Fukuzawa Yukichi (福澤 諭吉code: ja is deprecated , 10 Januari 1835 – 3 Februari 1901) adalah penulis Jepang, ahli rangaku sekaligus samurai Domain Nakatsu, penerjemah, pengusaha, dan pengajar yang mendirikan Universitas Keio. Ia dua kali diberangkatkan ke Amerika Serikat sebagai anggota delegasi Jepang, dan melakukan perjalanan ke Eropa, setahun sebelum Restorasi Meiji (1868).
Fukuzawa menerbitkan banyak sekali buku dan artikel, di antaranya Gakumon no Susume (Dorongan untuk Belajar) (1872-1876) dan Bunmeiron no Gairyaku (Garis Besar Teori Peradaban) (1875). Kalimat pembuka Gakumon no Susume dikenal anak-anak sekolah di Jepang, "Langit tidak menciptakan seseorang dengan harkat di atas atau di bawah orang lainnya."
Sebagian besar tulisannya diterbitkan oleh penerbit universitas atau surat kabar Jinji Shimpo yang didirikannya pada tahun 1882. Ia juga menulis berbagai esai dan satire mengenai isu-isu kontemporer di bidang politik, hubungan internasional, masalah ekonomi dan keuangan, kebijakan pendidikan, persamaan hak wanita, dan moralitas.
Prinsip utama baginya dalam dirangkum dalam satu kata, yakni kemerdekaan. Ia percaya bahwa kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan negara adalah landasan sesungguhnya bagi masyarakat modern di Barat. Dalam mencapai kebebasan pribadi,
Fukuzawa lebih mengutamakan metode ilmiah dan praktis dari Barat daripada studi tradisional Cina klasik. Semakin banyak orang-orang berpendidikan, maka kebebasan nasional makin tertanam, dan kebajikan publik serta moralitas sosial meningkat dengan sendirinya.
Ia adalah salah seorang anggota pendiri kelompok intelektual Meirokusha, dan ketua pertama Tokyo Academy. Ide-idenya tentang pemerintah dan lembaga-lembaga sosial memengaruhi modernisasi Jepang dalam zaman Meiji. Ia dianggap sebagai salah seorang pendiri Jepang modern. Sejak tahun 1984, lukisan potretnya menghiasi uang kertas pecahan terbesar di Jepang, 10.000 yen.
Kemandirian dan harga diri adalah filosofi yang dikemukakan oleh
Yukichi Fukuzawa. “Saat berinteraksi dengan orang lain, Anda harus memiliki keyakinan. Percaya pada diri sendiri dan orang lain, dan orang lain juga harus percaya pada Anda. Hanya dengan percaya satu sama lain Anda dapat mencapai kemandirian dan harga diri terhadap diri sendiri dan orang lain.”
Juga,
"Kendalikan diri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain."
Masa kecil
Fukuzawa Yukichi dilahirkan sebagai putra kedua (anak bungsu dari 5 bersaudara) pada 10 Januari tahun 1835 di Dojimahama (sekarang Hotarumachi, Fukushima-ku), Osaka. Ayahnya bernama
Fukuzawa Hyakusuke, samurai berpangkat rendah klan Okudaira di Kyushu, dan ibunya bernama Ojun. Tempat kelahirannya adalah bangunan pergudangan milik Domain Nakatsu (Provinsi Buzen) di Osaka yang waktu itu merupakan pusat perdagangan Jepang. Jabatan ayahnya adalah bendaharawan kelas rendah di kantor gudang Domain Nakatsu di Osaka. Ketika ia lahir, ayahnya yang juga cendekiawan Konfusius sedang bergembira karena beruntung mendapatkan 60 jilid buku Shang Yu Tiao Li (lafal bahasa Jepang: Jōyu Jōrei. 上諭条例, Undang-undang Dinasti Qing pada masa pemerintahan Kaisar Qianlong) yang sudah lama diidamkannya. Salah satu aksara kanji dari buku tersebut, Yu (諭) digunakan sebagai nama bayinya yang baru lahir.
Ayahnya meninggal dunia pada tahun 1836 ketika
Yukichi masih berusia 1 tahun 6 bulan. Ibunya lalu kembali ke Nakatsu dengan membawa serta lima anak (dua laki-laki dan tiga perempuan). Keluarganya hidup dalam kemiskinan karena uang pensiun ayahnya tidak mencukupi. Peran sebagai kepala keluarga digantikan oleh kakak laki-lakinya. Penghasilan ditambah dengan bekerja serabutan di rumah. Keluarganya tidak memiliki uang untuk memasukkannya ke sekolah.
Yukichi sendiri bekerja membetulkan sandal, shōji, atap bocor, dan segala macam pekerjaan pertukangan. Sejak kecil ia senang minum sake, namun tidak bisa berenang dan memanjat pohon. Ia dijadikan anak angkat oleh pamannya, sehingga pernah memakai nama Nakamura
Yukichi (中村諭吉code: ja is deprecated ).
Tidak seperti anak-anak samurai yang belajar sastra Cina klasik dan ajaran Konfusianisme,
Yukichi tidak senang buku, dan baru malu tidak bisa membaca dan menulis ketika berumur 14 atau 15 tahun. Setelah 10 tahun terlambat masuk sekolah, ia mulai belajar sastra klasik Cina dari Shiraishi Tsunendo. Ia menguasai betul buku Zuo Zhuan (bahasa Jepang: Shunjū Sashiden). Nakamura Shōbei mengajarinya seni pedang iaido. Meskipun pandai di kelas, derajatnya sebagai anak samurai kelas rendah membuatnya dilecehkan di luar kelas. Ketika bermain dengan teman sekelas, ia menjadi sasaran kesombongan anak-anak samurai dari kelas sosial yang lebih tinggi. Sejak kecil, ia sudah merasakan dan sangat membenci masyarakat feodal yang tidak memungkinkan orang untuk berpindah kelas.
Sejak usia 12 atau 13 tahun, ia mulai tidak percaya dengan agama Shinto atau agama Buddha, dan menjadi ateis seumur hidupnya. Sewaktu kecil ia membuka kotak di kuil Inari, dan batu yang merupakan objek pemujaan digantinya dengan batu lain yang dipungutnya dari jalan.
Belajar rangaku di Nagasaki
Berita kedatangan armada Kapal Hitam dan Komodor Matthew Perry di Edo pada bulan Juli 1853 membuat cemas semua orang, tidak terkecuali para samurai dan orang biasa di kota terpencil. Samurai yang dapat menguasai meriam buatan Barat menjadi sangat dibutuhkan. Belajar meriam buatan Barat berarti harus menguasai bahasa Belanda karena buku petunjuknya ditulis dalam bahasa Belanda. Pada tahun 1854,
Yukichi yang berusia 21 tahun disuruh kakak laki-kalinya untuk belajar bahasa Belanda di pos perdagangan Belanda di Dejima, Nagasaki. Kesempatan itu diberikan kepadanya agar nantinya dapat ikut berperang. Namun
Yukichi tidak memiliki gambaran sama sekali tentang bahasa Belanda yang akan dipelajarinya, atau ancaman dari luar yang sedang mengancam Jepang. Ia hanya ingin pergi dari Nakatsu.
Yukichi tiba di Nagasaki pada bulan Februari 1854. Anak dari seorang karō Domain Nakatsu, Okudaira Iki mempunyai saudara yang menjadi biksu di Kōei-ji, sebuah kuil Buddha di Nagasaki. Iki mengajak
Yukichi menumpang di Kōei-ji bersamanya selama mereka belajar meriam dan bahasa Belanda. Pada tahun 1855,
Yukichi diterima magang di rumah Yamamoto Monojirō, pejabat pemerintah yang bekerja sebagai instruktur meriam. Yamamoto yang mengajarinya meriam dan bahasa Belanda ternyata tidak pandai berbahasa Belanda. Di rumah keluarga Yamamoto,
Yukichi mengajari anak-anak membaca, dan menjadi pembantu rumah tangga. Ia begitu disenangi oleh keluarga Yamamoto sehingga ingin dijadikan anak angkat. Tawaran itu ditolaknya karena sebelumnya sudah pernah dijadikan anak angkat.
Meskipun
Yukichi tidak mendapat banyak kemajuan dalam belajar rangaku di Nagasaki,
Yukichi lebih cepat pandai sehingga Okudaira Iki menjadi iri hati kepadanya. Iki mengarang cerita bohong dan memperlihatkan surat palsu kepada
Yukichi. Isi surat berisi permintaan agar
Yukichi pulang ke Nakatsu karena ibunya sakit. Ia tahu bahwa surat itu palsu, namun tetap memutuskan pergi dari Nagasaki pada tahun 1855. Ketika itu, Sonnosuke, kakak tertua
Yukichi sudah bekerja di Osaka mewarisi pekerjaan sang ayah.
Bersekolah di Tekijuku
Perjalanan dengan perahu melintasi Laut Pedalaman Seto memakan waktu dua minggu karena perahu singgah di berbagai tempat. Ia turun di tengah perjalanan, dan berjalan kaki dari Akashi hingga sampai di Osaka. Ia menumpang menginap di pergudangan Domain Nakatsu tempat kakak tertuanya bekerja.
Yukichi hanya bermaksud singgah di Osaka sebelum melanjutkan perjalanan untuk bersekolah di Edo. Namun niatnya batal setelah dibujuk kakaknya menetap di Osaka dan bersekolah di Tekijuku.
Yukichi belajar rangaku di Tekijuku dari tahun 1855 hingga 1857. Tekijuku adalah sekolah kedokteran yang dikelola dokter bernama Ogata Koan. Pada tahun berikutnya,
Yukichi dan kakaknya terkena demam tifoid, dan pulang ke Nakatsu untuk beristirahat hingga sembuh.
Pada bulan Agustus 1856, ia kembali ke Osaka untuk melanjutkan sekolahnya di Tekijuku. Kakak tertuanya tak lama kemudian meninggal dunia karena sakit.
Yukichi harus pulang ke Nakatsu untuk menggantikan Sannosuke sebagai kepala keluarga, dan kembali menggunakan nama sebelumnya,
Fukuzawa Yukichi. Pekerjaan ayah dan kakak tertua tidak dapat diwariskan olehnya karena ia tidak berpengalaman sebagai bendahara. Walaupun sudah bekerja sebagai penjaga istana di Nakatsu, keinginannya untuk melanjutkan sekolah tidak terbendung. Sewaktu berada di Nakatsu, buku bahasa Belanda mengenai arsitektur benteng (Handleiding tot de kennis der versterkings-kunst oleh C.M.H. Pel, 1852) dipinjamnya dari Okudaira Iki untuk disalin dan diterjemahkan (buku tersebut nantinya tidak pernah diterbitkan). Setelah perabot rumah dan koleksi buku ayahnya dijual untuk membayar utang,
Fukuzawa berangkat pada akhir tahun 1856 untuk melanjutkan sekolah di Tekijuku. Ia hampir-hampir tidak memiliki uang untuk membayar uang sekolah.
Pada tahun 1857, ia mencatat prestasi sebagai murid terpandai di sekolah. Autobiografi yang ditulisnya di kemudian hari berisi tentang masa-masa sekolahnya di Tekijuku. Buku pelajaran di Tekijuku semuanya berbahasa Belanda. Pelajaran yang diikutinya adalah fisika, kedokteran, biologi, kimia, fisiologi, dan menyalin buku. Ia juga melakukan berbagai eksperimen, termasuk eksperimen kelistrikan Faraday.
Pindah ke Edo
Pada tahun 1858,
Fukuzawa diminta oleh Pemerintah Domain Nakatsu untuk pergi ke Edo sebagai pengajar bahasa Belanda. Setelah berpamitan dengan ibunya di Nakatsu,
Fukuzawa berangkat ke Edo pada musim gugur 1858. Ia mengajak rekannya yang juga lulusan Tekijuku, Okamoto Shūkichi (nantinya berganti nama menjadi Furukawa Setsuzō atau Furukawa Masao). Di dalam kompleks kediaman klan Okudaira,
Fukuzawa membuka sekolah rangaku pada tahun 1858 dengan siswa yang terdiri dari para samurai Domain Nakatsu. Hingga 10 tahun sesudah didirikan, sekolah ini tidak memiliki nama resmi, dan dikenal dengan nama
Fukuzawa Juku. Di kemudian hari sekolah ini disebut Universitas Keio, dan tahun 1858 diperingati sebagai tahun pendirian Universitas Keio.
Pada bulan Juli 1859, tiga pelabuhan di Jepang dibuka untuk perdagangan dengan kapal-kapal asing sesuai Perjanjian Persahabatan dan Perdagangan yang ditandatangani antara Amerika Serikat dan Jepang tahun sebelumnya. Tidak lama setelah itu,
Fukuzawa berjalan-jalan ke permukiman orang asing di Kanagawa (sekarang Yokohama). Ia kecewa karena tidak mengerti tulisan pada papan-papan nama yang ditulis dalam bahasa Inggris. Bahasa Belanda yang dikuasainya juga tidak dapat dipakainya untuk berkomunikasi karena satu-satunya bahasa asing di sana adalah bahasa Inggris.
Ia merasa perlu belajar bahasa Inggris, dan mulai belajar secara otodidak. Perpustakaan Kaiseijo (nantinya disebut Universitas Kekaisaran Tokyo) adalah tempatnya membaca-baca kamus bahasa Inggris. Namun karena kamus itu tidak dapat dipinjam ke luar, ia akhirnya membeli sendiri kamus bahasa Inggris-Belanda. Kemajuannya belajar bahasa Inggris sangat lambat karena waktu itu tidak ada guru dan kamus yang baik.
Perjalanan ke Amerika Serikat
Dalam rangka pertukaran instrumen ratifikasi Perjanjian Persahabatan dan Perdagangan, Keshogunan Edo pada tahun 1860 memutuskan untuk mengirimkan delegasi Jepang ke Amerika Serikat. Kapal Kanrin Maru dibeli keshogunan dari Belanda untuk membawa delegasi ke Amerika.
Fukuzawa melihat kesempatan untuk belajar bahasa Inggris di Amerika. Ia menghubungi komandan kapal Kimura Yoshitake, menawarkan dirinya sebagai sukarelawan, dan tanpa kesulitan diterima sebagai pengawal.
Pelayaran Kanrin Maru adalah peristiwa bersejarah bagi orang Jepang yang berusaha melintasi Samudra Pasifik tanpa bantuan orang asing. Setelah 37 hari pelayaran di tengah rangkaian badai, Kanrin Maru tiba di San Francisco pada musim semi 1860. Pencapaian terpenting
Yukichi selama sebulan di San Francisco adalah sebuah kamus Webster's English Dictionary yang dibelinya atas saran John Manjiro.
Sekembalinya dari Amerika Serikat,
Fukuzawa meneruskan pekerjaan sebagai guru. Bahasa Inggris ditambahkannya ke dalam kurikulum sekolah tempatnya mengajar, dan siswa di sekolahnya makin bertambah. Kantor hubungan luar negeri keshogunan mempekerjakannya sebagai penerjemah dokumen diplomatik. Pada tahun 1860, ia juga menerbitkan buku pertamanya, Zōtei Ka-Ei Tsūgo (Kamus Lengkap bahasa Cina-Inggris). Kamus bahasa Kanton-Inggris Ka-Ei Tsugo karya Zi Qing yang dibelinya di San Francisco, diberi tambahan padanan kata dalam bahasa Inggris, bahasa Jepang, dan katakana untuk cara membaca. Katakana ウ dan ワ dengan dakuten (ヴ dan ワ゛) dipakainya untuk melambangkan bunyi /v/. Pada tahun 1861,
Fukuzawa menikah dengan Okin, anak perempuan keluarga samurai kelas atas Domain Nakatsu.
Perjalanan ke Eropa
Pada akhir tahun 1861, ia diberangkatkan sebagai salah seorang anggota delegasi ke negara-negara Eropa. Setelah singgah di Nagasaki, kapal berangkat ke Eropa pada 1 Januari 1862 melalui Samudra Hindia, Laut Merah, Terusan Suez, dan Laut Tengah sebelum tiba di Marseille. Delegasi bertugas menegosiasikan penundaan pembukaan pelabuhan tambahan untuk perdagangan dengan kapal asing, dan perubahan kurs nilai tukar. Walaupun misi tidak berhasil, ia berkesempatan berjalan-jalan ke Prancis, Inggris, Belanda, Prusia, Rusia, dan Portugal. Dalam tugasnya sebagai sebagai penerjemah delegasi, banyak hal-hal baru yang menarik perhatiannya, mulai dari rumah sakit, arsenal, pertambangan, dan sekolah. Ia kembali dari Eropa pada akhir tahun 1862. Berdasarkan hal-hal yang dilihat dan dibacanya selama perjalanan,
Fukuzawa menerbitkan volume pertama Seiyō Jijō (Keadaan di Barat) yang menjadi buku laris.
Fukuzawa menyadari kemajuan teknologi berperan penting terhadap kemakmuran yang dilihatnya di Eropa. Ia mulai yakin bahwa perubahan revolusioner dalam pengetahuan masyarakat dan cara berpikir adalah persyaratan mendasar untuk kemajuan serupa di Jepang. Sewaktu di London, ia mengirim sepucuk surat kepada temannya di Jepang. Isi surat memberitakan bahwa pekerjaan paling mendesak untuk dilakukan di Jepang adalah mendidik anak muda yang berbakat, dan bukannya membeli mesin-mesin dan persenjataan. Ia memutuskan untuk menunda penulisan volume kedua Seiyō Jijō, dan beralih menerjemahkan buku Political Economy karya John Hill Burton yang diterbitkannya pada tahun 1867.
Pengamatannya tentang kehidupan di Barat yang berhasil menjadi buku laris merupakan indikasi minat dan toleransi orang Jepang terhadap dunia Barat. Meskipun demikian, di Jepang waktu itu terdapat kelompok yang berkeinginan mengusir orang asing ("barbar") dan menyingkirkan ilmuwan Jepang yang tertarik dengan studi Barat. Pendukung pemikiran Barat seperti
Fukuzawa Yukichi dalam ancaman untuk dibunuh oleh kelompok ronin pendukung slogan Sonnō-jōi ("Dukung Kaisar, Usir Orang Barbar"). Keadaan begitu berbahaya sehingga
Fukuzawa tidak pernah keluar rumah di waktu malam. Ōmura Masujirō tewas sebagai korban pembunuhan pada tahun 1869.
Fukuzawa pergi untuk kedua kalinya ke Amerika Serikat pada tahun 1867. Kali ini sebagai anggota delegasi ke Washington, D.C. dan New York untuk melakukan negosiasi pembelian sebuah kapal perang dari Amerika Serikat. Ia berkesempatan mengunjungi kota-kota di Pantai Timur Amerika Serikat. Sebagai oleh-oleh dari Amerika, ia membeli buku teks sebanyak-banyaknya untuk disalin oleh murid-muridnya di Jepang.
Keio Gijuku
Setelah tiba kembali di Jepang,
Fukuzawa pada tahun 1868 memindahkan kegiatan belajar ke bekas kompleks permukiman klan Arima di Shiba Shinsenza (sekarang Hamatsuchō, distrik Minato). Pada tahun yang sama, nama sekolah juga diganti menjadi Keio Gijuku (sekarang Universitas Keio).
Fukuzawa mengubah sekolah swasta milik Domain Nakatsu menjadi sekolah swasta zaman modern. Nama Keiō diambilnya dari nama zaman waktu itu.
Kegiatan belajar di Keio Gijuku terus berlangsung bahkan ketika terjadi bentrokan antara pendukung kekaisaran dan tentara keshogunan dalam Pertempuran Ueno 1868 di Edo. Ia tatap memberi kuliah mengenai teori ekonomi politik dari Francis Wayland seperti biasa. Kepada siswanya yang hadir (berkurang dari 100 orang menjadi 18 orang), ia berkata, "Apapun yang terjadi di negara ini, perang apa pun yang melanda negeri ini, kita tidak akan berhenti belajar ilmu-ilmu Barat. Semasa sekolah kita tetap berdiri, Jepang tetap sebuah negara beradab di dunia."
Pasca-Restorasi Meiji
Setelah Keshogunan Tokugawa tumbang, pemerintah baru Meiji mengajak
Fukuzawa untuk menjadi pegawai pemerintah. Ia menolak tawaran tersebut, dan tidak pernah lagi menduduki jabatan dalam pemerintahan atau mendapat penghargaan dari pemerintah.
Pada tahun-tahun berikutnya, perhatiannya hanya mengajar di Keio atau mendirikan sekolah modern yang baru di tempat-tempat lain. Ia juga menerjemahkan dan menulis pamflet mengenai Barat, serta buku teks dasar mengenai berbagai macam topik, mulai dari fisika, geografi, militer, Parlemen Inggris, dan hubungan luar negeri.
Serangkaian esai yang ditulis dan diterbitkan antara tahun 1872 dan 1876 dirangkum dalam Gakumon no Susume (Dorongan untuk Pembelajaran). Esai pertama merupakan manifestasi pandangannya terhadap masyarakat umum. Kalimat pembuka berbunyi, "Langit tidak menciptakan seseorang dengan harkat di atas atau di bawah orang lainnya. Perbedaan antara orang bijak dan orang bodoh, antara kaya dan miskin, hanya disebabkan soal pendidikan."
Pada tahun 1879,
Fukuzawa Yukichi dipilih sebagai ketua pertama lembaga cendekiawan Tokyo Gakushi Kain-in (sekarang The Japan Academy). Ia termasuk salah seorang pendiri Senshu Gakkō pada tahun 1880 (sekarang Universitas Senshu). Sekolah akunting yang dimilikinya dan gedung Meiji Kaidō diberikannya sebagai kampus Senshu Gakkō. Pada 1881, ia ikut mendirikan perusahaan kereta api swasta, Nippon Tetsudō Kaisha (Nippon Railway).
Harian Jiji Shimpo diterbitkannya pada 1 Maret 1882. Dalam artikel inaugurasi,
Fukuzawa menyatakan bahwa surat kabarnya berhaluan independen dan tidak memihak. Sebagian besar tulisannya sejak itu diterbitkan dalam Jiji Shimpo, mulai dari artikel serius hingga satire. Ia mengangkat semua isu kontemporer, seperti politik, masalah dalam dan luar negeri, ekonomi politik, pendidikan, dan kebijakan pendidikan, serta soal moralitas, terutama hak-hak wanita. Kumpulan tulisannya dalam Jiji Shimpo mengisi hampir setengah dari Kumpulan Karya
Fukuzawa (
Fukuzawa Zenshū) yang terdiri dari 22 volume.
Keio Gijuku secara resmi membuka universitas pada bulan Januari 1890 dengan dibukanya tiga jurusan, sastra, ekonomi, dan hukum. Pada bulan November 1892,
Fukuzawa mengeluarkan modal untuk mendirikan Densenbyō Kenkyū-jo (sekarang Institut Ilmu Kedokteran, Universitas Tokyo) dengan Kitasato Shibasaburō sebagai kepala.
Meninggal dunia
Ia masuk rumah sakit karena pendarahan intrakranial pada 26 September 1898. Setelah sempat pulih, ia kembali jatuh sakit pada 25 Januari 1901.
Fukuzawa Yukichi meninggal dunia dalam usia 66 tahun di rumah kediamannya di kampus Mita Keio Gijuku, 3 Februari 1901. Sebuah monumen peringatan didirikan di tempat bekas rumah kediaman
Fukuzawa Yukichi. Ia meninggalkan 9 orang anak (4 laki-laki dan 5 perempuan). Putra pertama Ichitarō lahir 22 November 1863) diikuti putra kedua, Sutejirō pada 9 November 1865. Anak ke-8 dan anak ke-9 (keduanya laki-laki) masing-masing lahir pada 14 Juli 1881 dan 24 Juli 1883.
Makamnya berada di Hongan-ji, Desa Osaki Prefektur Tokyo sebelum dipindahkan pada tahun 1977 ke Zenpuku-ji, Azabu, Tokyo. Peringatan hari meninggalnya setiap 3 Februari disebut
Yukichi-ki (雪池忌code: ja is deprecated ). Pada hari itu, staf Universitas Keio beramai-ramai melakukan ziarah ke makamnya.
Bibliografi terpilih
Semua karya dalam daftar di bawah ini tersedia dalam bentuk digital di situs web Perpustakaan Universitas Keio Diarsipkan 2018-09-30 di Wayback Machine..
Referensi
Pranala luar
(Jepang) Buku-buku
Fukuzawa Yukichi Diarsipkan 2010-02-11 di Wayback Machine. (buku elektronik Diarsipkan 2018-09-30 di Wayback Machine., berkas teks Diarsipkan 2009-08-17 di Wayback Machine.), Perpustakaan Universitas Keio
(Jepang) Teks lengkap buku-buku
Fukuzawa Yukichi Diarsipkan 2021-02-16 di Wayback Machine., Perpustakaan Parlemen Jepang
(Jepang) Buku-buku
Fukuzawa Yukichi Diarsipkan 2022-11-27 di Wayback Machine., koleksi Aozora Bunko