Suku Sambas atau disebut juga Melayu
Sambas adalah kelompok etnis Melayu yang mendiami pesisir Kalimantan Barat.
Suku ini utamanya menempati sebagian besar wilayah Kabupaten
Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang, dan sebagian Kabupaten Landak. Orang
Sambas juga dapat ditemui di Kabupaten Mempawah, serta Pulau Subi di Kepulauan Riau karena migrasi
Suku Sambas pada abad ke-19, dan
Suku ini juga banyak ditemukan di Sarawak, Malaysia.
Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2000, orang
Sambas berjumlah 444.929 jiwa atau 0,22 % dari populasi penduduk Indonesia pada saat itu.
Secara administratif,
Suku Sambas merupakan
Suku yang baru muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 12% dari penduduk Kalimantan Barat, sebelumnya
Suku Sambas tergabung ke dalam
Suku Melayu pada sensus 1930. Sehubungan dengan hal tersebut kemungkinan "dialek
Sambas" meningkat statusnya dari sebuah dialek menjadi bahasa yaitu bahasa Melayu
Sambas.
Asal-usul
Pada awalnya,
Sambas bukanlah nama
Suku akan tetapi merupakan nama wilayah dan kerajaan yang berada tepat di pertemuan 3 sungai yaitu sungai
Sambas Kecil, Subah, dan Teberau yang lebih dikenal sebagai Muara Ulakan. Permasalahan politik dan agama menjadi jurang pemisah antara kesatuan besar ini. Mereka yang meninggalkan kepercayaan lama akhirnya meninggalkan adatnya karena lebih menerima kepercayaan baru dan berevolusi menjadi masyarakat Melayu Muda dan menganut budaya Melayu. Hal-hal adat yang bertolak belakang dengan ajaran akan ditinggalkan sedangkan yang tetap teguh dengan kepercayaan lama disebut sebagai "Dayak". Adat-istiadat lama
Suku Sambas ini memiliki banyak kesamaan dengan adat istiadat
Suku Dayak rumpun Melayik.
Perubahan
Suku Sambas secara drastis setelah memeluk Islam, hampir menghapus jejak asal muasalnya sebagai
Suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan. Kebudayaan Melayu yang dianggap lebih 'beradab', membantu menghilangkan kebudayaan Dayak pada masyarakat
Sambas dengan cepat. Akibatnya, orang lebih mengenal
Sambas sebagai Melayu.
Sulitnya data semakin mempersulit para peneliti untuk mencari jejak asal muasal
Suku Sambas. Oleh karena itulah,
Suku Sambas akhirnya diklasifikasikan kedalam
Suku Melayu. Namun, berdasarkan kajian dengan pendekatan sejarah dan asal usul masyarakat yang sekarang disebut Melayu
Sambas adalah hasil asimilasi beberapa
Suku bangsa di Nusantara, yaitu yang sekarang disebut
Suku asli
Sambas adalah asimilasi dari orang Melayu (datang dari Sumatra sekitar abad ke-5 hingga ke-9 M pada masa Kerajaan Malayu atau masa awal Sriwijaya), orang Dayak (penduduk lebih awal yang secara turun temurun sebelumnya telah mendiami sungai
Sambas dan wilayah sekitarnya), orang Jawa (serombongan besar bangsawan Majapahit keturunan Wikramawardhana bersama para pengikutnya yang melarikan diri secara bersamaan dari Majapahit karena perang sesama Bangsawan di Majapahit pada awal abad ke-15 M yang kemudian mendirikan sebuah panembahan di wilayah sungai
Sambas), dan orang Bugis (para Nakhoda dan pembuat kapal bersama keluarganya dari selatan Sulawesi yang kemudian membentuk sebuah perkampungan Bugis yang bekerja untuk sultan
Sambas pada masa awal dan pertengahan Kesultanan
Sambas).
Sejarah
= Kerajaan-kerajaan di Sambas
=
Sebelum berdirinya Kesultanan
Sambas pada tahun 1671, di wilayah sungai
Sambas ini sebelumnya telah berdiri kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah sungai
Sambas dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada, urutan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah dungai
Sambas dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya Republik Indonesia adalah:
Kerajaan pra-Islam di
Sambas:
Kerajaan Wijaya Pura, sekitar abad 7–9 M
Kerajaan Nek Riuh, sekitar abad 13–14 M
Kerajaan Tan Unggal, sekitar abad 15 M
Kerajaan
Sambas, berkuasa pada 1300–1675 M
Panembahan
Sambas, sekitar abad ke-16 M
Kerajaan Islam di
Sambas:
Kesultanan
Sambas, sekitar abad 17–20 M
= Masa Kesultanan Sambas
=
Kesultanan
Sambas adalah sebuah kesultanan Melayu maritim yang sempat menjadi kerajaan terbesar di wilayah Borneo bagian barat selama sekitar 100 tahun (dari awal tahun 1700-an hingga awal tahun 1800-an). Urutan kerajaan-kerajaan terbesar di Kalimantan Barat dari awal adalah Kerajaan Tanjungpura yang setelah runtuh dilanjutkan oleh Kerajaan Sukadana, lalu ketika Kerajaan Sukadana melemah posisi kerajaan terbesar di Kalimantan bagian barat kala itu beralih dipegang oleh Kesultanan
Sambas yang kemudian setelah masuknya kolonial Belanda ke wilayah Kalimantan Barat pada tahun 1818, posisi kerajaan terbesar dan paling berpengaruh di Kalimantan Barat beralih dipegang oleh Kesultanan Pontianak. Kesultanan
Sambas berdiri pada tahun 1671 M yang kemudian memerintah selama sekitar 279 tahun melalui Pemerintahan 15 sultan-sultan
Sambas dan 2 ketua Majelis Kesultanan
Sambas secara turun temurun hingga kemudian berakhirnya pemerintahan Kesultanan
Sambas dengan bergabung kedalam Republik Indonesia Serikat pada tahun 1950.
= Masa penyebaran Islam di Sambas
=
Pada masa pemerintahan Kesultanan
Sambas, masyarakat
Sambas juga dikenal sangat agamis dan paling terkemuka di Kalimantan bagian barat sehingga sempat disebut sebagai "Serambi Makkah" di Kalimantan Barat. Pada masa Kesultanan
Sambas, ulama-ulama Islam dari Kesultanan
Sambas sangat terkemuka dibanding kerajaan-kerajaan lainnya di Kalimantan bagian barat, bahkan ulama-ulama Islam dari Kesultanan
Sambas telah ada yang dikenal oleh masyarakat internasional, misalnya pada abad ke-19 M ada seorang ulama Kesultanan
Sambas yang bernama Syekh Khatib Achmad As-Sambasi yang menjadi ulama di Makkah dan menjadi pemimpin ulama-ulama Nusantara yang menuntut ilmu agama di Makkah dengan gelar Syekh Sharif Kamil Mukammil. Kemudian pada abad ke-20, ada seorang ulama Kesultanan
Sambas bernama Syekh Muhammad Basuni Imran (mufti Kesultanan
Sambas) yang merupakan lulusan []Al-Azhar]] di Kairo, Mesir yang terkenal di Timur Tengah karena suratnya kepada mufti Mesir yang berjudul Mengapa umat Islam saat ini mengalami kemunduran. Jejak kejayaan Islam di
Sambas itulah yang masih tampak pada sekitar tahun 1980-an, dimana para qori-qori dari
Sambas cukup mendominasi dalam mewakili Kalimantan Barat di tingkat nasional dan internasional.
Ketika kolonial Belanda masuk ke wilayah Kalimantan Barat, barulah dimulai perselisihan akibat dibenturkan oleh politik Devide et Impera. Politik Devide et Impera inilah yang membuat perbedaan-perbedaan menjadi semakin meruncing khususnya perbedaan agama. Sejak masuknya Belanda sebagian besar orang
Sambas telah beragama Islam sehingga sulit untuk dikristenkan oleh misionaris dari Belanda. sehingga misionaris Belanda menggarap sebagian besar masyarakat yang berada di pedalaman yang masih beragama Kaharingan (agama asli Masya Dayak). Alhasil, penduduk pedalaman yang tadinya memeluk Kaharingan banyak yang menjadi pemeluk agama Kekristenan, khususnya Katolik.
Semula ajaran Islam diperkenalkan di antara orang-orang Dayak namun hanya sebagian kecil dari mereka yang menjadi Islam. Penyebarannya melalui sungai Mempawah, sungai
Sambas, sungai Selakau, dan banyak anak sungai lainnya. Namun penyebaran Islam tidak sampai ke pedalaman sehingga banyak penduduk di bagian paling dalam tidak tersentuh oleh dakwah Islam, tetapi sebaliknya tersentuh oleh misi Kekristenan. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya orang Dayak beragama Kristen tetapi memakai nama bernuansa Melayu dan Islam seperti; Rabudin, Burhanudin, Muhammad, Syafei, Jainudin, dan sebagainya. Artinya, pengaruh Islam telah masuk namun baru sebagian. Sebagian besar hanya pengaruh Islam saja yang masuk namun tidak sampai kepada masuknya keyakinan Islam dalam budaya Dayak pedalaman sehingga orang Dayak tidak menganut budaya Melayu Islam seperti yang terjadi pada masyarakat Dayak-Dayak lainnya di pesisir Kalimantan yang telah masuk Islam dam mengubah identitas dirinya menjadi Melayu. Demikian halnya juga terjadi pada masyarakat
Suku Sambas.
Bahasa
Masyarakat
Suku Sambas menuturkan bahasa Melayu
Sambas yang merupakan rumpun bahasa Melayu. Bahasa ini berkembang sejak zaman Panembahan
Sambas (pra-Islam) dan Kesultanan
Sambas.
Bahasa Melayu
Sambas berbeda dengan bahasa-bahasa Melayu di Sumatra maupun di Semenanjung Malaya, akar dari kosakata bahasa Melayu
Sambas sebagai besar berasal dari bahasa Kanayatn serta sebagian sisanya berasal dari bahasa Melayu dan bahasa Iban.
= Perbandingan bahasa Melayu Sambas dengan bahasa-bahasa lain
=
Kebudayaan
Masyarakat
Sambas memiliki keragaman kebudayaan yang umumnya memiliki kemiripan dengan budaya Melayu, beberapa budaya
Sambas yang masih populer di kalangan masyarakat Kalimantan Barat dari zaman dahulu hingga saat ini di antaranya, kain
Sambas (kaing lunggi, kain songket
Sambas), bubbor paddas atau bubur pedas (dibuat menggunakan daun kesuma), dan lagu-lagu daerah
Sambas yang sangat mendominasi lagu-lagu daerah di Kalimantan Barat dan dilestarikan turun temurun dari generasi ke generasi seperti lagu Alok Galing, Cik-cik Periuk, Kapal Belon, dan lagu-lagu lainnya. Masyarakat
Sambas juga memiliki tarian tradisional, seperti tari tandak
Sambas, jepin, dan tarian lainnya.
Masyarakat
Sambas pra-Islam sejatinya berbudaya Dayak, hal itu dapat dilihat dari silsilah keturunannya, hak kepemilikan atas hutan, tanah, dan adat istiadat.
Sambas pra-Islam memiliki budaya perladangan dan pertanian dengan peralatan pertanian dan gaya hidup yang sama dengan masyarakat Dayak lainnya bahkan setelah menganut Islam, budaya perladangan dan pertaniannya pun tidak berubah.
= Lagu daerah Sambas
=
Berikut ini merupakan lagu daerah yang berasal dari
Sambas dan berbahasa Melayu
Sambas.
Ca' Uncang
Gerattak Batu
Sambas
Ngape Me
Bubbor Ambo
Sambas Kebanjiran
Insanak
Ae' Besar
Si Dare
Lihat juga
Suku Iban
Suku Dayak Kanayatn
Suku Melayu Pontianak
Referensi
Pranala luar
Suku Sambas di Indonesia
Sambas Sultanate Descents From Brunei Diarsipkan 2010-03-29 di Wayback Machine.
Peta Bahasa di Kalimantan
Benarkah Bahasa
Sambas Merupakan Cikal-bakal Bahasa Melayu Nusantara dan Bahasa Indonesia Diarsipkan 2014-04-19 di Wayback Machine.
Sensus Penduduk Indonesia 2010