K.H.
Zainal Mustafa (lahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, 1899 – meninggal di Jakarta, 28 Oktober 1944) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tasikmalaya.
Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang. Nama kecilnya Hudaemi. Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir tahun 1901 dan Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang tertera di atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat). Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927.
Latar Belakang
Hudaemi memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia belajar mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan ekonomis keluarga memungkinkannya untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi. Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyati, kakak sepupunya, yang dikenal dengan nama KH.
Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia kemudian mondok di Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan di Pesantren Sukamiskin, Bandung. Selama kurang lebih 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas.
Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan tukar pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah Suci. Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka sekembalinya dari ibadah haji, tahun 1927, ia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula Pesantren Sukahideng yang didirikan KH.
Zainal Muhsin. Melalui pesantren ini ia menyebarluaskan agama Islam, terutama paham Syafi’i yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya.
Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa di Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kiai pun menjadi melekat dengan namanya. KH. Zaenal Mustofa terus tumbuh menjadi pemimpin dan anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil ro’is Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.
Perlawanan kepada penjajah
Sejak tahun 1940, KH. Zaenal Mustofa secara terang-terangan mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan penjajah. Ia selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda yang kerap disampaikannya dalam ceramah dan khutbah-khutbahnya. Atas perbuatannya ini, ia selalu mendapat peringatan, dan bahkan, tak jarang diturunkan paksa dari mimbar oleh kiai yang pro Belanda.
Pada saat Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zaenal Mustofa bersama KH. Ruhiat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942.
Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah tidak surut. Akhir Februari 1942, KH. Zaenal Mustofa bersama Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan dimasukkan ke penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam di penjara.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, KH. Zaenal Mustofa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zaenal Mustofa dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara penyambutan kembali di Pesantren, ia memperingatkan para pengikut dan santrinya agar tetap percaya pada diri sendiri dan tidak mudah termakan oleh propaganda asing. Ia malah memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.
Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya itu tidak pernah berubah. Bahkan, kebenciannya semakin memuncak saja manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat.
Pada masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang pelaksanaan seikeirei, cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo. Ia menganggap perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat.
Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa, KH. Zaenal Mustofa merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 25 Februari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telepon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah KH. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.
Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Februari 1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir.
Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Asar (sekitar pukul 16.00) datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, Zaenal Mustofa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.
Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.
Pun, sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zaenal Mustofa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zaenal Mustofa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH. Zaenal Mustofa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.
Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.
Belakangan, Kepala Ereveld Ancol, Jakarta, memberi kabar bahwa KH. Zaenal Mustofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.
Diangkat menjadi pahlawan
Pada tanggal 6 Nopember 1972, KH. Zaenal Mustofa diangkat sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972.
Referensi
= Catatan Kaki
=