RINGKASAN SEJARAH KEURAJEUN SEUBADEH
SEJARAH MEURAH BACAN ATAU TEUKU CHIEK PHO NA LE
Berasal dari Kerajaan Perlak (Ferlec) merupakan cucu dari seorang Sultan Perlak VI, Sulthan Makhdum Malek Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat atau Meurah Muhammad Amin Syah beliau mempunyai putra Sultan Alaiddin makhdum Abdul Malik Syah Johan Berdaulat Sultan Perlak ke 7 yang mempunyai 3 orang putra yaitu:
Makhdum Meurah di Isaq di Linge Gayo
Meurah Makhdum Mahmud Syah/Meurah Khair/Meurah Giri di Tanoh Data Pase dan
Sulthan Johan Sultan Alaiddin Makhdum Malek Ibrahim Syah Sultan Perlak ke 8.
Meurah Makhdum Malik Isaq putra Meurah Malik Mansur Meurah Mersa atau Datok Mersa Meurah Masir raja negeri Isaq dan mempunyai 7 orang putra:
Meurah Makhdum Ibrahim mendirikan Negeri Singkong. Cucu buyut Meurah Makhdum ini bernama Malikussaleh di kemudian hari mendirikan Kerajaan Samudra Pasai.
Meurah Bacang mendirikan Kerajaan Bacang Barus.
Meurah Putih mendirikan Kerajaan Beuracan Merdu.
Meurah Itam mendirikan Kerajaan Kiran Samalanga.
Meurah Pupok mendirikan Kerajaan Daya
Aceh Barat.
Merah Jernang mendirikan kerajaan Seunagan
Meurah Mege (Meugo) menjadi Raja Isaq III.
Gelar yang di berikan oleh kedua orang tuanya Meurah Bacang dan masyarakat Kerajaan Binuang lebih mengenal gelar Teuku chiek Pho na le pada tahun 1580. Sejarah ini sangat bermanfaat dan banyak memberikan informasi yang sangat penting terutama bagi keturunan Meurah Bacang Teuku Chik Pho na le. Menurut data yang diperoleh bahwa Teuku Chiek Pho na le dalam perjalanan jakmara penyebaran Agama Islam dan pengembangan negeri ke pantai barat
Selatan dan berlabuh di lhok kuala Seubadeh atau si blah deh aliran krueng bengkong atau bendungan sama binuang dan menikahi seorang putri turunan dari Raja laot bangko seusai di porak porandakan oleh seorang syiah tapa sehingga negeri itu di tenggelam dan terjadi stunami besar sepanjang pantai
Selatan pada tahun 1524.
Raja laot bangko bernama Malinda dengan permaisuri bernama Rindi.
Kerajaan Laut Bangko itu karam oleh banjir besar Tsunami Atau Ie Beuna. bahwa ketika Raja Malinda Kerajaan Laut Bangko memang tenggelam karena banjir besar. Sebagian besar rakyatnya ikut karam di sana, sebagian kecil lainnya bertahan hidup dan selamat hingga daratan yang kebetulan saat hanyut dapat meraih batang cebero (gelagah), deski (sangar), dan lain-lain sebagai pelampung, mengapung dibawa arus. Mereka yang selamat selanjutnya melakukan pengembaraan untuk mendapatkan tempat pemukiman untuk menetap di tempat yang baru.
Mereka menjadi masyarakat nomaden hingga tiba ke tanah Karo, Alas, Singkil dan Kluet sekarang. Secara geografis, keempat daerah tersebut memang berbatasan dengan lokasi Laut Bangko.
Di Tanah Alas, masyarakat memiliki kisah Kerajaan Laut Bangko berjudul Tarich Atjeh dan Nusantara menyebutkan bahwa pada tanggal 21 Juni 1950 beliau bertemu Abdul Samad gelar penghulu Tebing Datar Tanah Alas yang berusia 85 tahun. Penghulu tersebut menceritakan bahwa pada zaman purbakala ada seorang Raja di Negeri Tanah Nata
Aceh Selatan, beranak 7 orang anak laki-laki dan yang bungsu seekor anjing betina. Setelah ayah mereka meninggal, anak tertua menginginkan menjadi raja menggantikan ayahnya, tetapi tidak disetujui oleh adik-adiknya. Masing-masing mereka juga memiliki hasrat yang sama untuk memimpin kerajaan. Akhirnya tibalah mereka pada satu kesimpulan yakni bahwa tidak satupun diantara mereka diangkat menjadi Raja. Maka anjing betina yang Bungsu Kesayangan ayahnyalah yang dinobatkan menjadi raja.
Saat akan dinobatkan, tiba tiba datanglah seorang aulia bertongkat, lalu dipancangkannya tongkatnya ke tanah. Ia menasehati agar jangan mengangkat anjing menjadi raja tapi hendaklah salah satu dari mereka. Keenam anak raja tetap tidak dapat menerima bila saudara tertua mereka dijadikan raja, mereka bahkan mengancam akan membunuh aulia tersebut. Sang aulia hanya mengingatkan bahwa bila keinginan mereka tetap dilaksanakan maka kelak bencana besar akan melanda kerajaan mereka. Lalu sang Aulia memukul tongkatnya dan menghilang diikuti badai dan air yang keluar deras dari bekas pukulan tongkat sang aulia. Demikian kerasnya hingga memporak-porandakan dan menenggelamkan seluruh kerajaan. Di sana lah tempat yang kini dikenal dengan nama Laut Bangko. Sebagian rakyat yang sempat menyelamatkan diri mencari daratan baru, mereka lari hingga ke Singkil, Karo, Dairi, Bakhara, Alas dan lain-lain.
sebagaimana Peristiwa Tsunami dahsyat yang terjadi pada bulan Desember tahun 2004 lalu masih jadi perhatian dikalangan para peneliti. seperti tim riset dari Bandung yang telah menemukan sebuah jejak tsunami purba di
Aceh Selatan. Adanya jejak tersebut diwillayah
Selatan memang jarang diketahui, karena kebanyan dari para peneliti lebih fokus pada wilayah
Aceh Utara. Pada penelitian Paleotsunami (Tsunami purba), Survei pertama adalah mencari lokasi terbaik di wilayah pesisir barat
Aceh Selatan, karena daerah tersebut memiliki tanah yang masih mengawetkan endapan hasil kejadian tsunami pada masa silam. “Lokasi tersebut diantaranya berupa rawa, lagun, atau sawah. Survei disertai pengeboran dengan tangan, pengamatan data stratigrafi (lapisan batuan) hasil pengeboran, dan pengambilan contoh untuk analisis sedimentologi dan mikropaleontologi di laboratorium. Dari beberapa lokasi survei yang didatangi, ada dua tempat yang mengindikasikan adanya endapan tsunami purba. Di Sibadeh, tim menemukan sebuah kandidat paleotsunami berupa lapisan pasir sedang hingga kasar di antara lapisan gambut pada kedalaman 220 sentimeter. Ketebalan lapisan pasir itu maksimal 10 sentimeter. Adapun di lokasi lain, Ladang Tuha, tim mendapat sebuah kandidat paleotsunami berupa lapisan pasir sedang hingga halus pada kedalaman 130 sentimeter dengan ketebalan maksimal 6 sentimeter. Kedua temuan tersebut bisa berasal dari kejadian tsunami yang sama atau berbeda waktunya. Riset tersebut kini belum final. Kepentingan dari hasil riset dan data survei mengenai tsunami purba yang terjadi di
Aceh Selatan itu nantinya akan dijadikan sebagai salah salah data untuk mengetahui waktu perulangan dari kejadian tsunami. Adapun Tim peneliti dari Bandung ini terdiri dari Purna Sulastya Putra, Supartoyo, dan Nia Kurnia Praja. Ketiganya merupakan dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung. Hasil riset tersebut disampaikan dalam acara Geotechnology Expo di kantor LIPI Bandung, 14 Desember 2016. Diantaranya hanya meninggalkan puing puing bekas kerajaan hanya sebuah layak sebuah mushalla berbentuk candi yang tersisa di dalam laot bangko dapat dilihat bila tidak ada hujan di hulu karena bekas HPH perusahaan penebang kayu sehingga airnya agak keruh bila musim hujan. Teuku Chik Pho na le memasang batas kerajan binuang sepadan aliran krueng bengkong dari sungai alu pinang sampai ke Dairi, dan menaklukan kerajaan Nias dan Barus kemudian ke Padang Sidempuan penyebaran agama Islam pada tahun 1586 dan Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil 1595. Sultan Alauddin Johan Syah melaksanakan perjalanan sambil pengembangan dan penyebaran agama islam di pantai Barat
Selatan 1735 pengislaman serentak dari binuang sampai kepariaman dengan menghadiahkan beberapa bilah pedang dan stempel kerajaan kepada Meurah Bacan, Kerajaan
Aceh berada pada masa puncak kejayaannya,kekuasaannya meliputi pantai barat pulau Sumatera dari Bengkulu hingga ke pantai timur pulau Sumatera yang meliputi Riau.
Masyarakat Barus masih banyak yang menyembah berhala. Mereka juga aktif menjual getah kapur barus kepada bangsa-bangsa Arab penyembah berhala. Bahan ini selain digunakan sebagai pengawet mayat juga digunakan sebagai bahan baku campuran wewangian istana para raja bangsa Arab.
Kemudian pada abad ke-16, katanya, Kerajaan Barus merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Binuang di Pulau Dua, yang menjadi tempat keluar masuk perdagangan di Pulau Sumatera. Tahun 1524, Barus jatuh di bawah kekuasaan Kesultanan
Aceh. Posisi kesultanan ini kemudian menjadi vassal
Aceh hingga tahun 1668. Selama pendudukan
Aceh, banyak penduduk Barus yang sebelumnya penyembah berhala menjadi muslim.
"Jadi mereka muslim setelah menjadi vassal Kesultanan
Aceh. Bukan sebelum di bawah Kesultanan
Aceh.
Pada masa itu terdapat pula Kerajaan-kerajaan kecil di wilayah
Aceh itu sendiri, salah satunya terdapat di wilayah
Aceh Singkil.
Dari peninggalan-peninggalan sejarah yang ada serta cerita rakyat yang berkembang menunjukkan bukti adanya kerajaan-kerajaan di wilayah Singkil itu sendiri. Beberapa peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut dapat dilihat dari ditemukannya situs-situs bangunan serta alat-alat perlengkapan hidup seperti senjata, peralatan makan, perhiasan, perlengkapan pertanian, adat istiadat. Hal ini menunjukkan adanya struktur masyarakat berlapis yang ditunjukkan dengan terdapanya nama (gelar) Raja, pembantu-pembantu raja dan rakyat biasa. Sewaktu kerajaan
Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, didudukkanlah Syeikh Abdul Rauf as Singkili yang berasal dari wilayah Singkil sebagai tempat orang merujuk hukum agama atau hukum Syara.
Agam Azhari yang ada hubungannya dengan Hamzah Fansuri seorang tokoh kepenyairan di Indonesia. Pada masa itu masyarakat
Aceh Singkil sudah memiliki peradaban yang tinggi serta mempunyai pemerintahan, hal ini dikuatkan dengan adanya Kerajaan Batu-batu, Penanggalan, Binanga dan lain-lainnya. Dalam perjalanan waktu
Aceh Singkil telah melewati masa-masa peralihan kekuasaan diantaranya adalah:Masa Jajahan Kolonial Belanda-Masa Penjajahan Jepang -Masa Kemerdekaan Republik Indonesia
Masa Pemerintahan Kolonial Belanda Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, wilayah Singkil merupakan Onderrafdeeling (Kewedanan) yang dikepalai oleh Controleur, dimana Onderrafdeeling ini membawahi empat Landschap (Kecamatan) yaitu Singkil, Pulau Banyak, Simpang Kiri dan Simpang Kanan yang masing-masing kecamatan tersebut dikepalai oleh seorang “Zelfbestuurder” (Camat) yang juga membawahi empat kemukiman yang dikepalai oleh seorang Mukim. Dan Mukim juga membawahi beberapa Kepala Kampong di kemukimannya. Onderrafdeeling (Kewedanan) pada masa indonesia merdeka diganti namanya menjadi Pembantu Bupati Wilayah Singkil.
Adapun peninggalan-peninggalan dari masa penjajahan kolonial Belanda ini berupa kantor pemerintahan,kantor pelabuhan, kantor pos, rumah controleur, sekolah (volgschool dan vervolgschool), Mesjid serta rumah-rumah yang pernah dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke 19. Wilayah Singkil pada masa itu masih berupa hutan belantara, dimana sebahagian besar mata pencaharian penduduk masih sangat tergantung dari potensi yang ada pada alam, terutama dibidang hasil kehutanan seperti kayu, kapur barus, kemenyan, dibidang pertanian, perikanan, serta pelayaran. Selain itu didaerah pesisir pantai Singkil banyak dihuni oleh pembuat garam dapur dari air laut. Wilayah Singkil merupakan salah satu daerah yang diperbolehkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk membuat garam, dimana garam yang dihasilkan kemudian diperdagangkan dengan pedagang-pedagang yang datang ke Singkil terutama sekali dari Alas, Blangkejeren yang diangkut melalui jalur sungai di Singkil. Pemerintah penjajahan kolonial Belanda pada saat itu juga telah membuka perkebunan kelapa sawit dan karet di daerah Lae Butar Rimo.
Pada masa itu banyak didatangkan pekerja (buruh) dari daerah pulau Jawa yang dipekerjakan diperkebunan milik Belanda dengan cara sistem kontrak yang lebih dikenal dengan “Kuli Kontrak”. Seiring dengan dibukanya perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda ini maka semakin terbukalah wilayah Singkil bagi masuknya penduduk lain diluar wilayahSingkil.
Masa Penjajahan Jepang.
Militer Jepang masuk kewilayah Onderafdeeling Singkil untuk pertama kali melalui perairan laut Singkil. Mereka mendarat melalui tepian tepat didepan kantor Controleur. Pendaratan militer Jepang ke Singkil ini dipimpin oleh Letnan Satu Nakamura, yang kemudian mengambil alih kekuasaan di Singkil dari Pemerintah kolonial Belanda yang pada saat itu telah mengungsi ke daerah perkebunan Lae Butar di Rimo.
Selama dalam kekuasaan militer Jepang, mereka tidak mengubah status wilayah Singkil sebagai Onderafdeeling (Kewedanan) hanya istilahnya saja yang diganti sesuai dengan bahasa Jepang seperti Onderafdeeling diganti dengan Gun dan Landschap diganti dengan Son. Pada masa kekuasaan Jepang diwilayah Singkil, roda pemerintahan tidak berjalan dengan lancar. Penyesuaiannya dalam waktu yang relatif singkat dalam ukuran tahun yakni 3,5 tahun tetapi telah banyak mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan bagi masyarakat Singkil. Ketika Jepang kalah perang dengan pasukan Sekutu, maka sekutu memerintahkan kepada militer Jepang untuk mengawasi keamanan setempat sebelum wilayah itu diambil aliholehpihaksekutu.
Akan tetapi Indonesia telah terlebih dahulu memproklamirkan kemerdekaannya dan telah menjadi negara merdeka sehingga rakyat menginginkan kekuasaan dan senjata Jepang diserahkan kepada rakyat Indonesia. Pihak Jepang bersikeras tidak ingin menyerahkan kekuasaan dan senjata kepada masyarakat, sehingga menimbulkan perlawanan yang dimotori oleh Barisan Pemuda Indonesia yang dibantu oleh tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama yang ada diwilayah Singkil.
TENTANG Asal muasal nama Tentang Binuang bermukim di tepi Lawe kluat (sungai) kandang di daerah Benuang
Aceh Selatan. Hulu Lawe kandang berasal dari Manggamat Daerah aliran Sungai Krueng beungkong. Karena aliran sungai terbendung oleh akar kayu berbentuk reungkan cambung air. KEURAJAAN BINUANG Kerajaan Seubadeh di bangun kembali oleh Meurah Bacan atau Teuku Chik Pho na le dengan tata ruang yang sempurna sehingga sangat indah di pandang mata dengan arsitektur atjeh bercampur nias dan mendirikan mesjid semi permanen yang sangat megah pada masa itu hanya satu satunya mesjid di
Aceh Selatan pada masa itu di tompangi oleh empat pilar empat batang pohon meranti utuh sepanjang 10 meter ditambah dengan bangunan menara 7 meter tempat muazin azan sebelum adanya pengeras suara dan mesjid sering di jadikan tempat perayaan kegiatan keagamaan dan tempat bermusyawarah. Perkampungan Seubadeh juga di siapkan dengan membuat madat dan kurok kurok galian Sebagai Benteng Pertahanan dengan Mengali parit keliling. Di lengkapi dengan fasilitas tercangih meriam meriam canon lada sicupakyang di kirim oleh Teuku Trumon dan Syeihk Al- Baihagi ahli perakit senjata kerajaan Atjeh dan Turky di PuloWeh Sabang sebagai pusat pertahanan dan pusat perdagangan Atjeh Darussalam di lima Benteng tersebut, Benteng kuta trieng, Benteng kuta seuke, Benteng kuta tuha, Benteng Kuta
Pasi dan benteng kuala Cangkoi karena dianggap sangat stratergis untuk pelabuhan bongkar muat barang hasil bumi dalam perdagangan dan certatat dalam dokumentasi Pemerintahan Hindia Belanda Amerika maupun Portugis sebagai bandar niaga pelabuhan alam yang aman dari berbagai musim semua pas keluar masuk chekin kapal dagang dikeluarkan di seubadeh oleh Syahbandar sebagai otoritas palabuhan yang di pungut oleh Syahbandar Ismail dari Lamreudep Lamnga merupakan utusan sultan iskandar muda untuk memungut jasa labuh tambat di kolam labuh lhok seubadeh. sedangkan meriam meriam lada sicupak berbobot hampir 500 kg panjang 1,30 cm dan diameter 30 cm masih aktif sudah berpencar di bawa kekantor camat, polsek dan koramil.
Pada suatu hari Teuku Chiek Pho na le mendengar laporan dan utusan kerajaan Blang Kuala Meukek meminta bantuan terjadi perperangan saudara propaganda Belanda dan Amerika sehingga pecah perang yang banyak timbulnya korban kedua belah pihak dan beliau meningalkan kampung halaman dan menyerahkan kerajaan kepada Teuku Raja Muda Baro atau Teuku Chiek Powan menantu beliau suami dari Cut Nyak Intan yang merupakan keturunan dari Datok paneuk penerus Dja Bate Al Bagdadi dari Kerajaan Kuta Baro Trumon selama 21 tahun 3 thon seunut karena layak untuk diserahkan kepada menantu berhasil menumpah kebathilan dan tak lama kemudian kerajaan seubadeh pada 30 Maret1883 berhasil direbut oleh KNIL Beulanda ku co DJafar yang di bantu oleh Beuregom linteung utusan khusus untuk memungut pajak untuk mengambil blasteng pengutip pajak dengan algojo utusan Belanda yang telah di bekali sehingga banyak dari pewaris kerajaan binuang seperti Datok Banta bin Meurah Bacan juga cucunya Teuku Jaleumi bin Datok Teuku Abad di bunuh.Teuku Ali bin Datok Teuku Leman di tangkap dan di buang ke pulau jawa dan makassar sampe sekarang tidak tau rimbanya atau pusaranya. Setelah mendamaikan percekcokan antara Raja Salatin atau Raja kuala bate dan Teuku di gunong di bantu oleh Teungku di rundeng Meulaboh, Teuku Chiek Pho na le dalam perjalanan pulang ke Seubadeh mengikuti kontes sabung ayam peuloet manok dan menikah dengan seorang anak raja di Gunoeng Cut Samadua atau sawang.
Dahulu Kala di Pesisir
Selatan terdapat beberapa kerajaan kecil; diantaranya tersebutlah Kerajaan Sawang dan Kerajaan Binuang. Masing-masing kerajaan memiliki kesaktiannya selain fanatik dalam agamanya yang dalam hal ini adalah agama Islam.
Konon saat itu, Kerajaan Sawang memperingati haul atau hari jadinya. Untuk itu ditampilkan berbagai pertunjukan yang bersifat hiburan. Pada perhelatan itu turut diundang Raja Binuang kebetulan melintas pulang dari kerajaan kuala batee. Ia juga hadir memenuhi undangan didampingi beberapa orang pasukanya. Pada perhelatan itu pula Raja Binuang ditantang untuk bertaruh sabong manok (sabung ayam). Tantangan itu disambut baik oleh sang Raja Binuang. Bahkan sebelum berangkat ia telah melakukan persiapan, Raja Binuang memerintahkan kepada para pengawalnya agar mereka berbohong kepada Raja Sawang gunoeng cut dengan mengatakan bahwa Raja Binuang membawa sebotol emas sebagai taruhan dalam sabong manok tersebut. Sedangkan Raja Sawang gunong cut mempertaruhkan separuh negeri kekuasaany.
Dengan disaksikan oleh seluruh rakyat negeri Sawang gunong cut,Sabong Manok antara Raja Binuang yang berambisi mendapatkan negeri di bawah Kekuasaan Kerajaan Sawang dan Raja Sawang yang berambisi memenangkan sebotol emas, pun digelar. Masing-masing pendukung bersorak-sorai untuk kemenangan ayam jagoannya yang tengah berlaga. Akhirnya ayam Raja Sawang keluar sebagai pemenangnya. Sebagai mana kesepakatan, Raja Sawang menagih sebotol emas yang telah dipertaruhkan. Dengan perasaan sedih dan kecewa Raja Binuang mengajak Raja Sawang untuk mengambil emas tersebut yang katanya ia simpan atau ia timbun di dalam pasir di pantai dekat Krueng Sawang.
Dalam perjalanan menuju tempat penyimpanan sebotol emas tersebut, Raja Binuang berbisik kepada pengawalnya, “lari dan pulanglah kalian ke negeri kita, biarkan saya yang mati di sini, asalkan kalian selamat.” Maka larilah para pengawal menyelamatkan diri. Setelah itu Raja Binuang pun lari ke arah berlawanan, yaitu menuju sebuah bukit dekat Krueng Sawang. Setibanya di puncak bukit itu, bertiuplah angin topan diiringi suara gemuruh. Melihat suasana yang demikian itu Raja Binuangpun berdoa kepada Allah SWT, agar ia diselamatkan dari marabahaya. Doanya pun terkabul, bukit itu terangkat dan terbang ke arah
Selatan, yaitu menuju Kerajaan Raja Binuang. Dalam perjalannya sebongkah batu besar jatuh di Desa Damar Tutong Kecamatan Samadua dan sampai saat ini diabadikan dengan nama Batee Tunggai yang berarti batu tunggal.
Bukit itu tiba diperbatasan kecamatan Tapaktuan yang artinya Sang Raja Binuang telah berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Binuang. Merasa dirinya aman maka turunlah ia dari bukit tersebut dan pulang ke kerajaan. Di sana ia telah ditunggu oleh para pengawalnya yang sejak awal telah meyakini bahwa rajanya akan dapat mengatasi masalahnya.
Namun tidak selesai sampai di situ anak putri kesayangan raja sawang kecantol hati kepada raja Binuang walau umur suudah separuh baya, tentu saja pihak Kerajaan Sawang datang ke Kerajaan Binuang untuk menuntut haknya dan bersedia untuk menikahi putrinya. Perselisihan pun tidak terhindarkan. Kerajaan Sawang menunjukkan pertentangannya dengan Kerajaan Binuang dan menikahkan putrinya dengan raja binuang atau Teuku Chik Pho na le yang lebih di kenal Teuku Raja Seubadeh dan raja binuang pun menerimanya dan beliau mangkat di sana menghembus nafas terakhir dan di kebumikan di tepian pantai di karena mayoritas di Samadua Muhammadyah maka makam beliau tidak terurus dan sudah separuh di telan oleh ombak mungkin jika gelora datang musim
Selatan tiba maka akan tergurus semua untuk apa anak cucu punya pangkat dan jabatan jika kuburan indatunya di biarkan ditelan ombak yang menghempas pantai ini salah satu cara menghapuskan sejarah pendiri satu negeri dengan nama besar Tanoeh Nata atau kerajeun Binuang. Pada tiap tahunya dulu selalu di peringati kanduri lhok yang mana saat Berjumpa dengan Istrinya nek panyang tupoeng alias telinga panjang anak dari pada raja laot bangko yang menjelma berwujud anjing di sebuah gubuk dibawah pohon meranti karena di bawah tersebut terdapat sebuah makam ulama karena saat bencana melanda stunami di pohon meranti terdengar suara azan mengema dari tiga penjuru salah satunya di pohon meranti di yakini sebagai Syeh Abdurrahman sementara di simpang Syeh Said Ishak dan di Lubok Suboeng Teungku Gunoeng Hangoeh ketiga itu dianggap tempat keramat. Sang ratu menyuguhkan buah buahan dan kenduri Santapan ala kadarnya bak kata peumulia jamee setelah menyantap makanan bersama di bawah pohon meranti dan bersama sama memanjatkan doa ketepi laut tepatnya di depan kareng ponale atau kareng ju yang mana bekas perahu yang mereka tengelam dan menjadi situs karang yang mengeluarkan gelembung gelembung udara spring water hingga acara kenduri lhok masih dilaksanakan pada tahun 1982 saat Doto Raman Panglima Laot, Arbi masih sebagai Keucik .Makam sebagai Mukim Tgk Idham sebagai Imum chik dan Abd.Salam sebagai Camat masih Bergabung dalam kecamatan
Bakongan dan di hadiri Oleh ayah cek Zainal Bupati
Aceh Selatan.