Hubungan
Aborsi dengan
kesehatan mental telah menjadi beberapa topik penelitian oleh ahli ilmiah
dan medis. Ahli ilmiah
dan medis telah berulang kali menyimpulkan bahwa
Aborsi tidak menimbulkan risiko atau bahaya terhadap
kesehatan mental yang lebih besar daripada kehamilan yang tidak diinginkan hingga persalinan. Namun demikian, hubungan antara
Aborsi yang diinduksi
dan kesehatan mental merupakan bagian dari kontroversi politik. Pada tahun 2008, Asosiasi Psikologi Amerika menyimpulkan setelah meninjau bukti yang ada bahwa
Aborsi yang diinduksi tidak meningkatkan risiko masalah
kesehatan mental. Pada tahun 2011, Pusat Kolaborasi Nasional Inggris untuk
kesehatan mental secara serupa menyimpulkan bahwa
Aborsi pertama kali dalam trimester pertama tidak meningkatkan risiko masalah
kesehatan mental dibandingkan dengan menyelesaikan kehamilan. Pada tahun 2018, Akademi Ilmu Pengetahuan, Teknik,
dan Kedokteran Nasional menyimpulkan bahwa
Aborsi tidak menyebabkan depresi, kecemasan, atau gangguan stres pasca-trauma. Pada tahun 2018, The National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine menyimpulkan bahwa
Aborsi tidak menyebabkan depresi, kecemasan, atau gangguan stres pasca-trauma. The U.K. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists juga merangkum bukti dengan menemukan bahwa
Aborsi tidak meningkatkan risiko masalah
kesehatan mental dibandingkan dengan wanita yang menyelesaikan kehamilan yang tidak diinginkan sampai melahirkan. Dua studi dilakukan di Denmark pada tahun 2011
dan 2012 menganalisis hubungan antara
Aborsi dan masuk rumah sakit jiwa yang hasilnya tidak ditemukan peningkatan dalam jumlah masuk rumah sakit setelah
Aborsi. Dalam studi yang sama ditemukan bahwa peningkatan jumlah wanita yang masuk rumah sakit jiwa setelah kelahiran anak pertama. Sebuah tinjauan sistematis pada tahun 2008 terhadap literatur medis tentang
Aborsi dan kesehatan mental menemukan bahwa studi-studi berkualitas tinggi secara konsisten menunjukkan sedikit atau tidak ada konsekuensi
kesehatan mental dari
Aborsi, sementara studi-studi berkualitas rendah lebih cenderung melaporkan konsekuensi negatif.
Meskipun studi ilmiah
dan medis dapat dipertanggung jawabkan, beberapa kelompok advokasi anti-
Aborsi terus mengklaim adanya kaitan antara
Aborsi dan masalah
kesehatan mental. Beberapa kelompok anti-
Aborsi telah menggunakan istilah "sindrom pasca-
Aborsi" untuk merujuk pada efek psikologis negatif yang mereka atributkan kepada kegiatan
Aborsi. Namun, "sindrom pasca-
Aborsi" tidak diakui sebagai sindrom yang nyata oleh para ahli medis. Sindrom pasca-
Aborsi (PAS) tidak termasuk dalam Manual Diagnostik
dan Statistik Gangguan
mental DSM-IV-TR atau dalam daftar kondisi psikiatrik Klasifikasi Penyakit Internasional ICD-10. Profesional medis
dan advokat pro-pilihan telah berargumen bahwa upaya untuk mempopulerkan gagasan tentang "sindrom pasca-
Aborsi" adalah taktik yang digunakan oleh advokat anti-
Aborsi untuk tujuan politik.Beberapa badan legislatif negara bagian di Amerika Serikat telah mewajibkan agar pasien diberitahu bahwa
Aborsi meningkatkan risiko depresi
dan bunuh diri, meskipun bukti ilmiah menentang klaim semacam itu.
Bukti Ilmiah Saat Ini
Tinjauan sistematis atas literatur ilmiah telah menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan dalam
kesehatan mental jangka panjang antara wanita yang melakukan
Aborsi induksi dibandingkan dengan wanita dalam kelompok kontrol yang sesuai—yaitu, mereka yang mempertahankan kehamilan yang tidak direncanakan hingga kelahiran. Studi-studi ini secara konsisten menemukan tidak adanya hubungan sebab-akibat antara
Aborsi dan masalah
kesehatan mental. Meskipun beberapa studi melaporkan adanya korelasi statistik antara
Aborsi dan masalah
kesehatan mental, studi-studi tersebut biasanya memiliki cacat metodologis
dan gagal mempertimbangkan faktor-faktor yang membingungkan, atau, seperti hasil wanita yang memiliki beberapa
Aborsi, menghasilkan hasil yang tidak konsisten dengan studi-studi serupa lainnya.
Referensi