Soesilo Toer (lahir 17 Februari 1937) merupakan adik dari sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta
Toer. Selain dikenal sebagai lulusan doktor universitas di Uni Soviet, dia juga mengurusi Perpustakaan Pataba, di rumah masa kecil Pramoedya. Pada usia tuanya, dia masih aktif mengurusi dunia perbukuan.
Sehari-hari hidup dari menjual buku, menulis, penyunting, memulung, memelihara ayam dan kambing meskipun ia punya gelar doktoral dan mengelola perpustakaan yang terkenal sampai ke luar negeri.
Soesilo Toer menguasai bahasa Jawa, Rusia, Inggris, Belanda, dan Jerman. Dan, ia menyebut dirinya sendiri diglosia, karena menguasai beberapa bahasa seperti halnya Koesalah Soebagyo
Toer yang terkenal sebagai penerjemah.
Masa kecil
Soesilo lahir di Blora pada tanggal 17 Februari 1937. Rumah masa kecilnya ada di Jetis, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Mastoer, yang kemudian mengubah namanya menjadi
Toer saja karena menurutnya Mas berbau feodal, seorang guru dan aktivis Boedi Oetomo dan ibunya bernama Siti Saidah. Ia lahir sebagai anak ke-7 dari 9 bersaudara. Di usia yang 4 tahun, ibunya meninggal dunia. Ayahnya mendukung aktivitas kemerdekaan Indonesia di mana ia menjadi kepala sekolah Instituut Boedi Oetomo yang sebelumnya ditinggalkan oleh Dokter Soetomo. Ketika ia lahir, keluarganya dalam kondisi ekonomi yang sulit di mana utang menumpuk, surat-surat tanah pun dijual guna melunasi pembelian lahan dan bangunan instituut tersebut. Sekolah tersebut belakangan mengalami kemunduran akibat Ordinansi Sekolah Liar Hindia-Belanda pada tahun 1932, di mana lulusan sekolah partikelir tak bisa bekerja di Gubernemen; karena itu banyak yang memutuskan untuk keluar dan sekolah pun mengalami kebangkrutan. Ayahnya, terjangkit hobi baru yaitu berjudi ceki. Berlainan dengan masa kelahiran kakaknya, Pramoedya Ananta
Toer. Pada tahun 1925 ketika keluarga mereka masih berkecukupan, punya simpanan uang, dan memiliki 20 surat tanah yang tersebar di Blora. Soes, Pram, dan saudara-saudaranya yang lain bersekolah di Instituut Boedi Oetomo. Pada masa kecilnya, Pram yang telah menjadi yatim-piatu mengasuh adik-adiknya, menganggap Soes ini sebagai adik kebanggaannya. Soes dididik dengan ketegasan—keras seperti ayahnya. Walau demikian, dia tetap menyayangi abangnya, Pram. Menginjak usia SMP pada tahun 1950, mereka pindah ke Jakarta. Ia bersekolah di Taman Siswa, yang berjarak 6 kilometer dari rumahnya dengan uang saku Rp. 10 per bulan. Manakala ia kekurangan jajan, ia disuruh untuk mencari tambahan sendiri, dan Soes melakukannya dengan menulis pada usia 13 tahun, berbeda dengan kakaknya yang memulai menulis pada umur 15 tahun. Menurut penuturannya, tulisannya yang pertama diterbitkan di Majalah Kunangkunang terbitan Balai Pustaka berjudul "Aku Ingin Jadi Jenderal". Semua referensi dari bahan tulisan pada masa mudanya berasal dari majalah loak asing. Hampir semua hal ia tulis, bahkan hingga soal cerpen, cerbung, dan novel.
Masa dewasa
Menginjak masa dewasa, ia berkuliah di Universitas Indonesia jurusan Ekonomi dan pindah ke Akademi Keuangan Bogor. Ia ke Universitas Indonesia tanpa tes karena ditopang oleh nilai pelajarannya yang tinggi. Ia berhenti kuliah dari kedua perkuliahan tersebut karena biaya yang tinggi.
Soesilo Toer menyelesaikan diplomanya di Akademi Keuangan Bogor yang berada di bawah Badan Pengawas Keuangan (BPK). Selama ia menjadi mahasiswa, ia bekerja pada sebuah penerbitan dengan gaji yang tak begitu besar dan pekerjaannya pun tidaklah tetap. Adapun penyokongnya yang terutama, adalah uang dari keluarga yang ia putar pada pedagang kecil yang butuh modal. Dari pinjaman tersebut, bunga yang ia dapat ia pakai untuk menyokong biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari.
Lulus kuliah, ia bekerja sebagai pegawai pada sebuah perusahaan asuransi yang dinasionalisasi karena tuntutan buruh. Seketika, hidupnya pun mengingkat, dan ia menjadi sejahtera, tidak melarat. Walau begitu, ia tidak menyukainya karena menurutnya, "membosankan, setiap hari hanya dipenuhi angka-angka. Kantornya berisik oleh suara mesin hitung, mesin bagi, mesin tulis, mesin bagi, dan mesin kali".
Soesilo Toer pernah mengikuti pelatihan militer 2 tahun di penghujung 1950an menjelang Operasi Trikora mengikuti kebijakan pemerintah untuk membebaskan Irian Barat. Namun,
Soesilo Toer tidak jadi mengikuti wajib militer setelah pelatihan. Sekalipun ia tak ikut pembebasan Irian Jaya, ia mendapat pangkat Letnan dari pelatihan tersebut. Selain itu, ia pun lolos penjaringan beasiswa otoritas Rusia. Sekitar 9000 orang mendaftar, hanya 30 yang diterima, ia salah satunya. Dia berangkat ke Rusia pada tahun 1962, setelah menikah terlebiih dahulu dengan istri pertamanya yang bernama Suciati Atmo.
Soesilo Toer tinggal di Rusia sejak tahun 1962 sampai dengan tahun 1973 untuk menyelesaikan S2nya. Melanjutkan pasca-sarjana di Fakultas Ekonomi dan Politik Universitas Patrice Lumumba dan menyabet gelaran doktor dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov dalam bidang ekonomi dan politik setelah mendalami filosofi ajaran Marxisme dan Leninisme terutama terkait dengan realisme sosial. Oleh karena dia tidak lulus dengan predikat cum laude, dia diharuskan untuk bekerja selama 2 tahun di Rusia.
Selama 11 tahun di Rusia,
Soesilo Toer bekerja apa saja, mulai dari penulis, penerjemah, peneliti dan pekerja kasar. Karena latar belakang pendidikannya,
Soesilo Toer berpendapatan tinggi. Dia hidup bergelimang harta di Rusia. Sepekan sekali, ia bisa bersantap di restoran berkelas di Rusia. Berpindah-pindah lokasi tergantung seleranya.
Soesilo Toer mengaku sering mentraktir teman-temannya dan menggelar pesta kecil-kecilan. Selama berkuliah, dia juga dikenal sebagai penggila buku-buku Rusia yang bahkan belum dibaca oleh dosennya.
Pulang ke Indonesia
Pada tahun 1973, pada masa pemerintahan Soeharto,
Soesilo Toer ditangkap karena dianggap punya hubungan dengan Partai Komunis Indonesia. Dia dijebloskan ke penjara selama sekitar 5,5 tahun. Ia langsung ditangkap ketika turun dari pesawat. Tanpa pembuktian dan pengadilan mengenai penangkapannya, ia dilepas dari penjara pada 28 Oktober 1978, tepat 50 tahun Sumpah Pemuda. Diketahui, sebelum ia ditangkap Kedutaan Indonesia di Moskow menggelar pengajian untuk mendoakan para korban keganasan PKI.
Soesilo Toer tidak hadir kala itu karena ia tidak mendapatkan undangan. Namun, ia menduga, karena tidak hadir itulah ia dinilai terlibat PKI.
Pada tahun 1980, Pramoedya Ananta
Toer keluar dari tahanan politik setelah mendekam selama 4 tahun di Nusakambangan dan 10 tahun di Pulau Buru.
Soesilo Toer awalnya tidak dikenali oleh Pramoedya Ananta
Toer karena dia berpakaian klimis. Banyak orang memberi ucapan selamat pada Pramoedya Ananta
Toer yang baru keluar dari penjara sampai antrean begitu panjang. Namun
Soesilo Toer kabur dulu sebelum ia menyampaikan selamat kepada abangnya. Pramoedya Ananta
Toer belum sadar sampai ketika dia bertanya kepada sang istri, barulah
Soesilo Toer dikejar dan ia pun dipeluk.
Berstatus sebagai eks-tapol Orde Baru menyebabkan kehidupan
Soesilo Toer sulit. Beliau sulit mendapat pekerjaan yang layak, dan sulit diterima di masyarakat. Walau begitu, Banyak hal yang dia lakoni, seperti bekerja serabutan dari mulai berdagang kain sampai menulis. Karena jasa temannya, ia dapat menjadi seorang dosen di sebuah universitas swasta selama 6 tahun. Merasa tidak berhasil hidup di Jakarta, ia pun kembali ke kampung halamannya pada tahun 2004. Apalagi rumahnya yang semipermanen di atas lahan 320 m2 digusur untuk pembangunan jalan tembus Cakung-Kranji. Dari situ, ia mendapat uang ganti yang ia pakai untuk biaya hidup dan merenovasi rumah masa kecil Pram. Namun sesaat sebelum itu, ia sudah bolak-balik ke Blora untuk memperbaiki keadaan rumah atas permintaan abangnya, Pramoedya Ananta
Toer.
Kehidupan masa tua
= Memulung dan pekerjaan lain
=
Pada masa tuanya dia bekerja sebagai pemulung untuk melanjutkan hobi yang ia mulai sejak kecil, biasanya bergerak memunguti sampah bernilai jual mulai sehabis magrib hingga dini hari di wilayah perkotaan Blora. Ia mengumpulkan sampah botol, kardus, koran, dan sampah lainnya. Ia melakukannya dengan naik motor bebek pemberian keponakannya. Ini ia lakukan demi menyambung hidup. Setidaknya dari hasil itu, ia memperoleh Rp 25.000, dan itulah yang terus ia lakoni tiap hari di sekeliling kota Blora. Sepulang memulung, hasilnya dipilah-pilah dan ditata rapi di halaman rumah.
Selain memulung, ia juga menjual ayam dan kambing, masih memiliki penerbitan yang bernama Pataba Press, dan masih aktif menulis. Pada awal penerbitannya, ia menerbitkan zine (buletin independen) yang telah ia mulai secara kecil-kecilan sejak tahun 2009 dengan nama Pataba Press. Pataba Press inilah yang ia jadikan nama penerbitannya yang berada di bawah naungan Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang Surut.
Soesilo Toer juga aktif mengisi berbagai acara di berbagai universitas maupun komunitas seperti Universitas Negeri Surabaya, Universitas Airlangga, Universitas Negeri Semarang, Universitas Diponegoro, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Tanjungpura, Universitas Islam Negeri Alaudddn Makassar, Universitas National Malaysia, Universitas Telkom, Universitas Islam Negeri Walisongo, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Universitas Islam Nusantara, Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Universitas Islam Negeri Raden Mas Sahid, Universitas Padjajaran, Universitas Muria Kudus, Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara, Universitas Jember, Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, Universitas Yudharta Pasuruan, dsb.
= Perpustakaan Pataba
=
Perpustakaan Pataba diresmikan tepat pada 30 April 2006, hari meninggal Pramoedya Ananta
Toer. Pataba merupakan akronim dari "Pramoedya Ananta
Toer Anak Semua Bangsa". Perpustakaan ini berada pada rumah masa kecil Pram. Di dalamnya terdapat karya-karyanya juga karya salah seorang kakaknya, Koesalah Soebagyo
Toer yang juga ahli bahasa Rusia. Perpustakaan itu terletak pada satu ruangan yang berukuran 4 × 5 meter. Ada kurang lebih 10 ribu koleksi buku yang tersimpan di sana, termasuk 50 buku karya
Toer. Perpustakaan tersebut didirikan untuk menumbuhkan semangat membaca dan menulis pada masyarakat.
Soesilo Toer mengelola perpustakaan ini bersama istri dan anaknya.
Perpustakaan Pataba terkenal sampai luar daerah, — bahkan luar negeri. Perpustakaan ini menjadi rujukan bagi para penulis, mahasiswa, dan para peneliti luar negeri untuk mencari rujukan sastra. Dari Amerika, Prancis, Bulgaria, Jerman, dan termasuk negara-negara Asia.
Apresiasi dan Penghargaan
Pada tahun 2015, dua orang mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) Visian Pramudika dan Diana Noviana, yang mengikuti Eagle Award Documentary Contest yang diselenggarakan oleh Metro TV, membuat film yang mengangkat tema tentang
Soesilo Toer, dengan judul film Tinta Perajut Bangsa dan berhasil memenangkan Kategori Film Favorit Pemirsa.
Pada tahun 2018, novel
Soesilo Toer yang berjudul Dunia Samin mendapatkan hadiah Prasidatama dari Balai Bahasa Jawa Tengah untuk kategori Novel Terbaik. Pada tahun ini pula Bupati Blora Djoko Nugroho memberikan hadiah kepada
Soesilo Toer sebagai Mentor kepada Para Penulis Muda.
Pada tahun 2019,
Soesilo Toer diundang ke acara Hitam Putih Trans 7 yang dibawakan oleh Deddy Corbuzier setelah berita tentang hobinya sebagai pemulung diangkat ulang oleh Jawa Pos Radar Kudus dan viral. Setelah itu, beberapa media massa elektronik juga membuat film dokumenter tentang
Soesilo Toer seperti Kumparan, Asumsi, Beginu, Espos Indonesia, Kompas.com, Jateng Pos TV, TVRI Jawa Tengah, dll.
Pada tahun 2023,
Soesilo Toer mendapatkan penghargaan sebagai Tokoh Sastra dan Penulis Aktif hingga Lansia dari Jawa Pos Radar Kudus dalam acara yang diselenggarakan di Rembang.
Pada tahun 2024, buku anak-anak
Soesilo Toer berjudul Komponis Kecil yang mengangkat kisah tentang Idris Sardi masuk dalam Rekomendasi Buku Sastra Masuk Kurikulum untuk SD/MI yang diluncurkan oleh Mendikbudristek, Nadiem Makarim. Program tersebut dikuratori oleh Abidah El-Khalieqy, Dewi Kharisma Michellia, Eka Kurniawan, Felix K Nesi, Oka Rusmini, M Aan Mansyur, Mahfud Ikhwan, Martin Suryajaya, Okky Madasari, Ramayda Akmal, Reda Gaudiamo, Saras Dewi, Triyanto Triwikromo, Zen Hae, Agustinus Prih Adiartanto, Iin Indriyati, dan Sekar Ayu Adhaningrum.
Karya-karyanya
Di bawah ini merupakan karya-karya
Soesilo Toer:
Suka Duka si Pandir (novel, 1963)
Komponis Ketjil dan Tjerita-tjerita Lain (Kumpulan cerita anak-anak, 1963)
Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa (Memoar, 2009)
Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta
Toer (Memoar 2009)
Di Antara Pena, Perempuan dan Keberanian (Biografi)
Pram dan Seks (Biografi)
Legenda Gunung Kemukus (Cerita legenda)
Putri Sendang Wungu (Cerita legenda)
Legenda Kedungombo (Cerita legenda)
Pram dan Seks 2 (Biografi)
Pram dan Seks 3 (Biografi)
Mutiara dari Blora; Pataba
Pram dari Dalam (biografi, 2013)
Pram dalam Kelambu (biografi, 2015)
Pram dalam Bubu (biografi, 2015)
Komponis Kecil Edisi Baru (cerita anak-anak, 2015)
Pram dalam Belenggu (biografi, 2016)
Pram dalam Tungku (biografi, 2016)
Dunia Samin (novel, 2016)
Anak Bungsu (novel, 2017)
Republik Jalan Ketiga (Esai politik ekonomi, 2017)
Indra Tualang si Doktor Kopi (cerita anak-anak, 2017)
Kompromi (novel, 2017)
Serigala (novel, 2017)
Rona-rona (puisi, 2017)
Nasib Seorang Penebang Kayu (cerita anak-anak, 2018)
Dari Blora ke Rusia (Memoar, 2019)
Serenade (kumpulan cerpen, 2019)
Kritik Sekitar Hari Pendidikan Nasional dan Pendidikan Nasional (esai pendidikan, 2019)
Raja Gembul (cerita anak-anak, 2020)
Dari Blora ke Siberia (memoar, 2020)
Perjuangan Sebuah Lembaga Pendidikan (sejarah, pendidikan, 2022)
Masa Kecil (novel terjemahan, 2022)
Antologi Cerpen Dunia (kumpulan cerpen terjemahan, 2022)
Rujukan