Teodisi adalah pandangan filosofis untuk menjawab alasan dari Tuhan yang Mahabaik mengizinkan adanya kejahatan di dunia, sehingga mampu menyelesaikan isu dari masalah kejahatan. Beberapa ilmu
Teodisi juga membahas masalah pembuktian kejahatan dengan mencoba untuk "menyelaraskan keberadaan Tuhan yang Mahapengampun, Mahakuasa, dan Mahatahu dengan keberadaan kejahatan atau penderitaan di dunia". Istilah ini dicetuskan pada tahun 1710 oleh filsuf Jerman Gottfried Leibniz dalam karyanya yang berjudul Théodicée, walaupun sebelumnya berbagai solusi untuk masalah kejahatan telah diajukan. Filsuf Britania John Hick menyatakan bahwa terdapat tiga tradisi utama dalam
Teodisi:
Teodisi Plotinus,
Teodisi Agustinus, dan
Teodisi Ireneus. Filsuf lain menyatakan bahwa
Teodisi adalah disiplin modern karena Tuhan dalam kepercayaan dunia kuno biasanya tidak sempurna.
Etimologi
Kata "
Teodisi" berasal dari bahasa Yunani yaitu theos dan dike yang masing-masing berarti Tuhan dan keadilan. Istilah ini dikaiatkan dengan sifat Tuhan yang penuh kebajikan, kemahatahuan dan kemahakuasaan terhadap segala makhluk ciptaan-Nya. Kata "
Teodisi" juga digunakan oleh para teolog untuk memberikan pembenaran terhadap segala perilaku Tuhan atas makhluk ciptaan-Nya.
Istilah "
Teodisi" pertama kali diperkenalkan oleh filsuf asal Jerman yang bernama Gottfried Leibniz. Ia memperkenalkannya di dalam bukunya yang berjudul Essais sur la Théodicée Bonte de Dieu, la Liberté de l’homme et l’origine du mal atau diterjemahkan menjadi
Teodisi: Esai tentang Kebaikan Tuhan, Kebebasan Manusia dan Keaslian Sifat Setan. Dalam karya ini, diberikan penjelasan bahwa kebaikan Tuhan tidak bertentangan dengan kenyataan adanya beragam jenis kejahatan di dunia. Kejahatan tetap ada, tetapi dunia masih menjadi tempat yang layak untuk ditinggali karena adanya keindahan dan kesenangan.
Tokoh pemikir
= Gottfried Leibniz
=
Leibniz memperkenalkan istilah "
Teodisi" pada tahun 1710 Masehi melalui bukunya dengan judul yang sama. Tujuan ia menulis buku dan memberikan konsep mengenai
Teodisi ialah untuk pembelaan atas kemahakuasaan dan kemahabaikan Allah melebihi penderitaan. Ia memberikan konsep yang jelas dengan membaginya menjadi dua bagian, yaitu mengenai Allah dan manusia. Leibniz membagi kodrat Allah menjadi tiga bagian, yaitu rasional, kehendak dan mahakuasa. Kodrat rasional berkaitan dengan sifat kebijaksanaan dari Allah. Kodrat kehendak dikaitkan dengan tujuan Allah terhadap setiap tindakan-Nya hanya untuk kebaikan. Sedangkan kodrat mahakuasa dikaitkan dengan kemampuan Allah untuk membuat sesuatu menjadi ada. Kodrat Allah ini kemudian oleh Leibniz dibuatkan suatu rekonsiliasi dengan kehendak bebas dari manusia yang sering mengarah kepada keburukan. Dari hal ini, kodrat kehendak Allah muncul dengan dua kategori, yaitu kehendak anteseden dan kehendak konsekuen. Kehendak anteseden berkaitan dengan kehendak Allah untuk memberikan kebaikan kepada manusia. Sedangkan kehendak konsekuen berkaitan dengan konsekuensi yang dialami oleh manusia dalam bentuk penderitaan sebagai akibat dari kesalahan yang diperbuat oleh manusia.
Referensi
= Catatan kaki
=
= Daftar pustaka
=
Fangidae, Tony Wiyaret (2020). "Dari
Teodisi dan Antropodisi Menuju Teo-antropodisi: Mengasihi Allah dan Sesama di Tengah Pandemi COVID-19". Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan. 19 (2).
Zubaidi, Sujiat (2011). "Antara
Teodisi dan Monoteisme: Memaknai Esensi Keadilan Ilahi". Jurnal Tsaqafah. 7 (2).
Pranala luar
Brown, Paterson. "Religious Morality" Diarsipkan 2010-12-27 di Wayback Machine., Mind, 1963.
Brown, Paterson. "Religious Morality: a Reply to Flew and Campbell" Diarsipkan 2010-12-27 di Wayback Machine., Mind, 1964.
Brown, Paterson. "God and the Good" Diarsipkan 2010-11-25 di Wayback Machine., Religious Studies, 1967.
Catholic Encyclopedia: Theodicy.
The Polkinghorne Reader Diarsipkan 2017-02-07 di Wayback Machine.: Science, Faith, and the Search for Meaning (Edited by Thomas Jay Oord) (SPCK and Templeton Foundation Press, 2010) ISBN 1-59947-315-1 and ISBN 978-0-281-06053-5.
Why Does God Allow It? Article discussing men's responsibility on the one hand and his powerlessness regarding natural disasters on the other hand.