Kota
Malang memiliki
Sejarah yang panjang, mulai dari masa purbakala. Kota yang didirikan pada zaman Belanda ini telah mengalami berbagai peristiwa penting, mulai dari kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara hingga pembangunan kota secara besar-besaran oleh Pemerintah Penjajahan Belanda. Kota ini didirikan pada 1 April 1914 sebagai kotapraja.
Etimologi
Asal usul penamaan
Malang sampai sekarang masih diperdebatkan oleh para ahli
Sejarah. Nama "
Malang" muncul pertama kali pada Prasasti Pamotoh/Ukirnegara (1120 Saka/1198 Masehi) yang ditemukan pada tanggal 11 Januari 1975 oleh seorang administrator perkebunan Bantaran di Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar. Dalam prasasti tembaga tersebut, tertulis salah satu bagiannya (dengan terjemahannya sebagai berikut) sebagai berikut.
Malang di sini merujuk pada sebuah daerah di timur Gunung Kawi. Meskipun telah diketahui bahwa penggunaan
Malang setidaknya telah berlangsung sejak abad ke-12 Masehi, tidak bisa dipastikan asal mula penamaan wilayahnya.
Hipotesis pertama merujuk pada nama sebuah bangunan suci bernama Malangkuçeçwara (diucapkan [malaŋkuʃeʃworo]). Bangunan suci tersebut disebut dalam dua prasasti Raja Balitung dari Mataram Kuno, yakni Prasasti Mantyasih tahun 907 Masehi dan Prasasti 908 Masehi. Para ahli masih belum memperoleh kesepakatan di mana bangunan tersebut berada. Di satu sisi, ada sejumlah ahli yang menyebutkan bahwa bangunan Malangkuçeçwara terletak di daerah Gunung Buring, suatu pegunungan yang membujur di sebelah timur Kota
Malang di mana terdapat salah satu puncaknya bernama "
Malang". Pihak yang lain di sisi lain menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci tersebut terdapat di daerah Tumpang, Kabupaten
Malang. Di daerah tersebut, terdapat sebuah desa bernama Malangsuka, yang menurut para ahli
Sejarah berasal dari kata Malangkuça (diucapkan [malankuʃoː]) yang diucapkan terbalik. Pendapat ini diperkuat oleh keberadaan peninggalan-peninggalan kuno di sekitar Tumpang seperti Candi Jago dan Candi Kidal yang merupakan wilayah Kerajaan Singhasari.
Nama Malangkuçeçwara terdiri atas 3 kata, yakni mala yang berarti kebatilan, kecurangan, kepalsuan, dan kejahatan, angkuça (diucapkan [aŋkuʃo]) yang berarti menghancurkan atau membinasakan, dan içwara (diucapkan [iʃworo]) yang berarti Tuhan. Oleh karena itu, Malangkuçeçwara berarti "Tuhan telah menghancurkan yang batil".
Hipotesis kedua merujuk sebuah kisah penyerangan pasukan Kesultanan Mataram ke
Malang pada 1614 yang dipimpin oleh Tumenggung Alap-Alap. Menurut cerita rakyat, terdapat sebuah percakapan antara Tumenggung Alap-Alap dengan salah satu pembantunya mengenai kondisi wilayah
Malang sebelum penyerangan dimulai. Pembantu dari Tumenggung Alap-Alap tersebut menyebut warga dan prajurit dari daerah tersebut sebagai penduduk yang "menghalang-halangi" (
Malang dalam Bahasa Jawa) kedatangan dari pasukan Mataram. Setelah penaklukan tersebut, pihak Mataram menamakan daerah itu
Malang.
Kawasan
Malang pada era Pleistosen masih berupa cekungan dalam yang diapit aktivitas vulkanis dari gunung-gunung seperti Pegunungan Kapur di Selatan, Gunung Kawi dan Gunung Kelud di Barat, Kompleks Pegunungan Anjasmoro, Welirang, dan Arjuna di Timur Laut dan Utara, dan Kompleks Pegunungan Tengger di Timur. Cekungan tersebut belum dihuni manusia akibat kondisinya masih berupa aliran lava dan lahar panas dari gunung-gunung sekitarnya. Menjelang musim hujan, cekungan daerah
Malang tersebut terisi air yang mengalir lewat lereng-lereng gunung yang menuju ke sejumlah sungai dan membentuk sebuah rawa-rawa purba. Rawa-rawa tersebut meluas sehingga menciptakan danau purba.
Ketika danau purba belum mengering, peradaban manusia purba masih pada tahap Berburu dan Mengumpulkan Makanan tingkat awal hingga lanjut. Permukimannya masih berada di lereng-lereng gunung dan pegunungan yang mengelilingi
Malang dalam bentuk gua-gua alam. Oleh karena itu bisa dimengerti bila penemuan artefak-artefak pada masa paleolitik dan mesolitik ini banyak ditemukan di daerah pegunungan, seperti di lereng Gunung Kawi, Arjuno, Welirang, Tengger, Semeru dan Pegunungan Kapur Selatan.
Danau purba
Malang berangsur mengering pada era Holosen dan menyebabkan wilayah
Malang menjadi dataran tinggi
Malang. Ketika mulai memasuki masa Bercocok Tanam, secara berangsur-angsur manusia purba mulai turun gunung dan membuat sejumlah permukiman dan daerah-daerah pertanian. Ditemukannya sejumlah artefak berupa dua buah beliung persegi, alat pahat dari batu kalsedon serta kapak genggam dari batu andesit di sebelah timur Gunung Kawi tepatnya di daerah Kacuk di sekitar aliran sungai Metro dan Brantas menguatkan anggapan tersebut. Selain itu, penelitian memperkirakan bahwa bentuk-bentuk hunian pada masa peralihan ini berbentuk rumah panggung, di mana badan rumah disangga oleh kaki-kaki rumah dan berada beberapa meter dari permukaan tanah. Hal ini diperkuat dengan penemuan artefak berupa “Watu Gong” atau “Watu Kenong” di Dinoyo, Lowokwaru,
Malang, yang wujudnya mirip dengan alat musik tradisional, yakni gong, yang sebenarnya ialah umpak atau fondasi dari rumah panggung. Tumbuhnya permukiman di sekitar sungai yang mengalir di
Malang menjadi cikal bakal peradaban-peradaban kuno para Homo sapien.
Masa Kerajaan Hindu-Buddha
= Kerajaan Kanjuruhan
=
= Rakryan Kanuruhan (Kerajaan Mataram Kuno)
=
Kekuasaan Kerajaan Kanjuruhan diperkirakan tidak bertahan lama. Kerajaan itu akhirnya berada di bawah kekuasaan Medang i Bhumi Mataram (Kerajaan Mataram Kuno) semasa kepemimpinan Raja Dyah Balitung (899-911 Masehi). Dalam Prasasti Balingawan (813 Saka/891 Masehi), disebutkan Pu Huntu sebagai Rakryan Kanuruhan (penguasa watak Kanuruhan) pada masa kekuasaan Raja Mpu Daksa (911-919 Masehi). Artinya, wilayah yang dulu menjadi kerajaan otonom telah turun satu tingkat menjadi watak (wilayah) yang setingkat dengan kadipaten atau kabupaten (satu tingkat di bawah kekuasaan raja). Watak Kanuruhan yang mencakup pusat Kota
Malang saat ini adalah entitas yang berdiri berdampingan dengan Watak Hujung (di Dusun Ngujung, Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten
Malang) dan Watak Tugaran (di Tegaron, Lesanpuro, Kedungkandang,
Malang) yang masing-masing membawahi beberapa wanua (setingkat desa).
Ketika pusat pemerintahan Mataram Kuno dipindah ke daerah Tamwlang dan Watugaluh (Jombang) pada masa kekuasaan Raja Mpu Sindok (929-948 Masehi), diketahui bahwa Dyah Mungpang telah menjadi penguasa Watak Kanuruhan. Beberapa prasasti seperti Sangguran, Turyyan, Gulung-Gulung, Linggasutan, Jeru-Jeru, Tija, Kanuruhan, Muncang, dan Wurandungan menggambarkan sejumlah kebijakan kewajiban pajak terhadap desa-desa perdikan (sima) di
Malang dan sejumlah proses wakaf sejumlah bidang tanah untuk didirikan bangunan suci. Oleh karena itu, beberapa wanua kuno yang diperkirakan “terwariskan” (berdasarkan nama-nama prasasti maupun nama tokoh setempat pada masa lalu) hingga menjadi beberapa daerah di
Malang sampai saat ini mencakup sebagai berikut:
Dinoyo (sekarang Kelurahan Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru,
Malang),
Waharu (sekarang Kelurahan Lowokwaru, Kecamatan Lowokwaru,
Malang),
Bantaran (sekarang Jalan Bantaran, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing,
Malang),
Balingawan (sekarang Desa Mangliawan, Kecamatan Pakis, Kabupaten
Malang),
Turryan (sekarang Kelurahan Turen, Kecamatan Turen, Kabupaten
Malang),
Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron, Kelurahan Lesanpuro, Kecamatan Kedungkandang,
Malang),
Kabalon (sekarang Kelurahan Kotalama (sekitar Jalan dan Pasar Kebalen), Kecamatan Kedungkandang,
Malang),
Panawijyan (sekarang Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing,
Malang),
Daerah yang dulu dikuasai kepala wanua Pu Bulul (sekarang bernama Kelurahan Bunulrejo, Kecamatan Blimbing,
Malang),
Wurandungan (sekarang Dukuh Kelandungan, Desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten
Malang), dan
Jeru-Jeru (sekarang Desa Jeru, Kecamatan Tumpang, Kabupaten
Malang).
= Pasca Kerajaan Kahuripan: Dari Kerajaan Jenggala hingga Kerajaan Panjalu/Kadiri
=
Tidak ada catatan yang menjelaskan secara detail status dan peran daerah sekitar
Malang pada masa kepemimpinan Raja Airlangga selain kenyataan bahwa
Malang masuk ke dalam wilayah Kerajaan Kahuripan. Pasalnya, daerah
Malang tidak lagi menjadi pusat pemerintahan dari Kerajaan yang berpusat di sekitar Gunung Penanggungan dan Sidoarjo dengan ibu kotanya Kahuripan. Bahkan ketika Raja Airlangga membagi Kahuripan menjadi Panjalu yang terpusat di Daha (Kadiri) dan Jenggala yang tetap berpusat di Kahuripan, wilayah
Malang termasuk periferi dari kekuasaan kedua kerajaan ini. Namun, dapat dipastikan bahwa wilayah
Malang masuk ke dalam wilayah Jenggala pada saat pembagian ini. Pembagian Kahuripan menunjukkan bahwa Gunung Kawi digunakan sebagai batas dua kerajaan baru tersebut dengan sisi timur diperoleh Jenggala.
Wilayah
Malang kembali menjadi aktor penting dalam
Sejarah Panjalu/Jenggala ketika Raja Jayabhaya dari Panjalu menaklukkan Jenggala. Dalam Prasasti Hantang (1057 Saka/1135 Masehi), tertulis Panjalu Jayati (“Panjalu Menang”), menandakan kemenangan Panjalu atas Jenggala. Prasasti tersebut juga memuat pemberian hak-hak istimewa terhadap beberapa desa di Hantang (Ngantang, Kabupaten
Malang) dan sekitarnya atas jasa mereka dalam memihak Panjalu saat perang. Prasasti ini juga sekaligus menunjukkan bahwa wilayah
Malang berada dalam kekuasaan Panjalu.
Prasasti Kamulan (1116 Saka/1194 Masehi) mencatat peristiwa penyerangan sebuah wilayah dari timur Daha (Kadiri) terhadap Raja Kertajaya (dalam Pararaton disebut Dandang Gendhis) yang berdiam di Kedaton Katang-Katang. Tidak ada penelitian lebih lanjut mengenai apakah penyerangan tersebut merupakan pemberontakan atau percobaan penaklukan. Namun, keberadaan Prasasti Kamulan menunjukkan bahwa terdapat sebuah kekuatan politik baru yang muncul untuk menentang kekuasaan Panjalu. Argumen ini diperkuat oleh keberadaan Prasasti Sukun (1083 Saka/1161 Masehi) yang menyebut seorang raja bernama Sri Jayamerta yang memberikan hak-hak istimewa terhadap Desa Sukun (diduga di Kelurahan Sukun, Kecamatan Sukun,
Malang) karena telah memerangi musuh. Jayamerta tidak pernah tercantum secara eksplisit maupun implisit dalam berbagai catatan yang merujuk informasi baik mengenai daftar penguasa Panjalu/Kadiri maupun Jenggala. Beberapa ahli
Sejarah seperti Agus Sunyoto menyebut bahwa daerah asal perlawanan tersebut bernama Purwa atau Purwwa. Ini didukung oleh argumen Sunyoto ketika merujuk bahwa semua penguasa Majapahit merupakan keturunan dari Ken Arok yang “[...] mengalirkan benihnya ke dunia lewat cahaya (teja) yang memancar dari “rahasia” Ken Dedes, naraiswari [...] Kerajaan Purwa.” Naraiswari (atau nareswari/ardanareswari) sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti “perempuan utama” dan Ken Dedes sendiri merupakan putri dari Mpu Purwa, brahmana dari Panawijyan (Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing,
Malang). Pada akhirnya upaya perlawanan dari wilayah yang konon bernama Purwa/Purwwa tersebut berhasil ditumpas oleh Panjalu.
Beberapa ahli
Sejarah mengaitkan rangkaian peristiwa perlawanan dan penumpasan tersebut sebagai konteks sosial politik dari dua konflik yang melibatkan Raja Kertajaya dengan kelas brahmana. Yang pertama ialah kebijakan Raja Kertajaya yang berusaha untuk mengurangi sejumlah hak dari kelas Brahmana. Beberapa cerita rakyat menunjukkan bahwa Raja Kertajaya ingin “disembah” oleh para Brahmana sehingga bertentangan dengan ajaran agama dari kalangan brahmana. Yang kedua ialah peristiwa penculikan Ken Dedes oleh Tunggul Ametung, akuwu (setara camat) untuk wilayah Tumapel. Menurut Blasius Suprapto dalam disertasinya, letak Tumapel sendiri berada di wilayah yang dulu bernama Kutobedah (sekarang bernama Kelurahan Kotalama, Kecamatan Kedungkandang,
Malang). Implikasi dari kedua konflik tersebut ialah penarikan dukungan politik dari kelas Brahmana terhadap Raja Kertajaya.
= Kerajaan Singhasari
=
Keruntuhan Panjalu/Kadiri dan lahirnya Kerajaan Tumapel di
Malang berawal dari kelas Brahmana dari Panjalu yang berusaha menyelamatkan diri dari persekusi politik yang dilakukan Raja Kertajaya. Mereka melarikan diri ke arah timur dan bergabung dengan kekuatan politik di Tumapel yang dipimpin oleh Ken Angrok. Ia kemudian memberontak terhadap akuwu Tunggul Ametung dan menguasai Tumapel. Kemenangan Ken Angrok tersebut sekaligus pernyataan perang untuk memisahkan diri dari Panjalu/Kadiri. Perebutan kekuasaan antara Kertajaya dan Ken Angrok terhadap wilayah
Malang dan sekitarnya berujung pada Pertempuran Ganter di Ngantang (sekarang kecamatan di Kabupaten
Malang) (1144 Saka/1222 Masehi) yang dimenangkan oleh Ken Angrok. Ia pun menahbiskan dirinya sebagai raja pertama Kerajaan Tumapel dengan gelar Rajasa Sang Amurwabhumi. Ibu kotanya sendiri tetap berada di Tumapel namun berganti nama menjadi Kutaraja.
Hingga periode perpindahan ibu kota kerajaan pada masa pemerintahan Raja Wisnuwardhana dari Kutaraja ke Singhasari (Kecamatan Singosari, Kabupaten
Malang) pada 1176 Saka/1254 Masehi, belum ada catatan komprehensif mengenai status strategis wilayah
Malang pada era Tumapel. Tidak dijelaskan alasan perpindahan tersebut namun mulai pada era inilah Singhasari menjadi nama bagi kerajaan ini. Data selebihnya hanya menunjukkan beberapa tempat bersejarah di
Malang seperti daerah Gunung Katu di Genengan (Prangargo, Wagir, Kabupaten
Malang) yang menurut sejarawan Dwi Cahyono merupakan situs pen-dharma-an Ken Angrok, daerah Rejo Kidal (Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten
Malang), di mana Raja Anusapati di-dharma-kan dalam Candi Kidal, dan daerah Tumpang di mana Raja Wisnuwardhana di-dharma-kan dalam Candi Jago. Peninggalan lainnya ialah mata air Watugede di Desa Watugede, Kecamatan Singosari, Kabupaten
Malang. Menurut Agus Irianto, juru pemandian Watugede, Pararaton menuliskan bahwa tempat ini sering dijadikan oleh Ken Dedes dan para calon putri lainnya untuk membersihkan badan. Para sesepuh desa juga meyakini bahwa di tempat ini pula Ken Angrok melihat cahaya yang terpancar dari tubuh Ken Dedes sebagai sebuah pertanda bahwa ia adalah nareswari.
Pada masa kepemimpinan Raja Kertanegara, Kerajaan Singhasari menghadapi pemberontakan oleh Jayakatwang dari daerah Gelang-Gelang (sekitar Madiun). Jayakatwang sendiri adalah cicit dari Raja Kertajaya menurut Negarakertagama dan keponakan dari Raja Wisnuwardhana (dari garis keturunan perempuan) menurut Prasasti Mula Malurung. Pemberontakan tersebut menewaskan Raja Kertanegara, raja Singhasari yang terakhir, akibat wilayahnya yang tidak memiliki pertahanan ketika sebagian besar militernya dikirim untuk Ekspedisi Pamalayu. Jayakatwang dengan mudah menduduki ibu kota, mengambil alih kekuasaan dan memindahkan pusat pemerintahan ke tanah leluhurnya, Kadiri.
= Kerajaan Majapahit
=
Malang tidak menjadi pusat dari konflik perebutan kekuasaan antara Jayakatwang, Raden Wijaya, dan tentara Kubilai Khan dari Cina. Setelah memenangkan suksesi kekuasaan, Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana memindahkan pusat kekuasaan ke daerah yang sempat ia bangun di Hutan Tarik (sekarang di sekitar Mojokerto dan Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo). Akan tetapi, wilayah
Malang menjadi saksi
Sejarah dari nasib Jayakatwang yang diasingkan ke sumber mata air lainnya di Polaman (sekarang Desa Kalirejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten
Malang). Menurut Pararaton dan Kidung Harsyawijaya, di sinilah Jayakatwang terinspirasi menulis Wukir Polaman, karya sastra terakhirnya sebelum dieksekusi Raden Wijaya.
Dalam struktur pemerintahan Majapahit menurut Prasasti Waringin Pitu (1447 Masehi), wilayah
Malang termasuk dalam bhumi atau wilayah inti kerajaan. Ia merupakan nagara (setara provinsi) bernama Tumapel yang dipimpin oleh seorang rajya (gubernur) atau natha (tuan) atau bhre (bangsawan/pangeran)—setingkat adipati. Berikut adalah daftar Bhre Tumapel ada era Kerajaan Majapahit.
Negarakertagama juga mencatat lawatan Raja Hayam Wuruk ke beberapa tempat di wilayah
Malang pada 1359 Masehi. Menurut Yudi Anugrah Nugroho, lawatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian perjalanan Raja Hayam Wuruk untuk meninjau pembangunan di sekitar Lumajang. Lawatan ini biasa dilakukan ketika selesainya masa panen. Terdapat setidaknya dua konteks lawatan tersebut, yakni rekreasi dan ziarah. Untuk konteks rekreasi, tempat pertama ialah Taman Kasuranggan di daerah Sumberawan (Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten
Malang). Di sinilah Raja Hayam Wuruk membangun sebuah stupa sebagai tempat ibadah bagi umat Budha sehingga menjadi Candi Sumberawan seperti sekarang. Yang kedua ialah Kedung Biru. Beberapa sejarawan menghubungkan Kedung Biru dengan lokasi yang kini bernama Dusun Biru, Desa Gunungrejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten
Malang. Disebut kedung (arti: jurang) karena ia berada di tepi jurang dekat Sungai Klampok. Selain tempat rekreasi Raja Hayam Wuruk, konon tempat ini merupakan tempat penyucian keris yang dibuat oleh Mpu Gandring dan senjata-senjata kerajaan lainnya. Yang ketiga ialah daerah Bureng yang diidentifikasikan sebagai pemandian alam Wendit di Desa Mangliawan, Kecamatan Pakis, Kabupaten
Malang.
Untuk konteks ziarah, Raja Hayam Wuruk mengunjungi beberapa candi peninggalan Kerajaan Singhasari yang bertujuan untuk men-dharma-kan leluhurnya (Wangsa Rajasa). Beberapa candi yang dikunjungi mencakup Candi Kidal (untuk menghormati Raja Anusapati), Candi Jago (untuk menghormati Raja Wisnuwardhana), dan Candi Singasari (untuk menghormati Raja Kertanegara). Khusus untuk Candi Singasari, terdapat perdebatan mengenai apakah ia dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Singhasari atau Majapahit. Pasalnya, menurut Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Candi Singosari dibangun pada sekitar 1300 Masehi (masa pemerintahan Raja Raden Wijaya) sebagai candi penghormatan, jika bukan pen-dharma-an, Raja Kertanegara bersama dengan Candi Jawi. Akan tetapi, terdapat suatu argumen yang menyatakan bahwa candi ini sedang dibangun pada masa pemerintahan Raja Kertanegara itu sendiri sebagai candi peribadatan umum. Konsekuensi dari argumen yang terakhir ini ialah bahwa pembangunan candi tidak selesai akibat pendudukan Singhasari oleh Jayakatwang.
Wilayah
Malang (Tumapel) menjadi salah satu objek konflik politik ketika Perang Paregreg meletus (1404-1406). Wilayah ini diklaim oleh Aji Rajanata, Bhre Wirabhumi II (Blambangan, Banyuwangi). Akan tetapi, klaim tersebut ditentang oleh Manggalawardhana, Bhre Tumapel II yang masih merupakan putra Raja Hayam Wuruk. Oleh karena itu, wilayah ini dianggap sebagai garis depan pertempuran yang melibatkan Majapahit (Barat) dan Blambangan (‘Majapahit’ Timur). Namun, karena Perang Paregreg dimenangkan oleh Raja Wikramawardhana, Tumapel pun kembali ke tangan Majapahit.
Ketika Kerajaan Majapahit kedatangan Laksamana Cheng Ho dari Cina (Dinasti Ming) pada 1421 Masehi, ia bersepakat dengan Raja Wikramawardhana (1389-1429 Masehi) untuk menempatkan Ma Hong Fu dan Ma Yung Long sebagai duta besar Dinasti Ming di Tumapel. Hal ini dapat dikaitkan dengan upaya diplomasi Laksamana Cheng Ho untuk menjamin keamanan bagi warga etnis Cina yang berada di wilayah Majapahit. Pada masa Perang Paregreg (1406), sekitar 170 utusan Dinasti Ming dikirim Laksamana Cheng Ho untuk menjalin kembali hubungan diplomasi Cina dan Majapahit pasca konflik Jayakatwang-Raden Wijaya-Kublai Khan pada era transisi dari Singhasari ke Majapahit. Akan tetapi, seluruh utusan tersebut dibantai oleh Raja Wikramawardhana yang tidak bisa membedakan status kedatangan mereka sebagai musuh atau bukan. Peran Laksamana Cheng Ho juga signifikan bagi wilayah
Malang (Tumapel) pada 1432 ketika ia bersama bawahannya, Gan Eng Cu dan (Bhre/Adipati Arya Teja I dari Tuban) dan adiknya, Gan Eng Wan, membantu Ratu Maharani Sri Suhita (1429-1447 Masehi) untuk menyatukan Daha (Kadiri) dan Tumapel pasca konflik internal. Atas jasanya, Gan Eng Wan diberi gelar Raden Arya Suganda diangkat menjadi pejabat di Tumapel.
Akan tetapi, terjadi peristiwa genosida terhadap kaum Atas Angin (istilah yang merujuk etnis Cina beragama Muslim) di beberapa wilayah di Majapahit seperti Tumapel dan Tuban. Pembantaian ini diprakarsai oleh Arya Tembeng, Bhre Paguhan II (sekarang wilayah Tegal, Pemalang, Banjarnegara, Wonosobo, Pekalongan, Kebumen, Purworejo dan Purbalingga, Jawa Tengah) di mana Gan Eng Wan turut menjadi korban. Kuat dugaan alasan operasi militer rahasia itu karena kecemburuan terhadap kaum Atas Angin yang sebenarnya berkontribusi bagi kemajuan perekonomian pesisir Utara Jawa, khususnya Tuban sebagai pusat permukiman etnis Cina Muslim.
= Kerajaan Sengguruh
=
Kerajaan Hindu bernama Sengguruh ialah basis pertahanan terakhir dari simpatisan Majapahit di wilayah
Malang (Tumapel). Ia merupakan kerajaan independen pasca runtuhnya Majapahit. Hermanus Johannes de Graff berargumen bahwa putra dari Patih Udara/Brawijaya VII, Raden Pramana, melarikan diri ke wilayah pegunungan terpencil di selatan akibat pendudukan Daha/Kadiri (ibu kota Majapahit sejak pemerintahan Girindrawardhana/Brawijaya VI) oleh Sultan Trenggana dari Demak pada 1527 Masehi. Pemimpin wilayah ini ialah Arya Terung dengan gelar Adipati Sengguruh. Nama Sengguruh konon berkaitan dengan keberadaan pusat pendidikan dan tempat tinggal para ksatria atau panji. Para panji yang ingin berguru ke tempat tersebut konon akan berkata “Ayo kita ke Sang Guru” yang mengacu pada tempat mereka menimba ilmu. Kata-kata tersebut lama-kelamaan menjadi Sengguruh. Ini merupakan versi pertama dari asal usul nama wilayah Kepanjen di yang basis toponominya ialah Desa Sengguruh, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten
Malang
Menurut Babad ing Gresik, kerajaan ini sempat berusaha menyerang daerah Lamongan dan Giri (Gresik) pada 1535 Masehi. Namun, usaha Arya Terung tidak berhasil, jika bukan gagal mempertahankan pendudukan mereka atas kedua wilayah tersebut. Justru menurut catatan dalam Tedhak Dermayudan, pasca-kegagalan penaklukan tersebut, Arya Terung memeluk Islam dan menyebarkan ajaran Islam di penjuru Sengguruh. Akibatnya, simpatisan Majapahit yang dipimpin Raden Pramana memberontak dan membuat Arya Terung mengungsi agak ke utara di sekitar hilir Sungai Brantas. Dengan bantuan Sultan Trenggana yang telah menaklukkan bekas ibu kota Kerajaan Singhasari pada 1545 Masehi. Sengguruh berhasil memadamkan pemberontakan. Raden Pramana pun melarikan diri ke arah Blambangan. Dalam Serat Kanda, Sultan Trenggana kembali mengangkat Arya Terung sebagai Adipati Sengguruh yang berada di bawah Kesultanan Demak. Sebagai tambahan, wilayah
Malang/Tumapel pasca penaklukan oleh Sultan Trenggana berubah menjadi Kutho Bedah (“Kota Hancur”). Peninggalan Kerajaan Sengguruh berupa reruntuhan yang berada di Dukuh Sumedang, Desa Jenggala (sebelah Barat Desa Sengguruh).
Masa Kesultanan Islam
= Dari Kesultanan Demak hingga Kesultanan Mataram
=
Hanya sedikit informasi mengenai
Sejarah wilayah
Malang di bawah kekuasaan Kesultanan Demak dan Pajang. Pasalnya, ketika Sultan Trenggana meninggal pada 1546 Masehi, politik Demak didominasi oleh isu suksesi antara Sunan Prawoto (Sultan Demak ke-4), Arya Penangsang (Bupati Jipang; Sultan Demak ke-5), dan Jaka Tingkir (Bupati Pajang). Kontrol politik terhadap wilayah-wilayah di Jawa Timur, termasuk wilayah
Malang, mulai berkurang sehingga Jawa Timur saat itu mengalami kekosongan kekuasaan. Setelah memenangkan suksesi, Jaka Tingkir memindahkan ibukota ke Pajang (sekarang sekitar Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) dan mengambil gelar Hadiwijaya sebagai penguasa kerajaan yang baru.
Hadiwijaya berhasil memperluas wilayah kekuasaannya ke Jawa Timur berkat bantuan Sunan Prapen dari Giri Kedaton. Ia membantu mempertemukan Hadiwijaya dan seluruh adipati/bupati di Jawa Timur pada 1568 Masehi. Dalam pertemuan tersebut, para bupati/adipati Jawa Timur sepakat untuk mengakui kekuasaan Pajang sebagai kelanjutan Demak. Dengan demikian, wilayah
Malang berada di bawah kekuasaan Pajang. Namun, kekuasaan Pajang di
Malang tidak bertahan lama. Pasca wafatnya Hadiwijaya pada 1582, terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Benawa (putra), Arya Pangiri (menantu), dan Sutawijaya (penguasa wilayah Mataram yang saat itu berada di bawah kekuasaan Pajang). Politik suksesi tersebut membuat pemerintahan di
Malang terbengkalai.
Ketika mendirikan Kesultanan Mataram pada 1587, Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Gelar tersebut mengindikasikan bahwa Sutawijaya berambisi menguasai seluruh pulau Jawa, termasuk wilayah timur. Para penguasa lokal di timur Jawa dan Madura menolak status Mataram sebagai penerus Kesultanan Pajang. Dalam beberapa kesempatan dalam menghadang serangan dari Mataram, beberapa wilayah di timur Jawa, termasuk
Malang, menggabungkan pasukan mereka. Dalam periode ini, wilayah
Malang masih belum tersentuh serangan Kesultanan Mataram baik pada era Sutawijaya (1587-1601) maupun penerusnya, Raden Mas Jolang (1601-1613) yang bergelar Panembahan Hanyakrawati (bergelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak). Baru pada masa pemerintahan Raden Mas Jatmika (atau Raden Mas Rangsang) yang bergelar Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma, wilayah
Malang dapat dikuasai pada 1614. Adalah Tumenggung Alap-Alap, bawahan Tumenggung Suratani, komandan pasukan Mataram untuk penyerangan ke timur Jawa, yang berhasil menduduki
Malang serta menangkap Rangga Tohjiwa, penguasa wilayah
Malang saat itu. Wilayah
Malang dengan demikian menjadi mancanegara dari Kesultanan Mataram.
Peristiwa yang juga terkenal dengan sebutan Kutho Bedah seperti ketika ditaklukkan Demak ini diriwayatkan dalam Legenda Panji Pulangjiwa versi Mataraman. Versi legenda yang pseudo-historis ini turut menambahkan tokoh lainnya, yakni Prabaretna, putri Rangga Tohjiwa, beserta suaminya yang menjadi “tokoh utama”, Panji Pulangjiwa. Legenda tersebutlah yang kemudian mengilhami cerita asal-usul penamaan wilayah
Malang. Selain itu, legenda yang berakhir tragis tersebut (dengan kematian Prabaretna dan Panji Pulangjiwa serta lokasi pemakaman mereka berdua yang konon berada Desa Penarukan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten
Malang) juga menjadi dasar dari versi kedua legenda asal-usul penamaan wilayah Kepanjen.
Masa penjajahan
= Belanda
=
Seperti halnya kebanyakan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, Kota
Malang modern tumbuh dan berkembang setelah hadirnya administrasi kolonial Hindia Belanda. Fasilitas umum direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan keluarga Belanda. Kesan diskriminatif masih berbekas hingga sekarang, misalnya Jalan Besar Ijen dan kawasan sekitarnya. Pada mulanya hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda dan Bangsa Eropa lainnya, sementara penduduk pribumi harus puas bertempat tinggal di pinggiran kota dengan fasilitas yang kurang memadai. Kawasan perumahan itu sekarang menjadi monumen hidup dan sering kali dikunjungi oleh keturunan keluarga-keluarga Belanda yang pernah bermukim di sana.
Pada masa penjajahan kolonial Hindia Belanda, daerah
Malang dijadikan wilayah gemente (kota).
Kota
Malang mulai tumbuh dan berkembang pesat terutama ketika mulai dioperasikannya jalur kereta api pada tahun 1879. Berbagai kebutuhan masyarakat pun semakin meningkat terutama kebutuhan ruang gerak untuk melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya, terjadilah perubahan tata guna tanah yang ditandai dengan daerah terbangun yang bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari tanah berfungsi pertanian menjadi tanah berfungsi perumahan dan industri.
= Jepang
=
Pada masa kependudukan Jepang di Indonesia, Kota
Malang yang merupakan bagian dari Indonesia pun ikut serta diduduki oleh Jepang. Bala Tentara Dai Nippon mulai menduduki Kota
Malang pada 7 Maret 1942.
Malang yang saat itu dipimpin oleh Raden Adipati Ario Sam (R.A.A. Sam) menyerah pada Jepang yang saat itu berkuasa di Kota
Malang. Pengambilan alih Pemerintah pada prinsipnya meneruskan sistem lama, hanya sebutan-sebutan dalam jabatan diganti dengan bahasa Jepang.
Pada masa kependudukan Jepang pun terjadilah peralihan fungsi bangunan. Rumah-rumah tempat tinggal orang Belanda diallihkan fungsinya. Bangunan Belanda di Jalan Semeru No. 42 yang dulunya digunakan sebagai kantor ataupun markas pasukan Belanda dialihfungsikan menjadi gedung Kentapetai. Gedung Kentapetai merupakan salah satu gedung bersejarah di
Malang yang kini menjadi gedung SMK swasta dan menjadi saksi bisu terjadinya pelucutan senjata Jepang oleh Badan Keamanan Rakyat (BKR) guna untuk memperkuat pertahanan Kota
Malang.
Pemerintahan
Berikut ini adalah kilasan
Sejarah pemerintahan Kota
Malang.
Referensi