Pasal 9 Konstitusi Jepang adalah suatu klausul dalam
Konstitusi Nasional
Jepang yang melarang dilakukannya perang oleh negara.
Konstitusi ini mulai berlaku pada 3 Mei 1947, yaitu segera setelah selesainya Perang Dunia II. Dalam naskahnya, negara secara resmi menolak perang sebagai suatu hak kedaulatan dan melarang penyelesaian sengketa internasional melalui penggunaan kekuatan.
Pasal tersebut juga menyatakan bahwa, untuk mencapai tujuan-tujuan ini, angkatan bersenjata dengan kesanggupan untuk berperang tidak akan dipertahankan.
Sejarah
Pasal 9 ditambahkan ke dalam
Konstitusi Jepang pada masa pendudukan Sekutu atas
Jepang seusai Perang Dunia II. Sumber dari klausa pasifis tersebut masih diperdebatkan.
Menurut Panglima Tertinggi Sekutu Douglas MacArthur, ketentuan tersebut diusulkan oleh Perdana Menteri Kijūrō Shidehara, yang "menginginkannya untuk mencegah setiap bentuk kemiliteran bagi
Jepang - dalam bentuk lembaga militer apapun". Pandangan Shidehara ialah bahwa menahan (retensi) persenjataan akan "tidak bermakna" bagi rakyat
Jepang di era pasca perang. Hal tersebut karena setiap kondisi militer sesudah perang yang berada di bawah standar tidak akan mendapatkan penghargaan masyarakat, dan bahkan akan membuat masyarakat terobsesi pada tujuan untuk mempersenjatai kembali
Jepang. Shidehara mengakui peranannya dalam memoarnya Lima Puluh Tahun Diplomasi (Gaikō Gojū-Nen) yang diterbitkan pada tahun 1951, di mana ia menceritakan bahwa ide tersebut datang padanya ketika sedang naik kereta api ke Tokyo. MacArthur sendiri membenarkan peranan Shidehara pada beberapa kesempatan.
Namun menurut beberapa interpretasi, Shidehara menyangkal telah akukan usulan itu, dan masuknya
Pasal 9 tersebut terutama karena upaya para anggota Bagian Pemerintahan (Min-Sei-Kyoku) dari Panglima Tertinggi Kekuatan Sekutu (Rengō-Koku-Gun-Saikō-Shirei-Kan), khususnya Charles Kades, salah satu rekan dekat Douglas MacArthur.
Pasal tersebut disetujui oleh Parlemen
Jepang pada tanggal 3 November 1946. Kades menolak usulan kalimat yang melarang penggunaan kekuatan
Jepang "untuk keamanan sendiri", karena ia percaya bahwa pertahanan diri adalah hak setiap bangsa.
Naskah
Naskah lengkap
Pasal ini dalam bahasa
Jepang:
第九条 日本国民は、正義と秩序を基調とする国際平和を誠実に希求し、国権の発動たる戦争と、武力による威嚇又は武力の行使は、国際紛争を解決する手段としては、永久にこれを放棄する。
二 前項の目的を達するため、陸海空軍その他の戦力は、これを保持しない。国の交戦権は、これを認めない。
Terjemahan resmi
Pasal ini dalam bahasa Inggris:
ARTICLE
9. Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes. (2) To accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized.
Terjemahan
Pasal ini dalam bahasa Indonesia (tidak resmi):
Pasal 9. Bercita-cita tulus untuk perdamaian internasional berdasarkan keadilan dan ketertiban, rakyat
Jepang selamanya meninggalkan perang sebagai hak kedaulatan bangsa dan pengancaman atau penggunaan kekerasan sebagai cara menyelesaikan perselisihan internasional. (2) Untuk mencapai tujuan paragraf di atas, angkatan darat, laut, dan udara, serta potensi perang lainnya, tidak akan dipertahankan. Hak negara untuk menyatakan perang tidak akan diakui.
Interpretasi
Semasa Perang Dingin, mulai timbul keinginan dari pasukan pendudukan Amerika Serikat agar
Jepang dapat mengambil peran militer yang lebih aktif dalam perjuangan melawan komunisme. Menyusul pecahnya Perang Korea pada tahun 1950, Divisi Infanteri ke-24 Amerika Serikat ditarik keluar
Jepang dan dikirimkan bertempur di garis depan Korea, sehingga menyebabkan
Jepang menjadi tanpa perlindungan bersenjata.
MacArthur kemudian memerintahkan pembentukan Polisi Cadangan Nasional (Keisatsu yobitai, National Police Reserve) berkekuatan 75.000 orang untuk menjaga ketertiban umum di
Jepang dan menangkal setiap peluang serangan dari luar. Pembentukannya dilakukan di bawah pimpinan Kolonel Frank Kowalski dari Angkatan Darat Amerika Serikat (belakangan ia menjadi anggota Kongres AS) dengan menggunakan surplus peralatan Angkatan Darat. Untuk menghindari kemungkinan pelanggaran konstitusional, barang-barang militer diberi nama sipil: tank, misalnya, diberi nama "kendaraan khusus". Shigesaburo Suzuki, seorang pemimpin Partai Sosialis
Jepang (JSP), mengajukan tuntutan di Mahkamah Agung
Jepang untuk menyatakan pembentukan Polisi Cadangan Nasional sebagai tindakan yang inkonstitusional, tetapi kasusnya ditolak oleh majelis besar karena dianggap kurang relevan.
Perdebatan
Mayoritas warga negara
Jepang menyetujui semangat
Pasal 9 dan menganggapnya penting secara pribadi. Namun sejak tahun 1990-an telah terjadi pergeseran dari sikap, yang lebih bertoleransi atas kemungkinan revisi atas
Pasal tersebut, sehingga memungkinkan adanya penyesuaian antara peran Pasukan Bela Diri
Jepang dengan
Pasal 9. Selain itu, beberapa warga negara juga menganggap bahwa
Jepang seharusnya melibatkan Pasukan Bela Diri dalam upaya pertahanan kolektif, misalnya sebagaimana yang pernah dibentuk di bawah Dewan Keamanan PBB dalam Perang Teluk. Perdana Menteri Shinzo Abe menandai ulang tahun ke-60
Konstitusi Jepang pada tahun 2007 dengan seruannya untuk melakuan peninjauan kembali secara berani terhadap dokumen tersebut, sehingga dapat mengizinkan negara untuk mengambil peran yang lebih besar dalam keamanan global serta membangkitkan kembali kebanggaan nasional.
Perbandingan internasional
Dalam
Pasal 11
Konstitusi Italia terdapat bentuk yang mirip dengan
Pasal 9 Konstitusi Jepang, namun penggunaan kekuatan militer diijinkan untuk membela diri (
Pasal 54 dan 78) dan juga untuk tujuan menjaga perdamaian, jika disetujui oleh organisasi internasional:
"L'Italia ripudia la guerra come strumento di offesa alla libertà degli altri popoli e come mezzo di risoluzione delle controversie internazionali; consente, in condizioni di parità con gli altri Stati, alle limitazioni di sovranità necessarie ad un ordinamento che assicuri la pace e la giustizia fra le Nazioni; promuove e favorisce le organizzazioni internazionali rivolte a tale scopo." ("Italia menolak perang sebagai instrumen untuk menyerang kebebasan bangsa-bangsa dan sebagai sarana untuk menyelesaikan pertikaian internasional; ia menyetujui adanya batasan atas kedaulatan yang dianggap perlu untuk memungkinkan sistem hukum yang damai dan adil di antara bangsa-bangsa, dengan syarat terjaminnya prinsip timbal balik; ia menganjurkan dan mendorong agar organisasi internasional berusaha untuk memajukan tujuan-tujuan yang sedemikian itu.")
Lihat pula
Pasukan Bela Diri
Jepang
Referensi
Pranala luar
Berita baru rutin dan analisis politik
Jepang Diarsipkan 2007-01-18 di Wayback Machine. (artikel dan audio)
[1] Diarsipkan 2009-02-27 di Wayback Machine. Kampanye Global
Pasal 9