat terus maju menuju pemahaman benar dalam meditasi.
Hati nurani, dengan demikian, dalam Buddhisme, muncul sebagai semacam cinta yang tidak egois untuk seluruh makhluk hidup, yang secara perlahan menguat dan bangkit menjadi kesadaran yang murni, tempat pikiran menjauh dari ketertarikan indrawi dan menyadari dirinya sebagai satu kedirian yang tunggal.
Kaisar Romawi, Marcus Aurelius, menulis dalam Meditasi bahwa
Hati nurani adalah kapasitas manusia untuk hidup dengan prinsip rasional yang kongruen dengan sifat pikiran yang sebenarnya, yaitu tenang dan harmonis. Dengan demikian, pikiran menjadi kongruen dengan Alam Semesta: "Lakukanlah tindakan tidak egois terus menerus, dengan Tuhan di dalam hatimu. Di sana, engkau akan menemukan kesukaan dan ketenangan
Hati ... satu-satunya kebaikan yang ada dalam eksistensi kita di alam semesta ini adalah karakter yang tidak terkompromi dan tindakan yang tidak egois."
Konsep takwa dalam Islam erat kaitannya dengan
Hati nurani. Dalam Al-Qur'an ayat 2:197 dan 22:37, takwa merujuk pada "perbuatan benar" atau "iman, menjaga diri sendiri, atau menjaga dari kejahatan". Qur’an surat 47:17 mengatakan bahwa Allah adalah sumber utama ketakwaan seseorang, yang bukan merupakan hasil sederhana keinginan seorang individu, tetapi harus dimunculkan dengan hidayah dari-Nya. Qur’an Surah 91:7–8 menunjukkan cara Allah SWT menyempurnakan ruh dan
Hati nurani, serta mengajarkan ruh yang buruk (fujur) dan yang benar (takwa). Kesadaran akan baik dan buruk sudah inheren di dalam ruh, dan dengan demikian ruh berada di dunia ini untuk diuji secara adil, dan kemudian diadili pada hari kiamat untuk tanggung jawabnya terhadap Allah dan seluruh manusia.
Quran surat 49:13: "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti." Dalam Islam, menurut teolog terkemuka seperti Al-Ghazali, meskipun peristiwa sudah ditakdirkan (dan ditulis Allah di dalam Loh Mahfuz), manusia tetap memiliki kehendak bebas untuk memilih antara yang benar dan yang salah, dan dengan demikian bertanggung jawab untuk perilakunya sendiri.
Hati nurani adalah koneksi pribadi seseorang dengan Allah yang bersifat dinamis dan ditingkatkan dengan pengetahuan, praktik rukun Islam, tindakan iman, pertobatan, disiplin diri, dan ibadah; sebaliknya,
Hati nurani rontok, dan secara metaforis tertutup di bawah kegelapan, dengan tindakan dosa.
Dalam tradisi Kristen Protestan, Martin Luther dalam Dewan Worms menekankan bahwa
Hati nuraninya disandera Kata Tuhan, dan tidak aman maupun benar untuk melawan
Hati nurani. Bagi Luther,
Hati nurani masuk ke dalam pertimbangan etis dan bukan keagamaan. Yohanes Calvin mengibaratkan
Hati nurani sebagai sebuah zona perang: "[...] musuh yang bangkit di dalam
Hati nurani kita, melawan Kerajaan-Nya dan hukum-hukum-Nya, membuktikan bahwa Takhta Tuhan belum benar-benar ajeg di dalamnya." Banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa menuruti
Hati nurani sepenting, atau bahkan lebih penting, daripada menuruti otoritas manusia. Pandangan Kristen fundamentalis mengenai
Hati nurani, mungkin dapat disimpulkan seperti ini: 'Tuhan memberikan kita
Hati nurani agar kita tahu saat kita melawan hukum-Nya; rasa bersalah yang kita rasakan ketika kita melakukan sesuatu yang tidak benar, mengatakan pada kita bahwa kita perlu bertobat.' Hal ini kadang-kadang (seperti misalnya dalam konflik antara William Tyndale dan Thomas More mengenai penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Inggris) berakhir dalam pertanyaan moral: "Apakah saya menuruti sepenuhnya pemimpin Gereja/pendeta/militer/politis saya, ataukah saya mengikuti kata
Hati nurani saya yang menunjukkan yang benar dan yang salah, sebagaimana disingkap oleh doa dan pembacaan kitab?" Ada pula gereja Kristen dan kelompok agama yang percaya bahwa ajaran moral Sepuluh Perintah Tuhan atau Yesus adalah otoritas tertinggi dalam situasi apa pun, tidak peduli seberapa jauh ajaran moral tersebut termaktub di dalam hukum. Dalam Injil Yohanes (7:53–8:11, Versi Raja James), Yesus menantang orang-orang yang menuduh seorang perempuan yang dituduh pezina, dengan mengatakan: ""Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua." Dalam Injil Lukas (10:25–37), Yesus menyampaikan cerita tentang seorang Samaritan yang dibenci dan berdosa, yang membantu seorang asing di pinggir jalan (termotivasi dengan kasih sayang dan
Hati nurani). Orang ini lebih berpotensi masuk kehidupan abadi daripada pendeta yang sedang lewat di seberang jalan.
Dilema antara menuruti
Hati nurani atau menuruti hukum negara atau hukum ilahi ditampilkan secara dramatis dalam perlawanan Antigone terhadap perintah Raja Kreon untuk mengubur saudaranya, seorang pengkhianat negara. Antigone menolak, menyatakan ia lebih sudi mengikuti "hukum yang tidak tertulis", dan bahwa ia "lebih setia kepada orang yang sudah mati daripada kepada orang yang masih hidup."
Teologi Katolik memandang
Hati nurani sebagai "penilaian praktis terakhir, yang pada saat yang tepat, menarik [seseorang] untuk melakukan hal yang baik dan menolak hal yang buruk." Konsili Vatikan Kedua menggambarkan: "Jauh di dalam
Hati nuraninya, manusia menemukan hukum yang belum ia berikan pada dirinya sendiri, namun harus diturutinya. Suara hukum itu selalu memanggilnya untuk mencintai, untuk melakukan hal yang baik dan menjauhi hal yang buruk; mengatakan kepadanya, dari dalam: lakukan ini, jauhi itu. Di dalam hatinya, manusia memiliki hukum yang sudah ditanamkan Tuhan. Harga dirinya tergantung pada apakah ia menaati hukum ini, dan pada ketaatan itulah ia akan diadili.
Hati nurani seseorang adalah rahasia intinya yang terdalam dan juga kuil dalam dirinya. Di sana ia sendiri dengan Tuhan, yang suara-Nya menggema di relung terdalam hatinya." Dengan demikian,
Hati nurani bukanlah kehendak dan bukan pula kebiasaan seperti kesabaran, melainkan "ruang interior tempat kita dapat mendengarkan kebenaran, kebajikan, suara Tuhan. Tempat terdalam hubungan kita dengan Tuhan, yang berbicara kepada
Hati kita dan membantu kita membedakan, memahami jalur yang harus kita ambil, dan begitu keputusan itu kita buat, untuk bergerak maju dan tetap kukuh dalam iman." Dalam hal logikanya,
Hati nurani dapat dipandang sebagai kesimpulan praktis sebuah silogisme moral, yang premis mayornya adalah norma objektif dan premis minornya adalah kasus atau situasi tertentu ketika norma itu diaplikasikan. Maka, penganut Katolik diajarkan untuk mendidik diri mereka sendiri dengan
Hati-
Hati tentang norma yang diwahyukan dan norma yang dapat diambil dari norma yang diwahyukan, agar terbentuk
Hati nurani yang benar. Penganut Katolik juga diwajibkan memeriksa
Hati nurani mereka setiap hari, dan dengan perhatian khusus sebelum melakukan penebusan dosa. Ajaran Katolik mengajarkan bahwa "Manusia berhak bertindak menurut
Hati nuraninya dan berhak atas kebebasan untuk membuat pilihan moral secara personal. Ia tidak boleh dipaksa untuk bertindak berlawanan dari
Hati nuraninya. Ia juga tidak boleh dirintangi saat bertindak sesuai dengan
Hati nuraninya, terutama dalam hal-hal keagamaan." Hak atas
Hati nurani ini tidak mengizinkan seseorang untuk berselisih secara sembarangan dengan ajaran Gereja dan mengklaim bahwa seseorang sedang bertindak sesuai dengan
Hati nuraninya.
Hati nurani yang bersih memerlukan pencarian kebenaran moral dari sumber otentik, yaitu mencoba mengamalkan kebenaran moral dengan cara mendengarkan otoritas yang didirikan Kristus. Namun demikian, meskipun seseorang sudah mencoba dengan seluruh kemampuannya, "tetap saja dapat terjadi bahwa
Hati nurani moral tetap berada dalam kebodohan dan membuat penilaian yang salah mengenai tindakan-tindakan yang akan dilakukan atau telah terjadi ... Kesalahan ini dapat dipersalahkan (imputed) ke tanggung jawab pribadi ... Dalam kasus demikian, seseorang berdosa untuk kesalahan yang dilakukannya." Maka, apabila seseorang menyadari bahwa ia telah membuat penilaian yang salah,
Hati nurani seseorang dikatakan dapat keliru dan dianggap bukan merupakan sumber aksi yang valid. Seseorang harus pertama-tama menghilangkan terlebih dahulu sumber kesalahan tersebut dan mencoba dengan sekuat tenaga untuk mencapai penilaian yang benar. Di sisi lain, apabila seseorang tidak menyadari kesalahannya, atau apabila ia telah berusaha sekuat tenaga namun masih juga tidak dapat menghilangkan kesalahan penilaiannya dengan belajar atau mencari nasihat, maka
Hati nurani orang itu mungkin dikatakan keliru sampai tidak dapat diperbaiki kembali. Hal ini bersifat mengikat karena seseorang memiliki kepastian subjektif bahwa ia benar. Tindakan yang muncul sebagai hasil dari
Hati nurani yang keliru sampai tidak dapat diperbaiki kembali tentunya tidak baik, tetapi tindakan merugikan atau dosa melawan perintah Tuhan dan norma objektif ini tidak dipersalahkan kepada orangnya. Ketaatan formal yang diberikan kepada penilaian
Hati nurani demikian bersifat baik. Beberapa penganut Katolik mengikuti
Hati nurani untuk menjustifikasi perbedaan pendapat, bukan dalam tingkatan
Hati nurani sebagaimana biasanya dipahami, tetapi dalam tingkatan prinsip dan norma yang seharusnya menjadi basis
Hati nurani. Misalnya, ada pendeta yang menggunakan solusi forum internal (yang tidak secara langsung diizinkan oleh Magisterium) untuk menjustifikasi tindakan atau gaya hidup yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja, misalnya larangan Kristus untuk menikah ulang setelah perceraian, atau aktivitas seksual di luar pernikahan. Gereja Katolik memperingatkan bahwa "penolakan otoritas dan ajaran Gereja ... dapat menjadi sumber kesalahan dalam penilaian tindakan moral."
Sebuah contoh seseorang yang mengikuti
Hati nuraninya hingga menerima konsekuensi dihukum mati adalah Sir Thomas More (1478-1535). Thomas More adalah seorang teolog yang menulis tentang perbedaan 'rasa kewajiban' dan 'rasa moral' sebagai dua aspek
Hati nurani. John Henry Cardinal Newman berpendapat bahwa 'rasa kewajiban' adalah semacam perasaan yang hanya dapat dijelaskan dengan keberadaan seorang Pemberi Hukum yang bersifat ilahiah. Thomas More konon pernah berkata bahwa ia akan memberikan salut pertama-tama pada
Hati nuraninya, baru kemudian pada Paus; karena
Hati nuraninya mengantarkannya kepada otoritas Paus.
Yudaisme tampaknya tidak mewajibkan ketaatan yang tanpa kompromi kepada wewenang keagamaan. Dalam sejarah Yahudi, banyak rabi yang mengakali aturan yang menurut mereka tidak sesuai dengan
Hati nurani, misalnya hukuman mati. Lebih lanjut, meskipun takdir nasional dianggap sentral bagi agama Yahudi (lihat Zionisme), banyak peneliti (termasuk Moses Mendelssohn) yang menyatakan bahwa
Hati nurani, sebagai wahyu personal, sama pentingnya dengan tradisi Talmudik. Konsep cahaya dalam di Komunitas Pertemanan Religius atau di kaum Quaker, berhubungan erat dengan
Hati nurani. Organisasi Freemasonry menggambarkan dirinya sendiri sebagai organisasi yang memberikan anjuran di samping agama, dan simbol yang dapat ditemukan dalam sebuah Loji Freemason adalah kotak baja dan kompas yang menyimbolkan ajaran bahwa kaum Mason perlu "mengotakkan tindakan mereka dalam kotak
Hati nurani", serta belajar untuk "mencari jalan untuk menghindari keinginan mereka dan menjaga agar gairah mereka tetap bertanggung jawab kepada seluruh kemanusiaan." Sejarawan Manning Clark memandang
Hati nurani sebagai salah satu penenang yang ditempatkan agama antara manusia dan kematian, namun juga sebuah bagian penting dalam pencarian kasih yang dianjurkan oleh Kitab Ayub dan Kitab Pengkhotbah. Di sini terdapat sebuah paradoks: manusia berada paling dekat dengan kebenaran justru ketika manusia menyadari bahwa hal yang paling penting dalam hidup tidak akan dapat terjadi. Leo Tolstoy, setelah mempelajari masalah ini selama satu dekade, menekankan bahwa satu-satunya kekuatan yang mampu melawan kejahatan yang dikaitkan dengan materialisme dan haus kuasa sosial institusi agama, adalah kapasitas manusia untuk meraih kebenaran spiritual secara individual, melalui akal budi dan
Hati nurani. Banyak karya keagamaan mengenai
Hati nurani juga memiliki komponen filosofis yang signifikan: contohnya karya Al-Ghazali, Ibnu Sina, Aquinas, Joseph Butler dan Dietrich Bonhoeffer.
= Sekuler
=
Terdapat berbagai pandangan yang menggunakan pendekatan sekuler, antara lain pandangan psikologis, fisiologis, sosiologis, humanitarian, dan otoritarian. Lawrence Kohlberg berpendapat bahwa
Hati nurani kritis adalah tahapan psikologis yang penting dalam perkembangan moral manusia, yang terkait dengan kemampuan untuk menilai prinsip-prinsip pertanggungjawaban dengan rasional, yang paling baik ditumbuhkan ketika masih sangat muda, dengan menampilkan tokoh-tokoh lucu (misalnya Jimmy Jangkrik dalam kisah Pinokio) dan kemudian saat masa remaja dengan perdebatan mengenai dilema moral yang terkait dengan individu yang bersangkutan. Erik Erikson menempatkan perkembangan
Hati nurani ke dalam fase 'pra-sekolah' dalam teori delapan tingkat perkembangan kepribadian manusia normal. Psikolog Martha Stout berpendapat bahwa
Hati nurani adalah "sebuah rasa kewajiban yang mencampuri tindakan kita berdasarkan ikatan emosional kita." Dengan demikian,
Hati nurani yang baik berkaitan dengan perasaan integritas, keutuhan psikologis, dan rasa damai, serta sering digambarkan dengan kata sifat seperti "tenang", "jelas", dan "mudah".
Sigmund Freud merasa bahwa
Hati nurani secara psikologis berasal dari pertumbuhan peradaban yang secara teratur mengganggu penyampaian agresi ke luar diri. Impuls agresi kemudian dipaksa untuk mencari alternatif lain yang lebih sehat, dan mengarahkan energinya sebagai superego melawan ego. Menurut Freud, tidak mengikuti
Hati nurani dapat menimbulkan rasa bersalah, yang kemudian menjadi faktor dalam perkembangan neurosis. Freud mengklaim bahwa baik superego budaya maupun individual menetapkan tuntutan-tuntutan ideal terkait dengan aspek-aspek moral keputusan tertentu. Apabila tuntutan ini tidak dituruti, maka akan timbul 'ketakutan dari
Hati nurani' (bahasa Inggris: fear of conscience).
Antonio Damasio memandang
Hati nurani adalah aspek kesadaran terluaskan, yang berada di luar jangkauan kecenderungan yang terkait dengan upaya untuk mempertahankan diri. Termasuk di dalamnya adalah pencarian kebenaran dan keinginan untuk membangun norma dan teladan sempurna untuk perilaku seseorang.
Hati nurani sebagai insting pembangun masyarakat
Michel Glautier berargumen bahwa
Hati nurani adalah salah satu insting dan dorongan yang membuat manusia mampu membangun masyarakat. Kelompok manusia yang tidak memiliki dorongan tersebut, atau yang kadarnya kurang, tidak akan mampu membangun masyarakat dan tidak bisa berkembang biak sebaik kelompok manusia yang mampu membangun masyarakat.
Charles Darwin berpendapat bahwa
Hati nurani berevolusi dalam spesies manusia untuk menyelesaikan konflik antara impuls alamiah yang saling bersaing. Beberapa impuls ini terkait dengan pertahanan diri, tetapi ada pula yang terkait dengan keselamatan keluarga dan masyarakat. Menurut pandangan Darwin,
Hati nurani muncul dari "durasi kesan insting sosial yang lebih panjang" dalam perjuangan untuk bertahan hidup; misalnya, jika seseorang melukai masyarakatnya karena rasa lapar atau takut, insting sosial akan tetap bertahan di dalam benaknya, sementara hasrat-hasrat seperti rasa lapar akan sirna begitu saja. Dengan ini ia akan merenungkan apa yang telah dilakukan dan kemudian menyesali perbuatannya. Maka dari itu, menurut Darwin,
Hati nurani adalah kemampuan untuk melihat ke belakang dan menghakimi perbuatan-perbuatan pada masa lalu, yang akan menghasilkan rasa penyesalan di benak seseorang.
Suatu hal yang penting mengenai pandangan
Hati nurani ini adalah bahwa manusia menganggap dirinya berada dalam suatu hubungan sosial dengan sesuatu "yang lain". Maka dari itu, nasionalisme dihadirkan dalam
Hati nurani untuk menghindari konflik kesukuan, dan konsep Persaudaraan Manusia dihadirkan untuk menghindari konflik nasional. Tekanan-tekanan dari luar seperti itu pada saat yang sama juga akan mendefinisikan ulang
Hati nurani individual. Friedrich Nietzsche mengatakan bahwa "Solidaritas komunal akan dihilangkan oleh dorongan tertinggi dan terkuat yang (...) dapat mengantarkan seorang individu lebih jauh daripada tingkatan '
Hati nurani gerombolan' di tingkatan rendah." Jeremy Bentham menulis: Fanatisisme tidak pernah tidur ... tidak pernah dihentikan oleh
Hati nurani; karena fanatisisme telah menekan
Hati nurani untuk menuruti perintahnya." Hannah Arendt, dalam kajiannya mengenai pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem, mencatat bahwa Eichmann, sama seperti rekan-rekan Jermannya yang lain, telah lupa akan
Hati nurani mereka sampai-sampai mereka tidak mampu mengingatnya kembali. Hal ini bukan karena mereka sudah terbiasa dengan kekerasan atau mengalihkan setiap perasaan kasihan yang muncul secara alamiah kepada diri mereka sendiri karena harus menjalankan tugas yang begitu tidak mengenakkan; hal ini justru disebabkan oleh fakta bahwa pada saat itu, setiap orang yang
Hati nuraninya mengalami keraguan tidak mampu melihat bahwa orang lain memiliki keraguan yang sama. "Eichmann tidak perlu menutup telinganya terhadap suara
Hati nurani ... bukan karena ia tidak punya
Hati nurani, melainkan karena
Hati nuraninya berbicara dengan "suara yang terhormat", suara masyarakat terhormat yang berada di sekitarnya."
Sir Arthur Keith pada tahun 1948 mengembangkan konsep "kompleks pertemanan-permusuhan". Manusia berevolusi dalam kelompok kesukuan yang dikelilingi musuh. Akibatnya,
Hati nurani memiliki dua peran, yaitu kewajiban untuk menyelamatkan dan melindungi anggota kelompok (bahasa Inggris: in-group), serta kewajiban untuk membenci dan bersifat agresif terhadap yang berada di luar kelompok (bahasa Inggris: out-group).
Kajian menarik terkait konteks ini adalah tentang kemiripan hubungan antarmanusia dan hubungan antarbinatang lainnya, baik itu binatang yang berada dalam masyarakat manusia (binatang peliharaan, binatang untuk membantu pekerjaan manusia, bahkan binatang yang dibesarkan sebagai sumber makanan) maupun binatang liar. Menurut salah satu pandangan, ketika manusia atau binatang menyadari pentingnya menjaga hubungan sosial,
Hati nuraninya mulai menghormati hal yang tadinya ia anggap berbeda itu, dan
Hati nurani juga mendorongnya untuk bertindak menjaganya. Dengan cara yang sama, kelompok burung yang teritorial dan kooperatif, misalnya magpie Australia, memiliki etiket, aturan, hierarki, permainan, nyanyian, dan perundingan. Dalam masyarakat seperti ini, perilaku melawan aturan ditoleransi dalam keadaan yang tidak bergantung dengan keselamatan individu atau kelompok; mereka juga sering kali menunjukkan perilaku yang tampaknya penuh kasih sayang dan kelembutan.
Biologi evolusioner
Para ilmuwan dalam bidang biologi evolusioner mencoba menjelaskan
Hati nurani sebagai fungsi otak yang berevolusi untuk menghasilkan altruisme di dalam diri manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Richard Dawkins di dalam bukunya yang berjudul The God Delusion, rasa benar atau salah di dalam diri manusia dihasilkan oleh proses evolusi yang didorong oleh seleksi alam. Menurutnya hal ini dapat dijelaskan dengan konsep "evolusi yang berpusat kepada gen", karena satuan seleksi alam bukanlah organisme, tetapi gen yang "egois", dan gen-gen dapat tetap bertahan di alam salah satunya dengan mendorong organisme untuk bertindak secara altruistik terhadap kerabat mereka, sehingga meningkatkan kesempatan bagi gen yang serupa untuk menyebar luas.
Neurosains dan
Hati nurani buatan
Berbagai studi kasus tentang kerusakan otak menunjukkan bahwa kerusakan area otak (misalnya korteks prefrontal anterior) mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya kendali diri secara sosial, yang diiringi oleh perubahan perilaku secara radikal. Ketika kerusakan ini terjadi pada orang dewasa, mereka mungkin masih bisa melakukan penilaian moral, tetapi jika kerusakan ini terjadi pada anak-anak, mereka mungkin tidak akan pernah mengembangkan kemampuan itu.
Ilmuwan neurosains telah mencoba mencari kehendak bebas di dalam otak; konsep tersebut dirasa perlu agar
Hati nurani dapat mencampuri proses mental yang tak sadar. Kesadaran akan niatan untuk melakukan sesuatu dapat diukur secara ilmiah dan baru muncul 350–400 mikrodetik setelah tertembaknya impuls listrik yang dikenal dengan sebutan 'potensial kesiapan'.
Jacques Pitrat mengklaim bahwa
Hati nurani buatan dapat berguna bagi sistem kecerdasan buatan untuk meningkatkan performa jangka panjang serta mengarahkan pemrosesan introspektif mereka.
= Filosofis
=
Secara filosofis,
Hati nurani dapat diartikan sebagai semacam "perasaan" atau "rasa bersalah yang samar-samar" mengenai apa yang sebaiknya atau seharusnya dilakukan. Berdasarkan artian ini,
Hati nurani tidak harus dihasilkan oleh pertimbangan rasional mengenai aspek moral dari suatu keadaan, tetapi dapat timbul dari indoktrinasi orang tua, teman seumuran, agama, negara, atau perusahaan, yang kelak mungkin dapat atau tidak dapat diterima oleh orangnya ("
Hati nurani tradisional").
Hati nurani juga dapat didefinisikan sebagai nalar praktis yang digunakan seseorang ketika menerapkan keyakinan moral terhadap suatu keadaan ("
Hati nurani kritis"). Untuk orang-orang mistis yang konon matang secara moral dan telah mengembangkan kemampuan ini melalui renungan atau meditasi harian ditambah dengan pelayanan tanpa pamrih kepada orang lain,
Hati nurani kritis bisa dibantu oleh semacam "percikan" wawasan intuitif atau wahyu (disebut makrifat dalam tradisi Sufi, dan sinderesis dalam filsafat moral skolastik Kristen). Dalam keduanya,
Hati nurani didampingi oleh semacam kesadaran akan 'cahaya
Hati' atau 'kegelapan
Hati', serta keyakinan yang dihasilkan oleh proses tersebut terkait dengan hak atau kewajiban.
Abad Pertengahan
Ilmuwan Islam Abad Pertengahan, Al-Ghazali, membagi konsep nafs (jiwa atau diri) ke dalam tiga kategori yang berdasarkan Qur'an:
Nafs Ammarah (QS 12:53) yang "mendorong seseorang untuk memuaskan hawa nafsu dan berlaku buruk"
Nafs Lawammah (QS 75:2) yaitu "
Hati nurani yang mengarahkan manusia kepada kebaikan atau keburukan"
Nafs Mutmainnah (QS 89:27) yaitu "diri yang telah mencapai kedamaian"
Filsuf dan tabib Persia Abad Pertengahan, Muhammad bin Zakariya ar-Razi, berpendapat bahwa ada hubungan erat antara
Hati nurani atau integritas spiritual dengan kesehatan jasmani. Menurutnya, daripada hanya sekadar memenuhi hasrat duniawi, manusia sebaiknya menuntut ilmu, menggunakan kecerdasannya, dan menerapkan keadilan dalam kehidupannya. Filsuf Islam Abad Pertengahan Ibnu Sina, ketika dipenjara di Kastil Fardajan di dekat Hamadhan, menuliskan percobaan pikiran tentang "Manusia Mengambang" yang terisolasi tetapi sadar, untuk menjelajahi gagasan-gagasan tentang kesadaran diri manusia dan kekukuhan jiwanya. Ia menduga bahwa Allah menyampaikan kebenaran kepada pikiran atau
Hati nurani manusia melalui kecerdasan. Sementara itu, menurut para Sufi, Allah mengantarkan manusia menuju makrifat, yaitu kedamaian atau "cahaya di atas cahaya" yang dialami ketika seorang Muslim beribadah dan jiwanya terasa meleleh dalam pengetahuan akan Tuhan, yang merupakan bayang-bayang surga abadi seperti yang digambarkan di dalam Al-Quran.
Beberapa kaum skolastik Kristen Abad Pertengahan, seperti Bonaventura, membedakan antara
Hati nurani sebagai kemampuan rasional pada pikiran (nalar praktis) dan
Hati nurani berdasarkan kesadaran internal, yakni semacam "percikan" intuitif untuk berlaku baik, yang disebut sinderesis dan muncul dari pemahaman tentang kebaikan absolut. Ketika kesadaran ini disangkal secara sadar (misalnya untuk melakukan perilaku buruk), orang yang menyangkal itu akan merasa tersiksa dari dalam. Teolog modern awal seperti William Perkins dan William Ames mengembangkan sebuah pemahaman silogistik mengenai
Hati nurani; hukum Tuhan menjadi kondisi pertama, tindakan yang akan dinilai menjadi kondisi kedua, dan tindakan
Hati nurani (sebagai kemampuan rasional) menghasilkan penilaiannya. Dengan membahas contoh-contoh yang menerapkan pemahaman ini,
Hati nurani dapat dilatih dan diasah.
Pada abad ke-13, St. Thomas Aquinas memandang bahwa
Hati nurani adalah penerapan pengetahuan moral pada situasi tertentu. Dengan demikian,
Hati nurani dianggap sebagai tindakan atau penilaian nalar praktis yang bermula dengan sinderesis, perkembangan kesadaran menyisa internal kita tentang kebaikan absolut; dan kita akhirnya menjadi terbiasa menerapkan prinsip moral. Menurut Singer, Aquinas berpendapat bahwa
Hati nurani dianggap sebagai proses penilaian taksempurna yang diterapkan pada aktivitas karena pengetahuan akan hukum alami (dan semua tindakan terkait kebajikan alami yang implisit di dalamnya) tidak diketahui kebanyakan orang sebagai akibat dari pendidikan dan adat yang lebih mengedepankan pamrih daripada gotong-royong (Summa Theologiae, I–II, I). Aquinas juga membahas kaitan
Hati nurani dengan kebijaksanaan untuk menjelaskan mengapa ada orang-orang yang tampaknya kurang "tercerahkan secara moral" daripada orang lain. Kehendak mereka tidak mampu menyeimbangkan kebutuhan mereka sendiri dengan kebutuhan orang lain.
Aquinas berpikir bahwa melawan
Hati nurani adalah tindakan buruk, akan tetapi
Hati nurani yang keliru hanya dapat dipersalahkan apabila
Hati nurani tersebut merupakan hasil dari ketidaktahuan yang patut dicela, yakni ketidaktahuan atas hal-hal yang patut diketahui seseorang. Aquinas juga berargumen bahwa
Hati nurani perlu dididik agar mampu bertindak ke arah kebaikan nyata (dari Tuhan), yang dapat memajukan manusia, dan bukan hanya sekadar kebaikan yang tampak, yakni rasa enak secara indrawi. Dalam Komentar-nya terkait dengan Etika Nikomakea karya Aristoteles, Aquinas mengklaim bahwa kehendak yang lemah dapat menciptakan manusia tidak bijak yang lebih memilih untuk mencari rasa nyaman daripada melakukan tindakan yang memerlukan penguasaan diri berdasarkan moral.
Thomas A Kempis dalam karya kontemplatif klasik Abad Pertengahan, Imitasi Kristus (kira-kira 1418) mengatakan bahwa keutamaan manusia baik adalah kepatuhan terhadap
Hati nurani yang baik. "Jagalah
Hati nurani yang tenang, maka Anda akan selalu mengalami kebahagiaan.
Hati nurani yang tenang dapat membantu Anda bersabar dan tetap berbahagia di bawah deraan masalah; sebaliknya,
Hati nurani yang jahat selalu dilingkupi rasa takut dan gelisah." Penulis Abad Pertengahan yang tidak diketahui namanya, yang menulis karya mistis Kristen berjudul Awan Ketidaktahuan, juga menyampaikan pandangan yang mirip, bahwa dalam kontemplasi yang mendalam dan panjang, jiwa dapat mengeringkan "akar dan tanah" dosa yang selalu ada, bahkan setelah melakukan pengakuan dosa dan setelah melakukan hal-hal keagamaan: "maka, siapa pun yang ingin menjadi kontemplatif, harus pertama-tama membersihkan
Hati nuraninya." Mistikus Abad Pertengahan dari Flandria, Jan van Ruysbroeck, juga menilai bahwa
Hati nurani yang benar memiliki empat aspek yang diperlukan untuk menjadikan manusia adil dalam hidup yang aktif dan kontemplatif: "jiwa bebas, yang menyukai dirinya sendiri karena cinta"; "inteligensi yang dicerahkan dengan kasih"; "kebahagiaan yang menghasilkan dorongan"; "diri sendiri yang hilang di dalam rengkuhan ... objek abadi itu, yang merupakan pemberkatan paling tinggi dan utama ... orang-orang bijaksana memahami hal ini, dan memasukkan diri mereka ke dalam sebuah benda tertentu yang tidak berbatas."
Modern
Baruch Spinoza, dalam karyanya Etika yang diterbitkan setelah kematiannya pada tahun 1677, mengatakan bahwa kebanyakan orang, bahkan orang-orang yang menyatakan diri mereka berkehendak bebas, tetap membuat keputusan berdasarkan pada informasi sensori yang taksempurna dan dengan pemahaman mengenai pikiran, kehendak, dan perasaan yang tidak cukup. Dalam pandangan ini, perasaan dianggap sebagai hasil keberadaan fisik tubuh dan bentuk pemikiran yang keliru, yang muncul terutama karena diganggu keinginan untuk mempertahankan diri. Menurut Spinoza, kesalahan ini dapat diperbaiki dengan perlahan-lahan meningkatkan kemampuan berpikir kita demi mengubah bentuk pikiran yang diproduksi oleh emosi. Lebih lanjut, kita harus suka menyelesaikan masalah yang memerlukan penyelesaian moral melalui perspektif keabadian. Menurut Spinoza, untuk hidup dengan
Hati nurani yang damai, seseorang perlu menggunakan akal budi untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang layak, yang memandang seluruh dunia dan konfliknya serta keinginan dan gairah manusia dengan cara sub specie aeternitatis, yaitu tanpa mereferensikan waktu.
Karya Filsafat Pikiran Hegel, yang sulit dibaca dan mistis, berargumen bahwa "hak kebebasan
Hati nurani absolut" menganugerahkan pemahaman manusia dengan kesatuan yang merangkul semua hal, sebuah absolut yang rasional, real, dan nyata. Namun demikian, Hegel berpikir bahwa sebuah Negara yang berfungsi dengan baik selalu menginginkan untuk menyangkal
Hati nurani sebagai sebentuk pengetahuan subyektif, mirip seperti bagaimana sains secara umum menolak opini non-objektif yang mirip dengan
Hati nurani.
Gagasan yang idealis seperti demikian juga dapat ditemukan dalam tulisan Joseph Butler, yang mengatakan bahwa
Hati nurani diberikan oleh Tuhan, harus selalu dituruti, bersifat intuitif, dan harus dipandang sebagai "raja konstitusional" dan "fakultas moral universal": "
Hati nurani tidak hanya memberikan dirinya sendiri kepada kita untuk memperlihatkan kepada kita jalur yang mesti kita lewati. Lebih daripada itu,
Hati nurani juga memiliki otoritas." Butler mengedepankan spekulasi etis; ia menekankan bahwa kedua prinsip regulatif dalam sifat manusia, yakni "cinta diri" (pencarian kebahagiaan individual) dan "kebaikan" (kasih sayang dan pencarian kebahagiaan untuk pihak lain), berada di dalam
Hati nurani (hal ini juga terkait dengan agape dalam etika situasional). Butler berpikir bahwa
Hati nurani cenderung lebih otoritatif dalam penilaian moral; hal ini disebabkan karena
Hati nurani lebih mungkin bersikap jelas dan pasti (berbanding terbalik dengan nafsu pribadi, yang cenderung berubah-ubah dan mudah tiba pada kesimpulan yang berbeda-beda). John Selden dalam Table Talk menyampaikan pandangan bahwa
Hati nurani yang sadar, namun terlalu penasaran atau tidak dilatih dengan baik, dapat merintangi seseorang melakukan tindakan praktis dan solutif. Selden mengibaratkan dengan kuda: "seperti kuda yang tidak dilatih dengan baik, kuda itu akan mengejar semua burung yang keluar dari semak."
Di abad ke-18 dan 19, terjemahan Jerman tulisan suci filsafat Hindu dan Buddhis kuno mulai tersedia dan mulai memengaruhi filsuf seperti Schopenhauer. Schopenhauer berpendapat bahwa di dalam pikiran yang sehat, yang mengganggu
Hati nurani adalah tindakan, bukan keinginan atau pikiran: "hanya tindakan kita yang membuat kita becermin diri". Menurut Schopenhauer,
Hati nurani yang baik akan kita alami setelah setiap perbuatan tanpa pamrih muncul dari kesadaran langsung mengenai kedirian internal kita di hadapan fenomena orang lain. Dengan perbuatan tanpa pamrih tersebut, kita menjadi sadar bahwa "kedirian nyata kita tidak hanya hadir dalam diri fisik saja, yakni manifestasi ini; akan tetapi juga di dalam semua makhluk yang hidup. Dengannya,
Hati ini terasa lebih luas; egoisme membuatnya menjadi sempit."
Immanuel Kant, figur utama Abad Pencerahan, mengklaim bahwa ada dua hal yang mengisi pikirannya dengan kekaguman dan ketakjuban, dan ia semakin kagum dan takjub semakin sering dan semakin dalam ia pikirkan: "langit berbintang di atas saya, dan hukum moral di dalam saya ... hukum moral bermula dari diri saya yang tidak tampak, dari kepribadian saya, dan menunjukkan saya di sebuah alam semesta yang tidak terbatas, tempat saya menyadari bahwa diri saya sendiri hadir dalam sebuah hubungan yang universal dan penting (dan, untuk langit berbintang, diperlukan)." "Hubungan universal" yang dimaksud di sini adalah imperatif kategoris Kant: "bertindaklah sesuai dengan maksim yang pada waktu yang sama dapat Anda inginkan sebagai hukum universal." Kant merasa bahwa
Hati nurani kritis adalah semacam pengadilan internal, yang di dalamnya pikiran kita menyetujui atau menyalahkan satu sama lain. Ia mengakui bahwa orang-orang yang dewasa secara moral sering kali menggambarkan rasa cukup atau kedamaian dalam jiwa setelah mengikuti
Hati nuraninya untuk melakukan sebuah kewajiban. Di sisi lain, Kant juga berargumen bahwa agar aksi-aksi tersebut memproduksi kebajikan, motivasi awalnya harus merupakan kewajiban saja, dan seseorang tidak bisa mengharapkan perasaan menyenangkan atau damai tersebut. Rousseau mengedepankan pandangan yang sama, bahwa
Hati nurani dengan cara tertentu menghubungkan manusia dengan sebuah kesatuan metafisis yang lebih besar. John Plamenatz, dalam pembacaan kritisnya terhadap karya Rousseau, berpendapat bahwa
Hati nurani dalam karya-karya tersebut dipandang sebagai suatu perasaan yang menyemangati diri kita, meskipun diterpa gairah untuk melakukan hal yang berlawanan, menuju dua harmoni: harmoni pertama yakni antara pikiran dan gairah kita, dan harmoni kedua antara masyarakat dan anggotanya: "kaum lemah dapat meminta
Hati nurani kaum kuat, dan permintaan ini, meskipun kadang tidak berhasil, akan selalu mengganggu yang kuat. Akan tetapi, sejauh mana pun kita telah rusak oleh kekuasaan dan kekayaan, baik sebagai pemilik maupun sebagai korban, ada sesuatu di dalam diri kita yang mengingatkan kita bahwa kerusakan ini melawan alam."
Filsuf lain menyampaikan pandangan yang lebih skeptis dan pragmatis terkait cara kerja "
Hati nurani" di masyarakat. John Locke dalam Esai Mengenai Hukum Alam berargumen bahwa keberadaan
Hati nurani yang meluas menunjukkan bahwa seorang filsuf dapat menginferensikan perlunya keberadaan hukum moral objektif yang mungkin dapat berlawanan dengan hukum negara. Locke mengedepankan masalah metaetika mengenai apakah pernyataan seperti "ikutilah
Hati nurani-mu" lebih condong ke konsepsi subjektivis atau objektivis, yakni
Hati nurani sebagai pedoman moralitas konkret atau suatu penyingkapan spontan prinsip-prinsip yang abadi dan tidak dapat diubah bagi sang individu. Thomas Hobbes juga secara pragmatis menunjukkan bahwa opini yang terbentuk atas dasar
Hati nurani, dengan keyakinan penuh dan jujur, tetap harus diterima dengan rasa rendah
Hati karena bisa saja salah, dan belum tentu merupakan pengetahuan atau kebenaran absolut. William Godwin menyampaikan pandangan bahwa
Hati nurani adalah konsekuensi yang mudah diingat mengenai "persepsi manusia setiap kelompok ketika mereka masuk ke dalam adegan kehidupan yang sibuk", bahwa mereka memiliki kehendak bebas. Adam Smith menganggap bahwa kita dapat melihat apa yang berhubungan dengan kita dalam bentuk dan ukuran tepatnya hanya melalui perkembangan
Hati nurani kritis. Selain itu, kita juga hanya dapat membuat penilaian yang baik antara kepentingan kita dan orang lain melalui
Hati nurani kritis. John Stuart Mill percaya bahwa idealisme mengenai peran
Hati nurani di pemerintahan harus digabungkan dengan kesadaran praktis bahwa hanya sedikit orang di masyarakat yang mampu mengarahkan pikiran atau niatan mereka terhadap sesuatu yang jauh di masa depan atau tidak jelas hasilnya; terhadap perhatian tanpa pamrih bagi orang lain; dan terutama, pada masa depan mereka sendiri — baik agar terkenal, untuk negara, atau untuk kemanusiaan, dan dilakukan baik karena simpati maupun karena
Hati nurani. Mill berpendapat bahwa mungkin ada sejumlah
Hati nurani atau jiwa publik tanpa pamrih yang dapat dilihat dalam warga masyarakat yang sudah matang untuk mencapai pemerintahan representatif, akan tetapi kita "tidak bisa mengharapkan bahwa
Hati nurani, digabungkan dengan kecerdasan intelektual sedemikian rupa, menjadi bukti bahwa kepentingan kelas berada di bawah keadilan dan kebaikan publik."
Josiah Royce (1855–1916) berangkat dari pandangan idealisme transendental tentang
Hati nurani. Ia beranggapan bahwa
Hati nurani adalah ideal kehidupan yang membentuk kepribadian moral kita dan rencana kita untuk menjadi diri sendiri, serta merupakan hal yang membuat keputusan etis masuk akal. Akan tetapi, ia berpendapat bahwa pendapat tersebut hanya benar apabila
Hati nurani kita setia terhadap "sebuah diri yang lebih tinggi atau lebih dalam".
Dalam tradisi Kristen modern, pendekatan ini diekspresikan oleh Dietrich Bonhoeffer, yang mengatakan bahwa pada saat ia dipenjara Nazi di Perang Dunia II, baginya
Hati nurani bersifat lebih daripada sekadar pemikiran praktis. Menurutnya,
Hati nurani, pada saat itu, datang dari "sebuah kedalaman yang berada jauh dari kehendak dan kecerdasan seseorang; kedalaman ini terdengar sebagai panggilan eksistensi manusia untuk menyatu dengan dirinya sendiri." Bagi Bonhoeffer,
Hati nurani yang merasa bersalah (guilty conscience) timbul sebagai kesadaran akan hilangnya kesatuan ini, dan sebagai peringatan agar seseorang tidak kehilangan dirinya sendiri. Dorongan ini utamanya bukan menyuruh kita untuk melakukan sesuatu hal, akan tetapi menyuruh kita untuk menjelma suatu hal. Dorongan ini memprotes tindakan yang mengganggu kesatuan manusia dengan dirinya sendiri. Bagi Bonhoeffer,
Hati nurani, berbeda dengan rasa malu, tidak memberikan penilaian bagi moralitas kehidupan pemiliknya.
Hati nurani hanya bertindak pada aksi-aksi jelas tertentu: "
Hati nurani dapat mengingat yang sudah lama hilang, dan menggambarkan ketercerabutan ini sebagai sesuatu yang sudah terjadi dan tidak dapat diperbaiki kembali." Menurutnya, seseorang dengan
Hati nurani bergumul sendirian dengan "kekuatan situasi yang tidak bisa dihindari dan kuat sekali" yang mengharuskan pilihan moral, meskipun tetap ada kemungkinan terjadinya konsekuensi buruk baginya.Simon Soloveychik juga pernah mengatakan bahwa kebenaran yang ada di dunia, sebagai pernyataan terkait dengan harga diri manusia serta afirmasi batasan antara yang baik dan buruk, hidup di dalam diri manusia sebagai
Hati nurani.
Di sisi lain, sebagaimana ditunjukkan Hannah Arendt — mengikuti jejak sang utilitarian, John Stuart Mill:
Hati nurani yang buruk belum tentu berarti seseorang memiliki sifat yang buruk. Malah, hanya orang-orang yang berkomitmen memberikan penilaian moral yang akan merasa menyesal, malu, dan bersalah, karena merasa dirinya memiliki
Hati nurani yang buruk dan perlu menaklukkan kembali integritas dan kesatuan diri mereka. Arendt menggambarkan jiwa atau diri nyata sebagai rumah, dan ia menganalogikan bahwa "
Hati nurani adalah penantian seorang teman — kapankah dan akankah kau kembali pulang?" Arendt percaya bahwa orang-orang yang tidak terbiasa becermin secara kritis mengenai apa yang mereka katakan dan lakukan, tidak akan takut untuk melakukan sebuah aksi immoral atau kriminal, karena mereka "bisa percaya bahwa aksi itu akan segera terlupakan". Orang jahat justru tidak penuh dengan penyesalan. Arendt juga menulis dengan sangat jelas mengenai masalah bahasa yang membedakan kesadaran dengan
Hati nurani. Salah satu alasannya adalah
Hati nurani, sebagaimana dipahami dalam bidang moral dan legal, adalah sesuatu yang seharusnya bersifat selalu ada di dalam diri kita, persis seperti kesadaran. "
Hati nurani ini juga harusnya memberi tahu kita tentang apa yang harusnya kita lakukan, dan haruskah kita bertobat; sebelum menjadi lumen naturale atau akal budi praktis Immanuel Kant,
Hati nurani adalah suara Tuhan."
Albert Einstein, sebagai seseorang yang menyatakan menganut humanisme dan rasionalisme, juga beranggapan bahwa seseorang yang tercerahkan secara agama adalah orang yang "sekuat tenaganya berupaya untuk membebaskan diri dari rantai keinginan egois dan memiliki pikiran, perasaan, dan perasaan, yang dipegangnya karena nilai suprapersonal." Einstein sering menggambarkan "suara dalam diri" sebagai sumber pengetahuan moral dan fisik: "Mekanika kuantum memang sangat menarik. Akan tetapi, ada suara di dalam diri saya yang mengatakan bahwa mekanika kuantum bukanlah hal yang sesungguhnya. Ada banyak yang berhasil diberikan teori itu kepada kita, tetapi kita tidak semakin dekat dengan rahasia Yang Tua. Saya yakin sekali bahwa Ia tidak bermain dadu."
Simone Weil, yang ikut berjuang dalam perlawanan Prancis, menuliskan dalam buku terakhirnya The Need for Roots: Prelude to a Declaration of Duties Towards Mankind (Kebutuhan Akar Budaya: Sebuah Tulisan Pendahulu Deklarasi Kewajiban terhadap Kemanusiaan) bahwa agar masyarakat bisa lebih adil dan dapat lebih menjaga kebebasan, filsafat politik harus mendahulukan kewajiban daripada hak. Kebangkitan spiritual juga harus turut muncul dalam
Hati nurani masyarakat. Dengan demikian, secara perlahan kewajiban sosial akan dianggap memiliki sumber yang transendental dan pemenuhan kewajiban sosial akan memberikan dampak positif pada karakter manusia. Simone Weil dalam karya yang sama juga menyampaikan penjelasan psikologis mengenai kedamaian mental yang dikaitkan dengan
Hati nurani yang baik: "Kebebasan manusia yang berhati
nurani baik, meskipun tindakan yang dapat dilakukannya terbatas, sudah cukup dalam lingkup
Hati nurani tersebut. Mereka telah memasukkan aturan ke dalam jiwa mereka, dan segala kemungkinan tindakan yang dilarang itu tidak lagi penting, dan pembatasan ini tidak perlu dilawan."
Pandangan selain opini metafisis dan idealis mengenai
Hati nurani muncul dari perspektif realis dan materialis, misalnya yang disampaikan oleh Charles Darwin. Darwin berpendapat bahwa "binatang apa pun, yang memiliki insting sosial yang dapat disaksikan dengan jelas (termasuk afeksi orang tua dan persaudaraan), pada akhirnya akan mencapai rasa moral atau
Hati nurani, apabila kapasitas intelektualnya telah atau hampir mencapai tingkat perkembangan kecerdasan manusia." Émile Durkheim berpendapat bahwa jiwa dan
Hati nurani adalah bentuk-bentuk prinsip impersonal yang tersebar di sebuah kelompok tertentu dan dikomunikasikan melalui upacara totemis. AJ Ayer lebih bersikap realis; ia berpendapat bahwa eksistensi
Hati nurani adalah sebuah pertanyaan empiris yang bisa dijawab dengan riset sosiologis mengenai kebiasaan moral seseorang atau sebuah kelompok manusia, dan apa yang menyebabkan kebiasaan moral dan perasaan-perasaan tersebut. Pertanyaan riset seperti itu, menurutya, sudah masuk ke dalam ilmu sosial yang sudah ada. George Edward Moore menjembatani sudut pandang idealistis dan sosiologis mengenai
Hati nurani 'kritis' dan 'tradisional'. Ia mengatakan bahwa ide mengenai 'kebenaran' abstrak dan berbagai tingkatan perasaan tertentu yang muncul karena ide tersebut, bagi kebanyakan orang disebut sebagai 'sentimen moral' atau
Hati nurani. Di sisi lain, bagi orang lain, sebuah tindakan tampaknya dapat disebut 'benar secara internal' hanya karena mereka telah memandangnya sebagai suatu hak. Ide 'kebenaran' di sini muncul ke dalam pikiran mereka, tetapi belum tentu muncul sebagai motif yang dibangun secara sengaja.
Filsuf Prancis, Simone de Beauvoir, dalam karyanya Kematian yang Amat Lembut (Une mort très douce, 1964) merefleksikan
Hati nuraninya sendiri mengenai keinginan ibunya untuk mengembangkan simpati moral dan pemahaman terkait orang lain.
Michael Walzer mengklaim bahwa pertumbuhan toleransi beragama di negara Barat timbul karena beberapa hal, antara lain timbulnya kesadaran umum bahwa
Hati nurani pribadi menandakan suatu keberadaan ilahiah di dalam diri, terlepas dari apa pun agama yang disampaikan kepada pihak lain; serta dari kehormatan, keimanan, pengendalian diri, dan disiplin sektarian yang ditunjukkan kebanyakan orang yang membela
Hati nurani. Walzer juga berpendapat bahwa percobaan pengadilan untuk mendefinisikan
Hati nurani hanya sebagai kode moral pribadi atau sebagai kepercayaan belaka dapat menimbulkan anarki egotisme moral, kecuali kode moral atau motif semacam itu dibantu dengan pengetahuan moral yang dimiliki semua orang, misalnya yang diambil dari koneksi individu dengan kesatuan spiritual yang lebih besar atau dari prinsip umum yang dimiliki orang-orang yang tidak egois. Ronald Dworkin mengatakan bahwa perlindungan konstitusi atas kebebasan
Hati nurani bersifat sentral bagi demokrasi, akan tetapi menciptakan kewajiban pribadi untuk menggunakan kebebasan tersebut: "Kebebasan
Hati nurani mengasumsikan bahwa kita bertanggung jawab untuk melakukan refleksi diri. Maknanya menjadi hilang ketika tanggung jawab tersebut tidak dilakukan. Hidup yang baik tidak perlu terlalu banyak refleksi; kebanyakan hidup yang terbaik hanya dihidupi saja, tidak pernah dipelajari. Akan tetapi, adakalanya kita harus menekankan kedirian kita, ketika penerimaan begitu saja atas takdir atau pembuatan kebijakan secara mekanis hanya karena mau menghormati orang lain atau sekadar mau hidup mudah menjadi pengkhianatan: pengkhianatan terhadap harga diri, yang ditukar dengan kemudahan." Edward Conze mengatakan, agar kondisi moral seorang individu atau sebuah kolektif dapat berkembang, kita perlu menyadari ilusi bahwa
Hati nurani kita sepenuhnya terletak di dalam tubuh.
Hati nurani dan kebijaksanaan kita muncul saat kita bertindak tanpa pamrih, dan sebaliknya, "kasih sayang yang ditekan memunculkan rasa bersalah yang dialami secara taksadar."
Filsuf Peter Singer mengatakan bahwa, biasanya ketika kita secara kritis menggambarkan bahwa sebuah tindakan dilakukan atas
Hati nurani yang baik, penggambaran itu kita lakukan demi menyangkal bahwa agen yang bersangkutan sebenarnya termotivasi oleh keinginan-keinginan egois, seperti ketamakan atau ambisi, atau hanya sekadar keinginan atau impuls belaka.
Kaum antirealis moral berdebat mengenai apakah fakta moral yang diperlukan untuk mengaktivasikan
Hati nurani terjadi setelah fakta alamiah, dengan keharusan a priori; atau sebaliknya, muncul secara a priori karena fakta moral memiliki niatan primer dan dunia-dunia alami yang sama bisa dikatakan identik secara moral. Juga terdapat argumen bahwa ada sejenis keberuntungan moral dalam cara situasi menciptakan rintangan yang harus dihadapi
Hati nurani untuk mengaplikasikan prinsip moral dan hak asasi manusia. Lebih lanjut, hak properti dan rule of law, akses pelayanan kesehatan universal dan ketiadaan mortalitas dewasa dan bayi yang tinggi dari penyakit seperti malaria, TBC, HIV/AIDS dan kelaparan, telah memastikan bahwa orang-orang yang hidup dalam negara-negara maju dan kaya telah dijauhkan dari kesakitan
Hati nurani yang berkaitkan dengan keperluan fisik untuk mencuri makanan, menyuap inspektur pajak atau polisi, dan membunuh orang di perang gerilya melawan kekuatan pemerintah yang korup atau tentara pemberontak. Scrutton juga mengklaim bahwa pemahaman sebenarnya mengenai
Hati nurani dan hubungannya dengan moralitas menjadi dirintangi dengan kepercayaan "dini" bahwa pertanyaan filsafat dapat diselesaikan analisis bahasa, dan hal ini terjadi di tempat-tempat yang memerlukan ketidakjelasan, yaitu ketika kejelasan mengancam kepentingan sebelumnya. Susan Sontag juga mengatakan bahwa ketidakmampuan untuk menyadari bahwa kebanyakan orang yang tidak dewasa secara moral mampu mengalami sebentuk perasaan enak ketika menembus suatu tabu secara erotis, atau ketika menonton kekerasan, penderitaan dan rasa sakit dikenakan kepada pihak lain, adalah suatu gejala ketidakdewasaan psikologis. Jonathan Glover menulis bahwa kebanyakan dari kita "tidak menghabiskan hidup untuk menjaga taman
Hati secara terus-menerus" dan
Hati nurani kita sepertinya tidak dibentuk oleh perjuangan heroik, melainkan oleh pemilihan pasangan, teman, karier, dan juga pemilihan tempat hidup. Garrett Hardin dalam sebuah artikel terkenal berjudul tragedi kepemilikan bersama berargumen bahwa ketika masyarakat meminta seorang individual yang sedang mengeksploitasi suatu hal yang dimiliki bersama agar berhenti demi kepentingan umum - dengan alasan
Hati nurani - saat itulah masyarakat yang sama menciptakan suatu sistem yang justru menghilangkan
Hati nurani dari masyarakat. Hal ini terjadi karena sistem tersebut memindahkan kekuasaan masyarakat dan sumber daya fisik kepada orang-orang yang tidak memiliki
Hati nurani, sambil menciptakan rasa bersalah, misalnya kegelisahan mengenai kontribusi individual orang yang memiliki
Hati nurani tersebut terkait dengan overpopulasi.
John Ralston Saul menyampaikan pandangannya dalam Peradaban Taksadar bahwa dalam bangsa-bangsa maju kontemporer, banyak orang telah menyerahkan rasa benar atau salah mereka,
Hati nurani kritis mereka, kepada para ahli teknis. Mereka secara sadar mengikat kebebasan pilihan mereka sendiri pada aksi-aksi konsumeris yang terbatas dan dipimpin logika ideologi pasar bebas. Di sisi lain, partisipasi masyarakat dalam urusan publik menjadi terbatas hanya dalam tindakan terisolasi, yaitu pemilihan umum. Pada akhirnya, lobi swasta pun mampu mendorong para wakil rakyat yang dipilih untuk melawan kepentingan publik.
Beberapa pihak menggunakan dasar keagamaan atau filosofis untuk berargumen bahwa aksi melawan
Hati nurani dapat dipersalahkan bahkan jika penilaian
Hati nurani tersebut lebih mendekati kekeliruan (mungkin karena belum mendapatkan informasi yang cukup atau tidak sadar mengenai norma (humanis atau keagamaan), profesional, etis, legal, atau hak asasi manusia yang sudah berlaku). Ketidakmampuan menyadari dan menerima bahwa penilaian
Hati nurani mungkin keliru bisa membuat
Hati nurani seseorang dimanipulasi orang lain agar menjustifikasi tindakan-tindakan egois dan tidak bijak. Apabila dilakukan hanya untuk mengglorifikasi hal-hal yang sifatnya ideologis dan dengan kesetiaan ideologis tingkat tinggi, tanpa diberikan justifikasi eksternal yang altruistik dan memperhatikan norma,
Hati nurani bisa saja menjadi buta moral dan berbahaya bagi individu yang bersangkutan dan kemanusiaan secara umum. Langston berargumen bahwa filsuf etika kebajikan selama ini mengabaikan
Hati nurani secara tidak perlu karena
Hati nurani yang sudah dilatih agar berpendapat bahwa prinsip dan aturan yang digunakannya adalah aturan dan prinsip yang harus digunakan semua orang, dalam praktiknya kemudian aturan dan prinsip tersebut menjadi bertumbuh dan berkembang di dalam masyarakat itu. Di dalam komunitas yang dianggap sebuah masyarakat sebagai perkembangan moral tertinggi, memang terjadi sedikit sekali perdebatan mengenai cara bertindak. Emmanuel Levinas beranggapan bahwa
Hati nurani adalah sebuah pertemuan ilahiah dengan perlawanan terhadap egoisme diri kita. Dengannya, kita mengembangkan moralitas dengan cara mempertanyakan rasa kebebasan kehendak kita yang naif dalam menggunakan kekuasaan atau kekerasan. Semakin kita ingin mengendalikan diri, proses ini pun menjadi semakin sulit. Dengan kata lain, penerimaan sang Liyan, bagi Levinas, adalah esensi
Hati nurani yang benar. Dengan penerimaan ini, ego kita dapat menerima bahwa kita pun dapat salah saat menilik orang lain. Kita juga menjadi sadar bahwa kebebasan kehendak yang egois itu "tidak bersifat mengikat" dan kesadaran akan hal ini memiliki tujuan yang transenden: "Saya tidak sendirian ... dalam
Hati nurani, saya memiliki pengalaman yang tidak berhubungan dengan wahana a priori apa pun, sebuah pengalaman yang tidak berkonsep."
Tindakan yang berdasarkan Hati nurani dan Hati nurani di muka hukum
Para pengacara humanis Inggris di abad ke-16 dan 17 menafsirkan
Hati nurani sebagai sekumpulan prinsip universal yang diberikan kepada manusia oleh Tuhan pada saat penciptaan, untuk digunakan dengan akal budi. Hal ini secara perlahan mereformasi sistem hukum yang awalnya berdasar pada Hukum Romawi, menggantikannya dengan bentuk-bentuk tindakan, pembelaan tertulis, penggunaan sistem juri, dan pola litigasi seperti Demurrer dan Assumpsit yang menunjukkan adanya perhatian yang lebih besar terhadap elemen salah dan benar dalam kejadian sebenarnya. Dalam parlemen, pemilihan berdasarkan
Hati nurani membolehkan para legislator untuk memilih tanpa batasan keanggotaan partai politik. Dalam pengadilannya di Yerusalem, kriminal perang Nazi, Adolf Eichmann, mengklaim bahwa ia hanya mengikuti perintah legal di bawah paragraf 48 kode Militer Jerman yang mengatakan bahwa: "nilai penghukuman suatu aksi atau inaksi tidak dapat dihapuskan dengan dasar bahwa orang tersebut melakukannya dengan berdasarkan pada
Hati nurani atau perintah agamanya." Deklarasi Universal HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (DUHAM PBB), yang merupakan bagian dari kebiasaan internasional secara khusus merujuk pada kata
Hati nurani di Pasal 1 dan 18. Selain itu, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik juga menyebut
Hati nurani dalam Pasal 18.1.Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan
Hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran,
Hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Dikatakan bahwa pasal-pasal tersebut memberikan kewajiban hukum internasional untuk melindungi orang-orang yang menolak ikut wajib militer atas dasar
Hati nurani.
John Rawls, dalam Teori Keadilan, menggambarkan seseorang yang menolak ikut wajib militer atas dasar
Hati nurani sebagai seorang individu yang siap melakukan tindakan pembangkangan sipil di muka umum (dan biasanya di hadapan perlawanan besar-besaran) untuk melawan suatu aturan legal yang dijustifikasi dengan cara melanggar kebajikan sosial dasar (seperti misalnya keadilan, kebebasan, atau kesetaraan), serta prinsip moralitas dan hukum yang diambil darinya. Rawls berpikir bahwa pembangkangan sipil harus dipandang sebagai semacam upaya naik banding atau peringatan terhadap suatu aturan hukum yang melawan kebajikan fundamental masyarakat, yaitu keadilan. Pembangkangan sipil tetap menunjukkan penghormatan dan kesetiaan kepada rule of law yang ditunjukkan dengan metodenya yang tanpa kekerasan dan transparan. Di sisi lain, teori Rawls tidak mampu mengakomodasi perlawanan berdasarkan
Hati nurani untuk penilaian dasar masyarakat terkait dengan keadilan atau dengan prinsip moral atau etis yang baru saja timbul (seperti misalnya penghormatan untuk hak lingkungan hidup) dan belum menjadi bagian dari penilaian masyarakat tersebut. Selain itu, amat sulit bagi masyarakat untuk memprediksi dan menentukan secara konsisten bahwa sebuah keputusan mayoritas bersifat adil atau tidak adil. Perlawanan berdasarkan
Hati nurani, yakni ketika seseorang menolak taat hukum, seharusnya tidak muncul secara tidak dipikirkan atau dari "
Hati nurani tradisional" yang naif; hal tersebut hanya akan memudahkan sikap yang tidak mau menyetarakan hukum dengan norma moral atau HAM serta tidak mau menjauhkan hukum dari ketidakhormatan terhadap institusi demokratis. Perlawanan tersebut harus didasarkan pada "
Hati nurani kritis", yaitu kepercayaan moral atau religius yang benar-benar dalam dan matang secara konseptual, yang dianggap berlawanan secara fundamental (bukan hanya karena tidak sesuai dengan keinginan atau impuls egois) misalnya dengan semua hukum wajib militer atau kewajiban legal untuk membantu perang Negara secara finansial. Salah satu contoh yang terkenal adalah ketika Henry David Thoreau, penulis Walden, mau dipenjara karena ia menolak membayar pajak setelah berselisih dengan sebuah kebijakan pemerintah, dan amat frustrasi dengan korupsi dan ketidakadilan mesin demokrasi negara. Di Amerika Serikat, kasus terbaru adalah Kimberly Rivera, seorang serdadu Tentara Amerika Serikat dan ibu empat anak yang setelah berjuang 3 bulan di Perang Irak, mengatakan bahwa perang tersebut immoral dan mencari suaka di Kanada pada tahun 2012. Ia kemudian dideportasi dan ditahan di AS.
Dalam Perang Dunia II, Britania Raya memberikan status pelawan berdasarkan
Hati nurani bukan hanya kepada kaum pasifis, tetapi juga kepada orang-orang yang menolak berjuang dalam perang tertentu. Hal ini sebagian dilaksanakan karena penghormatan, sebagian lain demi menghindari persekusi kasar dan gagal terhadap para pelawan berdasarkan
Hati nurani sebagaimana terjadi dalam Perang Dunia I.
Amnesty International mengadakan kampanye untuk melindungi orang-orang yang dipenjara sebagai narapidana
Hati nurani karena kepercayaan
Hati nurani mereka yang terkait dengan kebebasan intelektual, politik, dan artistik. Aung San Suu Kyi dari Burma adalah pemenang Penghargaan Duta
Hati nurani Amnesty International pada tahun 2009. Dalam hukum, klausa
Hati nurani adalah sebuah provisi dalam suatu aturan hukum yang memperbolehkan seorang profesional kesehatan untuk melawan hukum (misalnya terkait aborsi bedah atau obat), apabila hukum tersebut tidak sesuai dengan kepercayaan religius atau
Hati nurani orang yang bersangkutan.
Ada banyak alasan yang digunakan untuk tidak menaati hukum karena
Hati nurani. Banyak pelawan berdasarkan
Hati nurani yang melawan hukum karena alasan agama, misalnya anggota gereja damai yang memang berdoktrin pasifis. Perlawanan lain mungkin didasarkan pada perasaan tanggung jawab yang mendalam kepada kemanusiaan secara umum, atau dari keyakinan bahwa konsep wajib militer harus hilang sebelum dunia dapat menjadi aman demi tegaknya demokrasi nyata. Di sisi lain, seorang pelawan berdasarkan
Hati nurani tidak memiliki tujuan utama untuk mengubah hukum. John Dewey berpendapat bahwa para pelawan berdasarkan
Hati nurani sering menjadi korban "ketidakberdosaan moral" dan pelatihan moral yang gagal; ia berkata, "kekuatan situasi yang terus bergerak, selalu saja tidak dapat ditangani
Hati nurani." Penanganannya bukanlah dengan menyuarakan kejahatan orang-orang yang memanipulasi kekuasaan di dunia, melainkan dengan mengaitkan
Hati nurani dengan kekuatan yang bergerak ke arah yang lebih baik, misalnya mendirikan institusi dan lingkungan sosial yang berdasarkan rule of law. Baru kemudian, "
Hati nurani dapat memiliki kekuasaan kompulsif dan tidak selamanya dimartirkan dan dipaksakan." Albert Einstein yang mengadvokasikan perlawanan
Hati nurani pada Perang Dunia Pertama dan merupakan pendukung jangka panjang organisasi internasional pelawan perang, menyatakan bahwa "pasifisme radikal" tidak dapat dijustifikasi saat kaum Nazi sedang mempersenjatai diri kembali. Ia kemudian mengadvokasikan sebuah organisasi federalis dunia yang memiliki tentara profesionalnya sendiri.
Samuel Johnson menunjukkan bahwa upaya naik banding dengan dasar
Hati nurani tidak memperbolehkan hukum untuk memberikan penderitaan tidak adil kepada orang lain. Bagi Johnson,
Hati nurani tidaklah lebih dari sekadar keyakinan yang kita rasakan mengenai sesuatu yang harus dilakukan atau dihindari. Mengenai moralitas sederhana yang tidak membingungkan,
Hati nurani dapat menjadi semacam pedoman yang dapat dipercaya. Di sisi lain, sebelum
Hati nurani dapat menentukan secara konklusif apa yang harus dilakukan secara moral, ia berpikir bahwa masalah tersebut harus diketahui secara mendalam. Menurut Johnson, "tidak ada
Hati nurani seseorang yang boleh "merampas hak orang lain" ...
Hati nurani yang merampas hak satu orang demi kenyamanan orang lain adalah
Hati nurani yang sangat salah arah."
Pembangkangan sipil sebagai protes tanpa kekerasan atau perlawanan sipil juga merupakan tindakan
Hati nurani. Akan tetapi, tindakan seperti ini didesain oleh orang-orang yang bertujuan mengubah hukum atau kebijakan pemerintah yang dipandang tidak koheren dengan kebajikan dan prinsip dasar sosial (seperti keadilan, kesetaraan, atau penghormatan terhadap harga diri manusia), dengan cara memengaruhi kaum mayoritas dan proses demokratis. Pembangkangan sipil, dalam sebuah demokrasi yang berjalan sebagaimana seharusnya, dapat mengakomodasi minoritas yang merasa bahwa suatu produk hukum mengganggu perasaan keadilan mereka (tetapi tidak mampu membuat amendemen legislatif atau referendum), agar dapat memberi tahu kepada kaum mayoritas yang tidak peduli atau tidak tahu, mengenai intensitas pandangan mereka. Contoh pembangkangan sipil atau satyagraha (dalam bahasa Sansakerta, "satya" berarti "kebenaran dan kasih sayang", "agraha" berarti "keteguhan kehendak") adalah ketika Mahatma Gandhi membuat garam di India ketika tindakan itu dilarang oleh hukum Britania Raya, untuk menciptakan tekanan moral demi mereformasi hukum. Rosa Parks juga bertindak dengan
Hati nurani pada tahun 1955, di Montgomery, Alabama, Amerika Serikat, ketika ia menolak paksaan legal untuk memberikan bangku busnya kepada orang berkulit putih. Tindakannya, dan tindakan mirip yang pernah juga dilakukan Claudette Colvin yang baru berumur 15 tahun, akhirnya berujung pada boikot bus Montgomery. Rachel Corrie adalah seorang warga negara Amerika Serikat yang konon terbunuh buldozer yang dioperasikan Pasukan Pertahanan Israel (PPI) ketika terlibat dalam tindakan langsung (yang didasarkan pada prinsip nonkekerasan Martin Luther King dan Mahatma Gandhi) untuk menyelamatkan rumah seorang farmasis Palestina, Samir Nasrallah. Al Gore pernah berkata bahwa "Apabila Anda adalah seorang anak muda yang peduli dengan masa depan planet ini, dan melihat apa yang sedang dilakukan sekarang dan belum dilakukan, saya percaya kita telah mencapai tahapan ketika Anda harus melakukan pembangkangan sipil untuk mencegah pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara baru yang tidak berteknologi penangkapan dan sekuestrasi karbon." Pada tahun 2011, ilmuwan iklim NASA, James E. Hansen, pemimpin gerakan lingkungan, Phil Radford, dan Profesor Bill McKibben, ditangkap karena melawan pipa pasir minyak dan profesor energi terbarukan Kanada, Mark Jaccard, ditangkap karena melawan penambangan batubara di puncak gunung. Dalam bukunya, Storms of My Grandchildren, Hansen berseru tentang perlunya pembangkangan sipil yang mirip dalam skala global, untuk membantu menggantikan sistem Protokol Kyoto yang dinilainya membiarkan bisnis berjalan seperti biasa, dengan pajak karbon progresif di sumber emisi industri minyak, gas, dan batubara. Hasilnya kemudian perlu dibayarkan sebagai deviden kepada keluarga dengan jejak karbon rendah.
Perlawanan berdasarkan
Hati nurani yang terkenal dalam sejarah, dalam konteks profesional, misalnya manipulasi proses visa pada tahun 1939 oleh Jenderal-Konsul Jepang, Chiune Sugihara, di Kaunas (ibu kota sementara Lithuania yang terletak antara Jerman dan Uni Soviet) dan oleh Raoul Wallenberg di Hungaria pada tahun 1944. Mereka memperbolehkan orang Yahudi melarikan diri dari kematian yang hampir pasti. Ho Feng-Shan, Konsul-Jenderal Tiongkok di Wina pada tahun 1939, menolak perintah duta besar Tiongkok di Berlin, demi memberikan visa Shanghai kepada orang Yahudi. John Rabe, seorang Jerman anggota Partai Nazi, juga menyelamatkan ribuan warga Tiongkok dari pembunuhan massal yang dilakukan tentara Jepang di Nanjing. Gerakan mahasiswa Jerman melawan Nazi, White Rose, mendeklarasikan dalam leaflet ke-4 mereka: "Kami tidak akan diam. Kami adalah
Hati nurani kalian yang bersalah. Mawar Putih tidak akan pernah membiarkan kalian berdiam dalam damai!" Perlawanan berdasarkan
Hati nurani mungkin merupakan satu-satunya opsi praktis bagi warga negara yang ingin mengafirmasi keberadaan aturan moral internasional atau hak historis 'inti' (seperti hak hidup, hak pengadilan yang adil, dan kebebasan berekspresi) di negara-negara yang merepresi protes nonkekerasan atau pembangkangan sipil dengan penahanan arbitrer, penyiksaan, penghilangan paksa, pembunuhan, atau persekusi. Eksperimen Milgram yang kontroversial, yang mencoba memahami kepatuhan dan dilaksanakan oleh Stanley Milgram, menunjukkan bahwa banyak orang tidak memiliki sumber daya untuk melawan otoritas, bahkan ketika mereka diperintah untuk bertindak kejam dan tidak manusiawi pada seorang korban tidak bersalah.
Hati nurani global atau
Hati nurani dunia adalah konsep universalis yang menyatakan bahwa dengan komunikasi global instan, seluruh manusia di dunia ini takkan lagi terpisah secara moral dari satu sama lain, berdasarkan pada budaya, etnis, maupun lingkup geografis. Orang-orang itu akan menciptakan etika dari perspektif utopis mengenai alam semesta, keabadian, atau ketakterhinggaan, dan tidak mendasarkan hak dan kewajiban mereka dari kekuasaan yang ada dalam batasan-batasan seperti keturunan dan wilayah.
Hal ini biasanya muncul dari perspektif spiritual atau hukum kodrat. Perspektif tersebut mengatakan, untuk mencapai kedamaian dunia,
Hati nurani yang benar tidak dapat dikaitkan dengan ideologi-ideologi keagamaan yang fundamentalistik, akan tetapi sebagai sebuah aspek kesadaran universal, yang dapat diakses melalui warisan bersama umat manusia. Cara pikir mengenai pengembangan
Hati nurani global seperti ini mudah dijumpai dalam anggota-anggota Jaringan Desa Eco Global (Global Ecovillage Network), seperti misalnya Yayasan Findhorn, organisasi konservasi internasional seperti Fauna and Flora International, dan pelaku musik dunia seperti Alan Stivell. Lembaga swadaya masyarakat, terutama melalui kerja mereka dalam pembuatan agenda serta pembangunan dan implementasi kebijakan yang terkait dengan HAM, pernah disebut sebagai
Hati nurani dunia.
Edward O Wilson mengembangkan ide consilience untuk memajukan koherensi pengetahuan moral dan ilmiah global. Ia menyatakan bahwa "hanya pembelajaran tersatukan, berbarengan secara universal, yang dapat memungkinkan tinjauan masa depan yang tepat dan keputusan yang bijaksana." Dengan demikian,
Hati nurani global adalah konsep yang berkaitan dengan hipotesis Gaia. Kaitannya adalah dalam advokasi keseimbangan solusi moral, legal, ilmiah dan ekonomis, terkait dengan masalah-masalah transnasional modern seperti kemiskinan global, perubahan iklim, menggunakan strategi seperti etika lingkungan, etika iklim, konservasi alam, ekologi, kosmopolitanisme, keberlanjutan, pengembangan berkelanjutan, biosekuestrasi, dan perlindungan legal untuk biosfer dan biodiversitas. Misalnya, LSM 350.org mencoba untuk mengembangkan kesadaran global terkait dengan masalah peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Inisiatif kredit mikro yang dilakukan pemenang Hadiah Perdamaian Nobel, Muhammad Yunus, konon menginspirasi "perang terhadap kemiskinan yang menggabungkan
Hati nurani sosial dengan kepintaran berbisnis".
Politikus partai Hijau, Bob Brown (yang ditangkap polisi negara bagian Australia, Tasmania, untuk aksi pembangkangan sipil berdasarkan
Hati nurani saat demonstrasi Bendungan Franklin) menggambarkan
Hati nurani dunia sebagai berikut: "alam semesta, melalui kita, berevolusi ke arah pengalaman, pemahaman, dan pemilihan keputusan untuk masa depannya". Salah satu contoh kebijakan yang muncul dari pemikiran tersebut adalah pajak global (lihat pajak Tobin) untuk mengurangi kemiskinan global dan melindungi biosfer. Jumlahnya mencapai 1/10 dari 1% pajak yang ada di dalam pasar spekulasi mata uang dunia. Dalam pendekatan demikian,
Hati nurani dunia paling mudah tersampaikan melalui reformasi politik yang mempromosikan globalisasi berbasis demokrasi atau demokrasi keplanetan (misalnya pemilihan organisasi pemerintahan global melalui internet) yang perlahan-lahan akan mengubah globalisasi berbasis pasar yang sekarang sedang terjadi.
Ahli jantung Amerika Serikat, Bernard Lown, dan ahli jantung Rusia, Yevgeniy Chazov, tergerak
Hati nuraninya saat mempelajari bencana kesehatan publik sebagai hasil perang nuklir. Mereka mendirikan Masyarakat Fisikawan Internasional untuk Pencegahan Perang Nuklir. Organisasi ini diberikan Hadiah Perdamaian Nobel pada tahun 1985 dan terus membantu "menyembuhkan dunia yang sedang sakit".
Ekspresi keduniaan
Hati nurani berujung pada keputusan pemerintah Prancis untuk membatalkan tes nuklir atmosferik di Mururoa, Samudera Pasifik, pada tahun 1974, setelah 41 ledakan (meskipun uji nuklir bawah tanah terus berjalan di sana hingga tahun 1990an).
Konsep
Hati nurani dunia mendapatkan tantangan dari sebuah artikel tahun 1968 yang diterbitkan oleh Garrett Hardin. Artikel tersebut menganalisis secara kritis dilema yang terjadi ketika beberapa individual, yang bertindak secara independen setelah memperhitungkan kepentingan pribadi secara rasional, pada akhirnya menghancurkan sumber daya umum yang terbatas, meskipun mereka saling mengetahui bahwa keluaran seperti itu bukan merupakan kepentingan jangka panjang siapa pun. Kesimpulan Hardin adalah bahwa area bersama praktis hanya dapat dicapai pada situasi densitas populasi yang rendah (dan kelanjutan reproduksi yang dibatasi negara). Kesimpulan ini makin kontroversial saat Hardin merendahkan nilai
Hati nurani untuk mencapai keputusan, kebijakan, dan aturan individual yang membantu keadilan, kedamaian, keberlanjutan, dan pembangunan berkelanjutan global di tempat kepentingan umum seperti yang digambarkan dalam kebijakan Perserikatan Bangsa-bangsa. Daerah yang ditentukan sebagai warisan bersama umat manusia, dalam hukum internasional, adalah Bulan, angkasa luar, dasar laut, Antartika, daerah warisan budaya dan alam, serta genom manusia.
Hati nurani dunia akan mencapai tantangan terbesarnya ketika sumber daya minyak, batubara, mineral, kayu, pertanian, dan air, sudah habis dan hal ini menciptakan tekanan untuk mengeksploitasi daerah warisan bersama umat manusia untuk kepentingan komersial.
Filsuf Peter Singer berargumen bahwa Tujuan Pembangunan Milenium PBB menggambarkan munculnya etika yang tidak berdasarkan pada batasan nasional, tetapi pada kesatuan dunia. Ninian Smart pun memprediksi bahwa meningkatnya perjalanan dan komunikasi global akan perlahan-lahan mengarahkan agama-agama dunia ke arah humanisme transendental dan pluralistik, yang berciri "jiwa terbuka" yang penuh empati dan kasih sayang.
Noam Chomsky berargumen bahwa salah satu kekuatan yang melawan perkembangan
Hati nurani dunia adalah ideologi pasar bebas yang mengedepankan ketamakan korporat dalam demokrasi elektoral nominal. Dalam masyarakat berideologi demikian, iklan, pusat perbelanjaan, dan hutang, mengubah warga negara menjadi konsumen yang apatis terkait dengan informasi dan akses yang dibutuhkan untuk partisipasi demokratis. John Passmore mengatakan bahwa pertimbangan mistis mengenai perkembangan global kesadaran manusia harus memperhatikan klaim bahwa apabila kita sebagai spesies berhasil mengembangkan sesuatu yang lebih besar daripada keadaan kita sekarang, hal tersebut akan dihasilkan oleh
Hati nurani. Terutama,
Hati nurani yang berhasil memajukan kesempurnaan moral sebagai tujuan bersama, serta berhasil membuat kita terus gelisah, tidak puas, dan berlomba-lomba untuk mengasihi dan menyayangi. Komite
Hati nurani yang ada di Museum Memorial Holokaus Amerika Serikat mengatakan bahwa berbagai genosida yang terjadi di Rwanda, Bosnia, Darfur, Republik Demokratik Kongo, dan Chechnya, adalah tantangan bagi
Hati nurani dunia. Oscar Arias Sanchez mengkritik industri senjata global, menyebutnya sebagai kegagalan
Hati nurani: "ketika sebuah negara memutuskan akan berinvestasi di senjata dan bukan di pendidikan, perumahan, lingkungan, dan jasa kesehatan bagi rakyatnya, negara tersebut menyulitkan hak kebahagiaan dan kekayaan satu generasi. Kita telah memproduksi satu senjata api untuk setiap sepuluh penghuni bumi, tetapi kita belum pernah peduli untuk menghilangkan kelaparan dunia bahkan jika hal tersebut mampu kita raih. Kondisi seperti ini bukan merupakan keharusan atau sesuatu yang tidak bisa dihindari, melainkan sebuah pilihan sadar." Ketua Majelis Permusyawaratan Amerika Serikat, Nancy Pelosi, setelah bertemu dengan Dalai Lama ke-14 saat demonstrasi berdarah di Tibet pada tahun 2008, mengatakan bahwa: "Situasi di Tibet adalah tantangan bagi
Hati nurani dunia." Nelson Mandela, dengan tindakan dan kata-katanya, konon telah mengubah bentuk
Hati nurani dunia.
Penghargaan Kehidupan yang Benar diberikan setiap tahun di Swedia kepada orang-orang bermotivasi
Hati nurani yang membuat kontribusi praktis yang patut diteladani untuk menyelesaikan masalah-masalah besar planet Bumi dan kemanusiaan. Avaaz adalah salah satu organisasi dalam jaringan (on-line) global terbesar yang diluncurkan pada bulan Januari 2007 yang bertujuan untuk mempromosikan aktivisme berdasar
Hati nurani yang menangani masalah terkait dengan perubahan iklim, hak asasi manusia, hak asasi binatang, korupsi, kemiskinan, dan konflik, demi "menutup celah yang ada antara dunia yang kita punya dan dunia yang diinginkan kebanyakan orang di seluruh dunia."
Contoh tindakan berdasarkan Hati nurani yang terkenal
Salah satu contoh tindakan
Hati nurani kontemporer adalah dari seorang bushwalker Kristen, Brenda Hean, yang memprotes banjir dari Danau Pedder meskipun diancam dan akhirnya meninggal. Contoh lain adalah kampanye Ken Saro-Wiwa melawan ekstraksi minyak oleh korporasi multinasional di Nigeria, yang berakhir pada hukuman mati. Ada pula aksi yang dilakukan oleh Tank Man yang difoto sedang memegang sebuah kantong belanja di jalur tank pada protes di Lapangan Tiananmen, pada 5 Juni 1989. Sekretaris Jenderal PBB, Dag Hammarskjöld, yang mencoba menciptakan kedamaian di Kongo meskipun ia diancam akan dibunuh, sangat termotivasi oleh
Hati nurani, sebagaimana ditunjukkan dalam diarinya, Vägmärken (Pertanda). Contoh lain adalah tindakan tentara Hugh Thompson, Jr yang mencoba mencegah Pembantaian My Lai di Perang Vietnam. Evan Pederick mengaku dan kemudian dipidana atas pemboman Hilton Sydney, dengan mengatakan bahwa
Hati nuraninya amat merasa bersalah. Ia mengatakan: "Sepertinya saya tidak seperti narapidana lain. Saya terus membuktikan bahwa saya bersalah, sementara orang lain mengatakan mereka tidak bersalah." Vasili Arkhipov adalah seorang tentara angkatan laut Rusia yang sedang terputus dari hubungan radio dalam sebuah kapal selam B-59 Soviet. Ketika diserang oleh kapal perang Amerika Serikat pada krisis misil Kuba, perlawanannya terhadap keputusan dua tentara lain untuk meluncurkan torpedo nuklir (diperlukan persetujuan penuh dari seluruh anggota kapal), mungkin telah mencegah perang nuklir. Pada tahun 1963, pendeta Buddhis Thich Quang Duc melakukan aksi pembakaran diri yang terkenal untuk memprotes persekusi kepercayaannya oleh rezim Ngo Dinh Diem.
Hati nurani berperan penting dalam tindakan anaestetis Stephen Bolsin, yang melaporkan dokter bedah jantung pediatrik inkompeten yang berada di Rumah Sakit Kerajaan Bristol. Jeffrey Wigand termotivasi oleh
Hati nurani ketika ia menyingkap skandal Tembakau Raksasa dan menunjukkan bahwa eksekutif perusahaan tembakau mengetahui sifat adiktif rokok dan membolehkan penambahan komposisi karsinogenik ke dalam rokok. David Graham, seorang petugas di Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat, bergerak
Hati nuraninya ketika ia melaporkan bahwa obat penghilang rasa sakit artritis, Vioxx, meningkatkan risiko kematian kardiovaskuler dan produsen obat tersebut mencoba menutup-nutupi informasi ini. Muntadhar al-Zaidi, seorang jurnalis asal Irak, dipenjara dan konon disiksa karena aksi
Hati nuraninya melemparkan sepatu kepada George W. Bush. Mordechai Vanunu, seorang mantan teknisi nuklir asal Israel, bertindak berdasarkan
Hati nurani ketika ia menggambarkan detail program senjata nuklir Israel kepada pers Inggris pada tahun 1986. Ia kemudian diculik oleh agen Israel, dipindahkan ke Israel, dipidana atas pengkhianatan, dan menghabiskan 18 tahun di penjara, termasuk lebih dari 11 tahun dalam penahanan sendiri.
W. Mark Felt, seorang agen Federal Bureau of Investigation di Amerika Serikat yang pensiun pada tahun 1973 sebagai asisten direktur kantor tersebut, merasa terdorong oleh
Hati nurani ketika ia memberikan informasi terkait Skandal Watergate kepada jurnalis Bob Woodward dan Carl Bernstein.
Hati nurani juga menjadi faktor utama bagi petugas Jasa Layanan Kesehatan Publik AS, Peter Buxtun, yang menyingkap eksperimen sipilis Tuskegee. Serangan militer Israel pada tahun 2008 pada daerah sipil Palestina di Gaza digambarkan sebagai "noda pada
Hati nurani dunia".
Hati nurani memegang peranan penting ketika Aung San Suu Kyi menolak meninggalkan Burma meskipun dipenjara di rumah dan dipersekusi kediktatoran militer di dalam negara tersebut.
Hati nurani juga berperan ketika Peter Galbraith mengkritik manipulasi pemilu di Afghanistan pada tahun 2009 dan membuatnya kehilangan karier di PBB. Jurnalis Anna Politovskaya memberikan contoh terkait
Hati nuraninya ketika ia melawan Perang Chechen Kedua dan memprotes presiden Rusia saat itu, Vladimir Putin. Neda Agha-Soltan tewas ketika memprotes pemilu presiden Iran 2009 berdasarkan
Hati nurani. Pengacara Muslim perempuan dan pemenang Hadiah Perdamaian Nobel 2003, Shirin Ebadi, digambarkan sebagai '
Hati nurani Republik Islam' karena ia membantu melindungi hak asasi perempuan dan anak-anak di Iran. Pengacara hak asasi Gao Zhisheng, yang sering dipanggil '
Hati nurani Tiongkok' dan pernah dipenjara dan konon disiksa oleh rezim Tiongkok karena dianggap membela anggota Falun Gong, kemudian diculik oleh agen keamanan Tiongkok pada 4 Februari 2009 dan hingga sekarang belum muncul ke pulbik. Pemenang Hadiah Perdamaian Nobel tahun 2010, Lu Xiaobo, dalam pernyataan terakhirnya sebelum dipidana dalam sebuah pengadilan tertutup di Tiongkok dan dipenjara selama lebih dari satu dekade sebagai narapidana
Hati nurani politik, mengatakan: "Kebencian lebih korosif pada kebijaksanaan dan
Hati nurani seseorang; mentalitas permusuhan akan meracuni jiwa sebuah bangsa." Sergei Magnitsky, seorang pengacara Rusia, ditangkap, ditahan tanpa pengadilan selama hampir satu tahun, dan meninggal dalam tahanan. Ia menyingkap kasus korupsi.
Pada Oktober 2012, Taliban mencoba membunuh Malala Yousafzai, seorang remaja perempuan yang mengkampanyekan pendidikan perempuan di Pakistan, meskipun diancam oleh Taliban. Di bulan Desember 2012, kasus pemerkosaan bergilir Delhi 2012 konon menggerakkan
Hati nurani kolektif India untuk bergerak dengan pembangkangan sipil dan protes umum atas kurangnya aksi legal terhadap para pemerkosa di negara tersebut.
Dalam sastra, seni, film, dan musik
Epos kuno India, Mahabharata, yang ditulis oleh Wiyasa, berisi dua momen
Hati nurani yang terkenal. Momen pertama adalah ketika Arjuna, yang dibanjiri rasa kasih sayang dan tidak ingin memerangi saudaranya yang berselisih dengannya, menerima nasihat dari Krisna mengenai tugas spiritual yang harus ia lakukan: "bekerjalah seolah-olah kamu sedang melakukan pengorbanan demi kebaikan yang lebih besar." Momen kedua adalah di akhir cerita, ketika Yudistira berhasil menyelesaikan ujian moral kehidupan secara sendirian, ia ditawarkan kenikmatan abadi. Yudistira menolaknya karena seekor anjing yang setia padanya tidak diperbolehkan untuk ikut, berdasarkan hukum dan aturan surgawi. Penulis Prancis, Montaigne (1533-1592), dalam salah satu esainya, Tentang Pengalaman, menggambarkan nikmatnya hidup dengan
Hati nurani yang bersih: "Kita bertanggung jawab menegakkan karakter; bukan menulis buku, bukan memenangkan peperangan dan provinsi, melainkan mencapai kerapian dan kedamaian dalam perilaku kita. Karya besar kita yang terutama dan paling sakti adalah kehidupan yang benar." Dalam catatan harian perjalanannya yang terkenal, Oku no Hosomichi (Jalan Sempit Menuju Utara), Matsuo Basho (1644-94) menulis haiku dan prosa. Ia menggambarkan bahwa hal yang abadi di dunia yang cepat hilang ini cenderung bergerak dalam
Hati nurani, misalnya sisa mimpi dan ambisi perjuangan para pejuang kuno kini hanya menjadi sebidang rumput musim panas.
Kritikus A. C. Bradley menggambarkan bahwa permasalahan utama karakter tragis karya Shakespeare, Hamlet, adalah permasalahan
Hati nurani yang muncul dalam bentuk bisikan-bisikan moral yang mengganggu Pangeran muda agar "bertindak benar" dengan cara menuruti hantu bapaknya dan membunuh Raja yang sedang berkhianat.
Anton Chekhov dalam berbagai naskah dramanya seperti Burung Camar, Paman Vanya, dan Tiga Saudari menggambarkan berbagai kondisi emosional para dokter yang tersiksa akibat mengabaikan
Hati nurani. Dalam berbagai cerita pendeknya, Chekhov juga menjelajahi tema orang-orang yang gagal memahami suara
Hati nurani yang tersiksa. Misalnya, seorang dokter yang memeriksa teriakan rasa kasih sayang yang dialami oleh anak perempuan pemilik pabrik dalam Dari Sebuah Berita Acara menggambarkan
Hati nurani sebagai "kekuatan yang tidak diketahui dan misterius ... amat dekat dan menontonnya."
Hati nurani Chekhov sendiri kemudian membuatnya berangkat ke Sakhalin untuk merekam dan mencoba memudahkan kondisi buruk para narapidana di pulau itu. Sebagaimana dituliskan oleh Irina Ratushinskaya dalam pengantarnya untuk buku itu: "Ia meninggalkan semuanya dan pergi ke pulau Sakhalin yang jauh, pulau pembuangan dan kerja paksa yang amat ditakuti di Rusia saat itu. Mungkin Anda bertanya alasannya; sederhananya, karena nasib orang-orang di sana amat pahit, karena tidak ada yang benar-benar tahu mengenai kehidupan dan kematian kaum yang terbuang, karena ia merasa bahwa mereka lebih membutuhkan bantuan daripada semua orang lain. Alasan ini kedengarannya aneh, tetapi sebenarnya tidak aneh bagi seorang penulis yang menjadi puncak tradisi kesusastraan Rusia. Sastra Rusia selalu berfokus pada pertanyaan mengenai
Hati nurani; dan dengan demikian, sastra menjadi kekuatan yang amat besar dalam pembentukan opini publik."
E. H. Carr mengkritik karakter Dostoyevsky, Raskolnikov, yang dalam novel Kejahatan dan Hukuman memutuskan untuk membunuh seorang perempuan rentenir tua yang 'jahat dan menyebalkan' karena menurutnya ia telah berhasil mentransendensi moral konvensional: "sekuel ini tidak menunjukkan kepada kita rasa sakit
Hati nurani yang gelisah (yang mungkin akan dituliskan oleh penulis yang kurang cerdik), tetapi perjuangan pemikiran tragis yang gagal untuk berkeyakinan yang tidak cocok dengan sifat kodrati manusia."
Hermann Hesse menuliskan novelnya, Siddharta, untuk menggambarkan seorang lelaki yang pada zaman Buddha mengikuti
Hati nuraninya dan berkelana untuk menemukan ruang dalam transenden, tempat semua hal dapat disatukan dan dipahami. Ia memahami kebenaran pribadi tersebut ketika ia berjuang tanpa pamrih sebagai seorang penjaga kapal feri. J. R. R. Tolkien dalam eposnya, The Lord of the Rings, menggambarkan bahwa hanya hobbit Frodo yang memiliki
Hati nurani yang cukup murni untuk membawa cincin kekuasaan melewati daerah perang Middle-earth hingga mencapai Cracks of Doom. Di akhir, Frodo terpaksa melanjutkan perjalanan tanpa senjata, dan ia hanya selamat karena keputusan awalnya untuk membiarkan Gollum tetap hidup. Harper Lee, dalam To Kill a Mockingbird, menggambarkan Atticus Finch, seorang pengacara yang menuruti
Hati nuraninya dan membuat contoh bagi anak-anaknya dan masyarakat.
Naskah drama karya Robert Bolt, A Man For All Seasons, berfokus pada
Hati nurani pengacara Katolik, Thomas More, dalam perjuangannya menghadapi Raja Henry VIII. George Orwell menulis novelnya, 1984, di Pulau Jura, Skotlandia, yang bercerita tentang perjuangan seorang lelaki, Winston Smith, yang hendak mengembangkan
Hati nurani kritis di dalam sebuah negara totalitarian yang memperhatikan setiap gerakan rakyat dan memanipulasi pikiran mereka dengan campuran propaganda, perang yang tak berkesudahan, serta kendali pikiran melalui kendali bahasa, sampai-sampai para narapidana justru mengagumi dan mencintai para penyiksa mereka. Dalam Kementerian Cinta, penyiksa Winston (O'Brien) mengatakan: "Kamu sedang membayangkan bahwa ada sesuatu yang disebut sifat manusia, yang akan marah dengan apa yang kami lakukan dan akan memprotes kami. Kami justru pihak yang menciptakan sifat manusia. Manusia bisa dibentuk tanpa batas."
Cetakan tapestri lukisan Picasso, Guernica, yang menggambarkan pembunuhan masal perempuan dan anak-anak tak bersalah dalam Perang Sipil Spanyol, ditampilkan di dinding gedung Perserikatan Bangsa-bangsa di New York, di pintu masuk Dewan Keamanan. Hal ini dilakukan demi menimbulkan
Hati nurani para perwakilan masing-masing negara-bangsa. Lukisan Albert Tucker, Kepala Manusia, menangkap disintegrasi moral dan ketiadaan
Hati nurani dalam
Hati seseorang yang menendang anjing hingga mati.
Sang pelukis impresionis, Vincent van Gogh, menulis dalam sebuah surat kepada saudaranya, Theo, pada tahun 1878, bahwa "seseorang tidak boleh membiarkan api dalam jiwa mati, karena suatu saat api itu akan dibutuhkan. Ia yang memilih kemiskinan bagi dirinya sendiri, dan mencintai kemiskinan, memiliki suatu kekayaan yang besar dan akan mendengar suara
Hati nurani-nya secara lebih jelas. Ia yang mendengarkan suara tersebut, karunia Tuhan terbesar itu, di dalam jiwanya dan patuh terhadapnya, akhirnya akan menemukan seorang sahabat, dan ia tidak akan pernah sendirian! ... Itulah yang diketahui semua orang hebat dalam karya mereka masing-masing, semua orang yang pernah berpikir sedikit lebih dalam dan mencari dan bekerja dan mencintai lebih dalam daripada orang lain. Mereka telah menyelam dalam sekali di laut kehidupan."
Film karya Ingmar Bergman, Seventh Seal (1957), menggambarkan perjalanan seorang kesatria Abad Pertengahan (Max von Sydow) yang sedang pulang dari Perang Salib. Ia pulang dengan
Hati gelisah akan keimanannya ("apa yang akan terjadi kepada manusia yang ingin beriman tetapi tidak mampu?") Ia berkelana melewati lanskap yang dipenuhi penyakit, bermain catur dengan personifikasi Kematian, hingga akhirnya ia mampu melaksanakan satu tindakan
Hati nurani yang altruistik, yaitu membalikkan papan catur untuk mengganggu perhatian Kematian sampai sebuah keluarga dapat kabur dengan gerobak mereka.
Film Casablanca, yang dirilis tahun 1942, bertemakan perkembangan
Hati nurani pada seorang warga negara Amerika Serikat yang sinis, Rick Blaine (diperankan oleh Humphrey Bogart), yang sedang menghadapi opresi Nazi dan memperhatikan contoh pimpinan perlawanan, Victor Laszlo.
Naskah drama David Lean dan Robert Bolt, Doctor Zhivago (adaptasi novel Boris Pasternak), berfokus pada
Hati nurani seorang dokter penyair di tengah-tengah Revolusi Rusia (1917). Pada akhirnya, terdapat tulisan: "dinding hatinya seperti kertas".
Film Ridley Scott tahun 1982, Blade Runner, bertema perjuangan
Hati nurani di dalam jiwa seorang pencari harta karun (Rick Deckard, dimainkan oleh Harrison Ford) dan seorang android replikan (Roy Batty, dimainkan oleh Rutger Hauer) di sebuah masa depan yang menolak bahwa kecerdasan buatan dapat memiliki
Hati nurani.
Johann Sebastian Bach menulis komposisi paduan suara terakhirnya, Misa dalam B minor (BWV 232), untuk menggambarkan perasaan kesendirian, keputusasaan, kebahagiaan dan pengangkatan yang muncul ketika
Hati nurani membayangkan kehidupan yang mati.
Pemikiran Ludwig van Beethoven terkait keberadaan penyakit,
Hati nurani, dan mortalitas, menginspirasi salah satu opus dalam Kuartet Gesek Akhir, yaitu Kuartet Gesek A Minor (1825) Opus 132 (Kuartet Gesek No. 15), sebagai "Himne Syukur kepada Tuhan Seorang Pasien yang Sedang Sembuh." Karya John Lennon yang berjudul "Imagine" menjadi populer karena mengingatkan
Hati nurani terkait dengan kejahatan perang, fundamentalisme agama, serta politik. Lagu The Beatles, yang ditulis George Harrison, "The Inner Light", berisi lirik yang diambil dari Dao Dejing, digambarkan dalam musik raga India, bahwa "tanpa keluar dari pintu, engkau dapat mengetahui jalan surgawi."
Penghargaan Duta
Hati nurani, penghargaan HAM Amnesty International yang paling prestisius, terinspirasi sebuah puisi yang ditulis oleh seorang penyair pemenang Nobel asal Irlandia, Seamus Heaney, yang berjudul "Republik
Hati nurani". Termasuk dalam pemenang penghargaan ini adalah Malala Yousafzai, penyanyi dan aktivis keadilan sosial Harry Belafonte, pemusik Peter Gabriel (2008), Nelson Mandela (2006), band rock Irlandia U2 (2005), [[Mary Robinson dan Hilda Morales Trujillo (aktivis hak perempuan Guatemala, 2004), dan penulis serta intelektual publik, Václav Havel (2003).
Lihat pula
Referensi