Tengku Buwang Asmara, putra kedua Raja Kecil, ditabalkan menjadi Sultan ke-2 Kesultanan Siak Sri Indrapura menggantikan ayahandanya tahun 1746. Setelah menaiki takhta, ia digelari Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Syah. Mana kala beliau juga kerap disebut dengan Sultan Mahmud.
Dalam catatan sejarah Pekanbaru,
Tengku Buwang Asmara merupakan sosok pejuang yang sangat ditakuti dan disegani oleh Belanda. Yang paling populer dan selalu dikenang oleh Masyarakat Melayu Riau hingga saat ini adalah, beliau pernah menghancurkan pertahanan Belanda di Kuala Sungai Guntung dalam sebuah peperangan heroik yang dikenal dengan Perang Guntung I, tahun 1752.
Untuk mengenang jasanya dalam melawan dan mengusir penjajah, pemerintah Kabupaten (Pemkab) Siak telah mengusulkan
Tengku Buang
Asmara menjadi Pahlawan Nasional.[1]
Keluarga
Tengku Buwang Asmara merupakan putera kedua dari Raja Kecil, pendiri dan Sultan pertama Siak. Dan ibunya bernama
Tengku Kamariah binti Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV Johor.
Penabalan
Di hari tua Raja Kecil, ketika beliau sudah mulai sakit-sakitan, terjadi perselisihan di antara kedua putra beliau terkait takhta,
Tengku Alamuddin dan
Tengku Buwang Asmara. Perselisihan ini sedikit banyak tidak terlepas dari pengaruh yang ditanamkan Belanda.
Menurut lazimnya ketentuan adat istiadat Melayu sejak leluhur mereka terdahulu, Diraja Johor-Melaka, suksesi pelanjut takhta selanjutnya adalah putra sulung dari sultan, yang dalam hal ini adalah
Tengku Alamuddin. Namun sebagian orang besar kerajaan mendesak agar
Tengku Buwang Asmara lebih layak dijadikan sultan berikutnya. Akibatnya, terjadilah perselisihan yang semakin berkembang, menimbulkan huru hara di dalam negeri Siak dan ancaman perang saudara.
Raja Kecik murka dan memanggil kedua putranya untuk berdamai. Bila tidak ada yang mau berdamai maka salah satu diantara mereka harus keluar dari Siak. Raja Kecil mencium pengaruh Belanda disebalik ini. Langkah terbaik adalah memisahkan mereka.
Tengku Alamuddin memilih mengalah sambil mengatakan "Tiada guna tahta jika harus diwarnai dengan pertumpahan darah antara orang-orang kita sendiri, saudara sendiri, rakyat sendiri."
Tengku Alamuddin memilih meninggalkan Siak tahun 1735. Sementara kedua putranya,
Tengku Muhammad Ali dan
Tengku Akil tetap tinggal di Siak.
Dalam Syair Perang Siak, sepeninggal Raja Kecil, kedudukannya digantikan oleh Raja Mahmud untuk menjadi penguasa Siak selanjutnya. Peralihan kekuasaan ini diperkirakan sekitar tahun 1746, Raja Mahmud kemudian memerintah sampai tahun 1761.
Perang Guntung
Masa pemerintahannya merupakan masa-masa yang sulit, karena sering terjadi konflik melawan Kompeni Belanda. Puncak perlawanan yang terjadi pada masa pemerintahan beliau adalah meletusnya Perang Guntung I selama 4 tahun (1752-1756)
Rujukan
= Daftar kepustakaan
=
Donald James Goudie, Phillip Lee Thomas, Tenas Effendy, (1989), Syair Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, MBRAS.
Christine E. Dobbin, (1983), Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847, Curzon Press, ISBN 0-7007-0155-9.
Journal of Southeast Asian studies, Volume 17, McGraw-Hill Far Eastern Publishers, 1986.