Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah (irigasi) yang digunakan dalam bercocok tanam padi di Bali, Indonesia.
Subak pada umumnya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para pemilik lahan dan petani. Pura tersebut diperuntukkan bagi Dewi Sri, yaitu dewi kemakmuran dan kesuburan menurut kepercayaan masyarakat Bali. Sistem irigasi ini diatur oleh seorang pemuka adat (Pekaseh) yang juga adalah seorang petani di Bali.
Sistem
Subak telah menjadi salah satu ciri khas dari masyarakat Bali. Sistem pengairan ini berkembang dalam pengaruh nilai-nilai ajaran agama Hindu yang kuat dan membentuk suatu kearifan lokal, yang membuat masyarakat petani di Bali dapat serasi dengan alam untuk memperoleh hasil panen yang optimal.
Dalam kajian sejarah,
Subak telah dikenal masyarakat Bali sejak abad ke-9 Masehi.
Subak merupakan suatu sistem swadaya masyarakat yang berfungsi mengatur pembagian aliran irigasi yang mengairi setiappetak area persawahan. Sistem ini dikelola secara berkelompok dan bertingkat yang disertai dengan pembagian peran yang spesifik bagi setiap anggotanya.
Kekuatan
Subak sendiri terletak pada ketergantungan bersama terhadap air irigasi dan juga disatukan oleh adanya Pura
Subak.
Subak diikat oleh kepentingan fisik dan spiritual. Selain sistem strukturalnya,
Subak juga memiliki kekhasan tersendiri dalam hal upacara keagamaan yang berlangsung di dalamnya. Di dalam
Subak terdapat ritual yang berlaku secara perseorangan dan ritual berkelompok. Itulah sebabnya
Subak melaksanakan berbagai kegiatan ritual pada tingkat petani,
Subak, dan pada pura lain yang dianggap berkaitan dengan sumber air
Subak yang bersangkutan. Kegiatan ritual tersebut adalah bagian dari pelaksanaan Tri Hita Karana pada
Subak.
Sistem
Subak diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada tanggal 29 Juni 2012 di kota Saint Petersburg, Rusia. UNESCO mengakui
Subak sebagai warisan budaya dunia setelah pemerintah Indonesia memperjuangkannya selama 12 tahun.
Subak memenuhi persyaratan sebagai warisan budaya dunia sebagaimana ditetapkan oleh UNESCO, yaitu
Subak merupakan tradisi budaya yang membentuk lanskap Pulau Bali, lanskap Bali merupakan bukti tentang sistem
Subak yang luar biasa, serta berbagai ritual yang dilaksanakan di Pura
Subak mengaitkan eksistensi Pura
Subak dengan pelaksanaan pengelolaan irigasi.
Sejarah
Bali adalah bagian dari kepulauan Indonesia, terletak di antara delapan dan sembilan derajat selatan khatulistiwa. Mencakup area seluas 563.300 hektare termasuk tiga pulau lepas pantai, pulau tersebut telah lama dicirikan di dunia sebagai "surga" terakhir di Bumi, yang penduduknya meluangkan cukup banyak waktu dan materi untuk upacara-upacara adat demi dewa-dewi Hindu yang mereka puja. Oleh karena itu, hubungan antara aspek berwujud dan tidak berwujud merupakan aspek utama dari budaya dan warisan nenek moyang masyarakat Bali.
Kombinasi antara iklim tropis, hujan dan tanah vulkanis yang subur menjadikan pulau Bali sebagai tempat yang ideal untuk budidaya tanaman; termasuk tumbuhan padi, kelapa, cengkih dan kopi. Kegiatan pertanian ini mempunyai pengaruh yang besar pada lanskap Bali, terutama dalam penciptaan sawah berundak-undak. Selama seribu tahun terakhir, masyarakat Bali melakukan modifikasi demi menyesuaikan lahan pertanian dengan kondisi pulau mereka, dengan cara membuat terasering di lereng bukit dan menggali kanal untuk mengairi lahan, sehingga memungkinkan mereka untuk menanam padi.
Sistem irigasi yang rumit telah dibuat untuk memanfaatkan air semaksimal mungkin. Dalam wujud rasa syukur terhadap air—yang memungkinkan kegiatan pertanian—masyarakat Bali membuat ritual pada sistem irigasi. Sistem irigasi ini juga memungkinkan koordinasi antar petani yang dikenal sebagai sistem organisasi "
Subak". Organisasi tersebut adalah sebuah organisasi demokratis; para petani yang memanfaatkan sumber air yang sama, bertemu secara teratur untuk bermsyawarah dan mengkoordinasikan penanaman, mengontrol distribusi air irigasi, merencanakan pembangunan, pemeliharaan kanal dan bendungan serta mengatur upacara persembahan dan perayaan di Pura
Subak.
Dalam Prasasti Raja Purana (Tahun 994 Saka / 1072 Masehi), terdapat kata “kasuwakara” yang diduga berasal dari kata “suwak“, kata ini kemudian berkembang menjadi “
Subak“.
Kata “suwak” sendiri, terdiri atas atas dua suku kata yaitu “su-” yang berarti baik dan “wak” yang memiliki arti pembicaraan. Sehingga “suwak” atau
Subak sendiri bisa diartikan sebagai “melakukan pembicaraan dengan niat baik untuk kepentingan bersama.“
Revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi ini, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Hal ini sangatlah berbeda dengan sistem
Subak, di mana kebutuhan seluruh petani lebih diutamakan. Metode yang baru pada revolusi hijau menghasilkan padi yang melimpah pada awalnya, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air. Akhirnya ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi kendala ini.
Subak telah dipelajari oleh Clifford Geertz, sedangkan peneliti lain seperti J. Stephen Lansing telah menarik perhatian umum tentang pentingnya sistem irigasi tradisional. Ia mempelajari pura-pura di Bali, terutama yang diperuntukkan bagi pertanian yang biasa dilupakan oleh orang asing. Pada tahun 1987 Lansing bekerja sama dengan petani-petani Bali untuk mengembangkan model komputer sistem irigasi
Subak. Dengan itu ia membuktikan keefektifan
Subak serta pentingnya sistem ini.
Pada tahun 2012, UNESCO mengakui Lanskap kultur Provinsi Bali yang dipengaruhi oleh
Subak sebagai Situs Warisan Dunia, pada sidang pertama yang berlangsung di Saint Petersburg, Rusia.
Museum
Museum
Subak di Kabupaten Tabanan dibuka pada tahun 1981.
Pengertian
Beberapa pakar memiliki pendapat tersendiri mengenai definisi
Subak yang ada di Bali. Windia menjelaskan bahwa
Subak merupakan organisasi pengairan tradisional di bidang pertanian yang berlandaskan atas seni dan budaya serta diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat di pulau dewata.
Subak biasanya memiliki pura yang dinamakan dengan nama Pura Uluncarik atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para pemilik lahan dan petani yang diperuntukkan bagi Dewi Sri sebagai dewi kemakmuran dan kesuburan. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga seorang petani di Bali, yang disebut dengan Pekaseh.
Shusila memberikan beberapa definisi mengenai
Subak, yaitu (1)
Subak sebagai lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosio-religius, terutama bergerak dalam pengelolaan air untuk produksi tanaman setahun (khususnya padi) berdasarkan prinsip Tri Hita Karana; (2)
Subak sebagai sistem fisik dan sistem sosial.
Subak sebagai sistem fisik diartikan sebagai lingkungan fisik yang berkaitan erat dengan irigasi, seperti sumber-sumber air beserta fasilitas irigasi berupa bendungan, dam, dan saluran-saluran air, sedangkan
Subak sebagai sistem sosial adalah organisasi sosial yang mengelola sistem fisik tersebut; (3)
Subak sebagai organisasi petani pemakai air yang sawah-sawah para anggotanya memperoleh air dari sumber yang sama dan memiliki satu atau lebih Pura Bedugul serta memiliki otonomi penuh, baik ke dalam (mengurus kepentingan rumah tangganya sendiri) maupun ke luar dalam artian bebas mengadakan hubungan langsung dengan pihak luar secara mandiri.
Subak sendiri tidak berada di bawah kendali desa. Batas
Subak adalah batas hidrologis, bukan batas administratif. Hal inilah yang menyebabkan adanya banyak kasus area kawasan
Subak saling tumpang tindih dengan area batas desa. Dengan demikian, area kawasan beberapa
Subak bisa terdapat dalam satu kawasan desa, ataupun dapat juga sebaliknya. Luas kawasan
Subak sangat tergantung dari kemampuan suatu sumber air untuk mengairi suatu lahan tertentu. Kenyataan ini tentu saja sangat menguntungkan, khususnya untuk mencegah konflik antar desa yang ingin memperebutkan sumber daya air yang tersedia.
Asal-Usul
Kemunculan
Subak tidak dapat dilepaskan dari sistem pertanian yang diterapkan oleh masyarakat Bali sejak berabad-abad silam. Beberapa arkeolog meyakini bahwa masyarakat Bali mengenal pertanian sejak awal abad Masehi. Hal ini didasarkan atas temuan alat-alat pertanian kuno yang digunakan untuk menanam padi di Desa Sembiran (salah satu desa tertua yang ada di Bali). Di sisi lain, para arkeolog belum mampu menjabarkan cara yang digunakan untuk bertani dan irigasi masyarakat pada waktu itu.
Keterangan tertulis mengenai praktik bertani masyarakat Bali pertama kali ditemukan dalam Prasasti Sukawarna yang bertitimangsa 882. Di dalam prasasti tersebut terdapat kata huma yang berarti sawah. Masyarakat Bali sampai sekarang lazim menggunakan kalimat tersebut untuk menyebut sawah dan irigasi. Meskipun demikian, belum ada keterangan tentang pengelolaan irigasi pertanian dalam prasasti tersebut.
Keterangan lebih jelas mengenai pengelolaan irigasi termuat dalam Prasasti Trunyan yang berangka tahun 891. Dalam prasasti tersebut tersua kata serdanu yang berarti kepala urusan air danau. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Bali telah mengenal cara pengelolaan irigasi pada akhir abad ke-9. Masa ini dianggap sebagai awal kemunculan
Subak, meskipun kata tersebut belum dikenal pada waktu itu.
Kesimpulan ini diperkuat oleh Prasasti Bebetin (896) dan Prasasti Batuan (1022) yang ditemukan di Buleleng. Kedua prasasti tersebut menjelaskan bahwa terdapat tiga kelompok pekerja khusus sawah, yang salah satunya merupakan ahli pembuat terowongan air yang disebut dengan undagi pangarung. Pekerja ini biasa dipakai dalam
Subak di masa modern.
Adapun kata
Subak sendiri dinilai sebagai bentuk modern dari kata suwak. Suwak ditemukan di dalam Prasasti Pandak Badung (1071) dan Prasasti Klungkung (1072). Suwak berasal dari dua kata, yaitu su yang berarti baik dan wak yang berarti pengairan. Dengan demikian, suwak dapat diartikan sebagai sistem pengairan yang baik. Wilayah yang mendapatkan pengairan yang baik disebut kasuwakan rawas. Penamaan tersebut tergantung pada nama desa terdekat, sumber air, atau bangunan keagamaan setempat.
Pembentukan kasuwakan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh agama Hindu yang mayoritas dianut oleh masyarakat setempat. Agama Hindu pada waktu itu mengenal konsep Tri Hita Karana yang merumuskan kebahagiaan manusia. Pencapaian kebahagiaan hanya bisa dilakukan melalui harmonisasi tiga unsur, yaitu parhyangan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia), dan palemahan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam). Masyarakat Bali mempercayai bahwa mereka harus bekerja mengolah tanah dan air, namun kepemilikan kedua unsur tersebut sejatinya berada di tangan dewa-dewi.
Konsep Tri Hita Karana lantas mewujud dalam kasuwakan. Sebagai ungkapan rasa syukur atas keberlimpahan air dan tanah, masyarakat kemudian mendirikan beberapa bangunan keagamaan di dekat sawah. Bangunan tersebut dipersembahkan kepada Dewi Sri (dewi pertanian dan kesuburan). Hal inilah yang menyebabkan beberapa pura di Bali bertitimangsa abad ke-9 ditemukan di beberapa sawah yang ada di Bali.
Karakteristik
Ada beberapa karakteristis dari
Subak yang merupakan sistem irigasi tradisional, yaitu:
Subak memiliki hak otonomi untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Hak otonomi ini sudah melekat sejak awal terbentuknya
Subak di Bali.
Melaksanakan ritual keagamaan dalam kegiatan
Subak bagi anggota yang tergabung dalam wadah organisasi
Subak. Melalui pelaksanaan ritual keagamaan ini diharapkan berbagai potensi konflik antar anggota dalam satu
Subak dan antara
Subak satu dengan
Subak yang lainnya dapat diminimalisir. Pelaksanaan ritual agama ini agar dapat mewujudkan ketenteraman dan keharmonisan hubungan antara petani dengan Tuhan maupun petani dengan sesama dan lingkungannya.
Subak memiliki struktur organisasi yang memadahi sesuai dengan keperluannya. Struktur ini mengatur secara tegas mengenai tugas, tanggung jawab, dan hak masing-masing pengurus.
Subak memiliki satu atau lebih sumber air bersama dan satu atau lebih Pura Bedugul. Sumber mata air bersama ini diperoleh dari satu atau lebih sumber mata air seperti empelan (bendungan), mata air, tirisan (rembesan) dari
Subak-
Subak di atasnya.
Setiap sistem irigasi
Subak memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu setiap hamparan sawah garapan dari anggota
Subak memiliki tembuku pengalapan (tempat masuknya air) dan pengutangan (tempat keluarnya air atau tempat pembuangan air yang berlebihan) tersendiri.
Pengambilan keputusan di
Subak dalam pengelolaan sistem irigasi dilakukan dengan demokratis, berkeadilan, transparan, dan akuntabilitas.
Beberapa
Subak yang mendapatkan air dari satu sumber (satu bangunan-bagi atau satu bendung) pada umumnya akan membentuk wadah koordinasi antar
Subak. Di Bali hal ini dikenal dengan istilah
Subak-gde. Tujuan dari pembentukan wadah koordinasi tersebut adalah untuk memudahkan koordinasi saling pinjam air irigasi antar
Subak yang bersangkutan.
Batas
Subak merupakan batas alamiah, sampai air yang mengalir tidak bisa lagi mengairi sawah tertentu karena sudah dihalangi oleh sungai, jurang, saluran irigasi, kawasan desa, dan lain sebagainya. Sebagai lembaga yang otonom dan tidak berada di bawah pemerintahan desa,
Subak sangat membantu dalam menghindari konflik karena masing-masing lembaga
Subak akan membuat keputusannya sendiri tanpa intervensi dari pihak lain. Di sisi lain, antara
Subak dengan desa selalu ada koordinasi, khususnya dalam pelaksanaan kegiatan ritual. Dalam bahasa ilmu politik, kondisi semacam ini disebut sebagai konsep polisentri.
Pelaksanaan ritual
Pada dasarnya,
Subak merupakan suatu sistem irigasi biasa dalam bentuk FMIS (Farmer Managed Irrigation System) atau sistem irigasi yang dikelola oleh para petani, tetapi
Subak bukan hanya sekedar sistem irigasi karena di dalamnya terdapat aktivitas ritual yang sangat padat. Aktivitas ritual inilah yang membedakannya dengan sistem irigasi yang lain. Wayan Windia menyebutkan bahwa fungsi
Subak antara lain: distribusi air irigasi, pemeliharaan saluran irigasi, pengerahan sumber daya, dan kegiatan ritual.
Kegiatan ritual pada
Subak dilaksanakan pada tingkat petani (pada lahan sawahnya masing-masing), pada tingkat
Subak (pada pura
Subak), dan pada pura-pura lain yang dianggap berkaitan dengan sumber air irigasi
Subak. Tujuan ritual yang dilaksanakan tersebut pada dasarnya adalah memohon kepada Tuhan agar usaha taninya dapat berhasil dengan baik.
Adapun ritual yang dilakukan oleh para petani (anggota
Subak) secara individual di lahan yang sawahnya masing-masing dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Selain pelaksanaan upacara di tingkat sawah yang dilakukan oleh petani secara individual, ada juga upacara di tingkat
Subak. Upacara di tingkat
Subak dilaksanakan oleh semua anggota
Subak secara bersamaan pada hari tertentu yang disepakati oleh
Subak yang bersangkutan. Upacara yang umum dilaksanakan di tingkat
Subak, yaitu upacara mendak toya (menjemput air) yang dilaksanakan pada sumber air dari
Subak yang bersangkutan (dam, bangunan-bagi, atau mata air) dan upacara piodalan/ngusaba di Pura
Subak (Pura Ulun Sui atau Pura Bedugul).
Upacara piodalan sendiri diselenggarakan pada beberapa pura di Bali yang dipercaya oleh
Subak memiliki kaitan dengan sumber air. Dalam pelaksanaan upacara itu, pihak
Subak hanya memberikan iuran, bukan sebagai penyelenggara, misalnya: upacara piodalan pada pura yang berkaitan dengan eksistensi danau (Pura Ulun Danu Batur di Danau Batur, Kintamani, Bangli serta Pura Beratan di Danau Beratan dan Tabanan).
Subak sebagai warisan budaya dunia
Sistem
Subak diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada tanggal 29 Juni 2012 di kota Saint Petersburg, Rusia. Organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan PBB tersebut mengakui
Subak sebagai warisan budaya dunia setelah pemerintah Indonesia memperjuangkannya selama 12 tahun. Sesuai dengan pengajuannya,
Subak di Bali awalnya memiliki luas + 20.000 hektar, yang terdiri atas
Subak yang berada di lima kabupaten, yaitu Kabupaten Bangli, Gianyar, Badung, Buleleng, dan Tabanan.
Pengusulan untuk kategori ini bukanlah perkara yang mudah. Hal ini disebabkan
Subak memerlukan penelitian mendalam sebelum diakui sebagai warisan budaya dunia melalui pendekatan multidisiplin ilmu, seperti arkeologi, antropologi, arsitektur, lanskap, geografi, ilmu lingkungan, dan sebagainya.
Subak memenuhi persyaratan sebagai warisan budaya dunia sebagaimana ditetapkan oleh UNESCO, antara lain:
Subak merupakan tradisi budaya yang membentuk lanskap Pulau Bali.
Subak telah hadir di Bali sejak abad ke-9 dan merupakan lembaga tradisional yang menerapkan filsafat Tri Hita Karana dalam aktivitasnya. Pada setiap
Subak terdapat Pura
Subak yang menjadi pusat spiritual dalam pengelolaan irigasi di kawasan
Subak, melalui sejumlah ritual, persembahan, dan pertunjukan seni. Pura
Subak adalah sebuah tempat yang digunakan oleh para petani mencari harmoni dengan Tuhan.
Lanskap Bali merupakan bukti tentang sistem
Subak yang luar biasa. Sebuah sistem yang demokrasi dan egaliter. Sejak abad ke-11, jaringan Pura
Subak telah mengelola lingkungan ekologis sawah terasering, yang mencakup semua DAS (Daerah Aliran Sungai) di Bali. Pura
Subak merupakan solusi yang unik dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks di masa depan.
Pura
Subak merupakan suatu lembaga yang unik, yang sejak berabad-abad lampau terinspirasi dari sejumlah tradisi keagamaan masa lampau di Bali. Berbagai ritual yang dilaksanakan di Pura
Subak mengaitkan eksistensi Pura
Subak dengan pelaksanaan pengelolaan irigasi. Hal ini merupakan perwujudan dari implementasi filsafat Tri Hita Karana, yang mengharuskan adanya harmoni antara manusia dengan Tuhan. Harmoni antara manusia dengan Tuhan tersebut diwujudkan melalui ritual-ritual di Pura
Subak.
Hal inilah yang menyebabkan sistem
Subak mengimplementasikan filsafat Tri Hita Karana dalam aktivitasnya. Tri Hita Karana adalah tiga jalan untuk menuju kebahagiaan hidup. Untuk aspek parhyangan, dilaksanakan oleh
Subak dengan melaksanakan berbagai ritual di Pura
Subak dan pada berbagai pura yang berkaitan dengan
Subak. Selain itu, petani anggota
Subak juga melaksanakan ritual pada lahan sawahnya masing-masing. Pada dasarnya, setiap petani akan melaksanakan kegiatan di lahan sawahnya dan mereka akan selalu mendahuluinya dengan kegiatan ritual.
Untuk aspek pawongan dilaksanakan dengan menyusun peraturan
Subak, yang mengatur tentang berbagai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota
Subak agar terjadi harmoni pada
Subak yang bersangkutan. Untuk aspek palemahan sendiri dilaksanakan dengan membuat sawah sesuai dengan kontur lahan. Petani membuat sawah dengan tidak merusak kontur lahan tersebut.
Galeri
Lihat pula
Lanskap kultur Provinsi Bali
Catatan kaki
Referensi
(Inggris) J. Stephen Lansing, Priests and Programmers: Technology of Power in the Engineered Landscape of Bali Princeton University Press.
(Inggris) "Balinese Water Temples Withstand Tests of Time and Technology" - National Science Foundation
(Inggris) Simulation Modeling of Balinese Irrigation (extract) Diarsipkan 2012-02-04 di Wayback Machine. by J. Stephen Lansing (1996)
(Inggris) "The Impact of the Green Revolution and Capitalized Farming on the Balinese Water Temple System" by Jonathan Sepe (2000). Literature review.