Kota Palopo adalah sebuah
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.
Kota Palopo sebelumnya berstatus sebagai
Kota administratif sejak 1986 dan merupakan bagian dari Kabupaten Luwu yang kemudian berubah menjadi
Kota otonom pada tahun 2002 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tertanggal 10 April 2002.
Pada awal berdirinya sebagai
Kota otonom,
Palopo terdiri atas empat kecamatan dan 20 kelurahan. Kemudian, pada tanggal 28 April 2005, berdasarkan Peraturan Daerah
Kota Palopo Nomor 03 Tahun 2005, dilakukan pemekaran menjadi sembilan kecamatan dan 48 kelurahan.
Kota ini memiliki luas wilayah 247,52 km² dan pada pertengahan tahun 2024 berpenduduk sebanyak 180.518 jiwa.
Sejarah
= Perkembangan awal
=
Kota Palopo ini dulunya bernama Ware yang dikenal dalam Epik La Galigo. Nama "
Palopo" ini diperkirakan mulai digunakan sejak tahun 1604, bersamaan dengan pembangunan Masjid Jami' Tua. Kata "
Palopo" ini diambil dari kata bahasa Bugis-Luwu. Artinya yang pertama adalah penganan yang terbuat dari ketan, gula merah, dan santan. Yang kedua berasal dari kata "
Palopo'i", yang artinya tancapkan atau masukkan. "
Palopo'i" adalah ungkapan yang diucapkan pada saat pemancangan tiang pertama pembangunan Masjid Jami' Tua. Dan arti yang ketiga adalah mengatasi. Arti lainnya adalah pohon kemuning (Murraya paniculata), yang mungkin banyak tumbuh di daerah
Palopo pada masa lalu.
Palopo dipilih untuk dikembangkan menjadi ibu
Kota Kesultanan Luwu menggantikan Amassangan di Malangke setelah Islam diterima di Luwu pada abad XVII. Perpindahan ibu
Kota tersebut diyakini berawal dari perang saudara yang melibatkan dua putera mahkota saat itu. Perang ini dikenal dengan Perang Utara-Selatan. Setelah terjadinya perdamaian, maka ibu
Kota dipindahkan ke daerahn di antara wilayah utara dan selatan Kesultanan Luwu.
Kota dilengkapi dengan alun-alun di depan istana, dan dibuka pula pasar sebagai pusat ekonomi masyarakat. Lalebbata menjadi pusat
Kota kala itu. Dalam kajian M. Irfan Mahmud, pusat
Kota ini melingkar seluas kurang lebih 10 ha, yang meliputi kampung Amassangan dan Malimongan.
Dalam perkembangannya, maka perlahan-lahan
Palopo meluaskan wilayahnya dengan terbukanya kluster kampung tingkat kedua, yakni Surutanga. Luasan wilayah kluster kedua ini sekitar 18 ha, dan diyakini dulunya menjadi pemukiman rakyat dengan aktivitas sosial-ekonomi yang intensif. Menurut penelitian, diduga bahwa Kampung Surutanga ini dihuni hampir semua golongan rakyat. Dengan lokasi yang dekat dengan pantai dan areal persawahan, maka sebagian besar masyarakat Surutanga saat itu bekerja sebagai nelayan dan petani. Pada kontek awal perkembangan
Palopo ini, batas
Kota diyakini berada melingkar antara makam Jera’ Surutanga di selatan, makam Malimongan di sisi barat, dan makam raja Lokkoe di utara Sungai Boting.
Perkembangan
Palopo kemudian dilanjutkan dengan tumbuhnya Kampung Benturu sebagai kluster tingkat ketiga seluas 5 ha. Pemukiman Benturu kala itu dilingkungi benteng pertahanan yang terbuat dari tanah menyerupai parit. Tinggi rata-rata dinding benteng 2 meter dan lebar rata-rata 7 meter. Panjang benteng tidak kurang 5 kilometer menghadap pantai. Benteng ini disebut Benteng Tompotikka, yang bermakna “tempat matahari terbit”. Lokasi benteng ini diyakini berada di sekitar Kompleks Perumahan Beringin Jaya. Kala itu, dalam areal benteng ini terdapat jalan setapak sepanjang 1500 meter yang membujur timur-barat. Namun demikian, Kampung Benturu ini diyakini tidak sezaman dengan Surutanga dan Lalebbata. Benteng diperkirakan dibangun pada abad XIX untuk persiapan menghadapi Belanda.
= Masa Kolonial
=
Dalam catatan Gubernur Celebes tahun 1888, DF Van Braam Morris, pada saat itu di
Palopo ada sekitar 21 kampung dengan jumlah bangunan rumah sebanyak 507 buah. Di era itu, Tappong menjadi wilayah paling padat dengan 100 rumah, lalu Ponjalae 70 rumah dan Amassangan 60 rumah. Total penduduk
Palopo kala itu ditaksir sebanyak 10.140 jiwa. Jumlah ini belum termasuk penduduk di wilayah Pulau Libukang yang mencapai 400 jiwa. Keduapuluh satu kampung tersebut adalah: Tappong, Mangarabombang, Ponjalae, Campae, Bonee, Parumpange, Amassangan, Surutanga, Pajalesang, Bola sadae, Batupasi, Benturu, Tompotikka, Warue, Songka, Penggoli, Luminda, Kampungberu, Balandai, Ladiadia dan Rampoang.
Dari catatan Morris ini, bisa ditarik kesimpulan sederhana bahwa saat itu memang
Palopo sudah memperlihatkan sebuah ciri masyarakat urban. Hal itu ditandai dengan pemusatan penduduk yang lebih intensif dibandingkan daerah lain di wilayah Kerajaan Luwu. Menurut M. Irfan Mahmud, masyarakat dari Toraja dan Luwu bagian utara mulai menghuni
Kota Palopo dengan menempati lahan bekas makam di Luminda dan separuh lahan persawahan sebagai kelanjutan pemukiman di tepi Sungai Boting. Kedatangan atau migrasi masyarakat Toraja dan Luwu bagian utara ini tentu didorong oleh sebuah harapan. Bagi mereka, selain menjadi bantuan untuk pertahanan militer kerajaan Luwu,
Palopo juga dianggap lebih memberi harapan atas kehidupan yang lebih baik atas diri mereka.
Ciri masyarakat urban ini ditegaskan lagi dengan terbangunnya infrastruktur pada masa kolonial. Belanda mulai membangun
Palopo pada tahun 1920. Oleh pemerintah colonial, alun-alun kerajaan dibanguni pasar dan rumah jabatan pegawai Belanda. Istana Datu Luwu yang terbuat dari kayu dirombak dan digantikan dengan bangunan berarsitektur Eropa. Didirikan pula sekolah, asrama militer, rumah sakit dan gereja di sisi barat istana. Selain itu, pembangunan pelabuhan dan gudang di bagian timur merangsang tumbuhnya pemukiman baru. Banyak lahan rawa pantai diubah menjadi pemukiman. Demikian pula di bagian barat, yang mana lahan persawahan mulai beralih fungsi menjadi pemukiman. Daerah-daerah tersebut antara lain adalah Sempowae, Dangerakko, Pajalesang dan Boting.
= Masa kemerdekaan
=
Perkembangan
Palopo mengalami pasangsurut akibat insiden 23 Januari 1946 dan pemberontakan DI/TII. Pembangunan kembali bergairah ketika Abdullah Suara menjabat Bupati Luwu kala itu. Ia membangun banyak infrastruktur seperti Masjid Agung Luwu-
Palopo, kantor Bupati Luwu (yang habis terbakar akibat rusuh pilkada beberapa waktu lalu), rumah jabatan Bupati (Saokotae), hingga Pesantren Modern Datok Sulaiman. Hal ini menjadikan
Palopo sebagai ibu
Kota Kabupaten Luwu mulai menjadi mercusuar ekonomi di utara Sulawesi Selatan. Perlahan tetapi pasti, peningkatan status
Kota Administratif (kotif) kemudian disandang di 4 Juli 1986 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 1986. Seiring dengan perkembangan zaman, tatkala gaung reformasi bergulir dan melahirkan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan PP Nomor 129 Tahun 2000, telah membuka peluang bagi
Kota administratif di seluruh Indonesia yang telah memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat ditingkatkan statusnya menjadi sebuah daerah otonom.
Ide peningkatan status Kotif
Palopo menjadi daerah otonom bergulir melalui aspirasi masyarakat yang menginginkan peningkatan status kala itu, yang ditandai dengan lahirnya beberapa dukungan peningkatan status Kotif
Palopo menjadi Daerah Otonom
Kota Palopo dari beberapa unsur kelembagaan penguat seperti:
Surat Bupati Luwu nomor 135/09/TAPEM tanggal 9 Januari 2001 tentang Usul Peningkatan Status Kotif
Palopo menjadi
Kota Palopo;
Keputusan DPRD Kabupaten Luwu Nomor 55 Tahun 2000 tanggal 7 September 2000 tentang Persetujuan Pemekaran/Peningkatan Status Kotip
Palopo menjadi
Kota Otonomi;
Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan nomor 135/922/OTODA tanggal 30 Maret 2001 tentang Usul Pembentukan Kotif
Palopo menjadi
Kota Palopo;
Keputusan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan nomor 41/III/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Persetujuan Pembentukan Kotif
Palopo menjadi
Kota Palopo;
Hasil Seminar
Kota Administratif
Palopo Menjadi
Kota Palopo;
Surat dan dukungan Organisasi Masyarakat, Organisasi Politik, Organisasi Pemuda, Organisasi Wanita, dan Organisasi Profesi;
Disertai dengan Aksi Bersama LSM Kabupaten Luwu memperjuangkan Kotif
Palopo menjadi
Kota Palopo, kemudian dilanjutkan oleh Forum Peduli
Kota.
Akhirnya, setelah Pemerintah Pusat melalui Depdagri meninjau kelengkapan administrasi serta melihat sisi potensi, kondisi wilayah, dan letak geografis Kotif
Palopo yang berada pada Jalur Trans Sulawesi dan sebagai pusat pelayanan jasa perdagangan terhadap beberapa kabupaten yang meliputi Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Tana Toraja, dan Kabupaten Wajo serta didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai, Kotif
Palopo kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonom
Kota Palopo.
Tanggal 2 Juli 2002 merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan pembangunan
Kota Palopo, dengan ditandatanganinya prasasti pengakuan atas daerah otonom
Kota Palopo oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Daerah Otonom
Kota Palopo dan Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Selatan, yang akhirnya menjadi sebuah daerah otonom, dengan bentuk dan model pemerintahan serta letak wilayah geografis tersendiri, berpisah dari induknya yakni Kabupaten Luwu.
Di awal terbentuknya sebagai daerah otonom,
Kota Palopo hanya memiliki 4 wilayah Kecamatan yang meliputi 19 Kelurahan dan 9 Desa. Namun seiring dengan perkembangan dinamika
Kota Palopo dalam segala bidang sehingga untuk mendekatkan pelayanan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat, maka pada tahun 2006 wilayah kecamatan di
Kota Palopo kemudian dimekarkan menjadi 9 Kecamatan dan 48 Kelurahan.
Tahun 2013, pertumbuhan ekonomi
Palopo mencapai 8,8 persen. Dengan pertumbuhan yang cukup tinggi ini,
Palopo tetap menjadi harapan dari warganya atas kesejahteraan yang lebih baik. Harapan ini tentu bukanlah harapan kosong belaka. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Kota Palopo tercatat sebagai yang terbaik ketiga di Sulawesi Selatan. Inilah doktrin “wanua mappatuwo”.
Palopo dan Tana Luwu pada umumnya adalah
Kota tempat menggantungkan optimisme dan harapan.
Geografis
Kota Palopo yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Mamasa (Sulawesi Barat) dan
Kota Palopo (Sulawesi Selatan) terletak pada 02°53'15" - 03°04'08" LS dan 120°03'10" - 120°14'34" BT dengan batas administratif sebagai berikut:
= Geologi
=
Struktur lapisan dan jenis tanah serta batuan di
Kota Palopo pada umumnya terdiri atas 3 jenis batuan beku. Batuan metamorf dan batuan vulkanik serta endapan alluvial yang hampir mendominasi seluruh wilayah
Kota Palopo.
Penyebaran jenis batuan dan struktur lapisan tanahnya mempunyai kecenderungan batuan beku granit dan garbo serta beberapa intrusi batuan lainnya. Kemudian dijumpai pula batuan beku yang merupakan jejak aliran larva yang telah membeku yang bersusunan balastik hingga andesitik.
Batuan sedimen yang dijumpai meliputi batu gamping, batu pasir, untuk mendukung pembangunan dan bangunan di kawasan
Kota Palopo. Ketersediaan tanah urukan, pasir serta batuan di wilayah
Kota Palopo cukup tersedia yang terhampar di beberapa sungai Battang, sungai Latuppa, dan sungai yang berbatasan dengan Kabupaten Luwu Kecamatan Lamasi atau Walenrang.
= Iklim
=
Seperti wilayah lain di Indonesia,
Kota Palopo beriklim tropis dengan tipe iklim hutan hujan tropis (Af) yang ditandai dengan curah hujan yang cenderung tinggi hampir sepanjang tahun. Curah hujan tahunan di
Kota Palopo berkisar antara 2100–2700 mm per tahun dengan rata-rata bulanan di atas 100 mm per bulan dan jumlah hari hujan lebih dari 120 hari per tahunnya. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan Juni dengan rata-rata curah hujan di atas 300 mm per bulannya dengan hari hujan terbanyak yakni sebanyak 21 hari hujan. Suhu udara rata-rata di
Kota Palopo berada pada angka 21 °C–32 °C dan tingkat kelembapan nisbi sebesar ±81%.
Pemerintahan
=
Kepala daerah
Kota Palopo pertama kali dipimpin oleh H.P.A. Tenriadjeng, yang diberi amanah sebagai penjabat Wali
Kota (Caretaker), mengawali pembangunan
Kota Palopo selama kurun waktu satu tahun, hingga kemudian dipilih sebagai Wali
Kota definitif oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kota Palopo untuk memimpin
Kota Palopo Periode 2003-2008, yang sekaligus mencatatkan dirinya selaku Wali
Kota pertama di
Kota Palopo. Saat ini, pemimpin pemerintahan
Palopo dijabat oleh penjabat Wali
Kota Asrul Sani. Asrul menggantikan Judas Amir, walikota definitif yang masa jabatannya telah selesai pada 26 September 2023.
= Dewan Perwakilan
=
Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD
Kota Palopo dalam dua periode terakhir.
= Pembagian Administratif
=
Kota Palopo terdiri dari 9 kecamatan dan 48 kelurahan. Pada tahun 2017, kabupaten ini memiliki luas wilayah 252,99 km² dan jumlah penduduk sebesar 182.690 jiwa dengan sebaran penduduk 722 jiwa/km².
Daftar kecamatan dan kelurahan di
Kota Palopo, adalah sebagai berikut:
Demografi
= Suku dan Agama
=
Sebagian besar suku yang mendiami daerah ini meliputi Suku Luwu, Suku Bugis, Jawa, Suku Toraja dan Konjo Pesisir dan sebagian kecil meliputi Minangkabau, Batak, dan Melayu. Islam adalah salah satu mayoritas agama yang dianut sebagian besar masyarakat
Kota Palopo. Sedangkan Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu dianut oleh sebagian kecil masyarakat di
Kota Palopo.
Berikut jumlah penduduk menurut agama/kepercayaan:
Kesehatan
Referensi
Lihat pula
Kesultanan Luwu
Sejarah Tanah Luwu