Valid tetapi tidak licit (bahasa Inggris:
Valid but illicit) adalah deskripsi yang digunakan dalam Gereja Katolik Roma atas pelayanan sakramen yang
tidak sesuai dengan ketentuan yang mereka berlakukan,
tetapi sakramen tersebut tetap memberikan pengaruh. Bahasa Indonesia
tidak memiliki kosakata khusus untuk
licit maupun illicit. Namun Kitab Hukum Kanonik 1983 dan berbagai referensi dalam bahasa Indonesia tetap menggunakan kata "
licit" dalam arti "layak" atau "sesuai ketentuan yang berlaku", sehingga ungkapan "
Valid tetapi tidak licit" dapat juga disebut sah
tetapi tidak layak atau sah
tetapi tidak sesuai ketentuan.
Keabsahan atau validitas pelayanan sakramen dipandang dari tindakan yang dilakukan oleh "orang yang memenuhi kualifikasi dan dalam tindakannya mencakup hal-hal yang merupakan esensinya sebagaimana juga segala formalitas dan tuntutan yang diberlakukan oleh hukum demi sahnya tindakan tersebut", sehingga tampak jelas bahwa hukum kanon Katolik juga menetapkan ketentuan-ketentuan demi legitimasi suatu tindakan.
Pembaptisan
"Selain dalam keadaan darurat, seseorang yang tanpa izin semestinya membaptis di luar wilayahnya adalah melanggar hukum, termasuk juga pada orang-orang yang di bawah tanggung jawabnya," dan pelayanan baptis merupakan salah satu tugas yang secara khusus dipercayakan kepada pastor paroki. Selain itu, seperti tertulis dalam Katekismus Gereja Katolik, pelayanan sakramen ini dipandang sah jika dalam keadaan darurat "setiap orang, bahkan mereka yang belum dibaptis, dapat melayankan Pembaptisan, asalkan ia memiliki niat yang diperlukan. Niat yang diperlukannya adalah kemauan untuk membaptis sesuai dengan apa yang dilakukan Gereja, dan menggunakan rumusan pembaptisan Trinitaris".
Penguatan
Seorang uskup merupakan pelayan biasa dalam Sakramen Penguatan atau Krisma dan ia dapat secara
licit menerimakannya kepada orang-orang yang dalam tanggung jawabnya di mana pun, bahkan kepada umat Katolik yang di luar tanggung jawabnya, kecuali Ordinaris mereka secara jelas melarangnya. Dalam Gereja Latin, para pastor (presbiter) dapat secara
Valid dan
licit melayankan sakramen ini dalam beberapa keadaan, misalnya saat membaptis orang dewasa atau menerimanya ke dalam Gereja dan saat ada bahaya kematian. Para pastor dari Gereja Katolik Timur dapat secara
Valid melayankan Krisma kepada semua umat Katolik, bahkan umat Katolik dari Gereja Latin;
tetapi mereka hanya dapat melakukannya secara
licit pada umat Gereja partikularnya sendiri dan umat Katolik lainnya yang memenuhi persyaratan baik yang berada di bawah tanggung jawabnya atau yang secara sah dibaptis olehnya, ataupun yang berada dalam bahaya kematian.
Ekaristi
Salah satu contoh utama mengenai perayaan Ekaristi yang
Valid tetapi tidak licit adalah penggunaan hosti atau roti yang beragi dalam Ritus Latin dan beberapa Gereja Katolik Timur. Namun, di sisi lain, jika tepung gandum hitam atau beras digunakan sebagai pengganti gandum, atau jika mentega, madu, atau telur ditambahkan padanya, maka Misa tersebut menjadi
tidak Valid dan transubstansiasi
tidak terjadi.
Seorang imam yang status klerusnya dicopot, terkena suspensi, atau diekskomunikasi
tidak diizinkan mempersembahkan Misa,
tetapi demikian Misa yang mereka persembahkan tetap dianggap
Valid.
Rekonsiliasi
Hukum Gereja perihal Sakramen Tobat atau Rekonsiliasi mengharuskan para imam yang menerima pengakuan dosa memiliki yurisdiksi dan kewenangan yang
Valid. Sebab Rekonsiliasi dipandang bukan sekadar suatu tindakan sakramental,
tetapi termasuk salah satu wilayah hukum, suatu peradilan untuk mengikat atau melepaskan, sehingga kewenangan dianggap perlu demi keabsahan dan kelayakan pelayanan sakramen ini.
Para imam yang diberi wewenang untuk menerima pengakuan dosa, baik karena jabatan atau izin dari pemimpin (superior) tarekatnya, memiliki kewenangan yang sama di mana pun dan kapan pun; dan mereka mempergunakan kewenangannya secara
licit, kecuali pemimpinnya yang lebih tinggi melarangnya dalam kasus tertentu.
Pengurapan orang sakit
Semua imam dapat melayani Sakramen Minyak Suci atau Pengurapan orang sakit secara
Valid. Kewajiban dan hak untuk melayani sakramen ini diserahkan pada imam yang padanya dipercayakan pelayanan rohani orang yang sakit tersebut; namun imam lainnya, dengan alasan yang masuk akal, juga dapat melayankannya sekurang-kurangnya atas persetujuan imam yang memiliki kewajiban dan hak ini. Tanpa persetujuan yang dimaksud, imam lain tersebut berada dalam posisi yang sama seperti seorang imam yang dilepaskan status imamnya, disuspensi, atau diekskomunikasi, yang pelayanan sakramennya dipandang sebagai
Valid tetapi tidak licit.
Tahbisan
Dalam Sakramen Imamat, penahbisan yang "
Valid tetapi tidak licit", sesuai dengan namanya, merupakan suatu penahbisan di mana seorang uskup mengkonsekrasi orang lain menjadi uskup tanpa mandat kepausan. Uskup tersebut karenanya bertindak dengan suatu cara yang dipandang illicit atau ilegal.
Seorang uskup Katolik yang mengkonsekrasi seseorang untuk episkopat tanpa suatu mandat dari Paus terkena sangsi ekskomunikasi secara otomatis (latae sententiae) menurut hukum kanon, meskipun penahbisan tersebut dianggap
Valid. Orang yang ditahbiskan olehnya juga terkena sangsi ekskomunikasi secara otomatis. Sangsi ekskomunikasi dalam kasus ini hanya dapat dilepaskan oleh Takhta Suci.
Pada abad ke-20, Uskup Agung Marcel Lefebvre dikatakan terkena sangsi ekskomunikasi otomatis atas penahbisan
Valid tetapi tidak licit yang ia lakukan terhadap 4 uskup tanpa mandat kepausan. Namun, para pendukungnya beralasan bahwa ia bertindak karena ketakutan yang luar biasa, yang mana menurut hukum kanon mengecualikannya dari ekskomunikasi otomatis. Setelah kematian Lefebvre, Tahta Suci pada tanggal 21 Januari 2009 mencabut sangsi ekskomunikasi dari 4 uskup yang ditahbiskannya.
Pernikahan
Suatu pernikahan yang dilangsungkan, tanpa izin resmi dari otoritas Gereja Katolik, antara seorang Katolik dan seorang lainnya yang sudah dibaptis dalam suatu Gereja atau persekutuan gerejawi yang
tidak dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik dipandang sebagai "terlarang" (illicit),
tetapi tetap
Valid. Di sisi lain, suatu pernikahan yang dilangsungkan antara seorang Katolik dan seorang yang belum dibaptis dianggap
tidak Valid, kecuali sebelumnya telah memperoleh dispensasi dari otoritas Gereja yang berwenang. Kasus-kasus lain di mana suatu perkawinan bukan hanya
tidak licit,
tetapi juga
tidak Valid, dijelaskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1083-1094.
Referensi