Tugu Pembebasan atau
Tugu PRRI adalah sejumlah
Tugu yang dibangun oleh militer Indonesia selama operasi penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dari 1958 hingga 1961 di Sumatra Tengah, khususnya Sumatera Barat.
Tugu-
Tugu ini didirikan oleh Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI, atau dijuluki "tentara pusat") di setiap daerah yang berhasil mereka duduki. Tidak terdapat daftar yang memuat jumlah pasti seluruh
Tugu, tetapi keberadaannya tersebar di setiap nagari dan mencapai ribuan.
Latar belakang
PRRI didekalrasikan oleh Letkol Ahmad Husein di Padang pada tanggal 15 Februari 1958. Gerakan ini dianggap oleh pemerintah pusat sebagai sebuah pemberontakan. Tentara Indonesia (ketika itu bernama Angkatan Perang Republik Indonesia atau APRI) melakukan operasi gabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara untuk memadamkan kekuatan PRRI. Pengerahan kekuatan militer untuk menumpas kekuatan PRRI merupakan yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia.
Selama tiga tahun lamanya, terjadi perang saudara antara tentara pusat dan pasukan PRRI yang memakan banyak korban di pihak PRRI. Jumlah korban akibat konflik PRRI yang singkat jauh lebih besar daripada korban perang dengan Belanda pada zaman revolusi kemerdekaan. Selain itu, banyak yang tak terlibat PRRI tetapi menjadi korban kekerasan seperti penyiksaan, perampokan, dan pemerkosaan.
Pembangunan
Operasi penaklukan daerah yang dikuasai PRRI oleh APRI disebut pula sebagai operasi
Pembebasan atau Operasi 17 Agustus. Di daerah yang berhasil diduduki, APRI membangun
Tugu yang terbuat dari semen.
Tugu-
Tugu tersebut, menurut perkiraan A.A. Navis, terdapat di setiap nagari dan berjumlah "ribuan". Salah satu bentuk
Tugu yang umum adalah seperti peluru, disertai keterangan tanggal dan nama kesatuan yang melakukan operasi.
A.A. Navis menyebut kehadiran
Tugu Pembebasan di setiap nagari sebagai "lambang penindasan" dan meninggalkan kesan traumatis bagi orang Minangkabau.
Tugu-
Tugu tersebut mengingatkan mereka akan "mengerikannya perang saudara PRRI" dan menjadi "impitan jiwa yang tidak berkesudahan".
Penghancuran
Hampir seluruh
Tugu Pembebasan yang jumlahnya "ribuan" telah dihancurkan semasa kepemimpinan Gubernur Sumatera Barat Harun Zain dan Komando Daerah Militer III/17 Agustus R. Widodo pada era 1970-an. A.A. Navis merupakan salah seorang yang mendesak gubernur untuk melakukan penghancuran tersebut. Keberadaan
Tugu dianggap dapat mempertajam trauma akibat PRRI, sementara masyarakat berupaya melenyapkannya. Awalnya,
Tugu yang ada dikapuri, sehingga kata "
Pembebasan" menjadi hilang. Lama kelamaan,
Tugu-
Tugu dibongkar berhubung di atas bekas lahannya didirikan kantor desa, pos, dan sebagainya.
Meskipun
Tugu Pembebasan dalam jumlah besar sudah lenyap, terdapat beberapa yang masih tersisa, seperti di Indarung, Padang; Kurai Taji, Padang Pariaman; Muaro Paneh, Koto Gadang Guguak, dan Sulit Air, Solok; Paninjauan, Tanah Datar; Air Bangis, Pasaman Barat; serta Muaro Sakai, Pesisir Selatan. Namun, berkembang kesalahkaprahan terhadap
Tugu Pembebasan yang berdiri saat ini sehingga ada yang malah menyebutnya sebagai
Tugu Persatuan,
Tugu Pancasila,
Tugu Perjuangan, dan
Tugu PDRI.
Lihat pula
Tugu Pahlawan Tak Dikenal
Referensi