Johanes Chrisostomus
Oevaang Oeray (18 Agustus 1922 – 17 Juli 1986) adalah Gubernur Kalimantan Barat yang menjabat pada periode 1960-1966 dan merupakan Gubernur Kalbar pertama dari kalangan Suku Dayak.
Oevaang Oeray juga merupakan salah satu pendiri Partai Persatuan Dayak yang pernah mengikuti Pemilu pertama di Indonesia tahun 1955 dan 1958.
Dia juga menekankan kedaulatan setiap agama yang dijamin oleh kebebasan beragama sebagai salah satu hak yang paling mendasar, dan menolak pula kontrol atas praktik keagamaan oleh negara dalam bentuk apapun.
Meskipun demikian, Ia dianggap bertanggung jawab atas pembantaian orang Tionghoa di Kalimantan Barat pasca peristiwa Gerakan 30 September.
Riwayat Hidup
= Kehidupan awal
=
Johanes Chrisostomus
Oevaang Oeray lahir di Kedamin, Kapuas Hulu pada tanggal (1922-08-18)18 Agustus 1922. Ayah dan ibunya bernama Ledjo dan Hurei yang beragama Katolik. Kedua orangtuanya berasal dari suku Dayak yang bekerja sebagai penoreh karet dan petani ladang berpindah. Ia merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Saudaranya yang lain adalah Ding
Oeray, Mering
Oeray dan Tepo
Oeray.
= Karier awal
=
Partai Persatuan Dayak
Pertama-tama sekali ia bekerja adalah menjadi seorang guru. Dan kemudian, pada tahun 1941 para guru sekolah Katolik se-Kalimantan Barat berkumpul di Sanggau mengadakan retret (rekoleksi) tahunan. Saat retret berlangsung, seorang murid seminari di Nyarumkop,
Oevaang Oeray, menulis surat terbuka kepada para peserta rekoleksi.
Isinya mengajak para guru memikirkan perbaikan nasib masyarakat Dayak yang terus dalam kondisi memprihatinkan. Di antara pemikiran diajukan, antara lain agar perbaikan nasib orang Dayak dilakukan melalui perjuangan organisasi politik.
Gagasan yang dikemukakan
Oevaang Oeray ini mampu memberikan inspirasi para peserta, pada penutupan rekoleksi yang dipimpin AF Korak, JR Gielling Laut, dan Mozes Thaddeus Djaman, melahirkan kebulatan tekad membentuk organisasi yang berfungsi memperjuangkan nasib Dayak di forum politik.
Keadaan seusai kemerdekaan
Inilah embrio Partai Persatuan Dayak, didahului pembentukan Dayak In Action (DIA) dengan ketuanya adalah Franciscus Conradus Palaoensoeka dan pastor Adikarjana. Kemudian, pusat partai ini dipindahkan ke Pontianak dan diubah namanya menjadi PPD pada 1 November 1945 dan menjadi suatu wadah kebangkitan Dayak pada 3 November 1945, sekitar 74 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. DIA tak terpisahkan dari pernyataan kebulatan tekad yang tercetus di Sanggau pada 1941. karena itu maka merupakan tonggak sejarah perjuangan dan kebangkitan Dayak.
Sewaktu Sultan Hamid II membuat DIKB (Daerah Istimewa Kalimantan Barat), pejuang Kalbar yang sifatnya unitarianisme menganggap bahwasanya PPD dibuat untuk keuntungan NICA agar dapat menguasai Kalbar lagi. Kebetulan
Oevaang Oeray dalam DIKB mendapat bagian dalam Dewan Pemerintahan Harian bersama keempat orang lainnya, yakni A.P. Korak (Dayak), Mohammad Saleh (Melayu), Lim Bak Meng (Tionghoa), dan Nieuwhusjsen. Lewat tokoh semacam
Oevaang Oeray, ekspedisi TNI yang dipimpin oleh Zulkifli Lubis masuk ke dalam tokoh Kalimantan Barat lain. J.C.
Oevaang Oeray dan tokoh-tokoh lain bertindak sebagai panitian penyambut pendaratan pasukan TNI di Pontianak. A.H. Bohm, seorang tokoh Belanda yang menjadi sekretaris dan sempat menjadi residen Sambas, mengutip sikap politik
Oevaang Oeray sebagai tokoh masyarakat dari kalangan Suku Dayak terhadap bentuk NKRI. Bohm mengutip tulisan dari Majalah Suar, terbitan Departemen Penerangan yang terdapat di situ Surat Terbuka yang dikirim kepada semua cabang di Persatuan Dayak.
Berkata Bohm:
"Dalam surat itu,
Oevaang Oeray menekankan pentingnya pemeliharaan ketentraman dan ketertiban yang ia pandang sangat penting bagi kesejahteraan rakyat. Ia memperingatkan agar waspada terhadap provokator-provokator dan penyebar isu-isu menyesatkan."
Isi surat itu kurang lebih seperti ini:
"Saya berulang kali berkata, bila kalian takut dengan kata-kata bahwa apabila kita merdeka, maka kalian orang-orang Dayak akan dibunuh semua, Pejabat Dayak akan diberhentikan dan kalian serta kita semua orang Dayak akan menjadi budak manakala Tentara Nasional Indonesia dan Republik Indonesia datang ke sini, dan kalian dibunuh, ditangkap, atau diperlakukan semacam itu, maka kabar itu jangan dipercaya. Laporkan hal itu kepada Polisi atau Tentara Nasional Indonesia."
Kemudian pada 22 Juni 1959,
Oeray dilantik menjadi Kepala Daerah Swatantra Tk. 1 oleh Sekretaris Jenderal Dalam Negeri dan Otonomi Daerah R.M. Soeparto menggantikan Mendagri.
= Pemerintahan
=
Awal pemerintahan
Pada sidang DPRD Tk I Kalbar, Oevang
Oeray berhasil terpilih sebagai Gubernur KDH Tk.I Kalbar yang disahkan oleh Keppres No.465/1959, tanggal 24 Desember 1959 untuk periode 1 Januari 1960-12 Juli 1966. Pelantikannya berlangsung pada 30 Januari 1960 oleh Mendagri, pada saat itu Mendagri digantikan oleh Roehadi Wihardja.
Masa pemerintahan
Oevaang pernah mengalami kejadian yang tidak terlalu bagus. Sebagai contoh kesuksesan Partai Persatuan Dayak dalam mengikuti pemilu 1955, dengan 146.054 suara dan 1958 mengundang reaksi. Contohnya saat Orang-orang Melayu menuduh
Oevaang Oeray melakukan praktik pilih kasih dalam pengangkatan pegawai. Ini dikarenakan pada zaman penjajahan, Suku Dayak dianggap rendah dan dikucilkan oleh Kesultanan-Kesultanan Melayu. Sehingga, tindakannya ini dilatarbelakangi dengan niatannya untuk mengangkat derajat Suku Dayak. Hal ini membuatnya dituntut mundur pada awal 1965, dan ia dituntut turun dari jabatan gubernurnya karena hal tersebut dan selain itu, ia dituduh telah menciptakan perpecahan etnis.
Di awal pemerintahannya ini, terjadi upaya menghilangkan dualisme di bidang pemerintahan. Salah satunya dengan penyerahan secara riil urusan Pemerintahan Umum Pusat kepada daerah pada 1959. Penyerahan dilakukan Menteri Dalam Negeri ketika itu, yakni Ipik Gandamana sebagai wakil pemerintah pusat kepada gubernur. Pada saat bersamaan dinyatakan bahwa seluruh kawedanan di Kalbar dihapuskan.
Selain itu, Partai Persatuan Dayak mengalami kemunduran. Yang mana, ini disebabkan oleh kebijakan dari pemerintah pusat untuk mengurangi partai politik daerah dan akibat adanya konflik di tubuh internal partai. Pada tahun 1960-an, PD mengalami perpecahan dan menjadi dua fraksi. Fraksi pertama dikomandoi oleh Gubernur
Oevaang Oeray yang didukung oleh Partindo (partai nasionalis sayap kiri). Fraksi kedua dipimpin oleh Palaoensoeka dan didukung mayoritas guru Katolik dan bergabung dengan Partai Katolik.
Keterlibatan dengan Konfrontasi Indonesia-Malaysia dan akhir pemerintahan
Pada 1964, Jenderal Supardjo, Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga mengambil kontrol secara keseluruhan Kalimantan Barat sebagai komando angkatan tugas, tetapi pada waktu Konfrontasi ini merupakan tahap akhir dan dia menjadi korban pergolakan politik pada Oktober 1965. Kemudian pada September 1965, tibalah surat kawat dari istrinya yang memintanya untuk pulang ke Jakarta. Sesungguhnya, Syam Kamaruzaman-lah yang menyuruh istri Supardjo mengirim surat kepadanya.
Akibatnya, dia digantikan oleh A.J.Winoto. Dia ikut berpartisipasi dalam pemusnahan gerilyawan yang berada di sepanjang perbatasan Sarawak. Gubernur yang membantu Winoto saat Revolusi Brunei adalah
Oeray. Selain itu, Winoto juga sama-sama anggota Partindo dengan
Oevaang Oeray.
Barulah, pada tahun 1965, perpolitikan Dayak di bawah Partindo mengalami kemunduran tahun 1965. Lalu atas inisiatif komando militer setempat, Partindo bergabung dengan IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), partai yang didominasi orang-orang Melayu. Adanya fusi itu membuat orang Melayu terancam, karena orang-orang Dayak mulai menguasai struktur. Lalu tiba-tiba, pada tahun 1968 ada kebijakan bahwa orang-orang eks Partindo di IPKI harus dibubarkan. Tetapi permintaan itu ditolak oleh pengurus IPKI pusat. Sejak saat itu, hubungan antara Dayak dan Melayu menjadi retak.
Difitnah dan turun dari jabatan
Oeray merupakan orang yang dekat dengan Soekarno/Soekarnois. Setelah insiden pembunuhan 6 jenderal di Jakarta, ia dituding sebagai tokoh politik yang terlibat PKI. Padahal menurut evaluasi Kementerian Luar Negeri,
Oevaang Oeray bukanlah simpatisan PKI, melainkan anggota Partindo yang sering dideskribsikan sebagai kelompok sayap kiri. Pada masa itu selain anggota PPD yang dihabisi oleh Soekarno, banyak pula PNS Dayak yang diberhentikan dengan tuduhan terlibat PKI.
Pada tanggal 12 Juli 1966 Mendagri, Basuki Rachmat memberhentikan dengan hormat
Oevaang Oeray selaku Gubernur Kepala Daerah Kalbar dan menunjuk Letkol Soemadi BcHK sebagai gubernur baru.
Oeray diberhentikan lebih cepat 2 bulan 10 hari sebelum habis masa jabatannya, karena keputusan pemberhentian dengan hormat dari presiden baru turun 22 September 1966, dengan Nomor 207 Tahun 1966.
Dasar hukum pemberhentian
Oevaang Oeray ini adalah keputusan No.UP.12/2/43-912 tanggal 12 Juli 1966 memberhentikan dengan hormat J.C Oevang
Oeray selaku Gubernur Kepala Daerah Kalbar dan menunjuk Letkol Soemadi BcHK sebagai gubernur baru. Guna mencari gubernur baru secara definitif, maka DPRD GR Kalbar dalam sidangnya pada tanggal 18 Juli 1966 menetapkan dua orang calon gubernur, masing- masing Kol.CHK Soemadi BCHK serta F.C Palaunsoeka. Akhirnya Presiden RI mengangkat Kol CHK Soemadi BCHK sebagai Gubernur Kalbar Tingkat I melalui SK Presiden No 88 tanggal 1 Juli 1967.
Pemberhentian Gubernur Oevang
Oeray berdasarkan SK Presiden RI No 207 tanggal 22 September. Dengan demikian pemberhentian berdasarkan SK Mendagri Basuki Rahmat tersebut didahului SK Presiden.
Pelantikan gubernur baru itu dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 1967 pada Sidang Istimewa DPRD GR Kalbar dan dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Depdagri, Mayjen TNI Soenandar Prijosudarmo.
Meninggal
Oeray meninggal karena sakit pada umur 63 tahun di Pontianak.
Penghormatan
Untuk menghormati tokoh ini, di Pontianak didirikan sebuah kolam renang umum dengan nama Kolam Renang Oevang
Oeray.
Dan sebenarnya sudah lama Kalimantan Barat mencalonkan
Oevaang Oeray dan Jeranding Abdurrahman sebagai pahlawan nasional. Tapi pemerintah sampai saat ini belum memberikan gelar tersebut pada mereka. Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Y Thohari juga ikut memberikan dukungan atas pencalonan dua tokoh ini menjadi pahlawan nasional.
Catatan
Lihat pula
Lim Bak Meng
Referensi
Daftar pustaka
Aju; Isman, Zainuddin (2013). Kalimantan Barat:Lintasan Sejarah dan Pembangunan. Pontianak: LPS-AIR. ISBN 978-602-18483-1-9.
Aju; Sjafaruddin, Usman (2013). J. C.
Oevaang Oeray: Langkah dan Perjuangannya. Pontianak: C. V. Samudera Mas. ISBN 978-979-5794-75-4.