Karampuang terletak di dusun
Karampuang, Desa Tompobulu, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.
Rumah adat Karampuang terdiri dari dua unit
Rumah adat yang masing-masing ditempati oleh pemangku
adat dengan fungsi yang berbeda-beda. Satu sebagai tempat tinggal raja (Arung atau To Matoa) yang juga sebagai tempat menyimpan benda-benda kerajaan (arajang). Sementara satu unit lainnya sebagai tempat tinggal perdana menteri (Gella).
Kampung
adat Karampuang secara administratif terletak di Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. Desa Tompobulu adalah salah satu dari tujuh desa/kelurahan dalam wilayah Kecamatan Bulupoddo yang terletak sekitar 30 km dari kota Sinjai (ibu kota kabupaten). Desa Tompobulu memiliki luas sekitar 3.203 ha, terdiri dari tujuh dusun dengan jumlah RW sebanyak 15 dan RT sebanyak 30. Desa Tompobulu secara geografis terletak antara 5° 9’ 10” sampai 5° 4’ 10” Lintang Selatan dan 120° 3’ 20” sampai 120° 7’ 30” Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bone, sebelah Timur dengan Desa Duampanuae, sebelah Selatan dengan Desa Bulu Tellue, dan sebelah Barat dengan Kecamatan Sinjai Barat. Secara morfologi, Desa Tompobulu terdiri dari daerah dataran tinggi pada perbukitan sedang dan landai, terletak pada ketinggian 400–800 m di atas permukaan laut dengan kemiringan lereng antara 5-15% dan 15-40%. Desa Tompobulu didominasi oleh jenis tanah andesit basal dan batuan gunung api serta batuan granodiarit sehingga dikelilingi perkebunan, hutan, dan sawah. Perkebunan seluas 715 ha, hutan seluas 1.060 ha, dan sawah seluas 246 ha.
Kondisi Umum Masyarakat Kampung adat Karampuang
Kampung
adat Karampuang merupakan sebuah wilayah permukiman Suku Bugis yang terletak di Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. Sistem kekerabatan yang dianut kalangan masyarakat Bugis adalah Ade’ Asseajingeng, sistem ini menyatakan peranannya dalam hal pencarian jodoh atau perkawinan untuk membentuk keluarga baru. Penarikan garis keturuanan masyarakat Bugis berpedoman kepada prinsip bilateral, artinya hubungan seseorang dengan kerabat pihak kerabat ayah dan pihak ibu sama erat dan pentingnya. Penggolongan kerabat (seajing) di kalangan orang Bugis dibedakan antara rappe atau kelompok kerabat sedarah dan sumpung lolo atau pertalian kerabat karena perkawinan. Kerabat itu dibedakan pula atas kerabat dekat (seajing mareppe) dan kerabat jauh (seajing mabela).
Masyarakat Desa Tompobulu sebagian besar sudah menganut agama Islam, namun masih ada yang memiliki sistem kepercayaan yang relatif sama dengan animisme, terutama masyarakat yang bermukim dalam wilayah
adat. Ritual-ritual yang dilakukan untuk melakukan persembahan kepada roh-roh nenek moyang sebagai suatu ucapan terima kasih dan bentuk permohonan agar ke depannya hidup menjadi lebih baik. Ada ketakutan tersendiri ketika tidak turut serta dalam proses pelaksanaan ritual, membuat masyarakat di wilayah
adat Kampung
adat Karampuang sangat setia terhadap keyakinan mereka. Masyarakat yang tinggal dalam wilayah
adat Kampung
adat Karampuang berjumlah 481 jiwa yang tercatat terdiri dari 133 kepala keluarga dengan laki-laki berjumlah 230 jiwa dan perempuan berjumlah 251 jiwa. Mayoritas masyarakat Desa Tompobulu berprofesi sebagai petani, tanaman yang ditanam seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan beberapa jenis sayuran, buah-buahan dan tanaman perkebunan. Masyarakat Desa Tompobulu juga berternak sapi, kerbau, kuda, kambing, dan ayam. Di samping itu masyarakat Desa Tompobulu ada juga yang berprofesi sebagai buruh migran, PNS, dan pedagang.
Sistem Pemerintahan Kampung adat Karampuang
Masyarakat Kampung
adat Karampuang dipimpin oleh seorang Arung atau To Matoa dibantu oleh Gella, Sanro, dan Guru. Mereka dikenal dengan istilah Ade’ Eppae. Ade’ Eppa adalah pemimpin tertinggi yang menjadi tempat terakhir dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan segala permasalahan dalam kawasan
adat. Apabila diantara mereka ada yang tidak setuju maka keputusan tersebut tidak akan dilaksanakan. To Matoa, Gella, Sanro, dan Guru digambarkan dalam pesan “Eppa Alliri Pattepona Wanuae” (empat tiang penyanggah negeri) dengan Api Tettong Arung (api berdiri arung), Tanah Tudang Ade’ (tanah duduk
adat), dan Anging Rekko Sanro (angin membengkokkan sanro) serta Wae Suju Guru (air membersihkan guru) yang bermakna Arung harus tegas, Gella harus jujur, Sanro harus tabah, dan Guru harus damai. Jabatan Arung, Gella, dan Guru harus dijabat oleh seorang laki-laki dan Sanro dijabat oleh seorang perempuan.
Arung atau To Matoa adalah pemimpin tertinggi masyarakat
adat Kampung
adat Karampuang. Arung sangatlah dihormati karena setiap perkataan yang dia ucapkan adalah hal yang harus ditaati dan diteladani oleh masyarakatnya. Arung atau To Matoa mempunyai tanggung jawab untuk mengurus semua hal yang berhubungan dengan leluhur, orang-orang suci, atau dewa-dewa. Gella bertanggung jawab mengurus masalah tanah, pertanian, dan kemakmuran masyarakat. Sanro mengurus masalah kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan. Guru mengurus masalah pendidikan dan keagamaan. Apabila salah satu di antara mereka ada yang meninggal, maka sebelum dimakamkan penggantinya sudah harus ditetapkan. Ketika Arung atau To Matoa yang meninggal, maka yang menetapkan penggantinya adalah Gella begitupun sebaliknya. Ketika Guru dan Sanro yang meninggal, maka yang menetapkan penggantinya adalah Arung dan Gella.
Kampung
adat Karampuang juga dilengkapi dengan aturan-aturan
adat. Aturan
adat ini telah mengikat masyarakatnya untuk tunduk dan patuh kepada pemangku
adat. Aturan adatnya dikenal dengan hukum pabbatang, hukum pertama yang utama dan benar-benar hidup dalam kesadaran jiwa dan raga warga masyarakat
Karampuang yang tercermin dalam aktivitas dan tindakan mereka dalam
adat istiadat dan sosial budaya mereka dan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas. Peran pabbatang adalah sebagai bentuk penyelesaian sengketa bagi masyarakat
Karampuang. Masyarakat
Karampuang menganggap bahwa hukum pabbatang merupakan hukum tertinggi dalam kawasan
adat mereka.
Proses Penyelesaian Sengketa
Proses penyelesaian sengketa menurut hukum pabbatang dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:
a. Pettu Ana Malolo adalah kegiatan musyawarah penyelesaian masalah/sengketa yang dipimpin oleh Ana Malolo Arung atau Ana Malolo Gella di
Rumah yang bersengketa atau di
Rumah ana malolo. Ana malolo dalam hal ini hanya menengahi permasalahan dan tidak membuat keputusan dan sangsi. Apabila dari musyawarah ini pihak yang bersengketa belum berdamai atau belum menemukan jalan keluar dari masalahnya, maka akan dilanjutkan ke tingkatan selanjutnya.
b. Pettu Gella adalah kegiatan musyawarah penyelesaian masalah/sengketa yang dipimpin oleh Gella di
Rumah adat Gella. Pada musyawarah ini, Gella membuat keputusan dan sangsi tetapi belum mengikat, karena yang bersengketa masih dapat mengajukan sikap tidak setuju terhadap keputusan Gella kepada To Matoa atau Arung.
c. Pettu To Matoa adalah kegiatan musyawarah penyelesaian masalah/sengketa yang dipimpin oleh Arung/To Matoa di
Rumah adat Arung/To Matoa. Keputusan dari musyawarah ini adalah keputusan akhir yang tidak dapat diganggu gugat. To Matoa atau Arung didampingi oleh seluruh pembantunya mengeluarkan keputusan di bawah sumpah
adat. Masyarakat yang bersengketa diperintahkan berdiri di bawah tangga lalu keputusan dibacakan kemudian Arung menutup pintu dan sengketa dianggap selesai. Apabila ada masyarakat yang tidak menerima keputusan
adat, maka akan dikucilkan serta tidak diperbolehkan menghadiri pesta atau kegiatan
adat.
Kampung
adat Karampuang merupakan permukiman tradisional masyarakat suku bugis Sinjai. Secara administratif terletak di Desa Tompobulu, wilayah terluas dari Kecamatan Bulupoddo. Secara
adat wilayah Kampung
adat Karampuang mencakup seluruh Desa Tompobulu dan sebagian wilayah Desa Bulu Tellue, tetapi memberikan pengaruh yang sangat luas hingga mencakup seluruh wilayah Kabupaten Sinjai. Sejarah Kampung
adat Karampuang dalam naskah tua daun lontar yang dimiliki pemangku
adat, dimulai dari kehadiran sosok yang tidak dikenal di puncak sebuah bukit bernama Batu Lappa yang kemudian sosok tersebut dinamakan To Manurung. To Manurung membangkitkan kekaguman seluruh masyarakat Kampung
adat Karampuang yang melihatnya, masyarakat merinding dan merasakan karampulue (bulu kuduk berdiri). Kata karampulue akhirnya dijadikan nama kampung. Seiring perubahan zaman karampulue berubah menjadi
Karampuang dikarenakan kampung ini sering digunakan sebagai tempat persinggahan raja-raja atau bangsawan Makassar dan Gowa yang dipanggil Karaeng dan bangsawan Bone yang dipanggil Puang.
Kampung
adat Karampuang merupakan permukiman yang berada di wilayah topografi perbukitan dengan kondisi lingkungan alam yang masih alami berupa perkebunan, sawah, dan hutan, namun sebagian dari wilayah permukimannya berada pada kondisi tanah datar. Kampung
adat Karampuang memiliki dua buah
Rumah adat, salah satunya ditempati oleh To Matoa atau Arung dan satunya lagi ditempati oleh Gella.
Rumah adat Kampung
adat Karampuang memiliki keunikan,
Rumah-
Rumah adat bugis pada umumnya menampilkan simbol kejantanan (laki-laki), sedangkan
Rumah adat Kampung
adat Karampuang menampilkan simbol feminitas (perempuan). Kawasan
Rumah adat Kampung
adat Karampuang adalah pusat pemerintahan dan kegiatan
adat di Kampung
adat Karampuang.
Kampung
adat Karampuang awalnya dibangun di atas tanah yang disebut Cimbolo yaitu tanah berbentuk seperti tempurung kelapa yang mengapung di atas permukaan air. Tanah ini terletak di puncak bukit bernama Batu Lappa tidak jauh dari
Rumah adat. Masyarakat Kampung
adat Karampuang kemudian mulai membuka lahan-lahan baru untuk tempat tinggal dan untuk hidup mereka mengolah lahan milik
adat. Lahan milik
adat disebut lahan arajang, arajang disini berarti sesuatu yang dimiliki Kampung
adat Karampuang dan menjadi sumber kekaguman dan kebanggaan mereka, terdiri dari benda-benda bersejarah dan lahan-lahan milik
adat. Lahan arajang adalah tanah
adat yang dikuasai oleh Arung atau To Matoa dan dipercayakan kepada pengikut-pengikutnya. Sistem pengelolaan lahannya dibedakan menjadi tiga, pertama yaitu lahan yang dikelola oleh Arung atau To Matoa dan pembantunya, kedua yaitu lahan yang dikelola secara bergantian oleh masyarakat, dan yang ketiga yaitu lahan yang dikelola bersama-sama yang khusus diperuntukkan untuk keluarga Arung atau To Matoa.
Lanskap Kampung
adat Karampuang secara umum terdiri atas perkebunan, sawah, dan hutan. Pembagian dan pengelolaan sawah menjadi hak Arung atau To Matoa, sedangkan pembagian dan pengelolaan kebun menjadi hak Gella. Masyarakat yang mengelola lahan
adat hanya memiliki hak pakai terhadap lahan tersebut. Lahan
adat yang menjadi hak milik pribadi hanya lahan-lahan yang dibuka untuk tempat tinggal yang memiliki batas berupa batu yang disusun menyerupai pondasi. Lahan yang dibuka adalah lahan
adat berupa hutan. Hutan Kampung
adat Karampuang adalah lahan
adat yang dikelola secara luas oleh masyarakat
adat. Hutan milik
adat yang dibuka dan dimanfaatkan masyarakat
adat adalah hutan addaresseng, hutan yang memang diperuntukkan untuk kebutuhan masyarakat
adat. Tetapi ada hutan yang tidak boleh sama sekali diganggu, hutan yang mengelilingi
Rumah adat dan menjadi tempat sakral yang dinamakan hutan karama.
Hal yang menjadi sumber kebanggaan dan kekaguman masyarakat Kampung
adat Karampuang lainnya adalah
Rumah adatnya. Dua
Rumah adat yang masing-masing dimiliki Arung atau To Matoa dan Gella yang berdiri di dalam kawasan
adat dan dikellilingi hutan
adat.
Rumah adat ini adalah pusat kegiatan tradisi dan budaya, juga pusat dijalankannya ibadah-ibadah yang dianut masyarakat
adat Kampung
adat Karampuang.
Rumah adat ini juga sebagai tempat menyimpan benda-benda arajang yang sakral yang dipakai dalam upacara-upacara
adat. Elemen lanskap lainnya yang terdapat dalam kawasan
adat Kampung
adat Karampuang adalah sumur dan makam. Secara umum, sumur dan makam yang terdapat di dalam kawasan
adat merupakan elemen lanskap yang di gunakan leluhur masyarakat Kampung
adat Karampuang terdahulu dalam aktivitas sosial dan budayanya. Sumur dan makam ini berada di tengah-tengah kawasan
adat dan dikelola sendiri oleh masyarakat
adat.
Tradisi Budaya
Kampung
adat Karampuang merupakan salah satu komunitas masyarakat
adat yang dikenal masih tetap mempertahankan tradisi dan nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Tradisi dan nilai-nilai budaya yang masih tetap dipertahankan hingga sekarang adalah bentuk wujud mengenang leluhur sebagai bagian dari kehidupan mereka. Tradisi yang pernah dan masih ada hingga sekarang seperti ritual kematian, pappabitte (sabung ayam), mappogau hanuae (pesta
adat kampung), mappalesso ase (pelepasan benih), maddui (menarik), buruda (dzikir bersama perkawinan), elong poto (nyanyian suka cita), maulu dan miraje (maulid dan isra miraj), dan sikkiri juma (dzikir jumat), serta pattang lompo (buka puasa bersama).
= 1. Tradisi Mappogau Hanuae
=
Tradisi yang dikenal sebagai pesta
adat kampung ini dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur keberhasilan panen dan juga untuk mengenang leluhur terdahulu. Tradisi ini dilaksanakan setahun sekali dan dihadiri seluruh masyarakat
adat Kampung
adat Karampuang bahkan masyarakat di luar wilayah
adat Kampung
adat Karampuang. Tradisi Mappogau Hanuae dipusatkan dalam wilayah
adat. Tradisi ini melibatkan seluruh masyarakat
adat khususnya masyarakat yang tinggal dalam wilayah
adat dan seluruh pemangku
adat. Arung atau To Matoa adalah pelaksana sekaligus pemimpin tertinggi dalam tradisi ini. Tradisi ini berlangsung dalam beberapa tahap:
a) Mabbahang adalah musyawarah
adat yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Inti acara ini adalah Mattanra Esso atau menentukan hari dilaksanakannya tradisi Mappogau Hanuae. Masyarakat Kampung
adat Karampuang percaya bahwa hanya ada dua hari yang dianggap baik, yakni hari senin dan hari kamis untuk pelaksanakan Mappogau Hanuae sesuai perhitungan
adat mereka.
b) Mappaota adalah ritual permohonan izin atau restu kepada leluhur untuk melaksanakan Mappogau Hanuae.
c) Mabbaja-baja adalah kegiatan membersihkan
Rumah, pekarangan, jalanan, dan sumur serta yang paling penting adalah tempat dilaksanakannya Mappogau Hanuae.
d) Menre ri Bulu adalah puncak dari acara Mappogau Hanuae yang dilaksanakan di puncak bukit.
e) Mabbali sumange adalah acara penyiapaan kue khusus yang disebut dengan kue bali sumange yang kuenya hanya boleh dibuat pada saat acara Mabbali Sumange.
f) Malling adalah tahapan terakhir dari tradisi Mappogau Hanuae. Malling atau berpantang dimulai tiga hari setelah Mabbali Sumange. Pantangan bagi masyarakat
adat Karampuang yaitu temmappacera (memotong hewan ternak), temmaraungkaju (membuat sayur dari daun), dan mapparumpu (melaksanakan ritual tersendiri). Malling ini dilaksanakan lima hari dirumah
adat Arung atau To Matoa, tiga hari di
Rumah adat Gella, satu hari dirumah penduduk.
= 2. Tradisi Maddui
=
Selain tradisi Mappogau Hanuae, ada tradisi lain yang dilaksanakan masyarakat
adat Kampung
adat Karampuang dalam wilayah
adat yaitu tradisi Maddui. Tradisi Maddui dilaksanakan khusus untuk
Rumah adat sebagai bentuk kegiatan menghormati
Rumah adat, simbol eksistensi Kampung
adat Karampuang. Tradisi Maddui bertujuan untuk memelihara
Rumah adat, mengganti bagian-bagian tertentu dari
Rumah adat yang sudah mulai rusak seperti tiang, panampa, palungeng dan pareha leppa.
Rumah adat dianggap dimiliki seluruh masyarakat
adat tanpa memandang status sosial sehingga dalam tradisi ini melibatkan seluruh masyarakat
adat. Tradisi Maddui adalah tradisi yang dilaksanakan bersama-sama untuk memindahkan batang pohong gupasa atau aju bitti yang berdiameter besar. Tradisi ini dilakukan dengan cara menarik batang pohon dari hutan ke pekarangan
Rumah adat tanpa memikulnya. Proses pemindahan dengan cara menarik batang pohon tanpa dipikul ini dimaksudkan untuk melibatkan seluruh masyarakat
adat mulai dari orang tua sampai anak kecil dan memperkuat sifat gotong royong mereka. Tidak hanya menarik kayu tetapi diiringi nyanyian yang berisi syair-syair khusus yang dikenal dengan Elong Padduik.
Respon Terhadap Lingkungan
Menjaga keharmonisan sesama manusia dan lingkungan, menjadi konsep hidup masyarakat Kampung
adat Karampuang dalam penghayatannya terhadap keyakinan mereka. Implikasi dari keyakinan animesme masyarakat Kampung
adat Karampuang terdahulu menyebabkan masyarakat
adat Kampung
adat Karampuang percaya bahwa segala musibah yang menimpa dirinya secara individu ataupun kelompok bersumber dari kesalahan atau kerusakan yang diperbuatnya terhadap orang lain, alam atau lingkunganya, sehingga untuk memperbaiki musibah yang menimpanya perlu adanya suatu upacara atau ritual
adat dengan membawa persembahan kepada alam (hutan). Konsep hidup ini kemudian diyakini, menjadi pedoman, dan budaya yang diwariskan dalam kehidupan bermasyarakat di Kampung
adat Karampuang, membuat masyarakat Kampung
adat Karampuang sangat dekat dan bergantung pada alam dan lingkungannya (hutan), serta dalam memanfaatkan hasil bumi masyarakat tidak mengeksploitasi berlebihan.
Masyarakat Kampung
adat Karampuang menggantungkan hidupnya pada hutan. Hutan merupakan tempat masyarakat
adat Kampung
adat Karampuang memperoleh makanan. Lahan untuk tempat tinggal ataupun bertani diperoleh masyarakat
adat Kampung
adat Karampuang dari membuka hutan. Pepohonan di hutan juga dimanfaatkan sebagai bahan untuk membangun tempat tinggal, dengan meminta izin dari pemangku
adat terlebih dahulu dan memperhatikan hal-hal tabu/sakral yang mengatur gerak-geriknya dalam hutan. Hutan yang ada pada Kampung
adat Karampuang termasuk hutan yang memiliki pepohonan yang besar. Pepohonan yang banyak dimanfaatkan masyarakat
adat Kampung
adat Karampuang selain pohon enau, bambu, dan rotan serta ijuk sebagai bahan untuk membangun tempat tinggal adalah pohon gupasa. Masyarakat
adat Kampung
adat Karampuang mengenalnya dengan aju bitti. Pohon ini memiliki diameter batang yang lebar dan kayu yang kuat. Pohon dengan diameter batang yang lebar dan kuat tersebut diambil dari hutan dan dijadikan sebagai tiang-tiang
Rumah. Sebagian besar bagian
Rumah terbuat dari kayu sementara sebagian kecilnya menggunakan material bambu.
Seperti kebanyakan
Rumah-
Rumah adat Bugis pada masyarakat Sulawesi Selatan,
Rumah adat Kampung
adat Karampuang juga dibangun dengan bentuk
Rumah panggung.
Rumah dibangun dengan bentuk
Rumah panggung agar terhindar dari serangan binatang buas yang datang dari hutan. Pekarangan dari rumahnya pun untuk beberapa bagian bersih dari rumput, tujuannya agar dapat digunakan untuk menjemur hasil pertanian, ini dipengaruhi dari aktivitas masyarakat yang mayoritasnya berprofesi sebagai petani. Masyarakat Kampung
adat Karampuang dahulu yang ingin bertani membuka hutan dekat dengan sungai atau hutan dengan kondisi lahan yang datar untuk kepentingan lahan pertanian mereka. Aktivitas ini merupakan salah satu bentuk respon maupun adaptasi masyarakat
adat Kampung
adat Karampuang terhadap kondisi lingkungan. Alam dekat dengan sungai menyediakan tanah yang subur dan sangat baik untuk dimanfaatkan, lahan yang datar mampu menyimpan air hujan untuk sistem pengairan sawah mereka. Sistem pengairan sawah tadah hujan yang digunakan oleh masyarakat pada waktu itu masih dilestarikan hingga sekarang, walaupun sistem pengairan seperti ini sudah mulai digantikan dengan sistem pengairan lainnya dan beberapa beralih ke perkebunan kakao.
Jaringan Sirkulasi
Dalam wilayah
adat Kampung
adat Karampuang terdapat dua tipe jalan yang digunakan sebagai akses masyarakat yang tinggal di Kampung
adat Karampuang untuk menuju sawah, kebun, atau ke suatu tempat di luar Kampung
adat Karampuang yaitu jalan lokal dan jalan lingkungan. Jalan lokal merupakan jalan utama yang menghubungkan antara wilayah
adat dan wilayah di luar wilayah
adat. Sedangkan jalan lingkungan adalah jalan penghubung di dalam wilayah
adat. Jenis konstruksi untuk jalan lokal berupa jalan beraspal sedangkan jalan lingkungan masih berupa jalan setapak dan jalan tanah. Lebar jalan sekitar dua sampai tiga meter. Akses masyarakat
adat Kampung
adat Karampuang dahulu dilakukan dengan berjalan kaki melalui jalan tanah atau jalan setapak dan untuk mengangkut hasil-hasil pertanian dari kebun maupun sawah pada umumnya masyarakat Kampung
adat Karampuang memikulnya. Kedatangan bangsa Belanda ke nusantara membuat akses jalan-jalan aspal dari berbagai penjuru mulai dibangun, permukiman semakin berkembang dan wilayah terluar mulai bisa diakses. Keberadaan akses jalan membuat Kampung
adat Karampuang yang berjarak sekitar 30 km dari ibu kota Kabupaten Sinjai yaitu Sinjai Utara, dan dari ibu kota propinsi yaitu Makassar berjarak sekitar 223 km semakin bekembang dan mudah diakses.
Kampung
adat Karampuang dapat ditempuh menggunakan angkutan umum ataupun angkutan pribadi, tetapi bus yang berukuran besar tidak dapat menjangkau hanya mini bus, dikarenakan lebar jalan yang terlalu kecil, medan yang terjal, dan kondisi jalan yang rusak dalam tahap perbaikan. Wisatawan yang menggunakan mobil pribadi atau mini bus atau sepeda motor dari Kota Sinjai menuju Kampung
adat Karampuang dapat ditempuh selama kurang lebih satu jam dengan kondisi jalan relatif baik selebar kurang lebih lima meter dan dapat dilalui kendaraan dua arah hingga masuk ke kota Kecamatan Bulupoddo, selanjutnya melalui jalan selebar tiga meter menuju Kampung
adat Karampuang. Sepanjang jalan menuju Kampung
adat Karampuang, wisatawan akan menikmati lanskap khas daerah petanian dengan melewati persawahan, perkebunan, dan sungai dipinggir jalan. Kualitas visual lanskap yang khas dan unik sepanjang jalan menuju Kampung
adat Karampuang tersebut merupakan potensi sebagai pengantar wisatawan sebelum memasuki Kampung
adat Karampuang
Bangunan dan Struktur
Bangunan dan struktur yang khas dan menjadi karakter yang kuat dan bernilai penting pada lanskap Kampung
adat Karampuang adalah
Rumah adatnya.
Rumah dalam bahasa bugis disebut dengan bola. Bola adalah
Rumah masyarakat biasa sedangkan
Rumah kaum bangsawan dikenal dengan saoraja. Saoraja Kampung
adat Karampuang adalah tempat tinggal para pemangku
adat dan sekaligus juga sebagai tempat atau pusat kegiatan budaya dan tradisi masyarakat
adat Kampung
adat Karampuang. Kampung
adat Karampuang memiliki dua buah saoraja, yang pertama ditempati oleh Arung atau To Matoa dan yang kedua ditempati oleh Gella. Perbedaan mendasar dapat dilihat dari atap berbentuk prisma sebagai penutup bubungan yang biasa disebut timpa’ laja. Timpa laja’
Rumah adat Arung atau To Matoa bersusun tiga sedangkan timpa’ laja
Rumah adat Gella bersusun dua. Menurut
adat masyarakat bugis, strata sosial atau kedudukan seseorang dapat dilihat dari timpa’ laja-nya, semakin banyak susunan timpa’ laja-nya semakin tinggi strata sosial sang pemilik
Rumah di masyarakat.
Rumah adat Kampung
adat Karampuang sudah mengalami perubahan bentuk beberapa kali. Bentuk awal
Rumah adatnya disebut dengan langkeang,
Rumah adat bertiang satu yang bentuknnya menyerupai payung, kemudian
Rumah bertiang tiga, dan
Rumah adat yang seperti sekarang. Perubuhan
Rumah adat menjadi bentuk seperti sekarang karena dipengaruhi oleh agama Islam. Jumlah tiang
Rumah sebanyak 30 tiang melambangkan jumlah juz dalam Al-Quran. Jumlah tiang yang membujur dari utara ke selatan sebanyak lima tiang melambangkan jumlah Rukun Islam. Jumlah tiang yang melintang dari barat ke timur sebanyak enam tiang melambangkan Rukun Iman.
Rumah adat Kampung
adat Karampuang secara umum memiliki bagian-bagian
Rumah yang terdiri atas alliri yaitu tiang pondasi
Rumah, pattolo atau pare yaitu penghubung antara satu tiang dengan tiang lainnya, addeneng atau tangga
Rumah, renring atau dinding
Rumah, tellongeng yaitu jendela
Rumah, dan rakkeang tempat menyimpan barang dan berbagai peralatan
Rumah serta tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka.
Rumah adat Kampung
adat Karampuang mempunyai filosofi bentuk yang melambangkan feminimitas tubuh seorang perempuan. Perempuan yang menjadi filosofi bentuk tersebut adalah perempuan yang dijadikan sosok To Manurung (manusia suci yang turun dari langit yang asal-usulnya tidak diketahui). Masyarakat Kampung
adat Karampuang percaya bahwa perempuan yang menjadi sosok To Manurung ini adalah seorang dewi. Masyarakat Kampung
adat Karampuang menyebutnya dengan Nene’ Makkunrai Indo ri
Karampuang (nenek yang dijadikan ibu di
Karampuang).
Rumah adat Kampung
adat Karampuang dihiasi dengan ornamen dan ukiran berbagai motif dengan filosofis bentuk feminitasnya pada bagian-bagian tertentu. Secara umum terdiri atas tangga dan pintu yang terletak di tengah
Rumah yang rata dengan lantai dan untuk membukanya harus diangkat melambangkan jika manusia lahir dari rahim seorang ibu, dua buah dapur di depan pintu melambangkan buah dada, bate-bate di sebelah kiri dan kanan melambangkan anting-anting, tappi melambangkan mahkota atau tusuk konde, dan ukiran simpul nabi pada posi bola (tiang
Rumah bagian tengah) melambangkan seorang manusia lahir kedunia untuk mengikuti perintah Allah SWT. yang di bawah oleh Rasulullah SAW., serta lubang berbentuk segitiga pada dinding
Rumah melambangkan bahwa satu
Rumah dihuni oleh satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak dan terletak di bagian belakang dengan maksud tempat keluar hal-hal yang tidak baik.
Situs Arkeologi
Pada lanskap Kampung
adat Karampuang situs arkeologi yang ditemukan berupa gua dengan batu bertulis, batu temu gelang, dan batu menhir. Gua dengan batu bertulis oleh masyarakat Kampung
adat Karampuang diberi nama gua cucukan, goresan dinding gua berupa gambar semacam prasasti. Goresan berupa dua buah lingkaran yang tidak sama besarnya diyakini sebagai gambaran bulan dan Matahari, garis-garis vertikal, segitiga, mata tombak, dan kepala hewan berkaki empat, serta perahu. Goresan yang lain yang menggambarkan Kampung
adat Karampuang adalah goresan manusia bergaya kangkang (hockerstyle). Goresan tidak proporsional yang diyakini sebagai gambaran seorang perempuan berdasarkan hiasan yang dikenakan di bagian telinga. Situs lainnya yang membentuk karakter lanskap Kampung
adat Karampuang adalah batu temu gelang. Batu temu gelang ini tersebar di wilayah
adat Kampung
adat Karampuang. Batu temu gelang ini merupakan susunan batu berbentuk pipih tanpa perekat. Sementara batu menhir ditemukan pada makam-makam leluhur atau makam nenek moyang masyarakat Kampung
adat Karampuang yang diyakini pertama kali membangun dan tinggal di Kampung
adat Karampuang, batu menhir tersebut berupa batu berbentuk lonjong atau persegi yang ditanam di atas makam dengan posisi tegak berdiri sebagai batu nisan atau penanda makam. Makam ini diperkirakan berusia lebih dari ratusan tahun. Makam ini terletak di kawasan hutan
adat dekat dengan
Rumah adat.
Referensi
Pranala luar
https://celebesonline.com/2018/07/05/98505/mengenal-wanita-dalam-garis-filosofi-
Rumah-
adat-kampauang/
http://wartasulsel.net/2018/08/17/kemendikbud-
Rumah-
adat-
Karampuang-sebagai-warisan-budaya-nasional/
http://news.rakyatku.com/read/123061/2018/10/12/tiga-budaya-sinjai-masuk-warisan-budaya-tak-benda-indonesia Diarsipkan 2018-10-23 di Wayback Machine.