Partisipasi politik secara harfiah berarti keikutsertaan, dalam konteks
politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses
politik. Keikutsertaan warga dalam proses
politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi
politik.
Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.
Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M.Nelson
Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap, sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Sehingga dengan
Partisipasi politik tersebut, masyarakat berharap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut dapat memberikan perubahan yang lebih baik di masyarakat. Hingga dapat mewujudkan cita-cita negara tersebut.
Golongan
Partisipasi politik menurut Milbrath and Goel:
1. Apatis, merupakan orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses
politik
2. Spektator, merupakan orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilu.
3. Gladiator, merupakan mereka yang tidak secara aktif terlibat dalam proses
politik.
4. Pengkritik, dalam bentuk
Partisipasi tak konvensional. Individu tersebut memberikan opini pemerintah dengan tujuan agar pemerintah suatu negara tersebut dapat menjadi lebih baik dengan cara mengkritik.
Konsep
Partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musyawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme
politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50–60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses
politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative democracy.
Di Indonesia saat ini penggunaan kata
Partisipasi (
politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin
politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin "Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-masing". Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan.
Dengan meilhat derajat
Partisipasi politik warga dalam proses
politik rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum:
Rezim otoriter - warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan
politik
Rezim patrimonial - warga diberitahu tentang keputusan
politik yang telah dibuat oleh para pemimpin, tanpa bisa memengaruhinya.
Rezim partisipatif - warga bisa memengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya.
Rezim demokratis - warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan
politik.
Referensi