Moriori adalah penduduk asli Kepulauan Chatham (Rēkohu dalam bahasa
Moriori, Wharekauri dalam bahasa Maori) yang terletak di sebelah timur Selandia Baru di Samudra Pasifik.
Suku Moriori memiliki hukum yang melarang kekerasan. Akibatnya,
Suku Maori Taraniki hampir memusnahkan mereka pada tahun 1830-an.
Pada awal abad ke-20,
Moriori diyakini merupakan penetap Selandia Baru sebelum
Suku Maori datang dengan bahasa dan genetik yang berbeda (mungkin Melanesia). Kisah ini, yang merupakan bagian dari hipotesis kano migrasi Maori Stephenson Percy Smith, banyak didukung pada awal abad ke-20, tetapi teori ini kini dianggap tidak benar. Menurut penelitian, nenek moyang
Moriori adalah orang Maori yang bermigrasi ke Kepulauan Chatham dari Selandia Baru.
Asal usul
Suku Moriori secara budaya merupakan bagian dari budaya Polinesia. Mereka mengembangkan budaya
Moriori yang berbeda dan disesuaikan dengan keadaan di Kepulauan Chatham. Walaupun sebelumnya mereka diduga datang ke Kepulauan Chatham langsung dari kepulauan Polinesia tropis atau bahkan merupakan orang Melanesia, penelitian saat ini menunjukkan bahwa nenek moyang orang
Moriori adalah orang Maori yang datang dari Selandia Baru sebelum tahun 1500.
Bukti yang mendukung teori ini berasal dari karakteristik bahasa
Moriori yang mirip dengan dialek Maori yang dituturkan oleh
Suku Ngāi Tahu di Pulau Selatan Selandia Baru, serta perbandingan genealogi
Moriori ("hokopapa") dan Māori ("whakapapa").
Berdasarkan pola angin di Pasifik Selatan, terdapat spekulasi bahwa Kepulauan Chatham merupakan kepulauan terakhir yang dimukimi oleh para pendatang Polinesia pada masa persebaran mereka.
Beradaptasi dengan keadaan setempat
Kepulauan Chatham lebih dingin dari Selandia Baru. Walaupun terdapat banyak sumber daya alam, sumber daya tersebut berbeda dari tempat asal nenek moyang
Suku Moriori. Tanaman-tanaman yang dimiliki orang Polinesia tidak dapat tumbuh di Kepulauan Chatham, sehingga
Suku Moriori menjadi pemburu-pengumpul. Sebagian besar makanan berasal dari laut - protein dan lemak dari ikan, anjing laut, dan burung laut.
Dengan ketiadaan sumber daya alam dengan kepentingan budaya seperti batu hijau dan kayu yang berlimpah, mereka memenuhi kebutuhan ritual mereka dengan mengukir dendroglif. Selain itu, karena jumlah penduduknya sedikit,
Moriori adalah
Suku yang damai dan menghindari peperangan. Nenek moyang mereka Nunuku-whenua melarang peperangan dan kanibalisme. Maka
Moriori dapat melestarikan sumber daya alam mereka dan tidak menghabiskannya untuk peperangan (seperti yang mungkin terjadi di Pulau Paskah).
Untuk mengontrol pertumbuhan populasi,
Suku Moriori juga mengkastrasi beberapa bayi laki-laki.
Kontak dengan bangsa Eropa
William R. Broughton mendarat di Kepulauan Chatham pada 29 November 1791 dan mengklaim kepulauan tersebut untuk Britania Raya. Kepulauan itu kemudian dinamai dari kapalnya, HMS Chatham. Pemburu anjing laut dan paus segera menjadikan kepulauan ini sebagai pusat aktivitas mereka, sehingga berkompetisi memperebutkan sumber daya alam dengan penduduk asli. Populasi
Moriori diperkirakan sebesar 1.600 pada pertengahan tahun 1830-an dengan 10% hingga 20% penduduk tewas akibat penyakit menular seperti influenza yang menyebar semenjak datangnya pemburu anjing laut, mantan narapidana, dan Maori dari sekitar tahun 1810.
Serangan Maori
Suku Maori Taranaki yang tinggal di Port Nicholson (kini Wellington telah bertemu untuk membahas tempat yang tepat untuk diserbu. Invasi besar-besaran Samoa atua Kepulauan Norfolk sempat dipertimbangkan pada awal tahun 1835, tetapi pada akhirnya mereka memutuskan untuk menyerang Kepulauan Chatham karena lebih dekat dan mereka tahu bahwa
Moriori memiliki hukum anti kekerasan. Maka pada tahun 1835
Suku Maori Taranaki mulai menyerbu Kepulauan Chatham. Mereka memiliki senapan dan memperbudak, membunuh, dan memakan orang
Moriori. Para tetua
Moriori berkumpul di permukiman yang disebut Te Awapatiki. Walaupun tahu bahwa
Suku Maori cenderung membunuh dan memakan
Suku yang telah ditaklukan, dan walaupun beberapa tetua telah memperingati bahwa hukum Nunuku pada saat itu sudah tidak tepat, dua kepala
Suku yang bernama Tapata dan Torea menyatakan bahwa "hukum Nunuku bukan strategi bertahan yang dapat diubah-ubah jika keadaan berubah; hukum ini adalah kewajiban moral." Akibatnya, seperti yang dikatakan oleh orang
Moriori yang berhasil selamat: "[Maori] membunuh kami seperti domba.... [Kami] ketakutan, melarikan diri ke semak-semak, bersembunyi di lubang di bawah tanah, dan di tempat manapun untuk melarikan diri dari musuh kita. Hal tersebut tidak berguna; kami ditemukan dan dibunuh - laki-laki, perempuan, dan anak-anak tanpa pandang bulu." Penakluk Maori juga menjelaskan, "Kami mengambil barang milik... sesuai dengan adat kami dan kami menangkap semua orang. Tidak ada satu pun yang lolos....." Para penyerbu membunuh 10% penduduk dalam ritual. Setelah
Moriori ditaklukan, Maori melarang penuturan bahasa
Moriori. Mereka memaksa orang
Moriori merusak tempat suci mereka dengan membuang air kecil dan besar di tempat tersebut.
Moriori juga dilarang menikahi orang
Moriori. Semuanya menjadi budak penyerbu Maori. Banyak perempuan
Moriori yang melahirkan anak dari orang Maori. Sejumlah perempuan
Moriori menikah dengan orang Maori atau Eropa. Beberapa dibawa pergi dari Chatham dan tidak pernah kembali. Hanya 101 orang
Moriori yang masih tersisa pada tahun 1862 (sementara jumlah sebelumnya adalah 2.000. Walaupun orang
Moriori berdarah murni terakhir yang bernama Tommy Solomon meninggal pada tahun 1933, hingga kini masih ada beberapa ribu orang
Moriori berdarah campuran.
Kebangkitan budaya
Saat ini, budaya
Moriori mengalami renaisans, baik di Rekohu maupun di Selandia Baru. Budaya dan identitas
Moriori dipulihkan, yang disimbolisasikan pada Januari 2005 dengan diperbaharuinya Perjanjian Perdamaian.
Bahasa
Sebelum invasi Maori,
Suku Moriori menuturkan bahasa
Moriori. Bahasa
Moriori merupakan bahasa Malayo-Polinesia yang berhubungan dekat dengan bahasa Maori. Bahasa ini saat ini sudah punah. Namun, telah dilakukan berbagai upaya untuk merekonstruksi bahasa ini, seperti dalam film dokumenter Barry Barclay pada tahun 2000 yang berjudul The Feathers of Peace. Pada tahun, sebagai bagian dari gerakan pemulihan budaya,
Suku Moriori juga mulai mencoba membangkitkan kembali bahasa ini, dan mengumpulkan basis data kata-kata dalam bahasa
Moriori.
Catatan kaki
Pranala luar
Hokotehi
Moriori Trust Situs resmi
Rekohu: Report on
Moriori and Ngāti Mutunga Claims in the Chatham Islands Diarsipkan 2007-10-13 di Wayback Machine.
Moriori Education Resources (Situs resmi)
Other Early Peoples