Rakai Kayuwangi adalah Raja Medang kedelapan yang memerintah sekitar tahun 855 - 885.
Dalam Prasasti Wanua Tengah III (908), ia memerintah antara 27 April 855 s.d. 17 Februari 885. Ia adalah raja setelah
Rakai Pikatan dan sebelum Dyah Tagwas.
Namanya dikenal dalam Prasasti Kwak I, Prasasti Salingsingan, Prasasti Ramwi, Prasasti Mantyasih, Prasasti Wanua Tengah III dan diperkuat oleh Naskah Wangsakerta.
Asal-Usul
Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu
Rakai Pikatan yang lahir dari permaisuri Pramodawardhani. Nama aslinya adalah Dyah Lokapala (Prasasti Wantil, Prasasti Kuti) atau Mpu Lokapala (Prasasti Argapura).
Prasasti Kuti 840 M adalah prasati tertua yang di keluarkan oleh
Rakai Kayuwangi, sedangkan menurut Prasasti Wantil atau Prasasti Siwagrha tanggal 12 November 856, diceritakan Dyah Lokapala menggantikan ayahnya, yaitu Sang Jatiningrat (gelar
Rakai Pikatan sebagai brahmana). Pengangkatan putra bungsu sebagai raja ini didasarkan pada jasa kepahlawanan Dyah Lokapala dalam menumpas musuh ayahnya, yang bermarkas di timbunan batu di atas bukit Ratu Baka.
Teori populer menyebut nama musuh tersebut adalah Balaputradewa karena pada Prasasti Wantil terdapat istilah walaputra. Namun, sejarawan Buchari tidak menjumpai prasasti atas nama Balaputradewa pada situs bukit Ratu Baka, melainkan atas nama
Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Adapun makna istilah walaputra adalah “putra bungsu”, yaitu julukan untuk Dyah Lokapala yang berhasil menumpas musuh ayahnya tersebut.
Jadi, pada akhir pemerintahan
Rakai Pikatan terjadi pemberontakan
Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang mengaku sebagai keturunan pendiri kerajaan (Sanjaya). Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala alias Sang Walaputra, sehingga ia mendapat dukungan rakyat untuk naik takhta menggantikan ayahnya.
Teori pemberontakan Mpu Kumbhayoni ini telah membantah teori populer tentang adanya perang saudara antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani dan
Rakai Pikatan sepeninggal Samarottungga.
Peristiwa Wuatan Tija
Pada tanggal 10 Desember 880
Rakai Kayuwangi mengeluarkan Prasasti Wuatan Tija untuk menganugerahi para pemuka desa Wuatan Tija karena mereka telah berjasa menolong putranya yang bernama Dyah Bhumijaya.
Dikisahkan, Dyah Bhumijaya dan ibunya yang bernama Rakryan Manak diculik oleh Rakryan Landhayan, yang tidak lain adalah saudara Rakryan Manak sendiri. Ibu dan anak tersebut berhasil lolos saat berada di desa Tangar. Namun kemudian Rakryan Manak memilih bunuh diri ketika berada di desa Taas.
Alasan Rakryan Manak bunuh diri tidak diketahui dengan pasti. Sementara itu putranya, yaitu Dyah Bhumijaya ditemukan para pemuka desa Wuatan Tija dan diantarkan kepada Maharaja
Rakai Kayuwangi.
Akhir Pemerintahan
Tidak diketahui dengan pasti kapan
Rakai Kayuwangi turun takhta. Prasasti termuda atas nama dirinya yang sudah ditemukan adalah prasasti Kalirungan tahun 883. Namun demikian, belum tentu apakah Prasasti Kalirungan merupakan prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh
Rakai Kayuwangi.
Menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah
Rakai Kayuwangi adalah
Rakai Watuhumalang. Sementara itu, nama putra mahkota pada masa pemerintahan
Rakai Kayuwangi adalah
Rakai Hino Mpu Aku. Apakah Mpu Aku identik dengan
Rakai Watuhumalang tidak diketahui dengan pasti.
Sementara itu, ditemukan nama Sang Watuhumalang Mpu Teguh dalam Prasasti Panunggalan tahun 896, tetapi bergelar haji (raja bawahan), bukan maharaja. Apakah
Rakai Watuhumalang sama dengan Haji Watuhumalang juga tidak dapat dipastikan.
Muncul pula prasasti Munggu Antan tahun 887 atas nama Maharaja
Rakai Gurunwangi dan prasasti Poh Dulur tahun 890 atas nama Maharaja
Rakai Limus Dyah Dewendra. Keduanya tidak terdapat dalam daftar raja prasasti Mantyasih. Mungkin saat itu telah terjadi perpecahan sehingga
Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja Medang.
Nama
Rakai Gurunwangi Dyah Ranu dan Dyah Saladu ditemukan dalam Prasasti Plaosan dan diduga sebagai putra atau menantu
Rakai Pikatan. Apakah mereka sama dengan Maharaja
Rakai Gurunwangi tidak dapat dipastikan. Namun apabila benar-benar identik, berarti
Rakai Gurunwangi selaku kakak
Rakai Kayuwangi memberontak dan mendirikan kerajaan sendiri karena cemburu pada adik bungsunya tersebut.
Rakai Watuhumalang yang menurut prasasti Mantyasih merupakan raja Kerajaan Medang sesudah
Rakai Kayuwangi. Kemudian ia digantikan oleh Dyah Balitung yang naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Mungkin yang dimaksud ialah Dyah Balitung merupakan menantu
Rakai Watuhumalang.
Menurut Prasasti Telahap, istri Dyah Balitung adalah cucu raja yang dimakamkan di Pastika alias
Rakai Pikatan. Jadi,
Rakai Watuhumalang bisa jadi adalah putra, atau mungkin menantu
Rakai Pikatan. Dengan kata lain, sepeninggal
Rakai Kayuwangi takhta Kerajaan Medang jatuh kepada kakaknya (atau mungkin iparnya), yaitu
Rakai Watuhumalang.
Sementara itu, tentang hubungan antara
Rakai Kayuwangi dengan Maharaja
Rakai Limus Dyah Dewendra sampai saat ini belum dapat diperkirakan.
Kutipan
Referensi
Ayatrohaedi. 2005. SUNDAKALA Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Bandung: Pustaka Jaya
Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
Teguh Asmar & Nuriah. 1985. PRASASTI KOLEKSI MUSEUM NASIONAL JILID I. Jakarta: Museum Nasional