Kekaisaran Sasani (bahasa Persia: دودمان ساساني, Dudmân Sâsâni),
Kekaisaran Wangsa Sasan, atau
Kekaisaran Persia Baru adalah
Kekaisaran bangsa Iran yang ketiga dan
Kekaisaran Persia yang kedua.
Kekaisaran Sassania merupakan
Kekaisaran Persia pra-Islam terakhir dan dipimpin oleh Dinasti Sassania pada tahun 224 hingga 651 M.
Kekaisaran Sassania, yang menggantikan
Kekaisaran Parthia atau
Kekaisaran Arkasid, diakui sebagai salah satu kekuatan utama di Asia Barat, Selatan, dan Tengah, bersama dengan
Kekaisaran Romawi dan
Kekaisaran Bizantium, dalam periode selama lebih dari 400 tahun.
Kekaisaran Sassania didirikan oleh Ardashir I, setelah keruntuhan
Kekaisaran Parthia dan kekalahan raja Parthia terakhir, Artabanos IV (bahasa Persia: اردوان, Ardavan); dan
Kekaisaran ini berakhir ketika Syahansyah (Raja Segala Raja) Sasania terakhir, Yazdegerd III (632–651), kalah dalam perjuangan selama 14 tahun untuk menyingkirkan kekhalifahan Islam yang pertama, yaitu pendahulu dari
Kekaisaran-
Kekaisaran Islam lainnya. Wilayah
Kekaisaran ini meliputi wilayah yang kini menjadi Iran, Irak, Armenia, Afganistan, bagian timur Turki, dan sebagian India, Suriah, Pakistan, Kaukasia, Asia Tengah dan Arabia. Selama pemerintahan Khosrau II (590–628), Mesir, Yordania, Palestina, Israel, dan Libanon juga sementara waktu merupakan wilayah
Kekaisaran ini.
Bangsa Sassania menamakan kerajaan mereka Eranshahr (Wilayah kekuasaan bangsa Iran (Arya)) atau Ērān dalam bahasa Persia Pertengahan, yang menghasilkan istilah Iranshahr and Iran dalam bahasa Persia Baru. Masa kekuasaan Sassania terbentang sepanjang periode Abad Kuno Akhir (bahasa Inggris: Late Antiquity), dan dianggap sebagai salah satu periode yang paling penting dan berpengaruh dalam sejarah Iran. Dalam banyak hal periode Sassania menyaksikan pencapaian tertinggi kebudayaan Persia, dan melambangkan kemegahan
Kekaisaran Iran terakhir sebelum penaklukan muslim dan berkembangnya agama Islam.
Menurut legenda, veksiloid
Kekaisaran Sassania adalah Derafsh Kaviani. Diduga juga bahwa peralihan menuju
Kekaisaran Sassania melambangkan akhir perjuangan etnis proto-Persia melawan kerabat etnis migran dekat mereka, yakni bangsa Parthia, yang tempat asalnya adalah di Asia Tengah.
Persia memiliki pengaruh yang cukup besar pada kebudayaan Romawi selama masa Sassania, dan bangsa Romawi menganggap bangsa Persia Sassania sebagai satu-satunya bangsa yang berstatus sama dengan mereka. Hal ini diperlihatkan misalnya dalam surat-surat yang ditulis oleh Kaisar Romawi kepada Syahansyah Persia, yang pada alamatnya bertuliskan kata "kepada saudaraku". Pengaruh kebudayaan Sassania terbentang jauh melebihi batas-batas wilayah
Kekaisaran mereka, dan bahkan menjangkau sampai Europa Barat, Afrika, Tiongkok, dan India, serta berperan penting dalam pembentukan seni-seni Abad Pertengahan di Eropa dan Asia.
Pengaruh tersebut terus terbawa ke masa awal perkembangan dunia Islam. Kebudayaan yang unik dan aristokratik dari dinasti ini telah mengubah penaklukan Islam atas Iran menjadi sebuah Renaisans Persia. Banyak hal yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan, arsitektur, dan penulisan Islam serta berbagai keahlian lainnya, diperoleh dari Sassania Persia dan kemudian disebarkan pada dunia Islam yang lebih luas. Sebagai contohnya ialah bahasa resmi Afghanistan, yaitu Bahasa Dari yang merupakan dialek dari Bahasa Persia, merupakan perkembangan dari bahasa kerajaan bangsa Sassania.
Sejarah
= Asal mula dan sejarah awal (205–310)
=
Dinasti Sassania didirikan oleh Ardashir I (226–241), seorang keturunan kaum pendeta Dewi Anahita di Istakhr, Pars (Fars), yang pada awal abad ke-3 telah berhasil menjadi gubernur wilayah tersebut. Ayahnya Pabag (juga disebut Papak atau Babak), awalnya adalah penguasa kota kecil bernama Kheir. Ia tahun 205 berhasil menggulingkan Gocihr, raja terakhir dinasti Bazrangid (yaitu penguasa lokal Pars yang merupakan sekutu dari Parthia) dan mengangkat dirinya sendiri menjadi penguasa baru. Ibunya, Rodhagh, adalah putri dari gubernur provinsi Persis. Nama dinasti ini sendiri berasal dari kakek pihak ayah Ardashir I, yaitu Sassan, seorang pendeta besar Kuil Anahita.
Usaha Pabag menguasai daerah tersebut pada awalnya luput dari perhatian kaisar dinasti Ashkâniâ Artabanus IV, yang saat itu sedang terlibat perseteruan dinasti dengan saudaranya Vologases (Walakhsh) VI di Mesopotamia. Dengan menggunakan peluang yang tercipta karena terjadinya perseteruan tersebut, Pabag dan anak tertuanya Shapur berhasil memperluas kekuasaan mereka ke seluruh Persis. Kejadian-kejadian selanjutnya tidak begitu jelas, karena sedikitnya sumber-sumber sejarah. Meskipun demikian sesuatu hal yang pasti ialah ketika Pabag meninggal tahun 220, Ardashir yang ketika itu adalah gubernur Darabgird terlibat dalam perebutan kekuasaan melawan kakaknya Shapur. Sumber-sumber sejarah menceritakan bahwa tahun 222, Shapur yang akan berangkat untuk menemui saudaranya tewas ketika atap sebuah bangunan runtuh menimpanya.
Ardashir kemudian memindahkan pusat kekuasaannya lebih jauh lagi ke selatan Persis, dan mendirikan ibukotanya di Ardashir-Khwarrah (dahulunya adalah Gur, saat ini adalah kota Firouzabad). Kota ini, yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi dan mudah dipertahanan melalui jalur-jalur tebing sempitnya, menjadi pusat dari berbagai usaha Ardashir dalam mengembangkan kekuasaannya. Kota ini dikelilingi oleh tembok kota yang tinggi dan melingkar, kemungkinan ditiru dari Darabgird, dan di bagian utara terdapat istana besar yang sisa-sisa bangunannya sekarang pun masih dapat dilihat.
Setelah membangun kekuasaannya atas Persis, Ardashir I dengan cepat meluaskan wilayahnya, menuntut upeti dari para penguasa lokal Fars, dan berhasil memperoleh kendali atas provinsi-provinsi sekitarnya yaitu Kerman, Isfahan, Susiana, dan Mesene. Perluasan kekuasaan ini segera saja menarik perhatian Artabanus IV (216–224), yaitu penguasa atasan (overlord) Ardashir I. Artabanus IV awalnya memerintahkan gubernur Khuzestan untuk menyerang Ardashir pada tahun 224, akan tetapi ini berakhir dengan kemenangan besar bagi Ardashir. Artabanus sendiri akhirnya memimpin penyerangan kedua atas Ardashir I pada tahun 224. Pasukan keduanya bertempur di Hormizdeghan, dan Artabanus IV tewas terbunuh. Ardashir I terus melanjutkan menyerang provinsi-provinsi sebelah barat
Kekaisaran Parthia (Ashkâniâ) yang telah tumbang itu. Tahun 226, Ardashir I dimahkotai di Ctesiphon sebagai penguasa tunggal Persia, mengambil gelar Syahansyah, atau "Raja Segala Raja" (berbagai prasasti juga menyebutkan tokoh Adhur-Anahid sebagai "Ratu Segala Ratu", tetapi hubungannya dengan Ardashir belum dapat dipastikan). Dengan demikian, berakhirlah
Kekaisaran Parthia yang telah berumur 400 tahun dan dimulailah pemerintahan Sassania yang akan berlangsung selama empat abad.
Dalam beberapa tahun selanjutnya, dan setelah melalui pemberontakan lokal di beberapa tempat, Ardashir I melanjutkan meluaskan
Kekaisaran barunya tersebut ke arah timur dan barat laut. Ia menaklukkan provinsi-provinsi Sistan, Gorgan, Khorasan, Margiana (sekarang di Turkmenistan), Balkh, dan Khwarezmi. Ia juga berhasil menaklukkan Bahrain dan Mosul ke dalam kekuasaan Sassania. Prasasti-prasasti Sassania terkemudian juga mengklaim menyerahnya para raja Kushan, Turan, dan Mekran kepada Ardashir, meskipun bila dilihat dari bukti numismatik, lebih mungkin bahwa mereka menyerah kepada anak Ardashir, yaitu Shapur I. Di sisi lain, penyerangan-penyerangan Ardashir ke arah barat terhadap Hatra, Armenia, dan Adiabene tidaklah terlalu berhasil. Tahun 230, ia menyerbu jauh ke dalam wilayah kekuasaan Romawi, dan serangan balasan Romawi dua tahun kemudian berakhir tanpa kemenangan yang jelas.
Putra Ardashir I, Shapur I (241–272), melanjutkan ekspansi
Kekaisaran dengan menaklukkan Baktria dan bagian barat dari
Kekaisaran Kushan, serta melakukan beberapa penyerangan terhadap Romawi. Ketika menyerbu bagian Mesopotamia yang dikuasai Romawi, Shapur I berhasil merebut Carrhae dan Nisibis, akan tetapi jenderal Romawi Timesitheus tahun 243 mengalahkan tentara Persia di Rhesaina dan memperoleh kembali wilayah-wilayah yang hilang. Kaisar Romawi Gordian III (238–244) yang selanjutnya bergerak untuk menguasai hilir sungai Eufrat berhasil dikalahkan di Meshike (244), menyebabkan Gordian dibunuh oleh pasukannya sendiri; dan Shapur berhasil memperoleh perjanjian perdamaian dengan kondisi yang sangat menguntungkan dari kaisar baru Romawi Philip Si Arab (244–249). Shapur mendapatkan pembayaran sebesar 500.000 denari beserta pembayaran bulanan selanjutnya. Shapur segera saja melanjutkan perang dan mengalahkan tentara Romawi pada Barbalissos (252), kemudian menyerbu Syria dan menaklukkan Antiokhia (253 atau 256). Serangan balasan Romawi di bawah Kaisar Valerian (253–260) berakhir dengan kehancuran, saat pasukan Romawi dikalahkan dan dikepung pada Edessa dan Valerian secara licik ditangkap oleh Shapur pada perundingan perdamaian, dan menjadi tawanan Shapur sepanjang hidupnya. Shapur I merayakan kemenangannya dan keberhasilan luar biasanya menangkap seorang kaisar Romawi dengan relief-relief batu di Naqsh-e Rostam dan Bishapur, serta prasasti monumental dalam bahasa Persia dan Yunani di daerah sekitar Persepolis. Ia terus saja berusaha melanjutkan kesuksesannya dengan bergerak menuju Anatolia (260), akan tetapi berakhir dengan kemundurannya yang berantakan karena kekalahannya di tangan tentara Romawi dan sekutunya Palmyra, yang dipimpin oleh Odaenathus. Selir-selir Shapur tertangkap, serta seluruh wilayah Romawi yang sebelumnya dikuasainya juga terlepas kembali.
Shapur I melaksanakan berbagai rencana pembangunan secara intensif. Ia mendirikan banyak kota, yang sebagian penduduknya adalah imigran yang berasal dari berbagai wilayah Romawi. Di antara para imigran terdapat kaum Kristen, yang memperoleh kebebasan menjalankan ajaran agamanya di bawah pemerintahan Sassania. Dua kota, yaitu Bishapur dan Nishapur dinamakan berdasarkan namanya. Shapur I secara khusus mendukung Manikheisme. Ia melindungi Mani (yang mendedikasikan salah satu kitabnya, Shabuhragan, untuk Shapur I) dan mengirimkan banyak misionaris Manikheisme sampai ke luar wilayahnya. Shapur I juga menjalin persahabatan dengan rabbi Babilonia yang bernama Shmuel. Persahabatan ini menyebabkan komunitas Yahudi setempat memperoleh sedikit kelonggaran dari penerapan berbagai hukum yang menekan, yang dikenakan kepada mereka.
Raja-raja selanjutnya menerapkan kebijakan yang berkebalikan dari Shapur I mengenai toleransi agama. Penerus Shapur I, Bahram I (273–276) menghukum Mani dan para pengikutnya berdasarkan desakan dari pendeta Magi Zoroaster. Bahram I memenjarakan Mani dan memerintahkan untuk membunuhnya. Menurut sebuah legenda, Mani meninggal di penjara ketika sedang menunggu eksekusinya, sedangkan menurut cerita lainnya ia disiksa dan dipenggal.
Selanjutnya Bahram II (276–293) meneruskan kebijakan ayahnya dalam masalah agama. Pada masa pemerintahannya, ibukota Sassania Ctesiphon mengalami penghancuran oleh Romawi, yaitu di bawah pimpinan kaisar Romawi Carus (282–283). Demikian pula sebagian besar wilayah Armenia, yang selama setengah abad berada dalam penguasaan Persia, pada masa pemerintahannya diserahkan kepada Diocletian (284–305).
Bahram III hanya memerintah secara singkat (293), dan penerusnya Narseh (293–302) kemudian kembali mengobarkan pertempuran terhadap Romawi. Setelah mengalami kesuksesan awal terhadap Kaisar Galerius (293–305 sebagai Caesar, 305–311 sebagai Augustus) pada pertempuran di dekat Callinicum di Sungai Efrat tahun 296, Narseh secara meyakinkan berhasil dikalahkan dalam penyergapan ketika ia sedang bersama haremnya di Armenia tahun 297. Dalam perjanjian yang mengakhiri perang ini, Sassania setuju menyerahkan lima provinsi di sebelah timur Sungai Tigris dan bersedia untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Armenia dan Georgia. Setelah kekalahan yang menghancurkan ini, Narseh mengundurkan diri tahun 301 dan meninggal dalam kesedihan setahun kemudian. Putra Narseh, Hormizd II (302–309), kemudian naik tahta. Meskipun ia berhasil menekan pemberontakan di Sistan dan Kushan, Hormizd II juga seorang penguasa yang lemah, dan ia tidak mampu mengontrol para bangsawan. Ia terbunuh oleh serangan suku Badui ketika sedang berburu pada tahun 309.
Catatan