Njoo Cheong Seng (6 Oktober 1902 – 30 Oktober 1962), adalah seorang sutradara Indonesia pada era tahun 1940-an. Karya filmnya banyak dimainkan oleh aktris terkenal pada era Fifi Young.
Kehidupan awal dan karier
Njoo lahir di Jawa Timur pada 6 November 1902, sinologi Indonesia Leo Suryadinata menulis bahwa ia lahir di Surabaya, sementara Sam Setyautama dan Suma Mihardja mencatat bahwa ia lahir di Malang. Ia mendapat pendidikan dasarnya di sekolah Tiong Hoa Hwe Koan di Surabaya. Di usianya yang muda itu dia mulai berkontribusi koran Cina; karya pertamanya, Tjerita Penghidoepan Manoesia, diterbitkan di Sin Po pada 1919.
Pada tahun 1920an,
Njoo mulai menulis secara ekstensif, sering dengan nama pena Monsieur d'Amour; nama pena lainnya adalah N.C.S. dan N.Ch.S. Ia menulis banyak cerita untuk penerbitan di Gresik Hua Po mulai dari 1922, dan pada 1925 ia ikut membantu mendirikan majalah Penghidoepan. Karyanya yang dipublikasikan pada waktu itu termasuk Menika dalem Koeboeran dan Gagal, maupun Lady Yen Mei untuk cerita sandiwara. Umumnya mereka memiliki berbagai lokasi dan latar budaya, dan sering berhubungan dengan kejahatan dan pekerjaan detekrif.
Njoo aktif dengan kelompok sandiwara Miss Riboet Orion pada akhir 1920-an, dan menulis beberapa cerita sandiwara, termasuk Kiamat, Tengkorak, dan Tueng Balah. Pada 1928 ia kawin dengan Tan Kiem Nio, anggota rombongan sandiwara yang pada saat itu usianya 14 tahun.
Njoo melatih dirinya dalam akting dan membujuknya untuk mengambil nama panggung Fifi Young; Nama keluarga
Njoo dalam dialek Hokkian diucapkan Young dalam bahasa Mandarin, karena itulah maka ia menggunakan nama belakang ini. Sementara itu, nama Fifi diambilnya dari nama bintang film Prancis terkenal pada masa itu, Fifi d'Orsay.
Pada saat film mulai marak di Indonesia,
Njoo mulai bekerja sama dengan Fred Young, yang mengajaknya pertama kali ke dunia perfilman. Karena pengalaman
Njoo yang telah lama dalam dunia panggung sandiwara, terutama dalam hal menulis skenario, akhirnya
Njoo Cheong Seng muncul menjadi sosok yang dapat diandalkan oleh Fred Young. Kebetulan juga keduanya mempunyai impian yang sama dalam memproduksi film, Fred Young dan
Njoo Cheong Seng sama-sama menyukai film-film yang berbau kolosal.
Dengan Majesti Pictures, mereka menghasilkan dua film, yakni Djantoeng Hati dan Airmata Iboe. Kedua film ini adalah film drama yang penuh dengan airmata serta parade hiburan dan nyanyian. Bintangnya serba gemerlap, terdiri dari kaum berpendidikan tinggi, dengan harapan film yang dibuat juga akan ditonton oleh golongan atas dan kaum berpendidikan. Pada periode tahun 1940-an, tumbuh keinginan agar film juga memiliki segmen yang lebih luas dan bisa diterima oleh kalangan baik-baik dan terpelajar. Hal ini merupakan upaya untuk menyongsong kemajuan zaman, yang dituntut juga oleh Pergerakan Nasional saat itu.
Memasuki tahun 1941, masyarakat perfilman sudah merasa berat menghadapi tuntutan publik terpelajar dan pers perjuangan. Apa yang mereka inginkan dianggap tidak proporsional. Sebaliknya, kalangan publik terpelajar terus saja meningkatkan harapan mereka, sesuai dengan meningkatnya tuntutan menyiapkan diri untuk menjadi bangsa yang merdeka.
Dalam tulisannya dengan nama samaran Monsieur d’Amour ("Tuan Cinta" dalam bahasa Prancis),
Njoo Cheong Seng mengeluhkan sikap pers dan publik yang terlalu berharap pada film nasional ketika itu. Menurut dia, orang film sulit sekali untuk memenuhi keinginan kalangan bawah dan atas secara bersamaan, yang seleranya sangat jauh berbeda. Dalam perjalanan kariernya di perfilman,
Njoo Cheong Seng telah menyutradarai tidak kurang dari 8 (delapan) judul film.
Filmografi
= Novel
=
Cerita Penghidupan Manusia.
Penghidupan - (1925).
Swami Yang Buta - (1923).
Wali YangCurang - (1923).
Penggoda - (1925).
Buat Apa Ada Dunia - (1929).
Bantimurung - (1932).
Marisang Manukwari - (1935).
Gagak Lodra series - (1938).
= Naskah sandiwara
=
Opera Miss Riboet.
Opera Dardanella.
Opera Bintang Surabaya.
Opera Pancawarna.
Referensi
Catatan bawah
Bibliografi