Pembantaian Banjarsari terjadi pada tanggal 15 April 1987, ketika seorang petani berusia 42 tahun bernama Wirdjo menewaskan 20 orang dan melukai 12 lainnya di desa
Banjarsari di Kabupaten Banyuwangi, Indonesia.
Pembantaian dimulai di rumah Wirdjo, dimana ia menyerang anak angkatnya Renny dan temannya Arbaiyah, keduanya berusia 4 tahun, dengan parang dan sabit. Sementara Renny berhasil melarikan diri, Arbaiyah dipukul di leher dan meninggal. Wirdjo kemudian masuk ke rumah Maskur, tetangganya, dimana ia pertama kali membunuh istri Maskur dengan sabit, sebelum berbalik melawan suami berusia 80 tahun, yang mencoba untuk membantunya. Setelah itu ia berjalan menyusuri desa, menyerang orang secara acak.
Pada akhir hari Wirdjo telah menyusup total 32 orang, sebagian besar dari mereka adalah petani dalam perjalanan ke ladang dan siswa yang pergi ke sekolah mereka. 18 korban meninggal di tempat kejadian, sementara dua lainnya kemudian meninggal karena luka mereka saat dirawat di rumah sakit. Sebagai akibat dari pelakunya adalah tempat yang akan ditemukan otoritas dihentikan sementara kelas di sekolah-sekolah lokal, sementara orang-orang mengunci diri di rumah mereka.
Setelah perburuan luas, termasuk polisi, anjing, dan tentara, Wirdjo ditemukan keesokan harinya 3 mil arah barat dari rumahnya, tergantung di akar pohon yang tumbuh menjuntai di tepi sungai. Dia telah melakukan bunuh diri dengan menggantung dirinya dengan sabuknya.
= Korban
=
Di antara mereka yang tewas adalah:
Latar belakang
Wirdjo adalah anak kelima dari sembilan bersaudara. Menurut istrinya, Indarah, ia suka mabuk dan judi serta mengeluh banyak tentang warisannya. Ketika teringat kekurangannya dia akan marah dan mengancam istrinya dengan sabitnya. Sehari sebelum pembunuhan ia memukulinya selama berdebat. Dilaporkan bahwa sebelum
Pembantaian, Wirdjo telah berpuasa selama satu bulan dan bahwa ia juga telah menggali mayat ibunya di kuburan untuk mengunyah tulang-tulangnya, meskipun laporan lain menunjukkan tidak ada hal seperti itu yang terjadi karena ibunya masih hidup pada waktu itu.
Referensi