Rohingya (;
Rohingya: Templat:Script/Hanifi
Rohingya, IPA: [rʊˈɜi̯ɲ.ɟə]) adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan, atau Rohang dalam bahasa
Rohingya) di Myanmar. Sebelum Genosida
Rohingya pada tahun 2017 ketika 740.000 etnis
Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, sekitar 1,4 juta
Rohingya tinggal di Myanmar.
Rohingya dideskripsikan oleh jurnalis dan media sebagai salah satu etnis yang paling terpresekusi di dunia dengan pemerintah Myanmar tidak memberikan kewarganegaraan bagi
Rohingya. Terdapat pembatasan gerak bagi
Rohingya di Myanmar, akses ke pendidikan, dan layanan pemerintah akibat dari statusnya yang tidak memiliki kewarganegaraan dengan kondisi yang dialami
Rohingya telah dibandingkan dengan apartheid.
Rohingya menganggap bahwa mereka adalah pemukim asli dari Myanmar bagian barat dengan sejarah selama lebih dari satu milenium dengan pengaruh dari Arab, Munghal, dan Portugis.
Rohingya mengklaim bahwa
Rohingya adalah keturunan dari pemukim dari masa pra-kolonial dan kolonial Arakan. Secara historis, wilayah tersebut terdapat kerajaan yang independen antara Asia Tenggara dengan India. Pemerintah Myanmar menganggap
Rohingya sebagai imigran yang datang dari Chittagong di Bangladesh pada masa kolonial Inggris. Pemerintah Myanmar berargumen bahwa populasi Muslim yang sudah ada dari masa prakolonial diakui sebagai etnis Kaman, dan bahwa etnis
Rohingya menyamakan sejarah mereka dengan sejarah Muslim Arakan secara umum untuk memajukan agenda separatisnya. Selain itu, pemerintah Myanmar tidak mengakui istilah "
Rohingya" dan melabeli komunitas tersebut sebagai etnis Benggala.
Berbagai pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh etnis
Rohingya telah terjadi sejak tahun 1940an dan masyarakat secara keseluruhan telah menghadapi tindakan keras dari militer Myanmar pada tahun 1978, 1991–1992, 2012, 2015, dan khususnya pada tahun 2016–2018, ketika sebagian besar populasi
Rohingya di Myanmar diusir keluar dari negara tersebut, ke negara tetangga Bangladesh. Pada bulan Desember 2017, diperkirakan 625.000 pengungsi dari Rakhine, Myanmar, telah melintasi perbatasan ke Bangladesh sejak Agustus 2017. Pejabat PBB dan Human Rights Watch menggambarkan penganiayaan yang dilakukan Myanmar terhadap
Rohingya sebagai pembersihan etnis. Penyelidikan yang dilakukan oleh PBB menemukan bukti meningkatnya hasutan kebencian dan intoleransi agama yang dilakukan oleh “umat Buddha ultra-nasionalis” terhadap etnis
Rohingya, sementara pasukan keamanan Myanmar telah melakukan “eksekusi massal, penghilangan paksa, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penganiayaan. dan kerja paksa" terhadap masyarakat
Rohingya.
Tata nama
Istilah modern
Rohingya muncul dari istilah kolonial dan pra-kolonial Rooinga dan Rwangya. Orang
Rohingya menyebut diri mereka sebagai Ruáingga /ɾuájŋɡa/. Dalam bahasa Burma mereka dikenal sebagai rui hang gya (mengikuti Sistem Transkripsi MLC) (bahasa Burma: ရိုဟင်ဂျာ /ɹòhɪ̀ɴd͡ʑà/) sedangkan dalam bahasa Bengali mereka disebut Rohingga (bahasa Bengali: রোহিঙ্গা /ɹohiŋɡa/). Istilah "
Rohingya" mungkin berasal dari Rakhanga atau Roshanga, kata untuk negara bagian Arakan. Kata
Rohingya kemudian berarti "penduduk Rohang", yang merupakan nama Muslim awal untuk Arakan.
Penggunaan istilah
Rohingya telah didokumentasikan secara historis sebelum British Raj. Pada tahun 1799, Francis Buchanan menulis sebuah artikel berjudul "A Comparative Vocabulary of Some of the Languages Spoken in the Burma Empire", yang ditemukan dan diterbitkan ulang oleh Michael Charney di SOAS Bulletin of Burma Research pada tahun 2003. Di antara kelompok penduduk asli Arakan, tulisnya adalah: "Muhammedans, yang telah lama menetap di Arakan, dan menyebut diri mereka Rooinga, atau penduduk asli Arakan." Jurnal Klasik tahun 1811 mengidentifikasi "Rooinga" sebagai salah satu bahasa yang digunakan di "Kekaisaran Burmah". Pada tahun 1815, Johann Severin Vater mencantumkan "Ruinga" sebagai kelompok etnis dengan bahasa berbeda dalam ringkasan bahasa yang diterbitkan dalam bahasa Jerman.
Pada tahun 1936, ketika Burma masih berada di bawah British Burma, "
Rohingya Jam'iyyat al Ulama" didirikan di Arakan.
Menurut Jacques Leider, etnis
Rohingya disebut sebagai "orang Chittagonian" selama masa kolonial Inggris, dan menyebut mereka sebagai "orang Bengali" bukanlah hal yang kontroversial hingga tahun 1990an. Leider juga menyatakan bahwa "tidak ada konsensus internasional" mengenai penggunaan istilah
Rohingya, karena mereka sering disebut "Muslim
Rohingya", "Muslim Arakan" dan "Muslim Burma". Peneliti lainnya, seperti antropolog Christina Fink, menggunakan
Rohingya bukan sebagai tanda pengenal etnis tetapi sebagai tanda politik. Leider yakin
Rohingya adalah gerakan politik yang dimulai pada tahun 1950an untuk menciptakan “zona Muslim otonom” di Rakhine.
Pemerintahan Perdana Menteri U Nu, ketika Burma merupakan negara demokrasi dari tahun 1948 hingga 1962, menggunakan istilah "
Rohingya" dalam pidato radio sebagai bagian dari upaya pembangunan perdamaian di Wilayah Perbatasan Mayu. Istilah ini disiarkan di radio Burma dan digunakan dalam pidato para penguasa Burma. Laporan UNHCR mengenai pengungsi yang disebabkan oleh Operasi Raja Naga menyebut para korban sebagai "Muslim Bengali (disebut
Rohingya)". Namun demikian, istilah
Rohingya baru digunakan secara luas pada tahun 1990an.
Saat ini penggunaan nama "
Rohingya" terpolarisasi. Pemerintah Myanmar menolak menggunakan nama tersebut. Pada sensus tahun 2014, pemerintah Myanmar memaksa etnis
Rohingya untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai "Bengali". Banyak orang
Rohingya menganggap penolakan terhadap nama mereka sama dengan penolakan terhadap hak-hak dasar mereka, dan Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar telah sepakat. Jacques Leider menulis bahwa banyak Muslim di Rakhine lebih suka menyebut diri mereka "Muslim Arakan" atau "Muslim yang datang dari Rakhine" daripada "
Rohingya". Kedutaan Amerika Serikat di Yangon terus menggunakan nama "
Rohingya".
Agama
Mayoritas orang
Rohingya menganut agama Islam dengan minoritas beragama Hindu dan Kristen. Pemerintah Myanmar membatasi kesempatan pendidikan mereka; akibatnya, banyak yang menjadikan studi Islam sebagai satu-satunya pilihan mereka. Masjid dan madrasah terdapat di sebagian besar desa
Rohingya. Secara tradisional, laki-laki shalat berjamaah dan perempuan shalat di rumah.
Lihat pula
Bahasa
Rohingya
Genosida
Rohingya
Konflik
Rohingya
Orang Karen
Konflik Karen
Rakhine (negara bagian)
Referensi
Pranala luar
(Inggris) Arakan
Rohingya National Organization
(Inggris) UNHCR Homepage