Wihara (Pali: vihāra; Sanskerta: विहार vihāra) umumnya mengacu pada tempat ibadah untuk penganut Buddhisme, sebagian besar di anak benua India. Konsep
Wihara dapat ditemukan dalam Kitab Buddhis Awal, kata
Wihara berarti "penataan ruang" atau "fasilitas tempat tinggal/berdiam". Istilah ini berkembang menjadi konsep arsitektur yang mengacu pada tempat tinggal para biksu dengan ruang atau halaman terbuka bersama, khususnya dalam Buddhisme. Istilah ini juga ditemukan dalam Ajivika, sebuah literatur agama Hindu dan Jainisme, yang biasanya mengacu pada perlindungan sementara bagi para biksu yang mengembara selama musim hujan tahunan di India. Dalam Jainisme modern, para biksu terus mengembara dari kota ke kota kecuali pada musim hujan (catumāsa), dan istilah "vihāra" mengacu pada pengembaraan mereka.
Wihara, kelenteng, dan Orde Baru
Wihara adalah rumah ibadah agama Buddha, bisa juga dinamakan temple atau monastery. Kelenteng adalah rumah ibadah penganut agama tradisional Tionghoa, Taoisme, dan Konfusianisme (Konghucu). Akan tetapi, di Indonesia, oleh karena adanya suatu kepercayan Tridharma yang merupakan sinkretisme antara Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme, maka tempat ibadah yang merupakan gabungan dari ketiga agama tersebut juga sering disebut sebagai "
Wihara". Salah satu contohnya adalah Vihara Kalyana Mittaya yang terletak di daerah Pekojan, Jakarta Barat.
Kelenteng dan
Wihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat, dan fungsi. Kelenteng umumnya berarsitektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat, selain fungsi spiritual.
Wihara umumnya berarsitektur lokal dan mempunyai fungsi spiritual saja. Namun,
Wihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada
Wihara Buddhis aliran Mahayana (Buddhisme Tionghoa) yang memang berasal dari Tiongkok.
Perbedaan antara kelenteng dan
Wihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa G30S pada tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa, termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa, oleh pemerintah Orde Baru. Kelenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Sebagai akibatnya, banyak kelenteng yang kemudian mengadopsi istilah dari bahasa Sanskerta ataupun bahasa Pali. Hal ini ditunjukkan dengan pengubahan nama-nama kelenteng menjadi "vihara" atau "
Wihara" yang surat izin operasionalnya dicatat dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan. Dari sinilah kemudian umat awam semakin sulit membedakan kelenteng dengan
Wihara.
Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak kelenteng yang kemudian mengembalikkan namanya ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai kelenteng alih-alih sebagai
Wihara. Kendati demikian, beberapa kelenteng tidak berganti nama dengan tetap menggunakan istilah "
Wihara". Beberapa lainnya kemudian dibina oleh Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia (MAGABUTRI) agar tetap mendapatkan pengajaran agama Buddha.
Referensi
Bacaan lanjutan
Chakrabarti, D.K. (1995). Buddhist sites across South Asia as influenced by political and economic forces. World Archaeology 27(2): 185-202.
Mitra, D. (1971). Buddhist Monuments. Sahitya Samsad: Calcutta. ISBN 0-89684-490-0.
Tadgell, C. (1990). The History of Architecture in India. Phaidon: London. ISBN 1-85454-350-4.
Khettry, Sarita (2006). Buddhism in North-Western India: Up to C. A.D. 650". R.N. Bhattacharya: Kolkata. ISBN 978-81-87661-57-3.
Rajan, K.V. Soundara (1998). Rock-cut Temple Styles: Early Pandyan Art and The Ellora Shrines. Mumbai: Somaiya Publications. ISBN 81-7039-218-7.
Pranala luar
(Inggris) Lay Buddhist Practice: The Rains Residence Diarsipkan 2005-04-05 di Wayback Machine.
(Inggris) Mapping Buddhist Monasteries